Cerpen Rahmiyati: Buhaya Kuning(1)

16.14 Zian 1 Comments

Aku hanya meratap ketika menatap lekat keadaan anak paman Abduh. Sangat memprihatinkan, kondisi fisiknya tak seperti orang kebanyakan. Aku jadi membayangkan, betapa mengerikannya keadaan yang menimpa keluarga kami jika semuanya tidak dihakuni(2) bahwa kami adalah keturunan H. Amar, saudagar kaya di desa Birayang, Hulu Sungai Tengah yang memelihara buhaya kuning.
Sebagai saudagar, kakek memiliki beberapa toko di pasar Birayang. Toko pertama menjual kain.Toko kedua, masih bersebelahan dengan toko pertama digunakan sebagai tempat beliau menjahit. Kakek juga berprofesi sebagai tukang jahit terkenal di Birayang. Toko ketiga, letaknya tidak jauh dari toko pertama dan kedua, menjual bahan-bahan kebutuhan pokok untuk partai dan eceran.
Kakek memiliki beberapa orang susuruhan(3) yang membantu menjalankan usaha itu. Kakekku yang terkenal di Birayang sebanarnya bukan asli urang Birayang(4) tapi asli urang Amuntai(5) yang menikah dengan gadis asli urang Birayang. Setelah menikah beliau merintis usaha dari nol hingga berkembang pesat seiring dengan kelahiran ibuku dan paman Abduh.
Usaha kakek makin hari makin berkembang. Ibuku adalah anak pertama yang secara langsung ikut membantu menjalankan usaha itu. Berbeda dengan paman Abduh  yang selisih usianya hampir 13 tahun dengan ibu. Ibu hanya punya satu anak yaitu aku, dan paman Abduh juga hanya memiliki satu anak gadis bernama Tika.

Pada masanya, bertahun-tahun usaha kakek bertahan dengan kesuksesannya. Hal itu tentu  membuat banyak warga Birayang bangga karena kakek yang hanya warga pendatang dengan kegigihannya mampu menjadi sukses. Namun di sisi lain, tidak sedikit dari warga yang iri pada kakek.
Sampai pada suatu ketika. Salah satu toko kakek dibobol pencuri. Toko yang menjual berbagai jenis kain itu telah porak-poranda. Ada beberapa kain yang hilang diantaranya kain katun Jepang dan tilay(6) dengan varian warna berbeda hilang beberapa kayu(7) serta beberapa potong kain sasirangan(8). Sejak saat itu, keadaan mulai berubah. Perasaan was-was dan tak lagi merasa aman menyelimuti hati kakek.
Menurut cerita ibu, tak berapa lama setelah toko pertama dibobol pencuri. Toko kedua yang digunakan sebagai tempat kakek menjahit juga dibobol. Tak ada uang yang hilang. Tapi beberapa potong pakaian milik pelanggan yang baru selesai dijahit telah raib. Malam berikutnya giliran toko ketiga yang menjual bahan-bahan kebutuhan pokok. Barang  yang dicuri adalah satu karung beras, dua jerigen minyak goreng dan beberapa puluh kilogram gula pasir.
Kejadian itu cukup menggemparkan warga Birayang. Kabar bahwa toko  kakek dibobol pencuri telah menjadi cerita sehari-hari warga Birayang. Tak jelas motifnya apa. Namun, ada spekulasi yang beredar di masyarakat mengatakan bahwa pencurinya bukan urang jauh(9) karena terlihat sangat menguasai seluk beluk toko.
Setelah pencurian itu, kakek lebih waspada. Kakek berkeyakinan bahwa ada orang-orang yang iri dan sengaja melakukan pencurian untuk merusak ketenangan keluarga. Kata ibu, rentetan peristiwa itu bertepatan dengan kelahiran paman Abduh. Kakek menjadi lebih sibuk mengurus toko-toko yang secara tak langsung mengalami kerugian dan di waktu bersamaan juga sibuk mengurus nenek yang baru melahirkan. Toko kakek dibobol pencuri terjadi tidak hanya sekali. Tapi berkali-kali hingga kakek kehabisan cara untuk mengatasi permasalahan itu. Ibuku yang saat itu masih remaja, tahu persis apa yang dialami oleh kakek, termasuk rintangan dan permasalahan yang dihadapi kakek.
Sampai pada suatu ketika, kakek  bercerita pada nenek tentang keluarga kakek di Amuntai, kabupaten Hulu Sungai Utara. Bahwa keluarga kakek secara turun temurun memelihara buhaya kuning yang telah lama tidak diumpani(10). Nenek sangat terkejut karena sama sekali tidak tahu tentang hal itu. Selama menikah, hal itu seolah menjadi rahasia kakek saja.
"Mengapa tidak bercerita sebelumnya?" nenek berusaha meminimalisir keterkejutan itu.
"Kupikir bukan hal yang penting" jawab kakek tanpa beban. Ada kesenyapan di antara mereka. Nenek berusaha memaklumi walaupun tak semudah itu.
Buhaya kuning itu adalah peliharaan turun temurun dari keluarga kakek di Amuntai. Saat itu, kakek punya firasat bahwa kejadian-kejadian yang menimpa keluarga kami disebabkan karena kakek lupa maumpani(11) buhaya kuning. Beberapa saat kemudian, kakek menjelaskan pada nenek bahwa buhaya kuning itu dipelihara bukan karena kebetulan. Tetapi padatuan(12) kakek punya saudara kembar saat dilahirkan dalam bentuk buhaya kuning. Menurut cerita buhaya kuning  itu menghilang setelah dilahirkan.
Tak ada yang tahu pasti kebenarannya, yang kakek tahu adalah setiap tahun keluarga kakek harus maumpani dengan sesajen yang dilarutkan ke sungai. Sesajen terlebih dahulu dibacakan doa selamat dengan menu bubur habang dan bubur putih yang diberi gula habang cair(13). Kata kakek, kadang-kadang buhaya kuning itu menampakkan diri di permukaan sungai. Kakek sendiri pernah beberapa kali melihat buhaya itu saat masih tinggal di  Amuntai. Beberapa keluarga kakek masih berkeyakinan bahwa buhaya kuning itu sebagai pelindung bagi keluarga sekaligus syarat untuk kemajuan usaha perdagangan mereka.
Kakek telah tersugesti dengan pikiran-pikirannya. Kata kakek, buhaya kuning itu sering datang dalam mimpi. Entah mimpi seperti apa, tak pernah dijabarkan oleh kakek. Setelah maumpani buhaya itu, kakek akan memintanya untuk membantu menunjukkan siapa pencuri yang beberapa kali membobol toko.
Kakek menyiapkan sendiri sesajen berupa nasi ketan hitam dan putih, pisang serta telur ayam kampung. Sesajen itu di larutkan ke sungai Batang Alai, sungai yang alirannya bermula dari pegunungan Meratus.
Hari masih gelap, kakek baru selesai shalat subuh ketika melarutkan sesajen itu. Sebelumnya kakek terlebih dahulu turun ke batang(14) karena di sungai Batang Alai sampai saat ini masih banyak batang milik warga. Pada umumnya sungai itu masih digunakan warga untuk beraktivitas sehari-hari seperti mencuci dan mandi. Jadi, beberapa orang yang melihat adegan itu menganggap bahwa H. Amar punya semacam ilmu pesugihan. Namun, Kakek tak ambil pusing dengan pikiran orang lain dan tetap menjalankan usahanya seperti biasa.
Beberapa hari setelah kakek maumpani buhaya itu. Kakek jadi lebih sering ke batang untuk memperhatikan beberapa warga yang beraktivitas di sungai. Terkadang kakek ke batang bersama nenek yang kebetulan ingin mencuci pakaian. Saat beberapa warga beraktivitas di sungai. Kejadian aneh sering muncul. Buhaya kuning itu sering menampakkan diri dengan muncul kepermukaan, hanya beberapa saat kemudian tenggelam.
Bain, salah seorang warga Birayang yang pernah bekerja pada pada kakek, bercerita pada beberapa warga bahwa ia beberapa kali melihat buhaya kuning di sungai Batang Alai. Sebagian warga tidak percaya karena saat Bain ke batang, ia tak sendirian. Anehnya, warga lain tak ada yang pernah melihat buhaya kuning itu.
Kakek yang juga melihat sendiri buhaya kuning itu mulai berkesimpulan bahwa setiap ada Bain di batang, buhaya kuning itu muncul ke permukaan. Seolah memberi tahu kakek bahwa Bainlah pencuri yang pernah beberapa kali membobol toko kakek. Kakek sangat yakin dengan hal itu. Tapi tak ada yang harus dilakukan selain membiarkannya. Bagi kakek, cukup mengetahui siapa pencurinya, itu sudah cukup.
Setelah beberapa hari kemunculan buhaya kuning, ada kejadian yang cukup mengejutkan kakek, nenek dan ibuku saat itu. Ketika kakek membuka pintu rumah usai shalat subuh, kakek sangat terkejut melihat tumpukan beberapa kayu kain katun Jepang, tilay dan kain sasirangan serta beberapa potong pakaian jadi yang pernah hilang. Kakek melihat ke sekitar barang-barang itu. Tak ada barang lainnya. Mungkin pencuri itu mengembalikan barang-barang yang pernah dicurinya karena tak bisa dimakan dan bingung harus menjualnya kemana. Entahlah, yang pasti hal tersebut cukup dirasa aneh karena telah sekian lama pencuri itu akhirnya mengembalikan apa yang pernah dicurinya.
Berita itu kemudian tersebar lagi keseluruh Birayang bahwa barang-barang dagangan H. Amar yang telah dicuri kini dikembalikan oleh pencurinya. Sebagian warga beranggapan itu karena kajian  yang dimiliki oleh H. Amar. Setelah sekian lama usaha Kakek makin berkembang pesat. Kakek mampu membeli beberapa toko lagi di pasar Birayang. Toko-toko itu disewakan kepada orang lain yang ingin berdagang di pasar.
Seiring waktu, ibuku menikah dengan ayah. Setelah menikah ibu tinggal di Banjarmasin karena ayah bekerja sebagai PNS di sana. Secara otomatis  ibu tidak lagi bisa membantu menjalankan usaha kakek dan secara emosi jauh dengan kakek, nenek dan paman Abduh. Paman Abduh yang telah tumbuh menjadi remaja bukan anak yang bisa membantu orang tua. Paman Abduh sejak kecil tak tahu perjuangan kakek membangun usahanya. Jadi, ia tidak pernah peduli dengan apa yang dilakukan kakek untuk mempertahankan semuanya.
Paman Abduh tumbuh menjadi remaja yang sangat manja. Hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Saat itu, paman Abduh tumbuh tanpa pengawasan maksimal dari kakek dan nenek karena kesibukan keduanya menjalankan usaha. Paman Abduh terbiasa hidup enak dengan materi yang melimpah. Segala keinginannya harus selalu dipenuhi.  Ada kebiasaan yang biasa dilakukan paman Abduh bila ada keinginannya yang tak dipenuhi kakek. Paman Abduh akan mengamuk, berteriak-teriak dan berguling-guling seperti seekor buhaya. Hal seperti itu sering terjadi bila kakek lupa maumpani buhaya kuning. Hal itu pula lah yang kadang mengingatkan kakek pada peliharaan beliau di alam lain. Dalam hati kakek, ada rasa iba melihat keadaan paman Abduh andai beliau sudah tiada kelak. Kecuali ibuku dan paman Abduh sendiri, mungkin tak ada orang lain yang bisa meneruskan apa yang selama ini telah kakek lakukan untuk buhaya kuning itu.
Ketika paman Abduh genap dua puluh tahun. Ia menikah dengan gadis pujaannya. Tak lama setelah pernikahan itu, kakek kemudian meninggal dunia tanpa sempat menceritakan tentang buhaya kuning. Tanpa sempat melihat paman Abduh bisa bersikap lebih dewasa. Saat itu, paman Abduh yang masih muda seperti kebingungan ketika harus meneruskan usaha Kakek. Tak heran jika usaha yang telah dirintis kakek hingga sukses kini semakin merosot ketika dikelola oleh paman Abduh. Paman Abduh telah bangkrut.
Seperti cobaan yang teramat berat untuk paman Abduh ketika harus menerima kenyataan bahwa Tika terlahir dalam keadaan cacat dan mengalami keterbelakangan mental. Perangainya seperti seekor buhaya, Tika suka mengguling-gulingkan tubuhnya dan kadang merayap hingga ke kolong tempat tidur. Paman Abduh yang baru mengetahui cerita tentang buhaya kuning itu sangat terkejut. Beliau tak henti menyalahkan nenek dan ibu yang tidak memberitahukan hal itu sejak dulu.
Kondisi keluarga saat itu tidak lagi nyaman bagi nenek. Usia yang sudah tua tak lagi memungkinkan nenek menanggung semuanya sendiri. Sejak saat itu, ibu berinisiatif membawa nenek ke Banjarmasin untuk tinggal bersama kami.
Sejak nenek tinggal bersama kamilah ibu menceritakan semuanya padaku. Saat ini, apa yang terjadi pada anak paman Abduh dikarenakan sejak kakek meninggal, buhaya kuning itu tak lagi diumpani. Aku sebenarnya tak percaya dengan hal itu karena menurutku, cacatnya anak paman Abduh karena beberapa kelaianan ketika dalam kandungan. Termasuk kelainan kromosom . Namun, karena janin yang dikandung istri paman Abduh sangat kuat jadi istrinya tidak mengalami keguguran. Sementara kebangkrutan paman Abduh lebih dikarenakan ketidakmampuan beliau menjalankan usaha peninggalan kakek, bukan karena buhaya kuning yang dipercaya kakek sebagai pelindung yang selalu membantu kakek dalam memajukan usaha perdagangan.
Aku sama sekali tidak percaya karena alasan yang paling kongkrit adalah semua sudah diatur oleh Tuhan. Roda kehidupan selalu berputar. Dalam ketidakpercayaan pada semua itu, aku tak punya pilihan selain menerima kenyataan bahwa aku  adalah salah satu keturunan H. Amar yang memelihara buhaya kuning. Buhaya yang setiap tahunnya harus diumpani. Meskipun dalam hati aku masih berpikir suatu saat bisa mengakhiri ritual yang pernah dilakukan kakek.


Keterangan:
1) buaya yang sifatnya gaib
2) mau, bersedia, setuju
3) orang yang disuruh/pesuruh
4) orang yang nenek moyangnya berasal dari Birayang atau dilahirkan di Birayang
5) orang yang nenek moyangnya berasal dari Amuntai atau dilahirkan di Amuntai
6) brokat
7) Satuan untuk menyebut kain dalam bentuk gulungan  penuh/roll
8) kain celupan khas Banjar, Kalimantan Selatan
9) orang yang tempat tinggalnya jauh
10) diberi makan
11) memberi makan
12) nenek moyang
13) bubur yang terbuat dari tepung beras dan diberi gula merah cair
14) tempat mandi, cuci dan kakus di sungai yang terbuat dari bambu


Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 29 Januari 2017

1 komentar: