Cerpen A. Setia Budhi: Bawin Balian

04.20 Zian 0 Comments

Penduduk kampung Batu Bua gempar. Tersiar kabar ratusan karyawan perkebunan kelapa menemui ajalnya. Kematian karyawan perkebunan milik orang asing itu tidak meninggalkan bekas apa-apa. Tidak ada luka dan tidak pula terdapat tanda-tanda pengeroyokan atau perkelahian sesama karyawan.
Kegemparan itu sampai juga ke telinga Ulaq Bawi, Kepala Adat di Kampung Batu Bua.  Orang-orang di sudut kampung itu menyebut Ulaq Bawi sebagai Balian, sebab hanya dialah satu dari perempuan Dayak yang mengerti dan faham upacara Balian.

Cerita tentang Kampung Batu Bua ini sangat menarik dan tentu saja eksotik dengan lembah dan sungai mengalir berkelok sepanjang bibir pegunungan Muller-Schawanner di Hulu Sungai Barito.
Kampung Batu Bua berselimut bulan purnama. Upacara digelar, memanggil leluhur. Namun, kali ini upacara agak lain. Sebab bersamaan kabar kematian  karyawan perkebunan kelapa sawit di utara. Ini upacara untuk menyelidiki hal apa gerangan dan siapa penyerang karyawan, dengan cara apa dan kelompk mana yang melakukan penyerangan sehingga para karyawan berujung kematian. Apakah ada kaitan dengan racun yang dilarutkan di sungai Barito yang air sungainya menjadi air minum karyawan?
Upacara bermula. Ulaq Bawi duduk Balai-Balai dengan kaki bersila. Ia duduk di antara lingkaran orang-orang yang menatap pada pohon kehidupan, Batang Garing. Musik Karungut Dayak Ngaju  mengalun. Orang-orang menatap ke arah Batang Garing dengan tajam. Ulaq Bawi  tiba-tiba meloncat. Ia menghunus Mandau. Dia menari tarian Mandau.  Tetapi tiba-tiba ia berhenti menari, sepertinya ia mendengar suara gaduh di sisi Timur Balai-Balai.
”Yaa, kalian siapa?” katanya dengan sedikit  bertanya.”Yaaaa! kalian siaapaaa...?” Ia mengulangi lagi pertanyaan dengan nada keras.
Musik Karungut Dayak Ngaju terus mengalunkan kepiluan. Dengan sebilah Mandau, ia mendekat kerumunan orang di sisi Timur Balai- Balai.
Ia marah
”Diam  kalian! Sudah aku katakan kami sudah sepakat. Kami sudah sepakat dengan Pak Camat bahwa tanah di ujung sungai itu tetap menjadi hak kami. Kami sudah sepakat tak akan  ada pertumpahan darah di tanah leluhur kami ini. Kami ingin selesaikan upacara ini. Kami ingin menyelesaikan pertemuan kami dengan leluhur.  Kalian jangan mengacau begitu. Kalian jangan meracau begitu. Hormati kami dengan kata-kata mutiara yang kalian sudah tahu, di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung.
Ia menari lagi.
”Biarlah aku menari untuk mendekatkan semangat leluhurku. Biarlah aku dengar ia memasuki tubuhku. Biarlah aku mendekat ke lubuk hati dan mendengar segala rintihannya. Tiap jengkal tanah itu adalah kehidupan. Sekaranglah kita menari memainkan Mandau leluhur. Dengan rintihan pilu merobek jiwa-jiwa setiap waktu. Sebentar lagi leluhurku datang, membawaku terbang ke Negeri Liau. Mereka membawaku dalam perjalanan jauh, menuntunku untuk memberikan semangatku dengan mantera. Sebentar lagi mereka akan datang dan menuntunku, dalam siraman cahaya rembulan  kami  pergi.  Rohku akan terbang bersama puteri Balian. Bersamaan dengan itu seluruhnya menjadi  hitam dan sesudah itu seluruh hidupku akan hilang sementara waktu. Aku akan terus menari  tanpa  kusadari. Aku tidak sadar lagi sebab menari bukanlah diriku, tetapi semangatku, aku merentak bersenyawa dengan alunan gong, kenong, dan karungut. Gerakanku bertiup bersama  wangi Dupa.”
“Kalian terus-menerus melenggang seperti tak kekurangan apa-apa untuk merampas hak kami di tanah itu. Sekaranglah kesempatanku yang terakhir untuk menunjuk arti. Mengisi kembali puluhan tahun yang sirna tanpa apa-apa. Bukan karena aku pengecut, tetapi dalam ratusan tahun kami diperbodohkan. Kami kira, diam bukan lagi emas, sekaranglah waktunya, apa yang bisa dilakukan dalam waktu pendek tetapi dahsyat. Ketika aku mulai sadar,  yang pertama sekali aku lihat adalah kejahatan. Ketika pertama kali mendengar, yang kudengar adalah  keserakahan. Kalian adalah para maling yang sempurna, yang datang berduyun duyun entah dari belahan dunia mana, memfitnah kami supaya kami pergi meninggalkan kampung ini.”
”Kalian katakan bahwa kami telah berbuat dosa  karena melawan pemerintah. Pertama kali aku tunjuk muka Pak Camat dengan Mandau ini, tetapi sejak itulah, sejak itu pemerintah namakan aku  provokator. Biarlah  aku menjadi provokator, karena nama itu diciptakan untuk membungkamku, membunuh karakterku. Tetapi aku sudah biasa dengan nama itu, dan banyak orang memanggilku sebagai provokator.  Tidak apa, mereka tetap datang kepadaku sebagai provokator pembela rakyat. Jadi sudah semakin jelas sekarang, siapa pembela rakyat, sudah jelas sekarang di mana posisi aku dan dimana kalian”.
Musik karungut terdengar pelan dan sayup-sayup. Lalu seseorang membaca mantera. Upacara belum selesai, tetapi seseorang menutup pintu dan jendela Balai-Balai. Kematian karyawan perkebunan kelapa sawit tidak terungkap, ceritanya mewariskan rahasia.[]

Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution

0 komentar: