Tampilkan postingan dengan label Iwan Yusi. Tampilkan semua postingan

Cerpen Iwan Yusi: Juru Tulis

Matahari baru saja mengurak senyum. Kayi Busra menghirup udara sepenuh rongga paru-parunya, hingga ia tampak sangat lega. Lalu perlahan ia menyulut sebatang kretek sambil duduk bersandar di tiang pelataran. Sesekali tatap matanya menerawang, seperti jauh ke masa silam, masa ketika ia masih muda di desa tempat kelahirannya ini. Di sekelilingnya duduk-duduk pula beberapa keponakannya sendiri, dan anak-anak remaja tetangga sekitar. Mereka asyik mengobrol seputar pengalaman Kayi Busra setelah selama lebih empat puluh tahun tak pulang-pulang ke kampung halaman tanah tumpahan rindu.
Sanak keluarga menyambut hangat dan gembira kedatangan Kayi Busra. Kehangatan sangat terasa sejak kepulangan lelaki tua itu seminggu yang lalu, ramai warga berdatangan mengajaknya  berbincang-bincang atau sekadar ingin tahu bagaimana raut rupa Kayi Busra sekarang. Terlebih-lebih bagi anak-anak remaja yang sama sekali tak pernah kenal dengan orang tua itu. Kecuali dari mendengar cerita orang-orang tua mereka, apa sebab Kayi Busra harus meninggalkan kampung halaman dan sanak keluarganya hingga berpuluh- puluh tahun lamanya.

Cerpen Iwan Yusi: Bansau

Pukul sepuluh siang acara keramaian itu dimulai. Bunyi babun ditabuh kian  gegap gempita. Seorang penari kuda gipang lenggang-lenggoknya semakin panas mengikut  irama. Apalagi setelah acara bananaikan batang pinang atau panjat pohon pinang dimulai. Enam orang anak mengenakan topeng lucu membuat sorak-sorai penonton tambah riuh rendah menggemai. Penontonpun tua muda semakin berdatangan dan berjejal-jejal seperti semut merubung manis gula.
Keramaian ini digelar di halaman rumah Pak Haji Abas. Orang tua terpandang  yang sering dipanggil Juragan Bansau  itu sengaja menggelar acara keramaian ini dalam rangka menyambut kepulangan anak semata wayangnya yang baru menyelesaikan kuliah di Pulau Jawa.
Sebuah mobil sedan perlahan memasuki lawang sakiping atau pintu gerbang yang berhias janur kuning dan aneka warna bunga-bunga. Mobil berhenti, dan diparkir di tengah halaman. Seorang pemuda gagah keluar dari dalam mobil. Pak Haji Abas lekas menyambut dan memeluk sang pemuda yang tak lain adalah anak tunggal kebanggaannya. Lalu perlahan pemuda itu dibimbing menaiki sebuah panggung kecil yang telah disiapkan. Selanjutnya orang tua itu dengan penuh semangat menyampaikan semacam kata-kata sambutan, sebagaimana layaknya sebuah acara resmi di kelurahan.
Pertunjukan seni kuda gipang dan bananaikan batang pinangpun dihentikan sementara. Perhatian mereka pun tumpah ke arah panggung.