Tampilkan postingan dengan label Hajriansyah. Tampilkan semua postingan

Cerpen Hajriansyah: Lamut

Cerpen Hajriansyah: Lamut


Azan subuh menggema. Sebeh sudah menyelesaikan pekerjaannya, sudah merapikan semuanya. Tarbang sudah dibungkus kain hitam. Segala penganan dari yang 41 macam itu sudah dihabiskan. Dibagikan. Dan, anak kecil dengan perut kembung di kamar itu sudah dimandikan. Sebeh bersiap pulang. Tuan rumah menghampirinya, berterimakasih sekalian menyelipkan sesuatu di tangannya ketika bersalaman. Amplop kumal itu segera dimasukkannya ke saku teluk belanganya, dan ia pamit pulang.

Cerpen Hajriansyah: Telimpuh

Pulang dari pasar Ramin mendapati rumahnya sepi. Padahal sering, ucapan salam atau bunyi derit pintu saja sudah membuat kedua anaknya yang masih kecil itu berlarian menyongsongnya. O, barangkali isterinya sedang di rumah tetangga bersama anak-anak.
Ia mengucap salam di hadapan pintu yang terbuka separuh itu. Ratih, istri Duan, keluar menyongsong, dan tahu maksud Ramin sebagaimana biasanya mencari istrinya, langsung mengatakan Isah dan anak-anak tidak sedang di sana.
Kembali lagi ke rumah dan langsung menuju dapurnya, Ramin mengambil gelas dan sebotol air putih di samping kompor gas. Biarlah, pikirnya, mungkin Isah sedang ke pasar sejumput di pinggir sungai membawa anak-anak. Isi dapurnya kosong, kecuali nasi setengah isi panci. Dan sepotong ikan peda, yang bagian ditelungkupkannya tinggal tulang, sementara bagian atasnya masih utuh.
Setelah meneguk tandas segelas air putih, Ramin kembali ke kamarnya. Lalu, dengan sarung sepusat dan handuk menggelantung di pundaknya, ia membuka pintu belakang, menuju pintu WC barisan rumah bedakan yang setengah terbuka itu. Sehabis mandi terasa badan kembali segar. Setiap tetes air dari rambut yang tak kering jatuh ke pundak, terasa seperti ingatan Ramin meloncat-loncat kembali, tentang peristiwa setengah harian di pasar tadi.

***

Cerpen Hajriansyah: Kalau Kau Memandang dengan Mata Terpejam



Birin mengucek matanya yang merah darah. Semakin dikuceknya semakin perih. Jari-jarinya basah. Agak samar ia melihatnya berwarna darah. Sementara pecahan kaca semakin menempel, perih makin parah. Ibunya yang melihatnya terpekik. Hening sesaat, lalu ia berteriak, “Usuuup!” Rumah lanting berayun, tanda seseorang menjejak dengan kaki yang tergesa. Pamannya itu bereaksi cepat, ia tangkap tangan Birin yang masih mengucek, digendongnya anak kecil itu dan berlari membawanya ke mantri terdekat. Ibunya rebah di atas kaki bertelimpuh, hilang tenaga. Ibu-ibu tetangga datang menghiburnya.
Peristiwa hilangnya penglihatan Birin itu terjadi saat umurnya belum genap lima tahun. Menjelang usia sekolah. Kini ia telah memasuki usia remaja, waktu sepuluh tahun berlalu seperti air sungai mengalir menuju muara. Kadang terasa kadang tidak. Birin menjalaninya dengan tabah. Tapi tidak bagi ibunya. Orangtua yang malang itu sering menangis di malam hari. Suaranya samar-samar ditangkap telinga adiknya, Usup, yang tidur berbatas dinding tripleks kusam. “Ya Tuhan, ambillah mataku ini, penglihatanku ini, dan berikan untuk anakku….”

Cerpen Hajriansyah: Menjemput Seno

Hari ini aku bangun lebih dini. Kupandang keluar lewat kisi-kisi di atas jendela, langit masih gelap. Kupasang telinga belum kedengaran suara orang mengaji, atau tarhim yang menandai akan subuh. Aku bangun segera karena pagi ini ada janji menemani Bu Nunung menjemput Seno.
Kira-kira sebulan sebelum ini,

Cerpen Hajriansyah: Monologila

Ya, bisa saja kau datang dengan tangan mengepal, tapi aku sudah lupa dengan masa lalu. Kenangan di kepalaku seperti jarum di tumpukan jerami. Terlalu absurd! Kenangan hanyalah bayangan dari mana aku akan berjalan ke depan. Sebuah lubang telah kulalui tadi, dan aku telah melupakannya. Jadi sekali lagi, kutegaskan tak perlu kau kepalkan tangan dengan membawa cerita masa lalu. Kalau kau ingin berbincang, mari bicara tentang hari ini saja. Apa yang kau bawa? Sebuah pikiran? Kulihat seperti ada beban di kepalamu, tapi bukan yang tentang masa lalu itu. Ya, tampaknya memang ada beban, mari bicarakan kalau kau mau. Ya, aku bisa mendengarkan. Apa? Ya?
Ya..ya, ya aku bisa merasakan keraguanmu. Aku pernah merasakan hal yang sama. Seringkali kita memang tak bisa menghindar dari realitas yang menusuk. Kita selalu terbiasa membayangkan kehidupan yang mudah. Kehidupan yang indah yang dapat kita kejar. Kita memang kadang bisa juga membayangkan hal terburuk dalam rencana-rencana hidup kita, tapi kita tak pernah benar-benar siap menghadapi hal-hal yang buruk. Tapi sejauh ini, apa yang sudah kau lakukan untuk mengantisipasi rasa sakitmu. Berobat? Dengan cara bagaimana? Kau pergi ke orang pintar? Apakah kau benar-benar yakin bahwa orang yang kau datangi itu lebih pintar darimu? Lebih tahu masalah hidupmu daripada dirimu sendiri? Kau tak tahu! Lalu mengapa kau datang kepadanya? Karena temanmu! Karena kau tak tahan dengan nasihat temanmu. Dan kau ingin meyakinkan bahwa ia bisa saja salah; makanya kau mencobanya. Tapi bagaimana kemudian? Kau tak merasakan apa-apa. Kau tak merasa menemukan kesembuhan atas rasa sakitmu.
Oke..! bolehkah aku bercerita sedikit untukmu, ya..hitung-hitung sebagai bahan perbandinganlah. Boleh? Oke, begini ceritanya.

***

Cerpen Hajriansyah: Seseorang Pergi Jauh

Seseorang pergi jauh, melampaui kecemasannya akan waktu. Ia yang selama ini lebih dikenal sebagai Udin yang pegawai rendahan biasa pada sebuah perusahaan ekspor-impor di Kalimantan, telah mengakhiri masa-masa kebimbangannya akan bagaimana masa depannya kelak.
Udin memang sudah berkeluarga, dan ia telah memiliki dua orang permata hatinya; seorang putri yang manis seumur sebelas tahun, dan seorang putra yang sedang lincah-lincahnya—berumur lima tahun. Dan keluarganya baik-baik saja sejauh ini, tak ada masalah yang berarti yang membuatnya harus makan hati. Istrinya seorang wanita yang setia dan penurut; anak-anaknya pun begitu, tak pernah benar-benar membantahnya. Rumah mereka sederhana, namun sangat layak untuk ditempati. Di rumah itu ada televisi 21 inc, sebuah kulkas satu pintu keluaran setahun yang lalu, dapur selengkapnya dengan sebuah kompor gas dan magic jar produksi Taiwan, dan lain-lain, yang tidak menampakkan satu kekurangan pun meski dibayar secara kredit dan dikumpulkan satu-satu.
Hampir tak ada satu kekurangan pun yang berarti. Semuanya telah tercukupi, meski seadanya—sesederhananya. Pekerjaan Udin juga tak ada yang bernilai minus, di mata bosnya ia standar saja. Gajinya meski selalu dipotong, untuk menutup barang-barang kreditan rumah tangganya, selalu dibayar tepat waktu setiap bulannya, dan itu masih cukup untuk keperluan harian keluarganya. Selengkapnya tak ada yang kurang pada diri Udin.

Cerpen Hajriansyah: Suatu Hari Menari

Melihat gadis-gadis itu menari, memandang kecantikan paras muda mereka yang besinaran membuatku seperti menari dalam imaji yang keputihan. Suara musik yang menyayat-nyayat dan suara penyanyinya yang terseok-seok ditingkahi keriangan yang meriah.
Yulalin..yulan-yulalin.
Mereka menari sembari tertawa.
Goyangan badan mereka, alunan tangan gemulai, dan gerakan kaki ritmis seperti membawa angin yang menepuk-nepuk pundakku.
Dari cermin depan wajahku kupandang mereka lewat belakang pundakku. Ruangan yang penuh cermin ini mencembungkan gerak mereka. Udara yang berputar di atas mereka memenuhi ruangan, bahkan asap rokokku turut berputar-putar. Terbayang dalam imajiku putaran para darvisi pengikut Rumi; memuncak..terus memuncak.
Degedang, degeduk
Degedang, degeduk
Duk..duk..duk…
Duk..duk..duk..duk.
(suara musik terus memuncak)

***

Cerpen Hajriansyah: Engkau Tak Peduli Lagi

Engkau ingin insaf dari kebodohan selama ini. Dan engkau mengungkapkannya padaku dengan mata yang nampak menertawakan diri sendiri.
Aku bertanya padamu, “Insaf bagaimana? Insaf dari apa? Memang sekarang belum insaf, ya?”
Kau hanya tersenyum. Aku sedikit bingung, tapi kubiarkan saja.
“Kamu baik.” Katamu padaku. Dan tentu saja aku makin ingin bertanya.
“Baik bagaimana?”
“Ya, baiklah!”
Entahlah!
Sebenarnya aku sudah pernah menyaksikan—atau mendengarkan—yang seperti ini, tapi engkau, yang sekarang berada di depanku ini, lebih ceria dan punya hidup, meski aku sendiri tak begitu mengerti apa itu hidup, tapi aku merasa kau punya hidup—dan itulah yang membuatku ingin hidup bersamamu, jika kau mau.

Cerpen Hajriansyah: Di Panggung Seniman Tua


Seorang seniman tua duduk di kursi sana. Di sebuah panggung. Matanya berlinangan. Ia memendam kebanggaan di basah kedua matanya. Panggung begitu mewah baginya malam ini. Sudah lama tak seperti ini, pikirnya, sejak pertama kali menaiki panggung semasih mudanya.
Malam itu banyak sekali pejabat yang datang, membawa puja-puji penuh keharuan. Orang datang begitu banyak, dan gedung kesenian itu bergemuruh. Bergemuruh sampai terang segala pendengarannya. Lampu-lampu bersinaran terang sekali, menyorot kedua matanya yang basah dan sembab.
Duduk di barisan kursi depan penonton, gubernur dan wakil gubernur bersama jajarannya, juga walikota dan beberapa pejabat lainnya. Di baris kedua ada orang-orang kaya, pengusaha, dan orang-orang terhormat lainnya. Di belakang mereka semua masyarakat dari berbagai kalangan; mahasiswa, pelajar, orang kampung, orang pinggiran dan seniman. Mereka begitu antusias semuanya, padahal tempat itu—hari itu—hanyalah tempat sederhana dengan fasilitas sederhana, terutama untuk para petinggi dan orang-orang kaya, yang memungkinkan mereka berkumpul jadi satu dalam irama yang kadang syahdu dan banyak kali penuh keriangan.

Cerpen Hajriansyah: Lelaki Pemburu Petir


Cerita ini bermula dari sebuah catatan dari seorang sarjana yang datang dari kota ke kampung kami. Kami paham, bahwa petir memang demikian indah. Di ujung kampung, di tebing sungai di bawah pohon rambai yang menjuntai indah, kami permaklumkan sebagai kubur Datu Petir; seorang yang bijaksana yang pernah mengajari kami tentang potensi kebaikan pada diri manusia.
Lelaki itu melangkah pergi ketika hari itu hujan deras mengguyur tanah perkampungan berawa-rawa. Di sebuah tikungan ia membelok, dan ia berdiri di atas jembatan menghadap ke sungai. Sungai kecoklatan warnanya. Hujan menubi-nubi ke lumpur di bawahnya. Lumpur-lumpur bercampur air, mewarnai sungai yang dingin. Sebuah petir berlarian di ujung langit sana. Cahayanya serupa akar menjalar yang membayang dalam lompatan yang sangat cepat. Gdublaar! Duarr! Daarr!
Ia memandang berpicing mata. Ia mencari di mana titik lenyap runcing petir berakhir. Ia menerjunkan dirinya ke sungai. Ia berenang seperti kesetanan—seperti terbang—dan kemudian menyelam. Lama ia menghilang di kedalaman. Tak terlihat bayangan. Setiba-tiba ia membuncah serupa gelombang, seperti meloncat dari air, dan.. duaarr!

Cerpen Hajriansyah: Ayah

Jika kau datang dari Surabaya seperti biasa, maka aku akan menjemputmu di bandara dengan riang. Kuingat engkau datang dengan koper berwarna cokelat, atau kadang juga yang berwarna hitam—kotak dengan sudut-sudut yang lembut. Koper itu, dengan angka-angka kecil seperti roda yang diputar, utak-atik, untuk membuka kode pembukanya—aku senang memainkannya waktu itu.
Aku dan Hasan akan masuk ke ruang tunggu dan melihatmu, dari kaca, keluar dari pintu pesawat dan menuruni tangga. Lalu kau berjalan, dan ketika kau menatap kami, maka kau akan tersenyum dan kami dengan keriangan khas anak-anak menyambutmu di pintu kedatangan. Setiap dua bulan sekali selalu seperti itu, dulu.

Cerpen Hajriansyah: Ada Buaya di Keluasan Sana!

Tulis saja! Tulis saja, katanya, sehingga aku kelimpungan juga mengadapi tuntutan yang semena-mena ini. Aku ingin berhenti sebentar saja, sekiranya aku dapat mengirup udara, menenangkan batinku atas hujatan pikiran yang terus berlari. Aku ingin sebentar saja mengungsi ke ruang yang lebih luas. Tapi waktu terus berlari, dan ruang memang sempit, kata pikiranku lagi. Lalu bagaimana aku dapat menulis, jika semuanya menjadi klise, terus diulang-ulang, sehingga aku tak lagi dapat menemukan kata yang tepat untuk diriku; untuk tempat yang lebih tinggi, yang lebih luas bagi diriku.
Lalu aku pergi ke teluk sunyi, entah di mana dan apa namanya. Di sana, di pinggir sungai yang luas aku memandang sunyi. Suasana yang damai. Di sampingku sebuah pohon besar. Akar-akar juntainya melambai menyentuh sungai. Aku berdiri memandang entah ke mana, akupun tak tahu. Di seberangku sebuah pulau. Keluasannya tampak hijau. Di atasnya payung awan tebal. Tampak damai di sana. Silir angin menyentuh tengkukku. Aku merinding. Aku dan kesunyian, dan di kepalaku tumbuh bayang-bayang. Ada buaya sebesar kuda, ia merangkak dari tebing menuju sungai. Sejenak ia berhenti, tampaknya ia menyadari keberadaanku, lalu berpaling ke arahku. Matanya ganas menatapku, seakan aku mangsa bagi rasa laparnya yang menahun. Tiba-tiba ia berlari ke arahku. Aku yang gugup tak dapat mengendalikan tubuhku, setiba-tiba saja aku meloncat ke sungai. Ah, tololnya aku!

Cerpen Hajriansyah: Di Rumah Pak Kasman

Seorang prian nampak gigih di usianya yang tak lagi muda. Rambutnya yang putih sewarna janggutnya yang sedada. Ia asyik memandang patung di depannya. Berdiri, di tangannya tatah batu dan palu. Dadanya sesak, punggungnya tegak. Sementara di sanggarnya yang tak terlalu besar itu rupa-rupa patung tak selesai, tak satu-dua jumlahnya. Dan di dalam, wayang aneka rupa masih tak berwarna, terpajang, terjepit, di sisi dalam gedek dan kayu yang mendinding pesanggrahannya. Ia tak terganggu dengan kedatangan anak muda, yang seorang sewarna dengan warna tanah liat dari kepala sampai ujung kakinya, yang lain rambut sebahunya digelung sembarang dengan karet serupa di tangannya; matanya masih nanar pada torso yang belum lagi selesai, di meja kerja di depannya.

Cerpen Hajriansyah: Kisah-Kisah Tukang Urut

Pagi ini aku memanggil Amang Masri ke rumah, karena Ewin sejak malam tadi tak membalas smsku. Badanku lelah, batuk menyerang tak sembuh-sembuh, dan sudah dua hari aku susah tidur. Sudah lama juga aku tak memanggilnya ke rumah, karena aku sudah terbiasa dengan mudah memanggil Ewin. Tak berselang lama biasanya, cukup dengan sms, Ewin akan datang ke rumah. Dulu sebelum memiliki sepeda motor ia rela naik ojek, kini tentu lebih cepat lagi. Tapi entah, sms terakhirku tak dibalasnya. Sebagai gantinya, aku memanggil tukung urut lamaku—Amang Masri—itu ke rumah, dan kebetulan ia belum ada panggilan lain.
Pijatan keduanya berbeda, Ewin lebih lama dan biasanya itu di bagian betis. Entah kenapa ia suka berlama-lama di bagian itu, tapi memang setahuku di sanalah urat-urat bersilangan dan mudah sekali lintasan-lintasannya menjadi kacau—apalagi jika mengingat bahwa aku sering merasakan kepenatan yang sangat di sana. Aku lupa, apakah aku pernah menanyai Ewin kenapa ia suka berlama-lama mengurut di bagian itu, tapi andai pernah tentu ia akan menjawab seperti ini: banyak urat yang menumpuk di sini, begitu juga batu angin yang berkelindan di antara jaringan otot dan urat itu, dan jangan lupa di sinilah ulun banyak menemui sepilin rambut yang “mengganggu”. Ya, Ewin sangat enteng mengungkapkan “yang mengganggu” itu. Baginya, jalinan kegaiban dan yang nyata itu seterang kepang rambut anaknya. Berpilin tipis di tangan istrinya.

Cerpen Hajriansyah: Malam Kalang Hadangan

Seekor kerbau menyibak air dengan tubuhnya yang besar.  Ia meloncat, untuk kemudian berenang di rawa-rawa yang dangkal itu. Ia berjalan mengikuti intuisinya untuk segera pulang ke kandangnya menjelang senja yang redup.
Ia tampak seakan berjalan melintasi air. Dan aku, dari gubuk gembala yang kering, memandang mata hitamnya yang bulat mengkilat dari jauh. Ia melenguh panjang memanggil keluarganya, mungkin anak-anaknya atau pasangannya—entah ia jantan atau betina.
Di atas kalang yang disusun dari balok-balok ulin yang kokoh, tempat belasan kerbau yang besar bermalam dalam keluarganya, aku dan temanku—yang terus menguntit kerbau di sana dengan kameranya, mencari angle yang baik untuk memotret—menunggu. Menunggu bagaimana kerbau itu naik dari rawa ke kalangnya dan berkumpul bersama kawanannya, atau keluarganya. Ini eksotik bagi kami yang terbiasa melihat kerbau hanya digembalakan dan dikandangkan di daratan saja. Sementara di sisi kami, si ibu gembala menyiangi ikan-ikan sepat yang akan segera diasinkannya.