Cerpen Thaibah: Bening Syamsiah
“Besok Aliya mau nikah Sama Bang Icam, Kak... ”Serta merta bunga Kamelia serasa berjatuhan dari langit, menimpuki kepalaku dengan lembut. Berbarengan dengan bumi yang tiba-tiba melumer, dan menghisapku bak lumpur hidup. Menembakku dengan paku, menjerembabkanku dalam gagu. Harusnya aku berjingkrak, karena Aliya adikku satu-satunya akan mengarungi jalan baru dengan lelaki tercintanya. Bukan sebagai babak perpisahan yang tak akan bertemu lagi.
“Aliya sangat mencintai Bang Icam, Kak...,” ungkapmu empat tahun lalu dengan memelas, dan menyeka air matamu dengan ujung kerudung merah mudamu.
“Itu cinta monyet anak sekolah, Aliya. Kakak bukan mengekangmu atau bermaksud menjahatimu. Sudah kelas tiga, Aliyah kok masih berpikir dangkal?”
Ini bukan urusan zaman yang mengutamakan gengsi, dan pamer kelakuan seorang putri, yang harus dipenuhi hingga memudarkan perangai bahari. Aku hanya ingin menjaga Aliya. Pandangan terhadapnya, kehormatannnya, terlebih kesucian dan imannya.
Dari luar sepertinya aku berhasil menipu Aliya, dengan argumenku yang sangat syar’i. Namun dari dalam, tahukah kau adik manis, siapa gerangan Icam alias Syamsul? Dia lelaki taat, jelas virus merah jambu akan bersusah payah jika harus menyerang antibodinya yang berbaju baja. Tebing hatinya terlalu tinggi untuk kau panjat. Kau akan dianggapnya sebagai duri, yang harus disingkirkan dalam dagingnya. Kau pasti akan diacuhkannya.
“Aku tahu Kak, tapi aku tak bisa menyembunyikannya. Aku terlalu lugu untuk menjadikan cinta itu racun yang harus kuludahkan.”
“Sekuat apapun kau menampar mukanya agar menyorot wajah cantikmu, kau tak akan pernah menjatuhkan pelangi di matanya, ke telaga hatimu. Simpan saja, suatu saat kau akan mengerti dan mensyukuri omongan kakakmu ini pernah singgah di telingamu”
Aku masih menginterogasi Aliya yang tertekur di lantai, bersimbah kata yang terpilin. Aku tahu dia labil dan haus kasih sayang. Tapi cukupkanlah kakak yang menuangkan gelasmu Dik, dengan cinta yang halal.
Aku tertegun dalam pelukan Aliya. Apakah aku munafik?
Masih kugenggam rindu Aliya, kubalas kabar gembira dengan separuh cita.
***
“Sungguh? Kakak ikut bahagia...”
Benarkah kakak bahagia? Aku rasa aku masih senaif dulu, menelan mentah-mentah setiap ucapannya. Berapa kali aku selalu tertipu oleh karangannya. Saat dia pergi ke kota, mulutnya begitu manis mewanti-wanti aku agar fokus belajar. Nyataya? Kakak di kota lebih terlihat mondar-mandir, bercerita tentang riwayat organisasinya yang wah luar biasa.
“Kakak sekarang menjabat sebagai koordinator kaderisasi di UKM kampus. Kau tahu Dik? Seminggu lagi Kakak akan ke Bandung menghadiri Musyawarah tahunan, dan bulan depan kakak harus ke Banjarbaru mengikuti Daurah Marhalah II,” curhat Kakak dengan bersemangat jihad yang menguap-uap saking panasnya, akupun kecipratan hangat dan terlibat dalam medan juang.
Mana pesannya yang dulu? Apakah itu hanya berlaku untuk pelajar sepertiku? Dan mahasiswa harus bergulat dengan kesibukan non akademik, agar dapat menjadi bagian dari agen perubahan bangsa? Rupanya sibuk bagi Kak Syamsiah, bukan berarti mengganggu nilai lalu merosotkan kecerdasannya. Dia lulus cum laude, aku salah cara pandang belajar.
Dan waktu berlalu. Kakak makin sering ‘sepertinya’ menipuku. Katanya Bang Icam itu ikwan yang taat, dan tak akan membuka interaksi untuk wanita non mahromnya. Buktinya, dia mau kuajak berbicara hal penting, menyangkut pembiayaan pengadaan tenda, walau ia benar menundukkan pandangan.
Aku terus menyalahkan Kak Syamsiah, demi pembenaranku yang salah, interaksi ikwan akhwat kan memang dibenarkan dengan alasan yang mutlak.
Aku bahkan belum mengerti sikap Kak Syamsiah yang terlalu mendramatisir praduga. Ia bahkan masih giat dengan organisasi, daripada memikirkan dirinya yang sampai sekarang masih belum menentukan pilihan hati, walau sudah dua, tiga kali lamaran mampir padanya. Apa yang ia tunggu? Sedangkan aku bahkan akan mendahuluinya?
***
“Maaf, Cam, aku tidak bisa. Kau nikahi saja adikku, Aliya!”
Aku membaca pesan singkat basi ini puluhan kali. Istighfarku ratusan kali, dan aku benar-benar heran dengan kerancuan ini.
“A-L-I-Y-A,” ejaku dengan menutup wajah dengan kesepuluh jariku.
Syamsiah yang aku tuju, kenapa kekecewaanku harus meluap dan menyerang Aliya? Lalu aku patuh saja, seperti kucing yang digendong tanpa meronta, diciumi tanpa menggigit. Aku benar-benar salah dalam langkah, tapi aku benar dalam pilihan.
Aliya persis kakaknya. Dia hitam manis dengan senyum tipis. Pakaiannya menutup sekujur tubuhnya dengan tebal dan panjang. Akhlaknya mulia, tak pernah disentuh lelaki yang haram baginya. Ia apik menata hati, ia rapi dalam ibadah dan manusiawi. Tetap saja bagiku ada yang timpang dari mereka.
Mereka tidak berbanding, namun hanya cinta yang membuat lebih di antara keduanya. Aku masih istikharah di gerai pagi yang mulai memunculkan fajar. Selangkah lagi aku harus tersenyum di antara bidadariku.
Selembar biodata Aliya yang disodorkan Syamsiah, kuraba dengan iba. Ada bekas tetesan air yang mencairkan tulisannya. Ada segurat tanya, apakah ini air mata? Duka atau suka? Bahagia atau kecewa? Milik Aliya atau...? Syamsiah kah yang melahirkannya? Kenapa?
“Apakah benar kau tidak menyukaiku, Syamsiah? Sehingga aku tak pantas untukmu?” Aku harus berhenti mengharapkan hampa, dan angin gua yang akan membuatku sepi. Aku sudah meletakkan telapak tanganku di pintu hati Aliya.
***
“Kuharap, aku benar-benar bahagia dengan kebahagiaan Aliya, dan Icam pun akan memahaminya, Aamiin,” tutup Syamsiah di baris akhir diarynya, sebelum titik menyudahi cinta dan membangkitkan ikhlasnya. Walau ia tahu ini makruh baginya, mendahulukan orang lain dalam hal ibadah-pernikahan.[]
Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution
0 komentar: