Esai Jamal T. Suryanata: Puisi Banjar Modern: Spirit Kebebasan dalam Keterbatasan

08.25 Zian 0 Comments

/ 1 /
SEBAGAI salah satu genre sastra Banjar, puisi Banjar modern tentu saja juga harus tunduk patuh pada konvensi sastra daerah. Maka, jika kita mengenakan bahasa sebagai kriteria utama kedaerahannya, karya-karya puisi Banjar modern pun sudah tentu harus diungkapkan dalam bahasa (daerah) Banjar. Parameter sastra daerah yang didasarkan pada aspek bahasanya ini jelas di luar diskusi soal isi, pesan moral, atau nilai-nilai sosial-budaya yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, dalam pembicaraan selanjutnya tentunya akan lebih banyak bersentuhan dengan perkara bahasa yang menjadi mediumnya. Namun begitu, sepanjang tetap bertautan dengan masalah kebahasaan, beberapa aspek estetis lainnya juga penting untuk dibicarakan.
Kalau secara historis kita bandingkan dengan perkembangan puisi Indonesia modern yang sudah muncul sejak akhir abad ke-19, maka perkembangan puisi Banjar modern memang jauh tertinggal. Tradisi penulisan puisi Banjar modern baru dimulai sejak kira-kira akhir dekade 40-an melewat, antara lain ditandai dengan penulisan puisi bertajuk ”Rindang Banua” oleh Hassan Basry yang pernah dibacakannya di hadapan Artum Artha pada bulan Agustus 1949 dalam pertemuan singkat mereka di Desa Tabihi, Kecamatan Padang Batung, Hulu Sungai Selatan.[1] Namun demikian, hanya dengan menyandarkan argumen pada satu puisi yang secara estetis masih sangat dipengaruhi konvensi sastra tradisional (pantun) tersebut sesungguhnya tidaklah memadai untuk menyimpulkan bahwa tradisi penulisan puisi Banjar modern sudah dimulai sejak akhir dekade 40-an. Sebab, kecuali puisi karya Hassan Basry tersebut, hingga penghujung dekade 60-an tidak ada data autentik yang bisa dijadikan pegangan.

Atas dasar itulah, maka pembicaraan tentang puisi Banjar modern ini terutama bertitik tolak dari karya-karya yang lahir sejak dekade 70-an hingga sekarang. Hal ini karena tradisi penulisan puisi Banjar modern agaknya baru mulai terlihat geliatnya setelah memasuki tahun 1970-an. Namun demikian, lantaran kurang lengkapnya dokumentasi yang saya miliki, pada akhirnya risalah singkat ini lebih banyak mengemukakan karya-karya puisi Banjar terkini yang lahir dalam tahun 2000-an karena pada masa inilah puisi Banjar modern tampak memperlihatkan perkembangan yang cukup signifikan, terutama dari segi kuantitasnya. Semakin maraknya penulisan puisi Banjar modern dalam tahun 2000-an ini agaknya dapat kita maklumi karena memang didukung oleh kemajuan teknologi percetakan dan penerbitan yang sangat memudahkan para penulis untuk menerbitkan buku-buku mereka secara swakelola (self-publishing), terutama dengan memanfaatkan jasa penerbit indie. Namun demikian, karya-karya puisi Banjar modern yang lahir beberapa tahun sebelumnya, khususnya dari tahun 1990-an, bukannya diabaikan sama sekali. Karya-karya tersebut tetap dipandang penting kehadirannya, terutama sebagai bahan bandingan.

/ 2 /
Di sepanjang abad ke-20 silam, satu-satunya kumpulan puisi berbahasa Banjar yang berhasil diterbitkan dalam bentuk buku yang representatif hanyalah buku bertajuk Unggunan Puisi Banjar karya Artum Artha (1982).[2] Kalaupun dalam rentang waktu 1980-an ini masih ada antologi puisi Banjar modern lainnya, menurut dugaan saya, paling banter hanya dibukukan dalam bentuk yang sangat sederhana (misalnya berupa naskah asli yang dikumpulkan, dijilid rapi, lalu digandakan dan dibagikan secara terbatas —bisa pula digandakan dalam bentuk stensilan). Sajak-sajak Banjar modern yang lahir dalam dekade 80-an ini terutama dilandasi oleh semangat ”sastra dalam rangka” karena para penulisnya merasa terdorong untuk mengikuti kegiatan lomba cipta puisi bahasa Banjar yang beberapa kali dilaksanakan, antara lain oleh SKH Dinamika Berita (1986) dan Himpunan Sastrawan Indonesia Kalimantan Selatan (HIMSI Kalsel, 1988).[3]
Tidak jauh berbeda dengan era 80-an, begitulah pula kondisi perkembangan sastra Banjar modern yang terjadi sepanjang dekade 90-an. Di tahun-tahun 90-an ini, sejauh yang dapat saya lacak, malah tidak ada satu pun kumpulan puisi Banjar modern yang berhasil diterbitkan dalam wujud buku yang representatif sebagaimana karya Artum Artha yang telah disebutkan di atas. Namun begitu, kiranya masih patut kita syukuri karena di sepanjang tahun 1990-an ini tradisi penulisan puisi Banjar modern masih tetap berlanjut, meskipun (sebagaimana halnya dalam tahun 1980-an melewat) masih merepresentasikan gejala ”sastra dalam rangka” —sekali lagi, dalam arti bahwa karya-karya puisi Banjar modern itu ditulis oleh para penyairnya terutama dalam rangka mengikuti even lomba cipta puisi bahasa Banjar dan kegiatan lomba itu sendiri selalu dilaksanakan dalam rangka menyambut hari besar tertentu (misalnya Hari Jadi Kota Banjarmasin atau Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan).
Berdasarkan interpretasi atas data yang ada (berupa dua antologi puisi Banjar modern yang disusun sebagai materi lomba baca puisi bahasa Banjar), masing-masing bertajuk Tanah Banyu (Banjarmasin: HIMSI Kalsel, 1996) dan Banua 97 (HIMSI Kalsel, 1997), sepanjang dekade 90-an ini paling tidak telah digelar tiga kali lomba penulisan puisi bahasa Banjar (1990, 1994, 1997).[4] Tiga kali penyelenggaraan lomba cipta puisi bahasa Banjar ini sekurang-kurangnya telah melahirkan 50-an puisi yang ditulis oleh lebih dari 20 orang penyair. Sebagaimana tercatat dalam dua antologi puisi yang dijadikan materi lomba baca puisi bahasa Banjar tersebut (1996, 1997), mereka adalah Dewi Yuliani, Ali Syamsudin Arsi, Hardiansyah Asmail, Bihman Rio Pratama, Eza Thabry Husano, Ibramsyah Amandit, Panji Sutrisna, Satya Budhi, Fadlullah Najib, Murni Pratiwi, Ariffin Noor Hasby, Muslimi HI, M.S. Sailillah, Y.S. Agus Suseno, Ahmad Fahrawi, Ajamuddin Tifani, Bachtar Suryani, Lilis Martadiana MS, M. Yandi, Abdus Syukur MH, A. Kusairi, Ahmad Sholihin, Ahmad Rusman Sabirin, dan Rudi Karno. Perkiraan sekitar 50-an puisi tersebut dengan asumsi bahwa setiap penyair mungkin menulis lebih dari satu judul puisi. Selain itu, di luar sederet nama tersebut, saya yakin penyair-penyair seperti Hijaz Yamani, Syukrani Maswan, Burhanuddin Soebely, Noor Aini Cahya Khairani, Maman S. Tawie, Micky Hidayat, Iwan Yusi, dan beberapa nama lagi tentunya juga pernah menulis puisi berbahasa Banjar.
Jika di sepanjang abad ke-20 silam satu-satunya kumpulan puisi Banjar modern yang berhasil diterbitkan dalam bentuk buku yang representatif hanyalah buku puisi Artum Artha, maka setelah memasuki abad ke-21 ini ada sejumlah buku antologi puisi Banjar modern yang telah diterbitkan dengan bentuk tampilan (perwajahan) yang lebih apik dan artistik. Beberapa yang dapat disebutkan di sini di antaranya buku bertajuk Uma Bungas Banjarbaru (antologi puisi tunggal Hamamy Adaby, 2004), Baturai Sanja (antologi puisi bersama: Eza Thabry Husano, Hamami Adaby, dan Arsyad Indradi, 2004), Garunum (antologi puisi bersama: Hamami Adaby, Arsyad Indradi, Ersis Warmansyah Abbas, Rudy Resnawan, dan Dewa Pahuluan, 2006), Doa Banyu Mata (antologi puisi tunggal Abdurrahman El Husaini, 2011), dan Jukung Waktu (juga antologi puisi tunggal karya Abdurrahman El Husaini, 2012). Kian maraknya penulisan dan penerbitan buku kumpulan puisi Banjar modern dewasa ini tentunya merupakan suatu fenomena baru yang sangat menggembirakan. Akan tetapi, bagaimana dengan estetika dan bobot literernya sebagai karya sastra? Bagaimana pula jika kita lihat dari aspek bahasa dan warna lokalnya sebagai genre sastra Banjar?

/ 3 /
Sekali lagi, kian maraknya tradisi penulisan puisi Banjar modern dewasa ini merupakan suatu fenomena baru yang patut kita syukuri —dan, sebagai bagian dari masyarakat Banjar yang juga pembaca sastra Banjar, saya pun ikut berbangga karenanya. Akan tetapi, dampak kemajuan ilmu dan teknologi senantiasa menawarkan dua kemungkinan yang kontradiktif: positif dan negatif. Demikian pula dampak kemajuan teknologi percetakan dan penerbitan, ibarat pisau bermata dua: di satu sisi kehadirannya telah memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi para penulis untuk menerbitkan sendiri karya-karya mereka, tetapi pada sisi lain kemajuan ini telah memunculkan keraguan banyak orang terhadap kualitas literer karya-karya yang diterbitkan karena hampir semuanya menjadi urusan penulis pribadi alias tanpa melalui proses seleksi dari tim redaksi atau editor penerbit profesional. Dari kondisi semacam inilah karya-karya puisi Banjar terkini lahir dan disajikan ke hadapan kita.
Dalam perspektif yang ideal, dua unsur penting yang seyogianya melekat secara integral pada setiap karya sastra (berbahasa) daerah adalah penggunaan bahasa daerah dan warna lokal daerah masing-masing. Dengan demikian, di samping penggunaan bahasa Banjarnya yang relatif terjaga, setiap karya sastra Banjar idealnya juga harus bermuatan dan atau mencerminkan warna lokal Banjar. Hadirnya kedua unsur tersebut secara proporsional sangat menentukan bobot literer kesastraannya, khasnya ditinjau dari perspektif sastra daerah. Akan tetapi, membaca sejumlah puisi Banjar terkini seringkali membuat saya geleng-geleng kepala, antara rasa percaya dan tidak. Apakah ini benar-benar sastra Banjar? Apakah ini bukan sastra Indonesia yang sekadar dibahasa-banjarkan? Kalau begitu, apa bedanya dengan sastra Banjar terjemahan?[5]
Melihat banyaknya gejala pembanjaran bahasa Indonesia dalam khazanah sastra Banjar modern yang ada selama ini telah menggiring saya pada lima simpulan, sekalipun masih bersifat asumsi. Pertama, para penulis sastra Banjar terkini pada umumnya tidak memiliki pemahaman dan kemampuan linguistis yang memadai dalam menggunakan bahasa Banjar, lebih-lebih untuk ragam tulisan. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang tidak tahu pasti mana kosakata yang khas bahasa Banjar dan mana kosakata yang sesungguhnya hanya hasil adaptasi dari kosakata bahasa Indonesia. Kedua, para penulis sastra Banjar terkini pada umumnya juga tidak memiliki jiwa eksploratif yang andal, tidak mau bersusah payah, dan juga tidak mau berusaha sungguh-sungguh untuk menggali kekayaan bahasa Banjar sehingga bahasa yang digunakan cenderung tidak selektif. Ketiga, struktur bahasa Banjar memiliki banyak kesamaan dengan struktur bahasa Indonesia karena keduanya memang berakar dari rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Melayu. Sebagai konsekuensinya, dalam karya-karya sastra Banjar akan banyak kita temukan kosakata yang sama —setidaknya memiliki kemiripan— dengan kosakata bahasa Indonesia. Bahkan, kesamaan atau kemiripan itu bukan hanya terjadi pada tataran fonologinya, melainkan juga bisa terjadi pada tataran morfologi maupun sintaksisnya. Keempat, bahasa Banjar termasuk kelompok bahasa yang relatif miskin dalam hal perbendaharaan-katanya sehingga sulit bagi para penulis sastra Banjar untuk menghindar dari pemakaian leksikon bahasa Indonesia dalam karya-karya mereka, baik dengan cara mengadopsinya secara penuh maupun dengan cara membanjarkannya (baca: menyerapnya secara adaptatif). Kelima, perjalanan kreatif para penulis sastra Banjar modern pada umumnya bertolak dari tradisi penulisan sastra Indonesia dahulu sebelum sesekali menulis sastra Banjar. Akibatnya, ketika menulis sastra Banjar sedikit-banyak mereka masih terpengaruh oleh tradisi penulisan sastra Indonesia, baik dalam hal penggunaan bahasa maupun kerangka berpikirnya. Dengan begitu, bahasa Banjar terkesan sebagai bahasa kedua dalam tradisi penulisan mereka.
Keterbatasan para sastrawan-penyair Banjar modern dalam pemahaman kaidah maupun penguasaan teknis pemakaian bahasa Banjar, ditambah lagi dengan kurangnya daya eksploratif serta kemiskinan leksikon bahasa Banjar sendiri, agaknya merupakan alasan yang paling logis sebagai latar belakang munculnya sajak-sajak Banjar terkini yang lebih bernilai rasa Indonesia karena pemahaman dan pola pikir yang mendasarinya memang pemahaman dan pola pikir bahasa Indonesia. Sebagai konsekuensi selanjutnya, warna lokal Banjar yang sejatinya menjadi ciri khas sastra (daerah) Banjar pun akhirnya kurang mendapat sentuhan yang semestinya. Karya-karya semacam ini kebanyakan diwakili oleh sajak-sajak liris (lyrical poems), yaitu genre puisi yang terutama berisi curahan perasaan aku-lirik dan bersifat sangat personal-emosional. Sebagai contoh yang cukup representatif untuk lima gejala yang saya simpulkan di atas, mari kita cermati kutipan tiga bait dari tiga puisi karya tiga penyair berikut ini.
( 1 )
Padahakan saniman nangitu hidup sadarhana
tahan mangulum darita jadi kanikmatan
marangkai salawat diujung bibir kakasih
dunia ngini singgah satumat
balalu kita manamui Pancipta
( 2 )
Kakanakan nang basaragam putih biru wan
Putih habuk-habuk nangitu kakanakan sakulahan
Nang cagar mangganti pamimpin-pamimpin kita
Kena pada wayahnya sabagai panarus ganarasi
( 3 )
Zikir laut
Zikir angin
Zikir camar
Zikir galumbang
Jukung nalayan
Mangganggam mimpi
Ketiga kutipan di atas, secara runtut dapat disebutkan bahwa kutipan (1) adalah bait pembuka sajak bertajuk ”Saniman” karya Dewa Pahuluan, kutipan (2) berasal dari bait pertama puisi berjudul ”Taati Paraturan” karya Hamami Adaby, dan kutipan (3) diambil dari bait ketiga sajak ”Karungut Laut” karya Abdurrahman El Husaini. Jika ketiga kutipan tersebut kita cermati dari aspek bahasanya, hanya dengan membaca sekilas pun sebenarnya sudah tampak (baca: sangat terasa inguhnya bagi kita) bahwa kosakata maupun struktur bahasanya bertolak dari kosakata dan struktur bahasa Indonesia, setidaknya dengan ragam bahasa Indonesia yang dibanjar-banjarkan. Hal ini akan semakin jelas apabila larik-larik ketiga puisi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bahkan hanya dengan terjemahan harfiahnya. Entah karena faktor kedekatan kedua bahasa tersebut, baik dalam hal kosakata maupun struktur sintaksisnya, edisi Indonesianya pun tidak jauh berbeda. Sekadar contoh untuk bahan diskusi kita, berikut ini cukuplah kutipan (1) saja yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Katakan seniman itu hidup sederhanatahan mengulum derita jadi kenikmatanmerangkai salawat di ujung bibir kekasihdunia ini singgah sebentarlalu kita menemui Pencipta
Bandingkan dengan edisi bahasa Banjarnya pada kutipan (1) di atas, adakah perbedaan yang signifikan antara keduanya? Saya yakin, kita bisa bersepakat bahwa kosakata maupun struktur bahasa Banjarnya pada dasarnya masih setali tiga uang dengan versi Indonesianya. Saya juga meyakini, jika kutipan (2) dan kutipan (3) di atas diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia, tentu hasil terjemahannya pun tidak akan jauh berbeda dari edisi aslinya. Bahkan, bagi para penutur bahasa Indonesia yang berasal dari etnis non-Banjar sekalipun, untuk memahami enam larik pada kutipan (3) yang masing-masing larik hanya terdiri dari dua kata itu agaknya sudah tidak memerlukan versi terjemahan Indonesia lagi karena hampir seluruhnya sudah berbahasa Indonesia —kecuali kata jukung yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) pun sebenarnya sudah ada rujuk silangnya, yaitu dengan kata ”jongkong” (sampan; perahu). Sementara itu, kata-kata seperti galumbang, nalayan, dan mangganggam hanya merupakan bentuk pembanjaran dari kata ”gelombang”, ”nelayan”, dan ”menggenggam” dalam leksikon bahasa Indonesia sehingga dengan mudah dapat dipahami oleh siapa pun yang menguasai bahasa Indonesia. Namun, khusus untuk ketiga kata yang disebut terakhir ini agaknya kita dapat memakluminya, yakni sebagai konsekuensi logis dari faktor kesamaan atau kemiripan morfologis serta kemiskinan kosakata bahasa Banjar itu sendiri.
Akan tetapi, dalam kaitan ini, simpulan (asumsi) saya yang pertama dan kedua seperti yang telah dikemukakan di atas agaknya sangat beralasan. Jadi, di samping karena kurangnya pemahaman dan penguasaan bahasa Banjar di kalangan penyairnya, hal ini juga dilantarankan oleh kurang eksploratifnya mereka dalam menggali khazanah bahasa Banjar. Setidaknya, masih mengacu pada kutipan (3) di atas, fakta kekurangcermatan linguistis ini dapat dilihat dari penggunaan kata ”zikir” yang sebenarnya tidak ada dalam leksikon bahasa Banjar.[6] Padahal, jika sang penyair sedikit lebih jeli dan berusaha menjaga kecermatan berbahasa, tentu ia akan memilih kata dikir yang jelas-jelas sudah tersedia dalam leksikon bahasa Banjar (sebagai padanan kata ”zikir” dalam bahasa Indonesia). Saya yakin, kesalahkaprahan serupa tentunya juga banyak terdapat dalam karya-karya sastra Banjar modern lainnya, baik untuk genre puisi maupun fiksi —bahkan juga dalam karya drama (sayangnya, hingga saat ini belum saya temukan satu naskah pun sebagai bahan rujukan untuk pembuktiannya).
Kasus-kasus seperti di atas bukan hanya menguatkan simpulan saya yang pertama dan kedua, melainkan juga menjadi penanda kebenaran asumsi saya yang kelima; bahwa perjalanan kreatif para penulis sastra Banjar modern pada umumnya memang bertolak dari tradisi penulisan sastra Indonesia dahulu sebelum mereka sesekali menulis sastra Banjar. Sebab, sejauh yang saya ketahui, tidak ada seorang penulis sastra Banjar modern pun yang pada masa-masa awal kepengarangannya langsung menekuni penulisan sastra Banjar sebelum mereka menulis dalam bahasa Indonesia. Atas dasar itulah, lalu saya menjadi ragu ketika Abdurrahman El Husaini menyebutkan titimangsa penulisan sajaknya yang bertajuk ”Doa Banyu Mata” (yang sekaligus menjadi judul kumpulan puisi pertamanya dalam bahasa Banjar) dengan angka tahun 1979.[7] Dalam hal ini, menjadi pertanyaan kita kemudian, benarkah ia sudah menulis puisi dalam bahasa Banjar pada usia 14 tahun? Kalau ”pengakuan” penyair kelahiran Puruk Cahu, Kalimantan Tengah (1 Januari 1965) ini benar, sungguh ia seorang penyair yang memiliki bakat linguistis luar biasa.
Padahal, pun sejauh yang saya ketahui, para pengarang lokal (Kalimantan Selatan) yang sudah mulai menulis puisi Banjar modern dalam era 1970-an itu pada umumnya adalah mereka yang (paling tidak) seusia dengan mendiang Artum Artha atau beberapa tahun lebih muda. Bahkan, saya menduga bahwa para pengarang senior semisal Hamami Adaby, Eza Thabry Husano, Arsyad Indradi, dan Dewa Pahuluan sangat mungkin baru mulai menulis sastra Banjar sejak tahun 1990-an atau malah baru memulainya dalam tahun 2000-an. Sebab, pada kenyataannya, karya-karya mereka (puisi maupun fiksi dalam bahasa Banjar) tidak terlihat ada yang dipulikasikan dan atau diterbitkan sebelum memasuki alaf ketiga (abad ke-21) sekarang ini. Sayangnya, dilantarankan oleh ketiadaan dokumen autentiknya, pada akhirnya pengakuan para penulislah yang lebih banyak berbicara —kendati, tentu saja, kebenarannya masih perlu dipertanyakan. Sebab, bukan sesuatu yang aneh bagi saya jika seorang penyair merasa perlu melakukan ”rekayasa genetika” sekadar ingin ”menua-nuakan” atau memberi kesan bahwa jam terbang kepenyairannya sudah panjang.

/ 4 /
Kecuali dilihat dari aspek bahasanya, sebagaimana telah dikemukakan di atas, unsur terpenting lainnya yang dapat mencirikan kekhasan suatu karya sastra Banjar sebagai khazanah sastra daerah adalah muatan warna lokalnya. Dengan demikian, sekali lagi, setiap karya puisi (sastra) Banjar seyogianya berisi dan atau mengungkapkan beragam unsur sosiokultural masyarakat Banjar sendiri —entah yang terungkap secara eksplisit maupun hanya bersifat implisit. Warna lokal tersebut antara lain dapat dilihat dari segi pilihan tema, amanat, tokoh dan latar (khususnya untuk sajak-sajak naratif), maupun diksi yang digunakan.
Jika kita cermati, sebagaimana juga terjadi pada sastra Indonesia maupun tradisi sastra modern lainnya, tema-tema yang diangkat dalam khazanah puisi Banjar modern agaknya cukup beragam. Bahkan, dalam karya-karya puisi Banjar terkini, faset tematisnya tampaknya lebih kompleks lagi. Fenomena ini tentu ada hubung-kaitnya dengan perkembangan sastra Banjar yang semakin maju dewasa ini, terutama karena persentuhannya yang kian intens dengan tradisi sastra Barat melalui sastra Indonesia modern. Persoalan cinta, persahabatan, religiusitas, keraguan, ketakberdayaan, masalah ekonomi, kehidupan keluarga, perkembangan iptek, pujian terhadap alam, kepedulian terhadap lingkungan, atau pergeseran nilai-nilai sosial-budaya merupakan beberapa faset tematis yang ada.
Akan tetapi, kecuali untuk beberapa puisi tertentu yang terdapat dalam sejumlah antologi puisi Banjar terkini yang lahir dalam tahun 2000-an sebagaimana telah disebutkan terdahulu, tema-tema maupun unsur estetika sastranya yang lain tampaknya tidak secara khas mencerminkan warna lokal Banjar. Hal ini sangat berbeda dengan sejumlah karya puisi yang lahir dalam dekade 80-an 90-an lantaran sajak-sajak yang pada umumnya pernah dijadikan materi lomba baca puisi bahasa Banjar tersebut sebagian di antaranya memang karya-karya selektif, yaitu sebagai karya pemenang atau setidak-tidaknya merupakan nominasi dalam beberapa kali ajang lomba penulisan. Dengan kata lain, sajak-sajak tersebut telah dinilai dan dipilih oleh tim juri yang umumnya terdiri dari orang-orang yang dipandang berkompeten di bidangnya (baca: bidang penulisan puisi bahasa Banjar), bukan atas dasar penilaian pribadi penyairnya. Sekadar bahan bandingan, mari kita cermati nukilan dua bait pembuka sajak bertajuk ”Mamang Sasangga Banua” karya Hardiansyah Asmail berikut ini.
iiiii lahhhh ...
anggaririk ...
Nang turun di gantang amas
nang turun di gantang kaca
nang umpat babunyi di garincing hiyang
ayu lakasi turunan habarakan ka nining diwata
sabab banua bakal digarit ulih urang nang kada tahu
diadat kada tahu dibasa
iiiii lahhhh ...
anggaririk ...
Cagatakan sampai ka langit
tirusakan sampai bumbunan
habarakan wan datung ayuh
wan panunggu jingah panunggu kariwaya
panunggu rakun kadap panunggu rawa-rawa
sabab ada urang nang handak batabang
batabang kayu baputik sarang burung bajumput batu harang
Meminjam konsep I.A. Richard, jelas sekali nukilan puisi di atas sangat berbeda baik dilihat dari aspek ”hakikat puisi” (the nature of poetry) maupun ”metode puisi” (the method of poetry)-nya jika dibandingkan dengan kebanyakan karya puisi Banjar terkini. Misalkan sama-sama menggarap tema tentang kepedulian terhadap lingkungan alam, tetapi sajak Hardiansyah Asmail tersebut sangat terasa warna lokalnya yang segera menggiring pikiran dan imajinasi pembaca pada nilai-nilai sosiokultural masyarakat Dayak Meratus. Diksi-diksi dan metafor-metafor yang digunakan pun tampak sangat mendukung lokalitas yang hendak didedahkannya. Kecenderungan serupa, tetapi dengan latar sosial-budaya yang berbeda, juga sangat terasa dalam kutipan puisi karya Dewi Yuliani yang saya kutipkan seutuhnya di bawah ini.
HARAGUAKAN BANUA NINI KAI
Kacipakan pinang nini
sidin sudah kada tapi hawas lagi
sidin kalu nang rancak mamadahi
pacucuan-pacucuan nang haratannya sakulah
sampai nang sudah balaki babini
papadah urang bahari jangan sampai kada dituruti
nangitu jua gasan dibawa mati
Kapuriakan sirih nini
sidin sudah kada tapi hawas lagi
kalu pina tabuat duri
labaram tasangkang tabawa mati
Jagaakan pahumaan kai
banih-banihnya sudah banyak nang jadi
supaya kindai tatap limpuar
kada sampai diganggu anai-anai
Jangan ditubai sungai kai
di situ wadah sidin mancari rajaki
amun handak diunjuni
supaya iwak nang halus kada mati
Bila bakukunjangan ka banua ini
jangan rigati banua nini kai
supaya nyaman disinggahi
banua Banjar tatap rindang bastari
Sajak tersebut sarat dengan pesan-pesan moral terkait dengan kepedulian aku-lirik terhadap nasib dan masa depan banua-nya, lingkungan terdekat yang selama ini menghidupi dan membesarkannya. Sebagai bagian dari masyarakat Banjar, sebagai sosok yang visioner sang aku-lirik ingin melihat kota, daerah, atau kampung halamannya tetap lestari sehingga tetap menjadi tempat yang nyaman untuk disinggahi: banua Banjar tatap rindang bastari. Sementara itu, sajak bertajuk ”Sapuluh Dapa pada Masigit Noor” karya Y.S. Agus Suseno berisi kritik sosial-religius terhadap kondisi kehidupan masyarakat kota Banjarmasin yang kini kian kehilangan makna. Aku-lirik melihat adanya ulur-tarik yang kuat antara sakralitas di satu sisi dan profanitas di sisi lain, antara yang sifatnya ukhrawi dan duniawi. Berikut saya nukilkan tiga bait terakhirnya.
Sapuluh dapa pada dikir ini, ya Allah
Kalincawaian tangan-tangan malaikat kaadilan
Hukum kada lagi jadi junjungan, tagal duit wan kakuasaan
Rumah Sakit kada lagi jadi wadah urang garing
Tagal gudang asap nang palak kaculasan wan napsi-napsi
Sapuluh dapa pada masigit ini, ya Allah
Kalambisikan suara-suara nang kada kawa lagi basuara
Di murung ini lawas ulun hadangi jukung sampian
Kalu pang kawa jua ulun umpat babuat mamandirakan
Kasih sayang manusia nang taburahai buang bairan
(Basunyi pang sasakali!
Itihi rahmat-Nya nang badaradai turun
Kada katahuan nang kaya ambun
Nang kaya tangisan sukma
Tangis kada babanyu mata
Tang malibuk ha dalam dada!)
Kecuali beberapa sajak yang telah dikemukakan di atas, ada sejumlah puisi Banjar modern lainnya yang bobot literernya juga cukup menjanjikan. Beberapa di antaranya dapat disebutkan sajak-sajak bertajuk ”Mudik Haja Gin” (Ali Syamsudin Arsi), ”Loksado” (Hardiansyah Asmail), ”Bagarit di Laut Hamuk” (Bihman Rio Pratama), ”Du’a” (Fadlullah Najib), ”Baisukan di Muhara Kuin” (Ariffin Noor Hasby), ”Surat Kurdan gasan Tunangannya Mis’ah di Kampung” (Muslimi HI), ”Sungai Martapura” (M.S. Sailillah), ”Kayuh Baimbai” (Y.S. Agus Suseno), ”Di Higa Janajah” (Ahmad Fahrawi), ”Langgar Tuha di Muhara” (Ajamuddin Tifani), ”Banjarmasin, Galuhku Langkar” (Bachtar Suryani), ”Wayah Kumarau Maigau” (Eza Thabry Husano), ”Panginangan” (Abdus Syukur MH), ”Batapungtawar” (A. Kusairi), ”Banua Kita Jagai” (Ahmad Sholihin), ”Papadah Urang Tuha” (Ahmad Rusman Sabirin), dan ”Bulik Madam” (Rudi Karno). Sederet sajak tersebut relatif mampu merepresentasikan diri sebagai karya-karya puisi Banjar modern yang berbobot literer, baik dilihat dari aspek kebahasaan maupun nilai estetis dan warna lokalnya.
Namun begitu, kendati dekade 80-an dan 90-an banyak melahirkan sajak-sajak Banjar modern yang bernas, tetapi saya tidak pula perlu menutup mata untuk melihat kenyataan bahwa sebagian di antaranya juga gagal mengekspresikan dirinya sebagai karya literer —sekali lagi, khasnya dalam paramereter sastra daerah. Sajak-sajak berjudul ”Zatnya” (Eza Thabry Husano), ”Jaka Aku Mancari” (Ibramsyah Amandit), ”Ampat Puluh Kali” (Panji Sutrisna), ”Bamunajat” (Satya Budhi), atau ”Di Atas Sajadah” (Murni Pratiwi) merupakan beberapa karya yang kurang bernilai estetis sebagai sebuah puisi maupun sebagai puisi Banjar modern. Akan tetapi, dibandingkan dengan sejumlah karya puisi Banjar mutakhir yang lahir dalam tahun 2000-an, karya-karya tersebut tampaknya masih berada di level yang lebih tinggi.
Sebagai bahan bandingan lagi, sebagian besar karya-karya puisi Banjar modern dalam antologi Uma Bungas Banjarbaru, Baturai Sanja, Garunum, Doa Banyu Mata, dan Jukung Waktu kiranya cukup mewakili apa yang saya maksudkan di atas. Bahkan, sejumlah sajak alit karya Abdurrahman El Husaini yang terhimpun dalam buku puisinya Doa Banyu Mata tampak sekali sebagai ”bayi yang lahir prematur” —baca, misalnya, sajak-sajaknya dengan judul ”Monjali”, Bulik”, Kaliurang”, ”Gembira Loka”, ”Sajak Gajih nang Katalu Walas (1, 2), ”Sunduk Hati”, ”Tragedi Buah Apal (1, 2), ”Panataran (1, 2, 3, 4, 5), ”Paiton”, ”Garunum Simpak”, ”Mancari Muha”, Hakikat Idup”, ”Supan”, ”Malumu Tunjuk”, ”Sakalinya”, ”Catatan Papan Tulis”, ”Barikin”, ”Kadada Hantanya (1, 2), ”Maraju Tuha”, ”Miang”, ”Pina Musti”, ”Ungah”, ”Monolog Bantat”, dan beberapa lagi. Untuk lebih jelasnya, dari tiga puluhan lebih puisi tersebut, berikut saya kutipkan lima puisi di antaranya.
PANATARAN 3
Pada-padanya bajual liur basi

GEMBIRA LOKA
Ka ulu ka ilir
Muha saurang jua sakalinya nang dijanaki

PINA MUSTI
Bungas kalu
Muha nangkaya latupan
Buntat ha pulang

MARAJU TUHA
Bantat
Kada
Sing
Kamiran

SAJAK GAJIH NANG KATALU WALAS 1
Kadakah
Himungnya
Hampai
Takantut-kantut
?
Sebagaimana bayi yang lahir prematur, saya yakin kelima sajak yang dikutipkan di atas (juga sejumlah sajak lainnya yang telah disebutkan tadi) agaknya memang ditulis asal jadi saja, tanpa eksplorasi bahasa, tanpa melalui proses pengendapan dan perenungan yang mendalam. Mereka (baca: karya-karya puisi tersebut) hanya semacam coretan-coretan di buku harian —kadang-kadang juga muncul sebagai ”kerangka” catatan perjalanan— yang begitu muncul ide, secara spontan dicatat begitu saja, lalu dinamailah ”puisi” karena kebetulan bentuk tampilannya menyerupai puisi serta dihimpun dan diterbitkan dalam sebuah buku antologi puisi. Persoalan ini memang menjadi ciri kebanyakan karya sastra dengan jenis sajak alit. Akan tetapi, ketika ia telah diklaim dan dipublikasikan sebagai karya puisi, lalu apa yang bisa pembaca dapatkan darinya? Dengan ide-ide yang begitu dangkal, juga dengan bahasa yang seadanya, sajak-sajak semacam itu rata-rata memang tidak mampu menawarkan nilai-nilai estetis yang dapat menggerakkan jiwa pembacanya, sebagaimana dimaksudkan Lord Byron (Poetry is the lava of imagination, whose eruption prevents the earthquake) —jauh lagi mampu memberikan makna yang mendalam mengenai hakikat hidup dan kehidupan, seperti yang dibayangkan Ralph Waldo Emerson (Poetry teaches the enormous forces of a few words).
Namun, bagaimanapun, saya masih punya kabar baik mengenai perkembangan puisi Banjar terkini. Saya pun masih bisa merasa lega karena khazanah puisi Banjar terkini tidak hanya didominasi oleh sajak-sajak asal jadi, tetapi juga diwarnai oleh kehadiran sajak-sajak yang tergolong serius. Setidaknya, sejumlah puisi Banjar modern yang lahir dari even Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar dalam rangkaian perhelatan akbar bertajuk Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII di Kabupaten Tabalong Tahun 2010 sudah cukup menjadi obat penawar bagi kegelisahan saya.
Berdasarkan hasil penilaian Dewan Juri (Arsyad Indradi, Zulfaisal Putera, Ali Syamsudin Arsy) terhadap 119 puisi dari 56 penulis yang menjadi peserta lomba cipta puisi tersebut telah tersaring 6 puisi terbaik dan 19 puisi nominasi yang kemudian dibukukan dalam antologi Manyanggar Banua (2010). Secara runtut, 6 puisi terbaik yang terpilih sebagai Pemenang I hingga Harapan III masing-masing berjudul ”Manyanggar Banua” (Erika Adriani), ”Diang Hirang” (Syarifuddin), ”Mambuang Tantajuk, Manggantung Tajak” (Aria Patrajaya), ”Maratus” (East Star From Asia), ”Madam” (Rahmatiah), dan ”Sapanjadi” (M. Nahdiansyah Abdi). Sementara itu, 19 puisi nominasi masing-masing ditulis oleh Apriadi Darmawan (1 puisi), Aria Patrajaya (1 puisi), Arif Rachman (1 puisi), Arief Al Rifany (1 puisi), A. Rahman Al Hakim (1 puisi), Eza Thabry Husano (1 puisi), Herlianti (1 puisi), H. Fahmi Wahid (2 puisi), H. Muhaimin (1 puisi), Jaya Ginmayu (1 puisi), Jakaria Kastalani (1 puisi), Nasrullah (1 puisi), Komariah Widyastuti (1 puisi), Randi Arma Prayuda (1 puisi), Sudarmi (1 puisi), Trie Restu Panie (1 puisi), Rahman Rijani (1 puisi), dan Zurriyati Rosyidah (1 puisi).
Sebagai karya-karya yang lahir dari sebuah ajang lomba yang notabene telah dinilai dan disaring oleh tim juri, secara kualitas ke-25 sajak tersebut (termasuk 19 puisi nominasinya) memang berbeda dari karya-karya puisi Banjar modern yang hanya didasarkan atas seleksi dan penilaian pribadi para penulisnya. Baik dilihat dari aspek bahasa, estetika, maupun warna lokalnya sjak-sajak tersebut rata-rata lebih unggul —meskipun, tentu saja, bukanlah karya yang sempurna. Sekadar bahan bandingan, berikut ini saya nukilkan lagi dua bait dari dua puisi karya dua penyair.
( 4 )
Amun nasib balum takisah alamat bulik
Maka biar-ai sudah kita relaakan nang kaya itu
Sabujurannya ulunlah jukung
nang tasasat di hunjuran padang ilung
Manyasah hujan batu
mambawa nasib bakayuh ka hilir ka hulu
maumpati pasang banyu.
Hilang jua sudah kancur jariangauku
Lawas kada bacuur lawan datu.
( 5 )
I lala, sidin ai... sakalinya
Hinip kadap malam manimburu bulan
Tumbur lalak urahakan kadan
Umai, asa kapingan marantas banyu
Imbah tajinguk licak baruh baubah habu
Akai, asa handak mamisuh muru
Tatingau ilun pucuk para sain landu
Tatiring mungkur tahambur ramuk pasai
Larik-larik pada kutipan (4) di atas diambil dari bait pembuka sajak ”Madam” karya Rahmatiah yang terpilih sebagai Pemenang Harapan II dalam Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar ASKS 2010, sedangkan kutipan (5) adalah larik-larik pada bait kedua sajak ”Lalakun” karya Jaya Ginmayu sebagai salah satu dari 19 puisi nominasi. Dalam hal ini, saya memang sengaja tidak mengutipkan puisi yang terpilih sebagai Pemenang I sekadar ingin menunjukkan bahwa karya-karya yang menjadi pemenang harapan dan nominasi pun ternyata kualitasnya sudah lumayan bagus, terutama dalam perbandingannya dengan kebanyakan karya puisi yang dinilai dan dipilih sendiri oleh sang penyair. Juga, kendati penilaian terhadap suatu karya seni pada umumnya masih bersifat subjektif, setidaknya sajak-sajak pemenang lomba itu dengan sendirinya sudah memperlihatkan bahwa karya-karya tersebut tidak ditulis asal jadi.
Memang, untuk menulis puisi yang baik tentu saja dibutuhkan kesungguhan, bukan sekadar asal jadi saja. Oleh karena itu, tidak sedikit penyair yang hanya untuk menghasilkan sebiji puisi kadang-kadang memerlukan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan. Penyair yang terlampau produktif, tetapi tidak diimbangi dengan daya kreatif, biasanya hanya mampu melahirkan ratusan sajak yang rata-rata tidak berkualitas —bahkan, seringkali hanya menghasilkan ”puisi sablon”. Karena itulah, dalam proses kreatif kepenyairan bukan cuma dituntut produktivitas dalam berkarya, melainkan juga dibutuhkan kreativitas secara berimbang. Keduanya merupakan modal yang sangat penting bagi setiap penyair yang ingin eksis dalam berkarya, juga jika karya-karyanya ingin diperhitungkan oleh publik pembaca.

/ 5 /
Secara garis besar, catatan di atas sesungguhnya ingin mengatakan bahwa perkembangan puisi Banjar modern hingga sejauh ini setidak-tidaknya memperlihatkan satu hal: spirit kebebasan dalam keterbatasan. Dalam arti, karya-karya puisi Banjar modern yang ada selama ini sudah menunjukkan tingkat pencapaian estetis tertentu, tetapi hampir selalu tersandung dengan urusan keterbatasan bahasa yang menjadi medium penciptaannya. Keterbatasan dalam konteks ini terutama lebih mengacu pada makna ”kemiskinan kosakata” dalam leksikon bahasa Banjar sendiri.
Akan tetapi, pada kenyataannya persoalan tersebut juga telah mempersempit ruang gerak ekspresi para penyair dalam berkarya. Ketika para penyair Banjar menulis sajak-sajak liris, mencoba mengungkapkan semisal pengalaman spiritual mereka yang sifatnya sangat personal dan emosional, di situ seringkali mereka terbentur oleh keterbatasan alat ekspresinya. Miskinnya leksikon bahasa Banjar telah mendorong sebagian dari mereka untuk menempuh jalan pintas dengan meminjam leksikon bahasa Indonesia yang memang lebih mampu menampung segala gagasan dan imajinasi mereka, baik dengan cara mentah-mentah mengadopsi kosakata Indonesia maupun diolah terlebih dahulu melalui proses morfologis (baca: dengan cara membanjarkannya).
Maka, atas dasar itulah, hingga sekarang saya masih berkesimpulan bahwa sajak-sajak Banjar modern yang berhasil tampil sebagai karya literer hampir selalu diwakili oleh sajak-sajak bercorak naratif (meskipun tidak semua, tentu saja), sementara genre puisi liris cenderung selalu gagal menampilkan diri sebagai karya sastra Banjar modern yang berbobot literer. Persoalannya sekarang, apakah bahasa Banjar memang hanya mampu mewakili fungsinya sebagai media bercerita? Mengapa ketika bahasa Banjar diwujudkan dalam bentuk puisi liris hampir selalu terperangkap ke dalam penggunaan leksikon bahasa Indonesia? Sekali lagi, inilah fenomena puisi Banjar modern: spirit kebebasan dalam keterbatasan. Untuk itu, memang sudah saatnya bahasa Banjar membuka diri guna memperkaya kosakatanya, antara lain melalui proses penyerapan kosakata Indonesia maupun dari khazanah bahasa lainnya. Sayangnya, kebanyakan penyair Banjar sendiri tidak terlalu cermat dalam memanfaatkan peluang ini. Alhasil, kebanyakan puisi yang kini bermunculan justru mengesankan sebagai karya-karya yang ”Indonesia banget” alias telah tercerabut dari akar budayanya sendiri. []

Pelaihari, 24 Maret 2015

CATATAN :
[1] Lihat Syamsiar Seman, “Hassan Basry Penulis Karya Sastra” (Banjarmasin Post, 15 Juli 1999), hlm. 5. Lihat juga Jamal T. Suryanata, Sastra di Tapal Batas: Tradisi Cerpen Banjar 1980—2000 (Banjarmasin: Tahura Media, 2012), hlm. 4.
[2] Buku yang diterbitkan dalam rangkaian proyek pengadaan buku oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini memuat 72 puisi dalam dua bahasa (Banjar dan Indonesia), dan terbagi dalam lima bagian —dengan perincian: Bagian I (18 puisi), Bagian II (16 puisi), Bagian III (13 puisi), Bagian IV (5 puisi), dan Bagian V (20 puisi). Puisi-puisi tersebut sebagian di antaranya ditulis dalam tahun 1970-an. Lihat Artum Artha, Unggunan Puisi Banjar (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982). Lihat juga Suryanata, ibid., hlm. 95.
[3] Catatan ini didasarkan atas biografi singkat dua penyair Kalimantan Selatan: Ali Syamsudin Arsi pernah tercatat sebagai Juara Harapan II Lomba Penulisan Puisi Bahasa Banjar yang digelar oleh SKH Dinamika Berita (1986) dan Y.S. Agus Suseno juga pernah memenangkan Lomba Tulis Puisi Berbahasa Banjar dalam rangka Hari Jadi Kota Banjarmasin ke-462 (1988).
[4] Penyebutan tahun 1990 di sini didasarkan atas sebuah sajak Y.S. Agus Suseno dengan judul “Sapuluh Dapa Pada Masigit Noor” yang pernah terpilih sebagai Pemenang I dalam Lomba Penulisan Puisi Bahasa Banjar dalam Rangka Hari Jadi Kota Banjarmasin Tahun 1990.
[5] Sejauh ini, sastra terjemahan dalam arti yang sebenarnya memang belum ada dalam khazanah sastra Banjar modern. Namun, gejala sastra terjemahan itu sebenarnya sudah ada sejak penghujung abad ke-20 yang lalu —antara lain tampak dalam kasus cerpen “Mangkusari” dan “Luka nang Kada sing Baikan” karya Hijaz Yamani yang sudah sering saya kemukakan dalam beberapa tulisan sebelumnya. Bahkan, kasus serupa juga terjadi pada sejumlah cerpen Banjar lainnya. Untuk lebih jelasnya, lihat kembali Jamal T. Suryanata, op. cit., hlm. 243—250.
[6] Dalam Kamus Bahasa Banjar-Indonesia yang disusun oleh Abdul Djebar Hapip tidak terdapat entre dengan huruf pertama Z. Dengan kata lain, kata “zikir” jelas bukanlah leksikon bahasa Banjar, melainkan leksikon bahasa Indonesia. Dalam leksikon bahasa Banjar, padanan kata atau kosakata yang semakna dengan “zikir” adalah dikir. Periksa Abdul Djebar Hapip, Kamus Bahasa Banjar-Indonesia (Banjarmasin: PT Grafika Wangi Kalimantan, 1997).
[7] Lihat Abdurrahman El Husaini, Doa Banyu Bata: Kumpulan Puisi Bahasa Banjar (Banjarmasin: Tahura Media, 2011), hlm. 1. Di bawah teks sajak tersebut, sebagai titimangsa penulisannya, tertulis kata-kata “Purca, 1979” —kata “Purca” agaknya merupakan akronim dari Puruk Cahu, sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah, tempat kelahiran sang penyair.


Sumber:
http://sastra-banjar.blogspot.co.id/2015/04/esai-sastra-banjar-8.html

0 komentar: