Cerpen Kalsum Belgis: Sosok Dalam Cermin

06.04 Zian 0 Comments

Aku menatap cermin yang tepat berada di hadapanku. Di situ kutemukan seraut wajah yang berisi lamunan. Ya dalam lembar cermin yang kutatap, kupandangi dengan teliti sebentuk wajah yang begitu penuh dengan kerutan.
Kerut merut beban dan penderitaan sangat jelas terlukis di situ. Ada beberapa garis keletihan terlihat tepat di kening, lalu garis dengan lekukan yang cukup dalam di kedua pinggir mata, garis lelah yang cukup lama tertuang dalam jiwa.
Kembali aku menatap wajah dalam cermin yang tepat ada di hadapanku. Sejenak dadaku bergetar kala beradu pandang dengan kedua mata yang terlalu kuyu, mata yang tak mampu lagi memancarkan sinar pagi. Dalam mata itu jelas terlihat cahaya buram dan gambaran kesedihan.Aku berdiri dan sosok dalam cermin di hadapankupun ikut berdiri, sangat jelas kulihat gemetar di kaki yang tampak begitu lemah, seolah kaki itu sudah tak mampu lagi menyangga seonggak tubuh kurus itu.

Aku membenarkan kerah baju biru yang kukenakan. Dan seperti dikomando, sosok dalam cermin di depanku ikut juga bergerak dan meniru gerakanku untuk membenarkan kerah baju yang juga berwarna biru. Lihat, di leher tepatnya di bawah dagu sangat jelas terlihat kerutan beralur memanjang ke arah dada. Kerutan ketabahan yang selama ini menjadikan sosok dalam cermin itu merasa lebih kuat.
Aku mulai merasa jenuh dengan pemandangan di hadapanku. Dengan sedikit dongkol aku kembali duduk di bangku kayu yang tadi kududuki. Tanpa menoleh ke sosok dalam cermin itu, aku melayangkan pandangan ke arah jam yang bergantung di dinding sebelah kiriku. Setelahnya aku kembali menatap sosok dalam cermin yang kini sudah duduk juga sama sepertiku. Sempat aku menarik napas sekali dua kali, lalu mengembuskanya seolah dengan cara itu aku merasa lebih nyaman untuk lebih lama duduk di hadapan sosok dalam cermin yang kini aku lihat juga sedang menatap ke arahku.
Senja mulai turun seiring dengan gerimis tipis. Jendela kamar yang berukuran tak terlalu besar masih terbuka. Perasaan enggan untuk menutupnya menjadikan aku tetap duduk diam di depan sosok yang terlihat semakin buram, mungkin dikarenakan senja mulai memasuki pintu malam, sementara lampu kamar belum kunyalakan. Aku terlalu malas untuk berdiri mencari korek api dan menyalakan lampu, bahkan jendela kamar masih saja terbuka dan belum aku tutupkan.
Sejenak pandanganku mengarah keluar jendela, beberapa lampu mulai terlihat dari rumah-rumah tetangga. Langit semakin gelap, dan gerimis semakin tebal turun mengiringi turunya malam. Aku mulai merasakan hawa dingin menyusuri tiap lekuk tubuhku, hawa dingin yang masuk melalui jendela yang memang masih terbuka. Sejenak keningku mengkerut seolah mencari satu suara, ya suara kumandang azan magrib yang tak aku dengar, mungkin aku terlalu asyik dengan sosok dalam cermin di hadapanku, hingga suara muazin tak aku dengar saat waktu magrib tiba, atau karena suara gerimis yang cukup berisik di antara helai daun dan atap rumah menjadikan pendengaranku kurang peka? Ah untuk apa aku persoalkan tentang suara azan itu. Bukankah sudah hampir satu tahun aku tak pernah lagi menunggu suara azan itu, meski setiap waktu tertentu aku mendengarnya toh aku hanya diam, duduk, atau berbaring sambil mempermainkan jari-jari tanganku yang tak pernah letih menelusuri satu persatu rambut yang tumbuh di kepalaku? Seolah aku mencari sesuatu yang memang bersembunyi di antara helai rambutku. Kutu,  ya mungkin juga kutu, tapi aku masih bisa mengingat kalau selama ini rasanya aku tak memiliki kutu. Lalu apa yang aku cari di antara helai rambutku. Tak ada sesuatu pun yang aku cari. Aku hanya mencoba menikmati rasa nikmat saat ujung jemariku menari menelusuri kulit kepalaku.
Senja telah benar-benar hilang tenggelam di pelukan malam. Lampu-lampu dari beberapa rumah penduduk semakin jelas terlihat terang, sementara kamarku semakin terlihat gelap menghitam. Kreot suara jendela kamar sesekali terdengar dipermainkan angin. Aku masih enggan berdiri menutup jendela. Aku juga terlalu malas berdiri untuk menyalakan lampu. Aku terlalu menikmati hening gelap hingga aku tak menyadari sosok dalam cermin di hadapanku sudah tak terlihat lagi dari pandanganku. Sejenak aku merasa kehilangan. Aku mencoba lebih mempertegas tatapanku ke dalam cermin, namun aku tak menemukan mata kuyu itu. Aku tak menemukan kerut marut di wajah letih itu. Aku mulai gelisah, aku mulai merasa takut. Aku takut dan sangat teramat takut. Ah, pikiranku mulai masuk ke dalam satu pertanyaan, bagaimana kalau sosok dalam cermin itu tak lagi aku temukan? Nagaimana kalau sosok dalam cermin itu benar benar menghilang?
Kembali kegelisahan melanda jiwaku dan ketakutan semakin mengurungku dalam satu kalimat kehilangan. Aku gemetar. Kembali aku mencoba menatap tajam sosok dalam cermin di hadapanku, tetapi hanya gelap hanya pekat yang terlihat. Dadaku gemuruh, tubuhku semakin gemetar, sementara angin semakin leluasa masuk lewat jendela kamar yang masih terbuka,dan aku merasakan seluruh permukaan kulitku digerayangi dingin yang semakin menjadikan tubuh dan hatiku menggigil. Aku takut!
Ketakutanku memuncak saat bayangan-bayangan muncul di hadapanku. Bayangan-bayangan hitam yang sangat menyeramkan. Bayangan-bayangan kehidupan yang pernah menjeratku dalam tangis panjang, bayangan tangan-tangan angkara murka yang telah menenggelamkan aku di kubangan fitnah, bayangan yang hampir saja mencabut seluruh memori di otakku dan menjadikan aku gila. Lalu muncul suara-suara lantang yang menudingku dengan perkataan sembilu, tajam sangat tajam, hingga perih aku rasakan sampai menusuk tulang. Aku kalap, aku histeris..
Aku berteriak...
Aku berteriak...
Aku berteriak...
Jangaaaaan....tidaaaaaak...tidak.. tidak..tidak..
Zleeep..! tiba tiba lampu menyala. Terang, ya, sangat terang. Kamarku tiba tiba terang benderang. Aku mendengar suara langkah terburu-buru mendekatiku. Aku merasakan pelukan hangat di tubuhku. Aku mendengar ucapan lembut di telingaku.
Mamah...
Maah... tenang, Mah...
Ada apa, Mah...
Aku tersadar dalam gugup yang amat melelahkan. Lalu aku melihat sosok dalam cermin sangat jelas ketakutan. Dan aku melihat sosok dalam cermin meringkuk dalam pelukan gadis cantik berkulit pualam, kulit yang sangat bening melebihi kebeningan cermin itu sendiri. Sangat jelas begitu lembut perlakuan si gadis saat memeluk sosok dalam cermin itu. Sangat terlihat kenyamanan mulai dirasakan sosok dalam cermin itu. Ah, sejenak aku merasa iri, sejenak aku merasa cemburu, sejenak aku mulai marah, dan kembali berteriak histeris. Lalu aku mulai memukul kepalaku, aku mulai merenggut pakaianku, aku semakin berteriak histeris dan membabi buta.
Lalu, lalu lelah memasungku dalam ketakberdayaan hingga mulai terdengar isakan memenuhi ruang kamar yang kini sudah terang. Aku melihat sosok dalam cermin di hadapanku terpuruk di pangkuan si gadis yang sedang menangis. Aku melihat si gadis benar-benar menangis dan air matanya bercahaya mengalir di kedua pipi yang sangat ranum. Gadis berambut panjang dengan gaun merah menyala, seolah menggambarkan merah luka hatinya.
Aku tersentak menyaksikan guratan luka di mata gadis itu. Dengan penyesalan yang sangat dalam, sosok dalam cermin kulihat menatap wajah si gadis. Sepenuh kasih sosok dalam cermin di hadapanku membelai pipi si gadis dan menghapus air matanya. Dengan penuh penyesalan sosok dalam cermin di hadapanku menciumi wajah si gadis. Dengan rasa ketakutan yang luar biasa, dan aku mendengar sosok dalam cermin bersuara dan melontarkan tanya..
Sayang, kaukah ini?
Benarkan kau yang kupeluk ini nyata?
Kau bukan bayangan mataku?
Kau... benarkah kau, anakku?
Anak daraku yang telah aku pahat dengan darah dan cairan tubuhku?
Hening.
Hanya isak tangis terdengar semakin menyayat malam. Pelukan si gadis semakin erat seolah takut terlepaskan. Sosok dalam cermin tampak terlihat semakin tenang, hingga tak menolak atau berontak manakala si gadis dengan lembut memapahnya menuju ke tempat tidur, lalu membaringkan tubuh letih itu.
Malam semakin merambati bumi ke alam yang lebih sunyi, dengan kasih sayang dan kelembutan yang melebihi halimun. Gadis cantik itu memeluk sosok yang tak lagi terlihat dalam cermin. Lalu dengan perlahan dan sangat lirih si gadis mengucapkan kalimat tepat di telingaku.
Tenanglah, Mamah.., aku tak akan pernah meninggalkanmu..
Tenanglah..
Aku anakmu yang selalu akan meredam tangismu..
Ssssst... diamlah. jangan menangis lagi. Aku di sini, Mah...
Aku adalah darah dan cairan tubuhmu, aku bukanlah buah fitnah mereka, aku anakmu anak yang pernah menghuni rahim sucimu, hingga kesucian itu masih kupeluk dalam jiwaku.
Tenanglah, Mamah.
Malam tetap menelusuri waktu. Gerimis telah usai, dan hanya menyisakan dingin yang semakin terasa di setiap persendian bumi. Jelas terdengar embusan napas lembut dari tubuh yang lelap tertidur dalam pelukan buah nadi.
Tidur yang begitu nyenyak.
Tidurku.[]


Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution

0 komentar: