Tampilkan postingan dengan label Bawin Balian. Tampilkan semua postingan

Cerpen Thaibah: Bening Syamsiah

Besok Aliya mau nikah Sama Bang Icam, Kak...
Serta merta bunga Kamelia serasa berjatuhan dari langit, menimpuki kepalaku dengan lembut. Berbarengan dengan bumi yang tiba-tiba melumer, dan menghisapku bak lumpur hidup. Menembakku dengan paku, menjerembabkanku dalam gagu. Harusnya aku berjingkrak, karena Aliya adikku satu-satunya akan mengarungi jalan baru dengan lelaki tercintanya. Bukan sebagai babak perpisahan yang tak akan bertemu lagi.
“Aliya sangat mencintai Bang Icam, Kak...,” ungkapmu empat tahun lalu dengan memelas, dan menyeka air matamu dengan ujung kerudung merah mudamu.

Cerpen Hatmiati Masy’ud: Ibu

“Ninaya, cepat bangun, nanti terlambat salat subuh.” Nyaring suara Ibu memecah kebisuan pagi. Ninaya bergegas bangkit dan segera turun dari lantai dua rumahnya untuk mandi kemudian salat subuh.  Hari ini ada acara sosialiasi murid baru di sekolahnya, Ninaya harus segera berangkat kalau tidak ingin terlambat. Buru-buru dimasukkan bahan sosialisasi dan buku pelajaran bahasa Indonesia ke tasnya.
Sepiring nasi goreng dan telur dadar telah siap di meja makan. Tak ketinggalan, irisan buah pepaya menggugah selera juga ada di meja.
“Ninaya, kamu makan duluan, Ibu nanti saja setelah mencuci baju.”

Cerpen Kalsum Belgis: Sosok Dalam Cermin

Aku menatap cermin yang tepat berada di hadapanku. Di situ kutemukan seraut wajah yang berisi lamunan. Ya dalam lembar cermin yang kutatap, kupandangi dengan teliti sebentuk wajah yang begitu penuh dengan kerutan.
Kerut merut beban dan penderitaan sangat jelas terlukis di situ. Ada beberapa garis keletihan terlihat tepat di kening, lalu garis dengan lekukan yang cukup dalam di kedua pinggir mata, garis lelah yang cukup lama tertuang dalam jiwa.
Kembali aku menatap wajah dalam cermin yang tepat ada di hadapanku. Sejenak dadaku bergetar kala beradu pandang dengan kedua mata yang terlalu kuyu, mata yang tak mampu lagi memancarkan sinar pagi. Dalam mata itu jelas terlihat cahaya buram dan gambaran kesedihan.Aku berdiri dan sosok dalam cermin di hadapankupun ikut berdiri, sangat jelas kulihat gemetar di kaki yang tampak begitu lemah, seolah kaki itu sudah tak mampu lagi menyangga seonggak tubuh kurus itu.

Cerpen Hamberan Syahbana: Suatu Ketika di Ruang Nilam 3 RS Ansari Saleh

Nebuliser alat yang digunakan untuk menguapi pernapasanku itu baru saja di lepas. Sejak aku dirawat inap di Rumah Sakit Ansari Saleh, ini adalah yang ke-enam kalinya aku menjalani tindakan medis nebulisasi. Alhamdulillah, kini napasku terasa lega, tetapi jarum infus ini masih saja terpasang di tangan kananku. Padahal jarum infus ini terasa sangat menyiksa dan membuatku jadi serba salah. Lebih-lebih lagi penempatannya yang sangat riskan, salah gerak sedikit sedikit saja darah segar akan keluar dan naik melalui selang infus ini. Sehingga salatku lebih banyak dengan tayamum daripada mengambil air wudhu.
Kulihat angka di layar HP-ku tertulis 11.45 tetapi mataku masih belum mengantuk juga. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat tidur. Sama seperti malam-malam kemarin, saat-saat seperti ini setiap malam aku hanya sendiri di sini. Karena memang tak ada istri yang menemani. Maklum aku anak panti yang tak pernah mengetahui anak siapa aku ini sebenarnya. Meski sudah dua kali beristri tetapi dua kali pula aku bercerai dengan alasan klasik yang sama. Ya apalagi kalau bukan karena soal penghasilanku yang paspasan itu?

Cerpen Agung Setiawan: Pongo

Di suatu sore yang mendung. Di akhir musim kemarau, di tengah hutan belantara Kerangas Pulau Kalimantan, seekor orangutan jantan dewasa sedang melamun. Ia duduk di dahan kanopi pohon besar yang telah tua. Kedua tangannya menggamit erat ranting kecil di atas kepalanya seraya memaju mundurkan seperti bermain main. Tatapan matanya kosong. Ia bahkan tidak menyadari rintik hujan mulai jatuh mengenai tubuhnya.
Seekor Pongo Pygmaeus itu baru saja menyelesaikan sebuah sarang di dekat situ. Sarang yang berasal dari cabang pohon terkuat. Ia begitu senang di kala harus menguji – dengan bergelantungan –kekuatan cabang untuk dijadikan pondasi sarang. Lalu cabang itu ia bengkokkan dan lilitkan ke beberapa cabang yang lain. Kekuatan ototnya luar biasa.

Cerpen Aulia Fitri: Ayan Lanang Tambunan dan Aku

Mari kuperkenalkan diriku. Aku adalah malaikat pencabut nyawa yang ditugaskan mencabut nyawa, siapa pun itu. Tuhan selalu mengatakan aku harus melaksanakan tugasku dengan bijaksana. Itulah mengapa aku harus melebarkan pandangan, mengikuti kaki jenjang itu melangkah semu, menginjak bumi.
Targetku kali ini, adalah orang ini. Keheningan dari wajah kusamnya yang tak terperi. Kutatap wajah piasnya tersengat kelamnya mentari, keringatnya mati. Sudah seharian aku mengekorinya, tanpa penat terasa. Aku terus teringat pesan yang harus kusampaikan padanya. Pesan dari Tuhan yang menginginkan aku mencabut nyawanya malam ini juga. Ayan Lanang Tambunan namanya. Ibunya Batak, ayahnya Jawa.

Cerpen Moch. Gozali: Lagu Ombak

“Semestinya kau pulang dulu, Nak, walau sebentar. Hari Nusantara yang dijatuhkan ke Kotabaru Desember depan bukan sekadar acara seromonial belaka, tapi mengandung makna sakral,”  begitu SMS pembuka yang dikirim mamanya.
Sakralitas seperti apa yang dimaksud Mama Rizal tak akan ada yang dapat memastikan secara jitu. Apakah Hari Nusantara itu lahir dari pergolakan politik di antara anak bangsa sendiri? Apakah Hari Nusantara ini telah memakan korban jiwa yang banyak? Atau Hari Nusantara ini sebagai manifes pembelaan kedaulatan bangsa yang sering diinjak-injak negeri sebelah?
Rizal seakan tak percaya membaca SMS sang Mama. Ia pikir ada berita gaib dari perjalanan suci mamanya setelah satu bulan di Tanah Haram, sebab setiap jemaah punya cerita yang kadang unik dan misterius. Ritualiatas haji menurut keimanan Rizal adalah puncak sakralitas dari sisi kehidupan manapun yang tak ada kembarannya. Namun, ramalan Rizal jauh meleset.

Cerpen Sina Kharina: Perempuan Tanpa Suara

“Sampai kapan, Wan?” tanya Masitah.
Iwan hanya diam. Dia tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ibunya. Perempuan itu masih duduk diam di ruang tengah. Entah bisu atau memang tak berniat buka suara. Sejak pertemuan pertama, Iwan tak mendengar sepatah katapun keluar dari mulutnya.
“Bukannya Ibu tak mau membantu orang, Wan, tapi kita tak tahu siapa dia. Mana tetangga sudah nanya-nanya,” kata Masitah lagi.
Iwan membenarkan kata-kata ibunya. Kemarin saja waktu dia membonceng pulang perempuan itu, Acil Imai, tetangga mereka, memandanginya penuh tanya. Besoknya, ibu diinterogasi perihal perempuan itu saat membeli sayur.
“Kamu nggak curiga, Wan?” Masitah bertanya setengah berbisik.
“Curiga apa, Bu?”

Cerpen Ronie Permana: Kuyang

Ipah terlihat pucat. Tidak pengap tapi berkeringat dingin. Sekujur bulu di tangan dan lehernya berdiri tegak, Tidak terlihat akan lemas. Seekor kucing bermuka marah mengerang tanpa henti. Ipah terus mendekap lutut, membenamkan wajah di sana. Terduduk lunglai, sambil terisak menahan takut.

***

Kejadian tadi malam membuat Ipah tidak mampu menutup kelopak matanya walaupun untuk sekejap. Mata terbuka, namun dibenamkan dalam kegelapan, di antara lutut yang didekap. Dia hanya mendengar suara itu, tanpa berani menatap. Erangan kucing peliharaannya, dengan tatapan marah dan gusar ke salah satu sudut rumah, sangat jelas menandakan ada sesuatu yang gaib di sana.

Cerpen Miranda Seftiana: Jujuran

Diyang duduk di pelataran rumahnya dengan kaki menjuntai hingga anak tangga teratas. Di pangkuannya tergeletak sebuah laung merah bersulam airguci buatan tangannya sendiri. Hatinya tak pernah mati mengharapkan ikat kepala khas lelaki Banjar saat mengucap janji suci pernikahan itu dipakai oleh Sandayuhan nantinya. Meski ia tak tahu kapan lelaki itu kembali ke sini, menemuinya, melunasi utang rindu yang menjelaga di jiwa.
Kakamban dengan warna senada bersulam airguci yang sama tampak melayang-layang tertiup angin senja. Mata gadis paruh baya itu menerawang entah ke mana. Sinarnya tak lagi secerah dulu, seiring usianya yang kian menua. Ia memang masih gadis di usianya yang tak lagi muda. Sebab setelah kepergian lelaki dengan ceruk rembulan sabit di pipinya itu, Diyang tak pernah mengucap janji sehidup-semati dengan siapa pun jua. Bahkan hingga Abah telah pergi untuk selama-lamanya. Abah yang menjadi alasan terkuat mengapa hingga kini ia tetap memilih sendiri.
Kenangannya kembali pada memori puluhan tahun silam. Tentang perpisahan di suatu senja yang lukanya masih belum jua mampu ia temukan penawarnya.

***

Cerpen Haitami: Lelaki Bermata Merah Saga

Sudah sering kudengar cerita-cerita mengenai mayat-mayat yang tewas tenggelam di bantaran Sungai Martapura. Namun, cerita kali ini sedikit ganjil, korban ditemukan dengan tubuh tanpa sebuah benda yang letaknya beberapa centi di atas leher; kepala. Besoknya, berita-berita di koran akan memuat judul ‘Penemuan Sosok Mayat Tanpa Kepala di Siring Martapura’.

***

Cerpen Ewel Galih: Maria

Senja, memang selalu memberi warna dalam ingatku.
Seperti senja yang sering kita pandangi dahulu, hilir mudik kendaraan dari atas jembatan, air sungai yang sewarna kecokelatan adalah senja yang selalu membawaku pada kenangan.
Kini aku selalu menyempatkan untuk menikmatinya. Di sebuah warung makan yang terletak di bawah jembatan inilah aku kerap menghabiskan waktu bilamana rindu itu datang dan membawaku.
Dulu sekali, kau sering mengajakku ke sini. Melepas penat sepulang kuliah. Kita akan duduk santai di kursi paling pojok menatap keindahan senja, sambil menunggu pelayan mengantar nasi sop kegemaranmu. Kau akan tersenyum, bila mendapati elang yang biasa menari-nari di bawah balutan jingga dan berputar-putar di udara. Aku pun segera mengeluarkan entah sisir atau apa saja dari dalam tasmu, seolah memencetnya seperti remote kontrol yang memainkan kepak elang di atas sana. Kau cekikikan melihat ulahku. Sampai senja semakin luruh, elang itupun menghilang dengan meninggalkan kicau yang samar-samar terdengar.

Cerpen Aliansyah Jumbawuya: Guru Ngaji

Di pemukiman tempat Saufi ngontrak rumah ternyata belum ada guru ngaji. Banyak orangtua yang mengeluh lantaran anak-anak mereka tak bisa mengaji. Padahal, beberapa tahun terakhir  pemerintah daerah mewajibkan khatam Alquran pada setiap peserta didik. Keadaan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Menangkap keprihatinan dan keluhan warga, Pak RT kemudian berinisiatif mendatangi Saufi. Ia tahu anak muda itu dulunya adalah alumni sebuah pesantren di Banjarbaru. Sekarang lagi kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari. Pasti dia tidak keberatan meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak kompleks mengaji.
Semula Saufi sempat menolak karena tak yakin akan sanggup mengemban tugas tersebut. Tapi, Pak RT terus membujuknya.

Cerpen Ali Syamsudin Arsi: Menembus Bias Cahaya

Sesekali dipalingkannya arah wajah ke pusat matahari, tak bertahan lama, kedua matanya terkatup. Ia palingkan pula ke sebelah kanan tak jua tampak pantai atau garis tipis penanda daratan. Di sela baju lusuh terlihat jelas kulit dan urat tangan yang hitam pucat. Berpaling lagi ke arah kiri, nun jauh mata dikuat-kuatkan untuk memastikan bahwa matanya tak salah dalam menentukan pilihan. Tapi tak jua ia dapat memutuskan, ke arah mana tujuan yang sebenarnya.
Perahu kecil, tidak lebih dari 14 meter panjangnya, tak banyak yang dapat dilakukan. Pantai asal berangkat sudah tidak jelas di mana letaknya, pesisir tujuan berlabuh masih bertudung kabut. Semua menjadi serba tidak menentu, semua serba gelap dan muram.

Cerpen Aboe Fadhil: Dosen Pun Perlu Bercermin

Keputusan tanpa kebijakan adalah diktator.

***

Matahari sepenggalahan naik. Seorang mahasiswa dengan langkah terburu-buru menuju ruang kuliah. Bagai mengejar alat transportasi yang akan berangkat, ia begitu takut ketinggalan pesawat. Tak peduli dengan belakang kemejanya yang basah oleh keringat, ia terus berlari seolah dikejar atau mengejar waktu. Yah, ia memang sedang berurusan dengan waktu. Sebuah kesempatan yang bisa saja membuatnya tertunda meraih gelar sarjana, jika ia tak sempat meraihnya.
Pintu kesempatan itu masih beberapa meter di depannya. Ia terus memacu kakinya, hingga jalan masuk itu sudah tampak di pelupuk matanya. Langkahnya mulai santai. Sambil mengatur napas yang masih ngos-ngosan, ia melirik arloji di tangan kanannya. Jarum jam menunjukkan pukul 10.14. Ia kembali terperangah dan menarik napas dalam-dalam. “Ah, sia-sia! Berarti hampir seperempat jam sudah aku terlambat. Dosennya pasti sudah masuk,” keluh batinnya. Harapannya semakin luruh bersama keringatnya.

Cerpen Aliman Syahrani: Mujahid-Mujahid Cinta

Dalam hati manusia, melepaskan kepergian seseorang memiliki arti tersendiri, ada sesuatu yang terasa runtuh, ada semacam rasa haru. Kehilangan, ditinggalkan, berpisah, atau bahkan penemuan diri, berbaur jadi satu. Dan, rasa nelangsa yang manusia itu mampu mengeliminasi kejantanan dan kelugasan sikap manusia yang telah dibentuk oleh kemajuan peradaban sekalipun. Anehnya lagi, perasaan itu tidak mengenal batas pemisah antara laki-laki dan perempuan, ras, suku, agama, bahkan antarbangsa.
Setidak-tidaknya hal itulah yang dirasakan Ayang saat ini, saat ia melepaskan keberangkatan Ipung yang pergi hendak berjihad ke Bumi Isra dan Mi’raj, Palestina.
Sebagai wanita yang mempunyai sifat lemah dan sensitif, Ayang tentu tidak bisa membendung rasa gebalau yang kini tengah menggerumiti perasaannya. Ayang tidak merasa malu dengan orang-orang dan sanak saudara serta teman-teman yang juga ikut mengantarkan keberangkatan Ipung. Ia pikir semua orang juga akan bersikap dan berperasaan seperti dirinya. Bagaimana tidak? Ditinggalkan oleh orang yang dicintai ke tempat yang jauh untuk mempertaruhkan nyawa demi membela agama Allah yang suci, tentu akan membekaskan sebentuk rasa gebalau yang saling tindih.

Cerpen Hajriansyah: Malam Kalang Hadangan

Seekor kerbau menyibak air dengan tubuhnya yang besar.  Ia meloncat, untuk kemudian berenang di rawa-rawa yang dangkal itu. Ia berjalan mengikuti intuisinya untuk segera pulang ke kandangnya menjelang senja yang redup.
Ia tampak seakan berjalan melintasi air. Dan aku, dari gubuk gembala yang kering, memandang mata hitamnya yang bulat mengkilat dari jauh. Ia melenguh panjang memanggil keluarganya, mungkin anak-anaknya atau pasangannya—entah ia jantan atau betina.
Di atas kalang yang disusun dari balok-balok ulin yang kokoh, tempat belasan kerbau yang besar bermalam dalam keluarganya, aku dan temanku—yang terus menguntit kerbau di sana dengan kameranya, mencari angle yang baik untuk memotret—menunggu. Menunggu bagaimana kerbau itu naik dari rawa ke kalangnya dan berkumpul bersama kawanannya, atau keluarganya. Ini eksotik bagi kami yang terbiasa melihat kerbau hanya digembalakan dan dikandangkan di daratan saja. Sementara di sisi kami, si ibu gembala menyiangi ikan-ikan sepat yang akan segera diasinkannya.

Cerpen Harie Insani Putra: Jempol Kaki Ibu Ada di Televisi

Aku sudah tidak sabar menyelinap masuk ke dalam  kamar Ibu. Seperti malam ini, kuperhatikan Ibu sudah mulai mendengkur. Setelah menutup kembali pintu kamar, aku memandangi wajahnya sejenak. Wajah Ibu seperti pelabuhan tua yang sudah mulai ditinggalkan. Yang ada hanya sunyi. Tak ada lagi kapal yang merapat dan mengaitkan tali ke dermaga. Tadi, sebelum aku menyelinap ke kamar Ibu, di meja makan, wajahnya murung. Awalnya aku biasa saja, mungkin Ibu sedang letih. Tapi kemudian Ibu menangis. Menggunakan handuk kecil Ibu mengusap derai-derai di matanya. Saat kutanyakan sebab tangisnya itu, Ibu hanya tersenyum. Ia langsung pergi ke kamar.
Aneh. Biasanya Ibu sering bercerita kepadaku, tentang apa saja, bahkan soal burung yang bersarang di pohon jambu belakang rumah. Saat itu Ibu melihatku sedang mengumpulkan dedaunan kering di bawah pohon jambu. Saat aku mulai ingin membakarnya, Ibu segera mencegahku.
“Kasihan bayi burung yang ada di atas sana, Ratih. Mereka akan merasakan panas akibat daun-daun yang kau bakar,” kata Ibu menunjuk ke atas pohon.

Cerpen A. Setia Budhi: Bawin Balian

Penduduk kampung Batu Bua gempar. Tersiar kabar ratusan karyawan perkebunan kelapa menemui ajalnya. Kematian karyawan perkebunan milik orang asing itu tidak meninggalkan bekas apa-apa. Tidak ada luka dan tidak pula terdapat tanda-tanda pengeroyokan atau perkelahian sesama karyawan.
Kegemparan itu sampai juga ke telinga Ulaq Bawi, Kepala Adat di Kampung Batu Bua.  Orang-orang di sudut kampung itu menyebut Ulaq Bawi sebagai Balian, sebab hanya dialah satu dari perempuan Dayak yang mengerti dan faham upacara Balian.

Cerpen Zian Armie Wahyufi: Ketika Besar Nanti Aku Ingin Seperti Ayah

Orangtuaku adalah orang yang terhormat di kampung, Ayah seorang kepala desa, dan Ibu memiliki kios di depan rumah. Orang-orang sering mendatangi Ayah untuk membicarakan sesuatu. Sering kulihat mereka selalu pulang dengan memberikan uang pada Ayah sebagai tanda terimakasih. Kios kami, yang dijaga oleh Ibu, tak pernah sepi dari pembeli, karena letaknya tepat di pinggir jalan raya. Paling tidak, orang singgah untuk mengisi bensin.
Di belakang rumah kami membentang sebuah sungai, entah di mana ujungnya. Sungai itu tidak terlalu besar, tapi orangtuaku selalu melarangku berenang. Kata mereka, di sana ada buaya. Aku pun tak bisa berenang saat masih kecil. Orangtuaku juga tidak pernah mengizinkan aku main sepak bola. Kata mereka, itu akan membuatku sakit. Tapi yang lebih membuatku jengkel adalah aku tidak pernah dibelikan mainan. Mereka selalu beralasan tidak punya uang. Maka mainan yang aku punya hanyalah sebuah radio rusak yang kutemukan di gudang serta bola kasti yang hanyut di sungai dan tersangkut di antara rerumputan.