Tampilkan postingan dengan label M. Hasbi Salim. Tampilkan semua postingan

Cerpen M. Hasbi Salim: Emas Madinah

Bu Ijah selalu memamerkan gelang yang dibelinya di salah satu toko emas di Madinah kepada teman-temannya, termasuk kepada Bu Fatma, teman seregunya.  “Kalau kau mau membeli emas yang seperti ini. Nanti kutunjukkan tokonya,” ucapnya  dengan bangga.
“Pergi haji masih bisa beli perhiasan pula, pastilah telah membawa banyak uang, Nich!” ucap Bu Fatma. “Kalau saya tidak mungkin,  soalnya …,” lanjutnya berat.
“Ini sudah saya persiapkan jauh-jauh hari sebelum berangkat, sebab yang beginian hanya ada di sini,” ucap Bu Ijah sambil mengeluarkan gelangnya yang terlindung lengan bajunya.
Bu Fatma sesungguhnya sangat tertarik untuk membeli perhiasan seperti itu. Namun, ia menyadari sepenuhnya bahwa uangnya hanya  cukup membeli keperluan pokok dan sedikit oleh-oleh buat keluarga di kampung yang dengan susah payah mengantar keberangkatannya sampai bandara,  sehingga keinginannya untuk memiliki emas Madinah  segera dikuburnya dalam-dalam.
Di tengah malam yang sepi dan senyap tiba-tiba Bu Fatma tertawa renyah sendiri. Sementara Pak Jali, suaminya yang tadinya tidur nyenyak jadi  terjaga. “Ada apa, Bu?” tanya Pak Jali sambil membangunkan istrinya.

Cerpen M. Hasbi Salim: Gara-gara Layang-layang

Sejak jam pelajaran terakhir dimulai,  Ferdi dan Ajai tidak dapat berkonsentrasi pada pelajaran lagi. Sebab, perhatian mereka terpaut pada sebuah layang-layang putus yang nyangkut di ujung ranting pohon kasturi di samping sekolah. Sebentar-sebentar mereka  mencuri-curi pandang pada layang-layang yang nampak terlihat melalui jendela yang terkuak, saat Pak Rudi masih ada di depan kelas.
Begitu lonceng pulang sekolah dibunyikan,  Ferdi dan Ajai langsung berlarian   menerobos kerumunan siswa yang hendak pulang. Mereka mau mengambil  layang-layang tersebut.
“Hii! Layang-layang itu milikku! Sebab, aku yang melihatnya lebih dahulu!” ucap Ferdi ketus sambil memegang bilah panjang untuk meraih layang-layang yang berayun-ayun karena ditiup angin.
“Masa bodoh! Siapa yang dapat mengambilnya lebih dahulu, itulah yang berhak memilikinya!” sanggah Ajai tak kalah serunya sambil bergegas memanjat pohon dengan lincah.
Ajai kaget ketika melihat layang-layang yang hampir dapat diraihnya tiba-tiba  melayang ke bawah lantaran ranting pohon bergoyang. Ajai segera melompat turun tanpa menghiraukan resiko lagi. Usahanya ternyata tidak sia-sia. Ajai sempat menarik benangnya. Akibatnya layang-layang yang hampir jatuh ke tangan Ferdi kembali melambung ke atas.

Cerpen M. Hasbi Salim: Durian Lampini

Aku paling suka buah Durian. Kebetulan kami mempunyai beberapa pohon, yang tumbuh jauh di belakang rumah. Pohon-pohon ini merupakan peninggalan kakekku beberapa tahun yang silam. Dengan adanya pohon-pohon tersebut, maka  setiap musim durian tiba kami dapat menikmati buah-buah “durian lampini” tanpa harus membeli.
“Durian lampini” adalah sebutan yang diberikan oleh  orang-orang kampungku terhadap buah durian yang sangat matang di pohon, biasanya ia jatuh ke tanah dengan sendirinya lantaran tangkainya yang sudah mengering.
Mendengar orang menyebut ‘durian lampini’, air liurku langsung pecah, sebab terbayang baunya yang menyengat hidung, isinya yang  lembut yang sering terlihat dari  buah yang merekah, rasanya yang sangat manis lantaran benar-benar matang. Bukan karena ‘karbitan’ atau perangsang.
Untuk mendapatkan buah-buah durian lampini yang lezat pada musim buah biasanya  tinggal berjalan-jalan saja ke kebun durian di pagi hari, sebab  buah-buah yang sangat matang itu biasanya berjatuhan ke tanah pada malam hari lantaran dihinggapi mangsa seperti burung, kalung, dan lain-lain.

Cerpen M. Hasbi Salim: Api! Api! Api!

Hadi jarang sekali pulang kampung, maklum sejumlah kesibukannya sebagai PNS dan pimpinan beberapa organisasi kepemudaan di sebuah kota kecil yang cukup jauh dari desa kelahirannya harus dilakoninya. Sehingga, bukan saja membuat ia jarang pulang kampung, tetapi pulang ke rumah pun tidak jarang lebih duluan itik ke kandangnya, kerbau ke  kalang-nya dan elang ke sarangnya.
Ia biasanya menyempat-nyempatkan pulang kampung pada saat  penataran atau lagi melaksanakan tugas tertentu dari organisasi di ibukota  provinsi (Banjarmasin), karena desanya yang konon tergolong ‘desa terpencil’  tidak terlalu jauh dari ibu kota provinsi.            Hadi akan bermalam semalam di kampung kelahirannya, sebab penataran yang seyogyanya dilaksanakan selama satu minggu  oleh panitia pelaksana jadwalnya dipadatkan, maklum bertepatan dengan tibanya bulan Ramadhan.          
Sambil tersenyum Hadi menaiki ojek yang akan mengantarnya ke kampung halamannya. Ia teringat ketika lima belas tahun yang lalu. Saat malam-malam di  bulan Ramadhan. Menyenangkan! Sebab, ia dan teman-temannya beramai-ramai pergi ke surau kecil yang tidak jauh dari rumahnya.            
Biasanya, seminggu sebelum Ramadhan tiba, surau Ar Raudhah sudah ‘dimandii’ dan ‘didandani’, hingga bersih dan indah. Untuk mengantisipasi membludaknya ‘jamaah musiman’, maka di eper surau dihamparkan karpet rotan (lampit) sebagai alas, dibentangkan  terpal sebagai atap dan spanduk bekas  sebagai dinding.