Cerpen Haitami: Lelaki Bermata Merah Saga

05.22 Zian 0 Comments

Sudah sering kudengar cerita-cerita mengenai mayat-mayat yang tewas tenggelam di bantaran Sungai Martapura. Namun, cerita kali ini sedikit ganjil, korban ditemukan dengan tubuh tanpa sebuah benda yang letaknya beberapa centi di atas leher; kepala. Besoknya, berita-berita di koran akan memuat judul ‘Penemuan Sosok Mayat Tanpa Kepala di Siring Martapura’.

***


Amang Ajul menggerunum, “Kanapa lah wadah kita ini rancak lalu urang mati lamas?”
Lalu, pembicaraan di warung kopi itu saling menyahut; ada yang berdiskusi intens ala diskusi dalam TV, ada yang menjawab dengan bercanda, ada yang mendebat pendapatnya paling benar – ini ialah pendapat Kai Jahri, beliau memang pemilik warung. Beda lagi dengan pemuda-pemudi yang duduk mojok sambil main catur diselingi dengan pikiran yang menuju, pion catur, mereka sesekali menyeletuk pembicaraan. “Mungkin sungai kita sedang marah?” ungkap mereka.
Mungkin benar sungai kita sedang marah. Marah kepada kita? Karena kita tak bisa merawatnya, bila sungai sudah murka apapun akan terjadi. Alam mempunyai kekuatan yang lebih kuat dari manusia, mungkin air bah, longsor, atau banjir bandang akan mencederai kota seribu sungai ini. Naudzubillah mindzalik. 
Ding, kopi ikam ding!” Amang Ajul menaruh segelas kopi panas di depanku.
Kopi kuhirup sedikit-demi sedikit sambil membaca novel Lampau karya Sandi Firly. Dia adalah salah satu sastrawan Kalsel yang aku kagumi. Sedikit demi sedikit kalimat kubaca, sambil mendinginkan kopi hitam legam ini.
Kemudian, tema pembicaraan yang membahas korban ditemukan Tim SAR di sungai Martapura, berganti masalah kebudayaan Banjar. Tiba-tiba saja Suanang Kasim datang sambil menenteng koran Media Kalimantan, memperlihatkan salah satu kolom yang ada di dalamnya yang mengatakan kebudayaan Banjar harus direvatilisasi. Pembicaraan pun kembali sengit: saling berdebat, adu pendapat, silang-seling pernyataan dan pertanyaan? Tiba-tiba Utuh Kadut nyeletuk, “Nangapa gerang Ripitalisasi tu, Mang?” Semua orang tertawa di warung kopi.
Mungkin benar, kebudayaan Banjar harus direvalitisasi, bila tidak akan punah beberapa tahun silam, bila bukan kita sendiri yang melestarikannya. Tidak sedikit, urang-urang Banjar nang bujuran bisa berbahasa Banjar. Hanya segelintir anak muda yang melestarikannya, itu pun bukan di sekolahan, melainkan di warung-warung kopi, seperti tempat yang aku duduki ini.
Seharusnya sebagai salah satu bagian dari pelestari kebudayaan sekolah harus lebih giat lagi, mengadakan lomba; paling tidak per semester sekali, entah itu lomba debat berbahasa Banjar, pidato bahasa Banjar, puisi Bahasa Banjar, dan Esai atau Cerpen berbahasa Banjar. Tujuannya cuman satu yaitu agar tidak punah. Itu mau tidak mau harus dilakukan agar urang Banjar tidak seperti dinosourus, musnah ditelan zaman.

***

Aku bayar harga kopi yang terlampau murah, tidak seharga dengan kantuk yang dari malam tadi tak habis-habis. Warung kopi ini harus segera kutinggalkan, sebelum identitasku diketahui oleh orang. Sambil memakai topi hitam, aku membayar lima ratus perak, dan pergi meninggalkan semua; kenangan – termasuk orang yang harusnya kuselamatkan malam itu.
Warung kopi ialah tempat persinggahan terakhirku, sebelum semua akan berlalu. Warung Kopi di Kamboja itu salah satu contoh bahwa pemerintah tak adil dalam mengelola kebudayaan. Budaya mengopi sejak subuh sampai sore, bagi pengangguran itu hal wajib dan sudah ada sejak zaman baheula. Namun pemerintah lebih konsen kepada bar-bar, atau kafe maupun diskotek tempat anak muda hura-hura menghabiskan uang pesangon kuliah di tempat gemerlap itu sekejap. Memang begitu, bukankah pajak diskotek lebih mahal daripada pajak warung kopi?
“Pak, tasmu ketinggalan?”
Glekk...
Sesuatu berdegup di jantungku, aku menggas motorku segera dan melaju meninggalkan semua.

***

Sebenarnya malam itu gelap. Dan, hei siapa yang mengatakan malam itu-terang? Lagian ketika itu tak ada rembulan. Aku berjalan sendirian, menelusuri pinggiran siring Sungai Martapura, kulihat ada beberapa pekerja membuat bangunan, yang katanya Taman Pandang- anggaran pemerintah yang buang-buang biaya. Lalu, beberapa muda-mudi yang mojok di tempat gelap, sudah kukatakan hari semakin gelap bukan?
Sebagian lagi para anak jalanan yang membawa Ukulele menyanyikan lagu Tegar- sampai bosan aku mendengarnya. Entah, mengapa? Lalu di kejauhan terdengar suara orang berteriak?
Toloooooong...
Ternyata seorang paman-tua, yang sedang memancing mendapat ikan besar, dan dia tak bisa mengangkat kailnya. Karena berat. Justru itu dia minta tolong, aku pun mendekat.
“Kenapa, paman?” kataku sambil melihatnya kesakitan memegang perutnya.
Ternyata paman itu bukan mendapat ikan besar, tetapi sedang kesakitan tertusuk pisau di perutnya. Darah mengucur.
“Tolong!” rintihnya sambil memegang perut.
Mataku pun berapi-api, aku pergi mendatangi dan mencari seorang yang menusuk paman itu tadi. Ternyata, dia lari dan menyembunyikan diri. Aku tergopoh-gopoh lari mengejar dan memegang lututku sampai kecapaian di ujung gang.
Aku berbalik arah, dan tiba-tiba saja bogem mentah mengarah ke mukaku.
Tinju pun kuarahkan ke perut lelaki itu hingga terpental. Perkelahian tak dapat dihindari. Lelaki itu mengambil kembali belati yang menyangkut di pinggangya dan mencoba menusukku seperti paman tadi. Aku menghindar, mundur pelan-pelan sampai sudut gang. Semua rumah di dalam rumah itu tak berani keluar, semua warga hanya berani mengintip dari tirai jendela. Mungkin lelaki ini, ialah jagoan di kampung ini, benakku. Ketika aku terpojok, dan beberapa darah sudah mengalir di keningku. Mataku berubah geram, bulat merah saga, mata merah menyala, serupa api – bara, namun mataku yang seharusnya hitam dan putih; ini serupa dengan darah. Ketika itu terjadi, tiba-tiba saja orang yang tak kutehaui namanya itu menikam dirinya sendiri - seperti harakiri. Setelah bunuh diri, aku pergi melarikan diri. Namun sebelumnya, aku memenggal kepalanya untuk oleh-oleh istriku nanti.

***

Koran-koran di kota itu repot sekali esok hari dan kepolisian dibuat geger dengan ditemukannya mayat tanpa kepala di Sungai Martapura. Amang Ajul yang sedari tadi merotet, dengan bubuhannya di warung kopi milik Kai Jahri. Kini menjadi repot bukan kepalang setelah ditemukan sebuah tas sedang ditinggalkan pemiliknya dengan sengaja – maka oleh sebab itu Amang Ajul menyuruh Utuh Kadut yang pernah masuk penjara selama tiga bulan, karena menempeleng isterinya untuk membuka tas tersebut; takut-takut kalau di dalam tas tersebut berisi bom.
Utuh Kadut mau tak mau harus berani untuk membuat orang percaya dirinya penjahat – paling tidak setingkat rumah tangga sendiri. Dan sebelum pamor penjahatnya hilang menjadi banci, itu akan menurunkan reputasi dirinya seperti caleg-caleg yang takut kalah lagi. Utuh Kadut dan teman-temannya di Warung Kopi - Andai Kau Pergi mendekat menyaksikan dirinya. Dia akan membuka tas, seperti akan membuka peti harta karun.
Sebelum membuka, bau busuk sangat jelas tercium di hidung Utuh. Pada saat reslesting tas itu dibuka... La viola...eureka... Ada sebuah kepala ternganga dengan mata putih, dan penuh darah di seluruh muka.
Berita esok pagi akan diramaikan oleh pemberitaan “Penemuan Sosok Kepala Mayat Tanpa Badan di Warung Kopi – Andai Kau Pergi” milik Kai Jahri, dan menjadi trending topik.[]


Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution

0 komentar: