Tampilkan postingan dengan label Lis Maulina. Tampilkan semua postingan

Cerpen Lis Maulina: Yang Luruh Satu-satu

SUNYI mencekam keduanya. Sudah hampir limabelas menit, tak seorang pun buka suara. Seakan enggan untuk menggerakkan bibir. Desau angin sore semakin mencekam suasana. Hening, bagai berada di kompleks pemakaman.
Miko melirik gadis yang duduk di sampingnya. Dengan sudut matanya, ditelitinya wajah itu secara seksama. Dicobanya mengartikan garis-garis yang ada di sana.
Merasa diperhatikan, Rinda mengangkat wajahnya. Mata mereka beradu, lama. Tapi, ah! Miko masih belum menemukan makna yang pasti dalam tatapan bola bening itu. Sorot mata yang lembut menutupi emosi yang tersirat di dalamnya.
Miko mendesah. Di mana kau sembunyikan gejolak perasaanmu, Manis? Ataukah kau memang tidak mempunyainya?
Gantian Miko yang menunduk. Digigitnya bibir, menutupi resah. Diremasnya jemari. Napas yang tertahan dihembuskannya kuat-kuat. Beban terasa berkurang, walau sedikit.
"Rin," paggil Miko akhirnya.
"Hem."
Hanya itu saja suara yang keluar dari bibir tipisnya. Tak ada reaksi lain, apalagi yang berlebihan. Kembali Miko harus kecewa.
"Kau sudah mengerti apa yang kukatakan?"
Sedetik setelah pertanyaan itu selesai, Miko menyesali diri. Pertanyaan bodoh, makinya sendiri dalam hati.
"Yah."
"Kau tidak kecewa?"
Rinda tersenyum pahit. Kau tidak kecewa? Astaga, pertanyaan apa pula itu? Cewek mana yang tidak kecewa, cowok tersayang ternyata tidak bisa hadir pada hari bersejarahnya? Cewek mana yang tidak kecewa merayakan pesta ulangtahunnya tanpa didampingi cowoknya? Cewek mana yang tidak kecewa membayangkan betapa bingungnya dia nanti memilih, kepada siapa potongan kue yang pertama harus diberikan? Cewek mana?
Rinda menelan ludah. Getir. Kalau saja Miko tahu, betapa payahnya dia menahan perasaan yang berontak. Betapa sulitnya mengatasi protes-protes beruntun. Betapa lelahnya menabur hiburan untuk menyelimuti kekecewaan yang menebal. Kalau saja kau tahu, Miko, tentu pertanyaan konyol seperti itu tidak akan kau lontarkan.
Tadinya Rinda berharap, lusa adalah ulangtahun yang paling istimewa. Dia didampingi cowok yang paling dikasihinya. Dia sudah membayangkan betapa bahagianya nanti.
Mendapat hadiah istimewa dari Miko, lalu ditemani meniup lilin, dan memberikan potongan kue pertama padanya. Lalu Miko akan diperkenalkan kepada seluruh keluarga.
Ah, betapa bahagiakan!
Tapi kabar yang dibawa Miko beberapa puluh menit lalu, membuyarkan semua angan-angannya. Hantaman kekecewaan mengguncang dadanya, bergetar sampai ke seluruh persendian. Segala daya dicobanya untuk bertahan. Perasaannya yang mendidih disiramnya dengan air sejuk. Dan dia berhasil. Sampai keadaannya kembali normal.
Pengertian yang amat dalamlah yang meredakan segalanya. Kasih sayangnya pada cowok itu membentengi emosinya. Hingga dia tampak tegar, tak goyah walau sedikitpun.
Rinda mengerti, Miko harus pergi. Sekolah memerlukannya memperkuat tim basket guna menghadapi tim sekolah yang akan dikunjungi dalam pertandingan persahabatan.
Sebenarnya sudah lama Rinda tahu, sekolahnya akan mengadakan kunjungan ke sekolah lain di luar kota. Dia tahu, dalam kunjungan itu akan dilaksanakan pertandingan-pertandingan olahraga. Dan itu berarti Miko harus ikut. Karena dia adalah tulang punggung tim basket sekolah.
Tapi Rinda sama sekali tidak menduga kunjungan itu akan dilaksanakan besok. Padahal rencana semula bulan depan. Entah mengapa jadi dipercepat. Namun yang membuatnya benar-benar kecewa karena waktu keberangkatan bertepatan dengan rencana perayaan hari ulangtahunnya.
Padahal tadinya Rinda berencana ikut menemani Miko. Sekedar menjadi suporter. Tapi kini, jangankan untuk ikut, kunjungan itu malah mengacak-acak seluruh rencana yang disusunnya. Kunjungan itu merampas Miko dari sisinya, lusa.
"Rin." Sentuhan di jemari membuatnya agak tersentak.
"Kau melamun?"
Lagi-lagi Rinda hanya tersenyum pahit.
"Kau dengar pertanyaanku tadi , kan?"
Rinda mengangguk. "Dan kurasa kau sudah tahu jawabnya."
"Kau jangan membuat aku bingung, Rin!"
Rinda tidak menjawab. Sorot matanya yang lembut tapi menusuk membuat Miko gelagapan. Namun dia sempat menangkap getar-getar aneh di mata itu.
Yah, beberapa rontaan kecil tersimpan di balik ketenangan tatapannya. Makin lama Miko menatapnya, makin besar dan banyak rontaan-rontaan itu, sampai akhirnya menjadi riak-riak bening. Di sana tergambar jelas butir-butir kekecewaan yang dilapisi oleh lembaran kasih yang tulus.
"Maafkan aku, Rin! Maafkan!" desahnya penuh sesal.
"Aku..."
"Aku tahu," potong Rinda cepat. "Dan aku mengerti. Pergilah!"
"Rin?" Mata Miko terbelalak.
"Aku tak mungkin membiarkan tim basket kita menelan kekalahan. Kau sangat mereka butuhkan. Walau kuakui, aku juga membutuhkanmu. Tapi ini demi kepentingan kita bersama, demi sekolah kita, maka pergilah!"
Ingin rasanya Miko langsung memeluk gadisnya yang berhati malaikat ini. Betapa bangganya dia mempunyai gadis searif ini.
Diraihnya jemari Rinda.
"Aku berjanji Rin, secepatnya aku akan kembali. Setelah pertandingan selesai, aku akan langsung pulang."
"Jangan terlalu dipaksakan!"
"Tidak, Rin! Ini adalah kesempatan terakhir bagiku untuk membahagiakanmu sekaligus mengharumkan nama sekolah kita. Dan aku tidak mau kehilangan keduanya."
Walau dengan agak heran mendengar kalimat yang meluncur penuh semangat itu, Rinda mengangguk juga.
"Itu terserah padamu. Pokoknya, aku titip nama sekolah kita."
"Beres."

***

ORANG yang seharusnya menikmati kebahagiaan ini justru lebih banyak diam menjadi penonton. Kadang-kadang saja dia ikut tersenyum melihat tingkah polah tamu yang berbagai macam. Namun dia lebih sering kedapatan melamun, menatap kue ulangtahunnya dengan pandangan kosong.
Sebenarnya Rinda sudah berusaha membaur kebahagiaan dengan tamu-tamunya. Menghambur tawa dan canda. Bukankah hari ini perayaan ulangtahunnya? Mestinya dia yang lebih bergembira. Tapi walau sudah diusahakannya, sebentar saja ia dapat menarik senyum, setelah itu kembali pada rasa hampa.
Akhirnya Rinda bosan sendiri. Dibiarkannya para tamu menikmati kegembiraan. Sedangkan dia diam-diam menyingkir ke pojok ruangan dan melamun. Menghayati arti kesunyian hatinya.
Kalau ada Miko, tentu tidak begini keadaannya. Dia pandai membuat suasana menjadi ceria. Dia yang paling ahli memancing tawa Rinda. Tiba-tiba saja Rinda menjadi rindu pada cowok itu. Sedang apa dia, ya?
Tanpa sadar Rinda melirik sepotong kue yang terletak di samping kue tart besar. Itu adalah kue potongan pertama yang disimpannya untuk Miko.
Sementara di luar angin berhembus cukup kencang. Terbukti bayangan pepohonan yang terlihat dari jendela, meliuk-liuk bagai menari. Mungkin hujan akan turun. Malam ini jauh dari cerah, sama seperti suasana hati Rinda. Tapi keadaan cuaca di luar tidak mempengaruhi kemeriahan pesta.
"Rinda!" Sayup-sayup suara panggilan itu singgah di telinga Rinda.
Rinda tidak bereaksi. Hanya telinganya yang sedikit kaget karena menangkap getaran suara itu. Getaran suara itu mamang terlalu lemah untuk dipedulikan. Lebih sering dianggap hanya sebagai gema hati sendiri.
"Rinda!" Kali ini panggilan itu terdengar jelas.
Kini Rinda mulai beraksi. Mula-mula hanya mata Rinda yang sedikit mendelik. Lalu lehernya mengikut arah dari mana suara itu tadi terdengar. Rinda terkesiap ketika seraut wajah di balik kaca jendela.
Cepat Rinda bangkit dari tempat duduknya. Bergegas ke luar menuju taman. Wajahnya tiba-tiba menjadi cerah.
"Miko!" serunya tertahan ketika matanya tertumbuk pada sosok tubuh kumal di hadapannya.
"Kau benar-benar nekat rupanya."
Miko tertawa renyah. Dikeluarkannya sebuah kotak mungil dari balik punggungnya.
"Aku tidak mau menunggu besok, kan sudah bukan tanggal 14. Hampir saja aku tak bisa menemuimu lagi. Untung aku masih diberi izin."
Rinda tersenyum bahagia. Akhirnya Miko datang juga.
"Syukurlah kalau begitu. Ayo masuk!" Akan kuperkenalkan kau kepada tamu-tamuku," kata Rinda sambil menarik tangan Miko.
Miko bergeming dari tempatnya. Rinda jadi heran karenanya.
"Jangan, Rin! Malu kan, aku kucel begini?"
"Ah, peduli apa? Itu kan cuma luarnya saja. Aku tidak malu, kok."
"Iya, kau tidak, tapi aku yang malu. Masak aku yang kucel begini mendampingimu yang terlihat seperti bidadari. Kau cantik sekali, Rin."
Warna merah memenuhi wajah Rinda. Tatapan lembut Miko membuatnya agak jengah.
"Tunggu sebentar, ya! Aku ambil kue dulu. Aku sengaja menyimpannya untukmu." Rinda menghilang ke dalam tanpa bisa dicegah. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan serba salahnya karena pujian Miko.
Sebentar kemudian gadis itu sudah kembali berada di taman. Disodorkannya potongan kue itu pada Miko. Anehnya, Miko malah menggeleng.
"Kenapa?" tanya Rinda kecewa.
Miko diam tak menjawab.
"Baiklah, kalau kau tidak mau memakan kue ini, aku juga tidak mau menerima hadiahmu," ucapnya sedikit ketus.
Miko tertawa.
"Baiklah, kau main ancam segala, sih! Hadiah itu aku beli langsung dari Martapura dan kubawa khusus buatmu. Masak tidak kamu terima? Sia-sia dong perjalananku..."
Miko mengambil potongan kue itu dan memakannya sedikit. Sedang Rinda mengambil bingkisan yang disodorkan Miko.
"Rin."
"Ya."
"Boleh nggak aku mencium pipimu sebagai ucapan selamat?"
Rinda tersentak. Dipandanginya Miko dengan heran. Permintaan itu terasa ganjil di telinganya. Selama ini, tak pernah sekalipun Miko mengajukan permintaan yang aneh-aneh. Tapi demi melihat mata yang penuh harap itu, Rinda mengangguk juga. Sekali-sekali toh tidak ada salahnya, pikirnya kemudian.
Dengan dada berdebar aneh Rinda membiarkan bibir Miko mulai mendekati pipinya. Makin dekat, kian kencang juga debar itu. Dan napasnya hampir berhenti ketika bibir itu tinggal beberapa senti lagi akan menyentuh pipinya. Tapi...
"Rinda!"
Teriakan melengking yang dapat Rinda tebak adalah suara mamanya itu, mengacaukan segalanya. Ada apa kok mama pakai teriak-teriak segala? Kayak ada perampokan saja. Mama yang lembut dan anggun itu, apakah sedang berlatih jadi Tarzan?
Miko cepat menutup mulut Rinda ketika dia ingin balas berteriak menjawab panggilan itu.
"Jangan berteriak begitu!" larangnya agak galak. "Kamu kan sudah dewasa sekarang."
Rinda menurut, dia berdiri hendak memenuhi panggilan itu. Tapi Miko juga melarangnya.
"Jangan sekarang!"
"Kenapa, sih?" tanya Rinda penasaran.
"Penuhi dulu janjimu!"
"Huh, nggak sabaran banget! Mulai nakal ya sekarang?" rajuk Rinda.
"Kamu kan sudah janji."
"Baiklah."
Akhirnya Rinda mengalah. Disodorkannya pipinya, memejamkan matanya. Tiga kali Miko mengecupnya lembut, membuatnya terasa terbang di awang-awang.
"Udah, kan? Aku nemui Mama dulu, ya!"
Miko mengangguk, Rinda pun bangkit. Tapi sebelum sampai di ambang pintu, Miko memanggilnya lagi.
"Ada apa lagi?" tanya Rinda sedikit sewot.
"Aku sayang kamu."
Ah, kalimat lembut itu sempat membuat Rinda terpana. Suara Miko itu bagai bergaung di rongga dada dan kepalanya. Dan senyum itu bagai mmenebarkan kesejukan kasih sayang tulus ke seuluruh jiwa raganya.
"Aku juga sayang kamu," kata Rinda. Balas tersenyum tak kalah lembutnya.
Kemudian Rinda berbalik, memasuki ruangan pesta yang tiba-tiba saja menjadi sunyi mencekam. Musik yang tadi gegap gempita, kini hening. Para tamu juga berdiri mematung, mengikuti kebisuan suasana. Wajah-wajah mereka pun tidak seceria tadi. Berlawanan sekali dengan wajah Rinda yang berseri-seri. Melihat Rinda muncul, Mama langsung merangkulnya. Rinda tentu saja heran setengah mati. Apalagi melihat mata Mama yang memerah dan wajah Papa yang keruh.
"Ada apa, Ma?" tanya Rinda tak bisa menyembunyikan keheranannya.
Mama tidak menjawab, malah terisak-isak. Rinda jadi tambah bingung. Dia celingak-celinguk, minta penjelasan pada orang-orang di sekitarnya. Tapi mereka juga hanya diam. Ada yang sengaja menghindar dengan menundukkan kepala atau pura-pura menoleh ke arah lain.
Papa mendekat. Dirangkulnya Mama sebentar, kemudian ganti merangkul Rinda. Diusapnya rambut Rinda dengan penuh kasih. Walau bingung, perlakuan itu tetap diterimanya. Dirasakannya tangan Papa gemetar.
"Kau anak Papa yang tabah kan, Rin? Kau kuat kan, Nak?"
Suara yang tersendat itu mengiris hati semua yang mendengarnya.
"Jangan membuat Rinda mati kebingungan, Pa! Katakan saja apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Rinda tak sabar lagi.
Papa menghela napas, mengumpulkan kekuatan.
"Miko, anakku! Dia ..."
"Kenapa Miko, Pa? Dia baik-baik saja, kok. Dia tadi ke sini menemui Rinda. Katanya, dia tidak bisa menunggu besok untuk mengucapkan selamat. Dia juga memberikan hadiah. Tadi Rinda baru datang menemuinya di taman. Katanya dia malu masuk, karena kucel dan kumal sehabis menempuh perjalanan jauh."
Semua terpana mendengar penuturan Rinda. Mama bertambah keras tangisnya. Papa memeluknya.
"Rinda, setelah pertandingan, Miko minta izin pulang duluan, karena ingin menghadiri pesta ulangtahunmu. Tentu saja kami izinkan. Kami tidak ingin dia kecewa, sebab dia sudah memberikan kemenangan pada sekolah kita." Tiba-tiba datang penjelasan dari arah belakang.
Ternyata Mas Puji, pelatih dan pembimbing tim basket sekolahnya. Rinda menunggu lanjutan dari kalimat-kalimatnya yang patah-patah.
"Tapi setelah dua jam, kami mendengar berita, mobil yang ditumpangi Miko mengalami kecelakaan, tabrakan. Semua penumpang meninggal, termasuk... Miko."
Bagai kejatuhan batu berton-ton beratnya, Rinda merasa kepalanya menjadi teramat berat. Bumi tempatnya berpijak bagai retak.
"Tidak!" katanya sambil menggeleng kuat-kuat. "Tadi dia ada di sini! Dia mengucapkan selamat padaku, memberikan hadiah, dan aku memberikan sepotong kue untuknya. Betul! Dia masih ada. Dia selamat, tak kurang suatu apa. Kalian jangan mempermainkan aku! Kalau tidak percaya, kalian boleh melihatnya di taman."
"Tidak ada siapa-siapa di sana, Rin!"
Seseorang masuk, Rangga, sepupunya. Rupanya dia disuruh Papa memeriksa taman. Tangannya membawa piring kecil berisi sepotong kue yang sudutnya sudah tidak utuh lagi.
"Aku hanya menemukan kue ini," katanya sambil meletakkan piring itu di atas meja.Rinda cepat menyerobotnya.
"Nah, betul, kan? Dia memang ada. Ini buktinya. Dia yang tadi memakannya sedikit. Mulanya dia tidak mau, tapi kupaksa. Nah, dia benar-benar ada, kan? Dia pasti bersembunyi. Dia pasti ingin menggodaku. Kalian pasti mempermainkanku."
Rinda berlari menuju pintu. "Miko, Miko! Ini aku, Miko. Ayo keluar! Kau masih ada kan, Miko? Kau tidak mati seperti yang mereka katakan, kan? Miko! Kembali Miko! Jangan tinggalkan aku! Miiikkkkoooo!"
Tubuh Rinda yang bersandar di sisi pintu. Tiba-tiba saja melorot turun, seiring dengan melemahnya jeritannya. Secepat kilat orang-orang menghambur menolongnya.

***

AKHIRNYA toh Rinda harus mempercayainya. Akhirnya ia harus menerima kenyataan yang ada. Walau semula ia bersikeras untuk tidak percaya. Ia berkeras mengatakan Miko masih hidup. Tapi kemarin, semua kekerasannya luluh, ketika melihat sosok tubuh yang terbaring tenang.
Sosok itu memang milik Miko. Namun Rinda masih belum percaya. Dicarinya suatu tanda pada sosok itu yang mungkin bukan milik Miko. Dicarinya perbedaan antara sosok itu dengan Miko.
Rinda belum putus asa. Walau semua orang berusaha meyakinkannya, Rinda belum percaya. Tapi tahi lalat itulah yang akhirnya memaksa Rinda untuk percaya. Tahi lalat yang dipunyai Miko, di sela jari manis sebelah kirinya, ternyata juga dipunyai sosok beku di hadapannya. Barulah dia sadar, senyum kedamaian yang terukir di bibir sosok itu, sama dengan senyum Miko yang terakhir kali dilihatnya.
Yah, sama persis.
Tuhan, misteri apa yang Kau perlihatkan kepadaku? Kau hadirkan dia ke hadapanku, Tuhan! Kau sempatkan dia utuk mengucapkan selamat padaku, meninggalkan sebuah bingkisan terakhirnya padaku. Tuhan, Kau perlihatkan sebagian kekuasaanMu padaku, hingga akalku tidak bisa menjangkaunya.
Rinda menarik napas panjang. Teringat dia dengan sikap Miko yang agak aneh sebelum kepergiannya. Teringat dia ketika Miko mendatanginya untuk terakhir kalinya.
Teringat dia dengan keganjilan peristiwa itu. Lalu teringat dia dengan kecupan sayang Miko yang pertama sekaligus yang terakhir untuknya. Ah, bagai mimpi saja rasanya. Kecupan itu masih terasa hangatnya sampai sekarang.
Rinda memandangi nisan yang berukir nama Miko iti tajam-tajam. Lalu dipandangnya daun-daun yang berguguran karena sengatan kemarau.
Kau lihat daun-daun itu, Miko? Kau lihat? Mungkin seperti itulah aku sekarang ini. Kering, lalu luruh satu-satu. Menunggu musim hujan berikutnya, baru akan tumbuh lagi. Tapi aku tak yakin, aku akan seperti itu, tumbuh pada musim hujan berikutnya. Mungkin malah akan terus luruh satu-satu, sampai habis sama sekali.
Tapi jangan takut, Miko! Aku akan berusaha menumbuhkannya lagi. Aku akan berusaha untuk membangkitkan menara harapanku yang telah rubuh. Aku akan berusaha menyusun lagi keeping-keping hati yang hancur. Sesuai pesanmu yang terakhir.
Rinda berdiri dan mengajak batu nisan di hadapannya untuk tersenyum. Selamat jalan, Miko! Damailah kau di sana bersama Illahi yang bijaksana.
Lambat tapi pasti, Rinda melangkah pergi. Meninggalkan pemakaman itu. Meninggalkan nisan Miko. Meninggalkan daun-daunan yang terus luruh satu-satu.
Selamat jalan, Miko![]


Catatan:
Dimuat di Anita Cemerlang Vol. 330 tgl. 19-28 Maret 1990

Sumber:
https://www.wattpad.com/story/92514579-yang-luruh-satu-satu-tamat

Cerpen Lis Maulina: Kabut di Lontontour

DEWI malam masih menebar kelam ke permukaan Tanah Borneo, sementara sang bagaskara terlelap dalam selimut harizon. Kegelapan semakin pekat karena berbaur dengan kabut embun hasil uap air yang terhisap dari ribuan sungai dan anak sungai yang tertoreh di Bumi Kalimantan.
Kabut yang melingkupi Sungai Teweh, salah satu sungai yang mengalir di pedalaman Kalimantan Tengah mendadak tersibak pendar cahaya terang benderang. Sungai Teweh terbelah. Sebuah kapal perang besar dan megah meluncur gagah, mengusir kegelapan di sepanjang sungai.
Sontak, keheningan terkuak. Seolah ikut terkejut, seluruh binatang penghuni sekitar Sungai Teweh terjaga. Nyaris bersamaan, mereka bersuara, seakan mengungkapkan kekaguman pada benda asing yang berenang menyusuri sungai.
'Onrust', nama itu terukir indah di badan kapal yang tampak sangat kokoh. Bendera merah putih biru berkibar gagah di puncak layarnya. Sementara di geladak, berbaris deretan meriam yang siap menyalak, dijaga puluhan prajurit berkulit putih berseragam serdadu. Mereka mengawasi pemandangan sepanjang Sungai Teweh dengan tatapan waspada.
Dalam kabin kapal yang mewah, berkumpul beberapa prajurit berpangkat tinggi. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja bundar, sedang serius berdiskusi. Mereka adalah Komandan Van der Velde, Letnan I Bangert, Van Perstel, dan Van der Kop yang ditugaskan memimpin ekspedisi ke Sungai Teweh guna menemui Temenggung Surapati untuk sebuah misi penting.
"Letnan yakin, Temenggung Surapati mau membantu kita mengatasi Pangeran Antasari?" tanya Van der Kop yang bertubuh tinggi kurus, berhidung bengkok, dan bermata setajam elang.
"Saya optimis," ujar serdadu berpangkat letnan menyahut mantap. Dia bertubuh lebih gempal. Berusia sekitar 40-an. Namun kumis dan jenggotnya yang tidak beraturan membuatnya kelihatan jauh lebih tua dari usianya yang sebenarnya.
"Benarkah Letnan pernah menjalin hubungan persahabatan dengan Temenggung Surapati?" Kali ini Van Perstel yang bertanya. Dia adalah yang paling muda di antara mereka.
"Itulah yang membuat saya yakin. Dua tahun lalu, Temenggung Surapati dan kita pernah menjalin persahabatan melalui hubungan dagang. Bahkan saya dan Komandan Militer Marabahan Stuurman JJ Meyer pernah dijamu olehnya."
"Berarti Letnan sudah sangat mengenal Temunggung Surapati. Bagaimana menurut pendapat Letnan orang itu?" tanya Van der Velde, sangat ingin tahu.
"Selain seorang pemimpin, Temunggung Surapati seorang pengusaha dan saudagar. Bila kita memberikan tawaran yang menguntungkan, saya yakin, dia tidak akan keberatan membantu kita. Selain kita tawarkan hadiah, sebaiknya kita juga memberinya gelar kebangsawanan--- Pangeran, misalnya. Pastinya dia semakin tidak bisa menolak," tutur Letnan Bangert bersemangat.
Komandan Van de Velde mengangguk-angguk sambil mengelus-elus kumisnya yang berwarna kepirang-pirangan.
"Baik. Sekarang, kita diskusikan isi surat untuk Temenggung Surapati agar dia tertarik dan mau membantu kita!"
"Sebaiknya memang begitu."
Kemudian mereka kembali terlibat dalam diskusi serius. Sementara Kapal Onrust terus melaju, mendekati Desa Lontontour, sebuah kampung yang terletak di antara Muara Teweh dan Buntok.

***

"ABAH mana, Ma?" Diang Azizah mendekati Ibunya yang sedang sibuk menghidupi dua tungku di dapur.
Gadis remaja berambut panjang dan ikal mayang ini dari tadi mengitari rumah mereka yang berarsitektur Rumah Banjar Baanjung 1), mencari Abahnya. Namun, dia tidak menemukan lelaki gagah yang menjadi panutannya itu. Dia hanya menjumpai Uma 2)nya sedang sibuk di dapur.
"Ke rumah Temenggung Surapati," jawab Umanya tanpa menoleh.
"Bukannya tadi malam sudah pulang?"
"Benar. Tapi subuh berangkat lagi. Katanya, dia akan ikut menemani Temenggung Surapati bersama beberapa pemuka lainnya menjumpai Pangeran Antasari di Guriyu."
"Apakah mereka bermaksud merundingkan masalah kedatangan Tentara Belanda dengan Kapal Onrust beberapa waktu lalu di kampung ini?"
"Tampaknya begitu."
Diang Azizah mengangguk mengerti. Abahnya, Haji Ibrahim adalah orang kepercayaan Temunggung Surapati, orang Dayak Siang yang dipercaya memimpin di daerah di Sepanjang Sungai Teweh. Abahnya sendiri sebenarnya berdarah Banjar, namun sewaktu muda merantau dan bertemu jodoh gadis Bakumpai yang sekarang jadi ibunya. Akhirnya mereka sekeluarga menetap di Lontontour. Di sinilah Haji Ibrahim mengenal Temenggung Surapati, kemudian memutuskan untuk mengabdi setelah tokoh Dayak Siang itu bertekad membantu perjuangan Pangeran Antasari melawan penjajahan kolonial Belanda..
Diang Azizah punya empat kakak laki-laki. Namun, sejak Perang Banjar dikobarkan tanggal 28 April 1859 dengan diserangnya Benteng dan Tambang Batubara Belanda di Pengaron oleh Pangeran Antasari dan ksatria Banjar lainnya, tak ada cita-cita lain di hati para pemuda Banjar dan Dayak, selain mengusir Belanda yang sudah begitu banyak menumpahkan darah saudara-saudara mereka. Demikian juga halnya dengan keempat kakak lelaki Diang Azizah.
Ketika Temunggung Surapati yang menikahkan putranya, Temunggung Jidan dengan salah seorang cucu Pangeran Antasari, Haji Ibrahim membawa keempat putranya menghadap mereka untuk bergabung dengan pejuang lainnya di bawah pimpinan Pangeran Antasari.
Sekarang, menurut kabar, Kakak tertuanya, Abdul Latif dan kakak bungsunya, Ahmad Basit, bergabung dengan Pasukan Temenggung Jalil yang memimpin perlawanan di daerah Banua Lima. Sementara kakak kedua dan ketiganya, Abu Hanifah dan Ali Hamzah, berjuang dibawah pimpinan Demang Lehman di sekitar Martapura dan Tanah Laut.
Diang Azizah sangat bangga pada kakak-kakaknya. Bahkan dia sendiri sebenarnya juga berniat ikut berjuang, bergabung dengan pasukan wanita yang dipimpin Ratu Zaleha, cucu Pangeran Antasari. Tapi Umanya masih keberatan, dan Abahnya belum mengizinkan. Padahal, Diang Azizah rajin berlatih olah keprajuritan. Abah sendiri yang melatihnya. Hanya saja, menurut Abah, ilmunya masih belum cukup untuk dibawa terjun ke medan perang. Apa boleh buat. Terpaksa dia harus sabar menunggu.
"Katanya, orang-orang Belanda itu berusaha membujuk Temenggung Surapati untuk mengkhianati Pangeran Antasari. Benar begitu, Ma?"
"Iya."
"Apa Temenggung mau?"
"Jangan bodoh! Bila Temenggung Surapati serendah itu, mengapa dia berusaha menghindari bertemu mereka? Saat utusan Belanda menjemputnya, yang datang menemui hanya menantunya. Sementara Temenggung menghindar dengan alasan sakit kaki. Itu saja sudah mengungkapkan sikap Temenggung."
"Benar juga, ya!" Diang Azizah mengangguk. Abah begitu menghormati dan mengagumi Temenggung Surapati. Melalui cerita Abahnya, Azizah ketularan hormat dan kagum. Jadi, tidak mungkin Temenggung Surapati menjadi seorang pengkhianat, apalagi terhadap Pangeran Antasari, sahabat sekaligus besannya.
"Sudahlah! Jangan ikut-ikutan berpikir masalah itu! Sekarang, kamu bantu Uma mencuci. Pakaian kotor kita sudah bertumpuk."
Azizah langsung manyun. Selalu begitu. Uma selalu tidak suka dia ikut campur dalam persoalan perjuangan Abah bersama Temenggung Surapati. Pasti karena dia takut Azizah ikut terjun ke medan perang. Soalnya, hanya dia satu-satunya yang masih tertinggal di rumah.
Meski demikian, Azizah melangkah juga, mendekati bakul berisi pakaian kotor. Dia mengangkatnya ke pinggang berikut sebuah ember dan peralatan cuci lainnya. Dia keluar lewat pintu dapur, menuju Sungai Teweh untuk mencuci.
Bagaimanapun, Azizah bisa memaklumi perasaan Umanya. Kehilangan empat anak untuk berperang pastilah tidak mudah. Apalagi bila harus ditambah lagi dengan putri satu-satunya yang masih tertinggal. Dia sangat mengerti bila Umanya keberatan.

***

"DING! Ading 3) Diang!"
Diang Azizah berhenti melangkah. Dia menoleh, mencari asal suara. Dia menemukan seseorang di balik pohon sawo yang tumbuh di pinggir jalan. Dadanya berdebar seketika. Meski dia sudah mengetahui siapa yang memanggilnya - karena suara itu belakangan sangat akrab di telinganya, tak urung, hatinya berdesir juga.
"Ading mau ke mana?"
"Ke batang, mencuci," sahut Diang Azizah agak tersipu.
"Jangan ke batang sebelah sana, terlalu banyak orang! Ke batang di sebelah ilir saja, lebih nyaman!" ujar lelaki gagah bersaung4) kain sasirangan bermotif daun sirih itu. Tangan kanannya memegang tombak balilit 5) yang terselip di pinggang, membuatnya semakin terlihat perkasa.
"Sendirian?" Diang Azizah melebarkan matanya.
Bukannya dia takut. Batang sebelah ilir memang letaknya agak terpencil, di pinggir kampung sehingga lebih sepi, jarang digunakan penduduk. Tapi Diang bukan gadis penakut. Dia hanya tidak suka mencuci sendiri. Bagusnya mencuci sambil ngobrol sehingga tidak terasa capek, pekerjaan sudah sudah selesai.
"Abang temani!"
Diang Azizah kembali tersipu. Tapi kemudian dia mengangguk. Dia kemudian memutar langkahnya, mengikuti Dayan--- Abang Dayan, begitu Diang Azizah biasa memanggilnya. Meski belum lama kenal, namun mereka sudah lumayan dekat.
Masih lekat di ingatan Diang Azizah ketika pertama kali bertemu Dayan di perbatasan Desa Lontontour. Lelaki itu tampak kebingungan. Ternyata, dia sedang mencari rumah salah seorang kerabatnya yang kebetulan tinggal sedesa dengan Diang Azizah. Makanya, dengan senang hati Azizah membantu mengantarnya.
Dayan mengatakan, dia dari desa Benangin. Dia juga bergabung dengan pasukan perlawanan rakyat yang dipimpin Pangeran Antasari di sepanjang hulu Sungai Barito. Hanya saja, karena dia asli orang Benangin, pimpinannya bukan Temenggung Surapati, melainkan Temunggung Aria Patty, tokoh setempat yang juga merupakan kepercayaan Pangeran Antasari.
Sejak perkenalan itu, dia dan Dayan semakin sering bertemu. Hanya berdua. Dayan memintanya menyembunyikan perkenalan mereka. Katanya, demi menjaga kerahasiaan misi yang diemban Dayan sebagai orang Temenggung Aria Patty. Dia seringkali menyamar untuk mendapatkan berbagai informasi penting demi perjuangan yang dipimpin Pangeran Antasari.
Diang Azizah suka sekali mendengar cerita Dayan. Terutama cerita tentang pengalamannya berperang melawan Belanda. Seru kedengarannya. Karena Dayan bercerita sekaligus dengan gayanya. Bahkan, Diang Azizah sering ditunjukkan kesaktian Dayan. Terutama tentang keampuhan senjata rahasianya.
Terkadang, Dayan mempersenjatai dirinya dengan Tombak Carang Suka Laras Hati 6) yang bermata besi dan tangkainya bambu kira-kira sepanjang 127 cm. Namun dia lebih sering membawa tombak balilit yang ukurannya lebih kecil, sehingga mudah diselipkan di pinggang. Dayan juga pernah memperlihatkan peluru pitunang 7) peluru besi yang bisa mencari sasaran sendiri. Dayan pun bercerita tentang sejarah baju berajah 8) yang dipakainya. Pakaian itu membuatnya kebal senjata tajam maupun senjata api.
"Abah pergi lagi, Ding?" tanya Dayan, menggugah lamunan Diang Azizah tentang pemuda itu.
"Abang tahu?" Diang Azizah balik bertanya sambil sedikit melirik melalui sudut matanya.
Entah kenapa, memandang lelaki berkulit kuning, bermata sipit, beralis tebal, berahang kokoh, dan berhidung tinggi itu selalu saja membuat wajahnya bersemu. Makanya, dia hanya berani mencuri pandang ketimbang menatap langsung.
"Iya, karena Temenggung Aria Patty juga pergi. Kalau tidak salah, selain Temunggung Surapati dan Aria Patty, Temunggung Maas Anom dan Temenggung Kartapatty juga ikut berangkat menemui Pangeran Antasari," ujar Dayan.
"Tentu saja, mengingat pentingnya masalah yang akan mereka bicarakan. Memang sebaiknya, seluruh pimpinan rakyat ikut berunding mencari penyelesaian," kata Diang. "Abang tidak ikut menemani Temenggung Aria Patty?"
Dayan menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Abang kebagian tugas berjaga-jaga. Makanya, Abang sekarang ke desa ini, untuk melihat-lihat, apakah Kapal Onrust sudah kembali. Bila sudah mendapatkan informasi, supaya secepatnya dilaporkan kepada Temenggung."
Diang Azizah mengangguk mengerti.
"Menurut Abang, apa kapal itu benar-benar akan kembali lagi?" tanyanya ingin tahu.
"Rasanya begitu. Mereka takkan berhenti sebelum keinginan mereka terlaksana. Mereka ingin berunding dengan Temenggung Surapati. Karena saat kedatangan pertama mereka tidak sempat bertemu, pasti mereka akan kembali lagi."
"Padahal, akan sia-sia saja membujuk Temenggung."
"Belum tentu."
Diang Azizah terperangah kaget mendengar jawaban Dayan. "Apa maksud Abang?"
"Eh... maksudku..." Dayan agak tergagap ditodong pertanyaan serupa itu. "Maksudku, mungkin saja tidak demikian pendapat petinggi Belanda di Onrust. Mungkin mereka punya taktik sendiri, misalnya memberikan tawaran menggiurkan yang takkan mungkin bisa ditolak."
"Maksud Abang, kesetiaan Temenggung Surapati bisa ditukar dengan tumpukan harta dan gelar kebangsawanan? Abang meragukan Temenggung?"
"Bu... bukan begitu maksudku." Dayan terdiam sesaat, mencari kalimat yang tepat. Pasalnya, wajah cantik Diang Azizah mulai menggambarkan ketidaksenangan. Maklum, siapa yang senang bila kesetiaan pahlawannya diragukan?
"Lalu?"
"Begini, Ding, Belanda tidak akan bertindak bodoh bila tidak melihat peluang ke arah itu. Mungkin saja, Temenggung Surapati memberikan kesan baik sehingga dianggap peluang untuk mereka. Kabarnya, dua tahun lalu Temenggung Surapati memang sempat bersahabat dengan Belanda, bahkan pernah makan bersama dengan Letnan Bangert, salah satu pimpinan ekspedisi di Kapal Onrust," papar Dayan.
Diang Azizah terdiam. Uraian Dayan cukup masuk akal. Meski demikian, dia tetap tak percaya. Temenggung Surapati mau bekerjasama dengan Belanda. Terlebih setelah melihat kekejaman mereka membantai rakyat yang tidak berdosa demi memaksakan kepentingan mereka. Diang tahu benar, meski tampak keras dan garang, sesungguh Temenggung Surapati adalah pemimpin yang berhati welas asih terhadap rakyatnya.
"Aku tetap tak percaya." Diang Azizah menggeleng tegas.
"Terserah!" Dayan mengangkat bahu. "Kita lihat saja perkembangannya nanti. Bila Kapal Onrust kembali dengan membawa setumpuk harta dan kemewahan, apa yang akan dilakukan Temenggung Surapati."

***

CUACA sore itu di Lontontour cerah. Langit tampak biru berhias sapuan putih awan tipis. Tak ada mendung setitikpun. Angin pun bertiup sepoi-sepoi, seakan mengajak dedaunan yang merimbuni kampung kecil yang dikeliling hutan tropis itu menari gembira. Burung-burung yang baru kembali ke sarang setelah seharian mencari makan ikut bernyanyi riang.
Secerah itu pula wajah Diang Azizah ketika melangkah meninggalkan rumahnya. Dia mengenakan baju kurung basisit 9) warna merah jambu. Rambutnya yang ikal mayang, rapi dikepang. Wajahnya yang bersih tampak semakin langsat disapu pupur tipis. Bibirnya yang tipis selalu mengulum senyum. Bahkan sesekali menggumamkan dundang 10) bernada riang.
"Ding! Ading Diang!"
Langkah Diang Azizah terhenti. Dia menatap sosok yang tiba-tiba muncul di balik rimbunnya semak dengan pandangan heran.
"Bang Dayan, bukannya kita berjanji bertemu di batang Ilir?"
"Maaf, aku tidak sabar, makanya menunggu di sini," ucap pemuda itu sambil mengembangkan senyum. "Aku sudah dandaman 11)."
Pipi kuning Diang Azizah bersemu merah. Mereka kemudian melangkah bersama menuju Batang Ilir, tempat mereka biasa bertemu.
"Bagaimana kabarmu beberapa hari ini? Baik? Bagaimana Uma? Ohya, Abahmu sudah pulang, kan? Bagaimana kabarnya?" cecar Dayan bertanya.
"Abang, bertanya seperti menembak Belanda saja, beruntun! Mana yang harus Diang jawab duluan?" Diang Azizah setengah merajuk.
Dayan tertawa. Dia mencubit pipi Diang dengan gemas. Diang yang tak sempat mengelak lagi-lagi tersipu. Malu tapi senang.
"Maaf! Terserah Ading mana yang ingin dijawab duluan," kata Dayan.
"Meski pertanyaannya banyak, jawabannya singkat. Semua baik-baik saja," ujar Diang Azizah setelah perasaan yang melayang kembali normal. "Abah sudah datang, baru pagi tadi."
"Oya? Bagaimana hasilnya? Maksud Abang, hasil pembicaraan pimpinan kita dengan Pangeran Antasari?"
"Abang pasti sudah mendengar dari Temenggung Aria Patty. Beliau juga sudah kembali, kan?"
Dayan mengangkat bahu. "Benar. Tapi aku belum sempat bertanya. Sejak pulang, kelihatannya sibuk terus mengurus segala sesuatu. Aku penasaran. Soalnya, kita kan sempat berdebat tentang masalah ini? Makanya, aku ingin tahu, apakah keyakinanmu atau firasatku yang benar."
"Tentu saja keyakinan Diang," cetus Diang bersemangat. Wajahnya tampak sumringah. "Sejak mula Diang sudah katakan, meski tumpukan harta dan gelar ditawarkan, tidak mungkin Temenggung Surapati mau mengkhianati Pangeran Antasari."
"Benarkah? Kudengar justru sebaliknya. Temenggung Surapati bersiap untuk menemui Letnan Bangert dan kawan-kawannya di 'Onrust'. Kebetulan, kabar terakhir yang kudengar, kapal itu memang sedang menuju kembali ke sini."
"Yee, Abang! Memang, Temenggung Surapati berencana menemui mereka, namun bukan untuk bekerja sama, malah sebaliknya, memasang perangkap untuk menjebak mereka!" tandas Diang Azizah.
Dayan terperangah kaget. "Perangkap?"
"Benar!" Diang Azizah mengangguk mantap. Dia senang, bisa mengetahui informasi yang tidak diketahui Dayan. "Diang sempat mencuri dengar dari pembicaraan Abah dan orang-orang Temenggung yang menemuinya tadi."
"Begitu?" Dayan manggut-manggut. "Pantas, Temenggung Aria Patty pun tampak sibuk. Kelihatannya sedang mempersiapkan perlawanan besar-besaran."
"Mungkin untuk membantu Temenggung Surapati."
"Kalau begitu, Abang harus kembali."
"Kenapa buru-buru, Bang? Bukannya kita baru bertemu?"
"Abang pikir, mungkin Temenggung Aria Patty memerlukan bantuan di situasi seperti saat ini. Pasti banyak yang harus dipersiapkan."
Wajah Diang Azizah mendadak tersaput mendung.
"Sekarang, Ading pulang dulu. Sudah sore. Bukannya masih banyak waktu untuk kita bertemu? Bukankah perjuangan mengusir penjajah di Jalan Allah di atas segalanya?" ucap Dayan membujuk lembut.
Ucapan ini membuat Diang Azizah mau tak mau mengangguk.

***

TUBUH Diang Azizah mematung. Darahnya berdesir, kemudian mendidih, dan akhirnya bergolak hebat. Jemarinya menggenggam erat, menahan perasaan yang mengaduk-aduk sanubarinya. Wajahnya merah padam menahan amarah. Sementara matanya berlapis baluran air kesedihan. Dan sudut hatinya, seakan ditusuk-tusuk ribuan jarum beracun, yang perlahan tapi pasti menebar rasa perih ke seluruh jiwa dan raganya.
"Bangsat! Dasar orang Dayak Siang bodoh! Mau dikasih enak, malah berniat menggigit. Tak tahu diuntung!" Seseorang menggeram marah.
Diang Azizah menggigit bibir.
"Sudahlah! Kamu mengumpatnya nanti saja! Sekarang, cepat kamu laporkan ke 'Onrust'. Cegat mereka di muara sungai, jangan sampai terlambat!" Suara Dayan tegas.
Diang Azizah semakin keras menggigit bibirnya, sampai dia merasa bibirnya pedih dan mengeluarkan cairan asin. Dia mengerjap, menahan gelombang air yang berontak di kelopak matanya.
Dayan, pemuda yang dipujanya itu ternyata bukan seorang pejuang panutan sebagaimana dugaannya semula. Sebaliknya, dia adalah mata-mata Belanda yang dikirim untuk mengorek informasi rahasia. Malangnya, dia mendapatkannya dari Diang Azizah dengan cara menebar pesona cinta. Sekarang, dia bersiap mengabarkan berita itu demi menggagalkan perangkap yang dipasang Temenggung Surapati. Diang Azizah merasa, dirinya gadis paling bodoh di dunia.
Seandainya dia tidak kembali, dia takkan pernah mengetahui kebenarannya. Seandainya dia tidak teringat, dia lupa memperlihatkan sesuatu pada Dayan sebagaimana yang direncanakannya semula. Sebuah benda pemberian Abah, oleh-oleh sekembalinya mengunjungi Pangeran Antasari. Sebuah sumpit dari bambu kuning, khas Suku Dayak, berikut sepuluh pelurunya yang terbuat dari buluh yang ditajamkan dan dibubuhi bisa mematikan.
Diang Azizah mengeraskan hati. Sesaat kemudian, dia sudah melompat, keluar dari rimbunnya ilalang tempatnya bersembunyi.
"Tunggu!" Teriakan Diang Azizah yang menggelegar bagai memantul di batang-batang pohon besar yang mengelilingi mereka. "Tidak ada yang boleh beranjak dari tempat ini!"
Kedua lelaki itu kaget setengah mati, terutama Dayan. Lelaki seorang lagi seusia dengannya, hanya memakai cawat, khas pakaian Dayak pedalaman. Namun tubuhnya terlihat bersih dan terpelihara, tidak terlihat seperti pemuda Dayak pedalaman yang kesehariannya bergelut dengan alam hutan tropis. Berarti, pakaian itu hanya salah satu cara penyamarannya.
"Ading! Ading belum..."
"Jangan sebut namaku dengan mulut kotormu! Bodoh sekali aku, sempat terbuai kata-kata manis penuh bisa yang telah engkau lontarkan. Sekarang aku tahu, kamu ternyata tak lebih dari seorang pengkhianat, budak penjajah yang menjual harga diri bangsanya!" semprot Diang Azizah dengan kemarahan.
"Ding, jangan sekasar itu! Sesungguhnya..."
"Diam kataku! Atau aku akan..." Diang Azizah perlahan mengambil sumpit yang terselip di balik baju kurungnya. Sebelum berangkat, dia sudah mengisi pelurunya, karena bermaksud memamerkan keampuhan di depan Dayan.
"Apa itu...?" Tiba-tiba Dayan tertawa terbahak-bahak. "Sumpit? Kamu akan membunuh kami dengan sumpit murahan itu?"
Lelaki di samping Dayan ikut tertawa. "Tampaknya, pacarmu ini sudah gila! Cepat urus dia! Aku harus bergegas mencegat 'Onrust'."
Dayan mengangguk. Lelaki itu bergerak cepat. Dengan gesit dia melompat, menaiki jukung yang tertambat di batang. Kemudian mulai mengayuhnya menuju muara.
"Tunggu, jangan bergerak! Atau..." Diang Azizah berusaha mencegah.
Tawa Dayan kembali bergema. "Tidak usah repot, Ding! Sumpit itu takkan bisa melukainya. Kalau tidak percaya, coba sumpit aku!"
Diang Azizah menatap Dayan dengan geram, sementara hatinya terasa tercabik-cabik. Bagaimanapun, dia pernah jatuh cinta pada pemuda itu.
"Kenapa diam? Tidak sanggup?" Dayan kembali tertawa pongah. Dia menatap Diang Azizah dengan pandangan meremehkan. "Bila meniup sumpit ke arahku saja tidak mampu, bagaimana pelurunya bisa menembus baju rajahku?"
Darah Diang Azizah bergolak makin hebat. Dia ingat ucapan Abah saat menyerahkan sumpit ini. Katanya, sumpit itu titipan kakaknya Abu Hanifah yang dihadiahi Demang Lehman melalui Pangeran Antasari. Sekilas sumpit itu memang seperti sumpit biasa.
"Namun dengan keikhlasan niat untuk fii sabilillah, sumpit ini akan menjadi senjata luar biasa," ujar Abah menirukan ucapan Pangeran Antasari.
Maka dengan tekat membaja, Diang Azizah mengangkat sumpitnya ke mulut. Dia menarik nafas dalam-dalam sambil mengucap 'Laa haula wa laa quwwata illaa billaah'--- tiada daya dan upaya selain dengan Allah SWT--, dia hembuskan udara yang terkumpul di dadanya sekuat tenaga.
Beberapa detik kemudian, sosok pemuda tampan dan gagah yang semula sangat dipujanya, roboh menimpa semak di tepi Sungai Teweh. Diang bergegas memeriksa sambil tetap waspada. Namun, Dayan benar-benar tak bergerak. Baju rajah kebanggaannya masih utuh. Namun peluru buluh berbisa menembus lehernya, menebar warna biru di sekitarnya.
Allahu Akbar...! Diang mengucap takbir. Meski dijaga beribu jimat dan rajah, bila Yang Maha Perkasa menghendaki, tak satu makhluk pun bisa menghindari.
Air menetes di pipinya. Seketika dia tersadar, tugasnya belum selesai. Bergegas dia berlari menyusuri tepian sungai, menuju arah jukung yang baru saja dikayuh menjauh.
Lima belas menit kemudian, sebuah jukung melaju tanpa kendali dan tersangkut di sebuah batang pohon yang agak menjorok ke sungai, di perbatasan Desa Lontontour. Di dalamnya ada sesosok lelaki berpakaian Dayak tersungkur tak bernyawa. Di beberapa bagian tubuhnya ditemukan peluru buluh yang merajah luka. Hanya lubang-lubang kecil, tapi membuat kulit disekitarnya berubah biru, dan dari lukanya mengeluarkan nanah yang menyebarkan bau busuk menyengat.

***

SEBUAH jukung perang merapat di Kapal 'Onrust'. Para serdadu Belanda menunggu di geladak. Saat penumpang yang berjumlah 15 orang satu per satu turun, Letnan Bangert bergegas menyambut. Dia langsung menghampiri seorang lelaki setengah baya berperawakan tegap berpakaian kebesaran yang didampingi anak dan menantunya.
Rombongan disambut hangat. Mereka dibawa ke kabin kapal yang ditata bergaya modern dan mewah. Mereka dijamu laksana tamu agung. Dihibur bak tamu kehormatan. Letnan Bangert dan kawan-kawannya berusaha keras meyakinkan Temenggung Surapati betapa menguntungkannya tawaran yang mereka ajukan. Temenggung Surapati mendengarkan dengan antusias.
Komandan Van der Velde membawa rombongan berkeliling. Dengan sombong dan bangga, petinggi VOC ini memperlihatkan betapa modern persenjataan yang mereka miliki di kapal itu. Jajaran meriam yang bisa menjangkau puluhan meter berikut gudang pelurunya. Kemudian berpeti-peti bedil dan senjata api lainnya. Belum lagi pedang, senjata andalan ketika peluru mereka habis, serta senjata tajam lainnya.
Sementara itu, di luar kapal, nyaris tanpa suara, puluhan jukung perang mendekat dan merapat. Kegembiraan yang melingkupi kapal membuat mereka lengah dan terlena.
Sebuah jukung yang membawa Gusti Lias yang pertama kali merapat. Dengan isyarat, jukung-jukung lainnya mengepung. Suara berbagai binatang hutan sepanjang sungai tiba-tiba terdengar bersahutan. Sampai suatu ketika, sebuah lengkingan terdengar menyentak. Ibon, putra Temenggung Surapati yang selalu mendampingi di sisi sang ayah menyahut dengan teriakan dahsyat. Bersamaan itu pula, mandau yang terselip di pinggangnya terhunus.
Teriakan Ibon merupakan isyarat bagi orang-orang Temenggung Surapati yang di dalam maupun di luar kapal untuk serentak menyerang. Perang pun tak dapat dihindarkan. Tentara Belanda kalang kabut. Mereka sama sekali tidak mengira akan mendapat serangan mendadak. Maka, sebelum sempat mengacungkan bedil, sabetan mandau sudah menjemput nyawa mereka, atau mata tombak sudah menancak di dada mereka. Mereka panik dan kocar-kacir.
Sekitar 50-an tentara Belanda yang ada di 'Onrust', termasuk Letnan Bangert, dan Van der Velde, tewas. Satu dua orang yang selamat hanyalah para pesuruh yang sengaja dilepaskan untuk memberi laporan yang menampar pemerintah Belanda. Seluruh persenjataan di kapal tersebut diangkut untuk membantu perjuangan Pangeran Antasari. Sementara Kapal 'Onrust' di tenggelamkan.
Kekalahan ini sangat memalukan Belanda. Mereka membalas dengan membumihanguskan kampung-kampung sepanjang Sungai Teweh, termasuk Desa Lontontour. Namun rakyat sudah mengantisipasi datangnya serangan balasan. Sebagian besar penduduk sudah diungsikan ketika Belanda menyerbu dan mengobrak-abriknya.
Haji Ibrahim dan keluarganya mengungsi, mengikuti pergerakan Temenggung Surapati dalam mendukung perjuangan Pangeran Antasari. Diang Azizah akhirnya diizinkan bergabung dengan pasukan wanita yang dipimpin Ratu Zaleha. Dia dikenal sebagai pejuang wanita bersenjatakan sumpit beracun, senjata yang mengingatkannya pada kenangan tentang kabut di Lontontour.[]


(Terinspirasi sejarah tenggelamnya kapal 'Onrust' yang bangkainya masih terkubur di dasar Sungai Barito)

Keterangan:
1) Rumah Banjar Baanjung : Rumah adat Banjar yang punya anjung di bagian kiri dan kanan sehingga menyerupai sayap.
2) Uma : Ibu
3) Ading : Adik
4) Laung ; ikat kepala
5) Tombak balilit : Tombak pendek bermata besi bertangkai kayu ulin.
6) Tombak Carang Laras Hati : Tombak panjang bermata besi bertangkai bambu.
7) Peluru pitunang : peluru yang bisa mencari sasaran sendiri seperti bumerang
8) Baju berajah : baju perang diberi rajah mantera sehingga memiliki kekuatan magis.
9) Baju kurung basisit : baju atas tanpa kancing dengan kerutan di leher, pakaian khas untuk gadis remaja.
10) Dundang : lagu/kidung
11) Dandaman : kangen/rindu

Catatan:
Dimuat di Annida No.17/XIV/16-30 Juni 2005

Sumber:
https://www.wattpad.com/story/135697708-kabut-di-lontontour

Cerpen Lis Maulina: Tears in Heaven

UNTUK ketiga kalinya bel berbunyi nyaring. Di siang yang garing dan sepi seperti ini, seakan memekakkan telinga. Dengan sangat terpaksa mata Sarah yang sudah tertutup kembali dibuka. Ditepiskannya rasa kantuk yang membebani kelopak matanya.
Sarah bangkit sambil mengomel panjang pendek. Dia ke luar kamar. Lorong tampak lengang. Semua pintu kamar tertutup rapat. Selalu begitu. Kalau lagi tidak diharapkan, bunyi bel pasti dicuekin. Penghuni kos mendadak tuli semua. Tapi kalo malam Minggu, denger suara motor saja, semua berebut menuju pintu. Berharap sang arjuna masing-masing yang datang.
Lagian ni orang iseng banget, gerutu Sarah dalam hati. Panas-panas begini sempat-sempatnya bertamu. Nggak tahu orang lagi butuh istirahat.
Sarah memutar kunci. Pintu dikuakkannya lebar-lebar. Sesosok tubuh jangkung berdiri di ambang pintu.
Sarah mendongak, mencoba mengenali wajah sosok itu dengan pandangan penuh kantuk. Pertama yang ditangkapnya adalah tubuh yang tinggi tegap, atletis. Kulit coklat muda dan bersih. Rahang kokoh dengan dagu belah. Bibirnya merah muda tipis mengukir senyum manis. Hidungnya tinggi, pangkalnya agak berkerut. Matanya coklat agak kehijauan dengan sorot tajam tapi juga lembut, menyejukkan. Alisnya hitam tebal, nyaris bertautan. Rambutnya kecoklatan, berombak jatuh ke bahu...
"Hallo, Sarah! Kau lupa padaku?"
Astaga! Sarah terkesiap. Suara bariton agak serak itu... Aksennya yang khas itu...
Buru-buru Sarah mempertajam pandangannya. Kantuknya hilang seketika.
"Rudolf?" desisnya tak percaya.
Senyum itu pecah menjadi tawa. Lepas berderai. Benar, itulah ciri khas tawa Rudolf! Rudolf Kretchmer!
"Kau..." Sarah langsung menyerbu cowok itu dengan gemas. Tinju kecilnya terayun.
Tawa Rudolf makin lebar. Dengan tenang dia menangkap tangan Sarah, lalu menariknya. Tubuh mungil Sarah jatuh dalam rangkulannya, tenggelam di balik lengan kukuh itu.
Sarah langsung berontak. "Dolf, apa-apaan kamu?" serunya dengan bibir maju lima senti dan pipi bersemu.
Rudolf mengacak-acak rambutnya. "I miss you, Sarah!"
"Dari dulu gombalmu belum hilang-hilang juga."
"I swear!"
"Siapa yang percaya sumpahmu? Buktinya sampe berbulan-bulan, nyaris setahun, kamu lenyap bagai ditelan bumi. Padahal janjinya mo rajin nulis surat. Sibuk sama cewek-cewekmu, ya?"
Rudolf terdiam. Dia menarik napas dalam-dalam. Lalu tersenyum kecut. "Lalu sekarang untuk siapa aku datang? Baru landing, langsung menemuimu di sini."
Sarah membelalak. Dia memandang Rudolf dari atas ke bawah. Matanya tertumbuk pada tas travel berukuran sedang yang teronggok di sisi kakinya. Lalu kembali pada tampang Rudolf yang kelihatan sedikit kusut.
"Kamu datang langsung ke sini?"
Rudolf menggeleng.
"Belum ke losmen? Belum istirahat?"
Kembali menggeleng.
"Edan! Apa perlu kuantar?"
Rudolf tertawa. "Tidak, terimakasih. Kulihat kau pun tampak kelelahan. Istirahatlah! Aku bisa ke losmen sendiri. Aku masih hapal tempatnya. Nanti sore aku ke sini, kau harus sudah siap menemaniku jalan-jalan keliling kota, oke?"
Tanpa menunggu persetujuan Sarah, Rudolf berbalik sambil menenteng tasnya. Kemudian mencegat becak.
Sarah terpaku sampai becak hilang di tikungan. Dia baru sadar ketika teman-teman kosnya muncul dan bertanya, "Andy Garcia, Sa?"

***

MERAPI berdiri kokoh. Sebagian tubuhnya diselimuti kabut tipis. Puncaknya membentuk maar, membuatnya keliatan garang dan sangar.
Sarah memperbaiki posisinya. Dari tebing ini, wajah Merapi terlihat begitu menakjubkan. Sangat sayang bila dilewatkan begitu saja.
Beberapa detik sebelum Sarah menekan tombol kameranya, tubuhnya didorong dari belakang. Sarah kaget. Keseimbangannya tak terkendali. Untung tangannya masih sempat meraih batang pohon dan memeluknya erat-erat. Kalau tidak, tubuhnya sudah sama nasibnya dengan kameranya yang jatuh terhempas ke dasar jurang. Hancur berkeping.
Sarah membalikkan badan. Matanya menatap sangar pada seseorang cowok yang berdiri dengan wajah pucat pasi. Agaknya dialah penyebab insiden tadi. Terbukti dari rasa bersalah yang tergambar jelas di wajahnya.
"I'm sorry. I didn't mean to..." ucap cowok itu gugup.
Sarah mendengus. Dia melangkah lebar dengan amarah.
"Wait a minute, please! Nona..." Cowok itu berhasil menangkap lengan Sarah. Ternyata dia jauh lebih sigap dan cekatan. Tapi melihat mimik wajah Sarah, dia kembali tergagap. "Maafkan saya, Nona! Saya... sungguh tak sengaja. Karena Nona akan saya ganti."
Cowok itu menyodorkan kameranya. Walaupun mungil, tapi jelas lebih mahal dari kepunyaan Sarah yang cuma sebuah kamera tua. Model terbaru keluaran luar, hasil teknologi modern.
"Nona..."
"Kamu kira aku mau menerimanya? Walau punyamu jelas lebih bagus dan lebih mahal, aku tetap tak sudi!" sembur Sarah. "Kameraku sudah mengabadikan moment-moment indah yang belum tentu ada di kameramu. Belum lagi rasa kagetku yang amat sangat karena kecelakaan itu nyaris pula membahayakan diriku. Itu tidak bisa dibayar dengan uang sebanyak apapun."
Wajah cowok yang agak kebule-bulean itu makin pias. Rasa berdosa dan sesal tergambar makin jelas.
"Lalu saya mesti bagaimana, Nona? Saya sungguh menyesal dan..."
"Lupakan saja!"
Sarah meninggalkan cowok yang masih kebingungan itu. Sebenarnya dia kasihan juga, tapi rasa marah dan kesal mengalahkan rasa ibanya. Karena ingin cepat meninggalkan tempat itu, Sarah memilih memotong jalan dengan memanjat tebing rendah. Sialnya, tanaman tempatnya bergantung masih muda dan tidak kuat menahan tubuhnya.
Sarah terjatuh.
"Anda tidak apa-apa, Nona?" Cowok bule itu berlari mendapatkan Sarah yang terduduk. "Are you hurt? Oh!"
Cowok itu membantu Sarah berdiri dan memapahnya ke tempat aman, di bawah pohon besar yang terlindung. Tak ada pilihan lain bagi Sarah selain menurut. Sikunya yang terasa perih, dan kakinya yang sakit. Mungkin keseleo. Membuatnya tak bisa menolak pertolongan itu.
Cowok itu membuka tas pinggangnya. Mengeluarkan segumpal kapas, alcohol, dan obat luka. Siku Sarah yang berdarah karena tergores ranting dan tergesek batu tebing dibersihkannya dengan alkohol.
"Sakit?" tanya cowok itu ketika Sarah meringis. "Tahan sedikit, oke?"
Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa perih. Apalagi ketika obat luka itu dioleskan.
"Emang sedikit perih. Tapi obat ini akan cepat mengeringkan." Cowok itu tersenyum. "Siapa namamu, Nona?"
Sarah terpana. Rasa sakitnya tiba-tiba lenyap. Entah karena obat yang bereaksi, atau karena senyum cowok itu. Begitu manis. Ketulusan yang tersirat dalam senyum itulah yang membuatnya manis. Ah, kenapa aku tidak memperhatikannya sedari tadi, sesal hati Sarah.
"Nona?"
"Eh, saya... Sarah." Sarah mengutuki ketololannya. Wajahnya bersemu. "You?"
"Rudolf. Rudolf Kretchmer."
"Where are you came from?"
"Coba kamu tebak!" Rudolf tersenyum lagi.
Sarah mengamati wajah Rudolf sebentar, lalu mengangkat bahu. "Entahlah! Kamu seperti oang barat, tapi aku melihat garis Asia di wajahmu."
"You're right. Kata teman-teman, aku produk campuran. Aku mendapat darah India, Australia, dan Spanyol dari Ibuku. Sedang Bapakku menurunkan darah Jerman, Cina, dan Suriah padaku. Tapi aku tinggal dan berkewarganegaraan Jerman."
"Kayak gado-gado saja." Sarah tertawa.
Rudolf tersenyum. "Ternyata kamu bisa juga tertawa, Nona Sarah. Kukira kamu gadis galak."
"Maafkan sikapku tadi!" ucap Sarah menahan malu.
"Never mind..."
Sebuah tepukan di bahu menggulung layer kenangan di benak Sarah. Di sebelahnya Rudolf menatapnya serius.
"Apa yang kau pikirkan?"
"Ah, tidak!" Sarah menggeleng. "Menatap Merapi dari tempat ini membuatku ingat saat pertama kali kita bertemu."
Rudolf tertawa. "Kalau begitu sama. Tempat ini tidak banyak berubah. Aku ingat benar, kamu kelihatan sangat marah waktu itu. Aku jadi gugup dan bingung. Dan tebing itulah yang kau daki untuk mencapai jalan setapak di atas, tapi kau jatuh."
Sarah tersipu, ingat kekonyolannya saat itu.
"Jangan ketawa! Kamu membuatku malu!"
Rudolf tidak menghentikan tawanya.
Sarah cemberut. "Kalau begitu, tebing itu kudaki lagi!"
"Sarah, jangan!" Suara Rudolf tersekat. Sia-sia saja. Sarah sudah berlari dan mencoba mendaki lagi.
Malang, kali ini pijakan kakinya yang tidak kuat. Tanahnya gembur karena hujan yang kerap turun. Jadi mudah longsor. Untuk kedua kalinya tubuh Sarah melorot jatuh.
Rudolf berlari menghampiri Sarah yang meringis menahan pedih di sikunya yang luka.
Rudolf menggelengkan kepala. "Ternyata kamu masih juga keras kepala, Sa. Tapi anehnya, justru itu yang kusuka."
Rudolf memapah Sarah ke bawah sebuah pohon dan mengobati luka di sikunya. Sarah diam. Rasa sakit tak lagi dirasakannya. Perasaan galau karena kalimat yang diucapkan Rudolf mampu mengalahkannya. Sampai mereka turun ke Kaliurang dan pulang.

***

SANG surya mulai jatuh, mendekati kaki langit. Sinarnya tak lagi terik dan menyilaukan, tapi lembut dan hangat. Perca jingganya menyebarnya ke mana-mana. Membuat kilau buih laut lebih cemerlang.
Pengunjung Pantai Parangtritis malah bertambah. Rupanya semua sengaja menunggu saat senja tiba. Sama-sama ingin menikmati sunset. Mereka menyebar di bibir pantai dengan kegiatan masing-masing. Turis-turis bule lebih senang bercanda dengan ombak, lalu berjemur di bawah hangat mentari senja. Sedang turis-turis domestik lebih suka duduk-duduk di warung sambil menghirup es degan langsung dari batoknya.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
Sarah menghentikan kegiatannya mengisap air kelapa yang seakan tidak pernah habis dari tadi.
"Kuperhatikan selama ini kamu sering melamun, Sarah. Kenapa? Kau tak suka menemaniku?" tanya Rudolf lagi.
Sarah masih belum bergeming. Matanya terus menatap kosong ke depan. Tidak kusuka? Oh, sungguh munafik bila kujawab iya! Bahkan kalau mau jujur, aku malah sangat bahagia. Bukankah saat seperti ini yang selalu kuinginkan? Bu...
"Atau kamu takut cowokmu cemburu dan marah?"
Cowok? Sarah tersenyum kecut. Siapa cowokku? Ady yang pergi ke Irian karena penolakkanku? Ataukah Guntur yang bersikap memusuhi karena kebekuanku? Sarah menggeleng pelan. Malam Minggunya selalu dihabiskan untuk melamun di depan mesin tik.
Terdengar suara heraan napas Rudolf. Lama dia tak lagi mengusik.
"Selama inii bila berada di pantai, dalam benakku Cuma ada satu," gumam Rudolf tiba-tiba. "Saat kita berada di sini. Setahun yang lalu. Apakah kamu masih mengingatnya, Sarah?"
Wajah Sarah pias seketika. Tuhan, inilah yang aku takutkan! Ternyata benar, akhirnya dia akan kembali bergema di rongga telinganya.
Sarah terkesiap waktu itu. Dia sama sekali tak menduga. Sambil menepiskan perasaannya sendiri, Sarah berusaha bersikap wajar. Dia tertawa kecil.
"Oya?" Cuma itu yang keluar dari bibirnya.
"Aku tahu, mungkin kau anggap ini gila. Tapi itulah kenyataannya, Sarah," ucap Rudolf yang sedikit kesal karena kalimat seriusnya dilecehkan. "Aku menyukaimu. Bahkan lebih dari itu, aku menyayangimu!"
Sarah terbelalak. Dia tak bisa lagi berlagak pilon. "Kau? Ah, tidak mungkin, Dolf! That's crazy. Kita baru dua minggu berkenalan."
"Benar. Tapi aku merasa seperti mengenalmu sejak lahir."
"Impossible! Kau belum tahu banyak tentang diriku. Kau belum mengenalku sepenuhnya, kekuranganku, kelebihanku, kejelekan adatku, semua."
"Apapun katamu, aku tetap menyukaimu."
"Kau keras kepala!" Sarah putus asa.
Rudolf tersenyum manis. Dia merangkul bahu Sarah dan berbisik. "Aku ingin dengar bagaimana perasaanmu sendiri padaku, sebelum kepulanganku kembali besok lusa. Kau tinggal jawab ya atau tidak. Supaya aku tahu, di sini, di Indonesia, aku memiliki sekeping cinta."
Wajah Sarah makin pucat. Dia terpojok. Apa yang harus dikatakannya? Berdusta? Mengatakan bahwa dia cuma menganggap Rudolf teman biasa, padahal jauh di lubuk hatinya pun telah tumbuh benih-benih cinta? Dua minggu menemani cowok itu keliling obyek wisata di Yogya dan Jawa Tengah, sanggup menabur rasa suka yang teramat sangat. Tatapan matanya yang teduh, sikapnya yang melindungi, perhatiannya, kemuliaan hatinya, bahkan kesopanannya yang mungkin melebihi cowok pribumi sendiri.
"Sarah!" Rudolf menyibak rambutnya.
"Jangan desak aku, Dolf! Please!" Sarah mengangkat wajah dan menatap cowok itu penuh harap.
Rudolf tertegun. "Maksudmu?"
"Beri aku waktu untuk memikirkannya, ya? Aku tak bisa menjawabnya sekarang."
Rudolf diam. Sarah putua asa. Air matanya merebak saking bingungnya. Suaranya mulai serak.
"Oke, Sarah! Jangan menangis, please! Aku tak tega melihat airmatamu." Rudolf memeluknya. "Aku akan kasih kau waktu untuk memikirkan."
Sarah menghela napas. Berat.
Setelah itu Rudolf pun pulang kembali ke Jerman, meninggalkan kenangan yang teramat manis untuk dilupakan. Sarah sama sekali tak mengira, ucapannya dulu malah jadi boomerang. Tadinya dia mengira dengan kepergian Rudolf, jarak dan waktu yang merintangi mereka akan sanggup menjadi hama wereng yang sedikit demi sedikit membunuh benih-benih kasih di dadanya. Tapi kenyataannya malah sebaliknya.
Hanya sekali Rudolf kirim surat. Waktu mengabarkan dia tiba dengan selamat, dan kembali disibukkan dengan aktivitasnya. Setelah itu lenyap sama sekali.
Entah mengapa Sarah merasa ada bagian dirinya yang hilang. Dia sedih. Apakah Rudolf telah melupakannya? Apakah kisah yang mereka jalin bersama tidak berarti baginya? Sarah kangen. Pada tawanya yang lepas berderai. Pada gaya bicaranya yang khas. Pada tatapannya yang teduh. Pada sikapnya yang lembut. Pada segalanya.
Sarah resah. Kenangan dengan Rudolf mengurungnya dalam kebekuan. Cowok kebule-bulean itu seakan telah mengunci pintu hatinya dan membawa anak kuncinya itu terbang bersamanya, sehingga Sarah tak bisa membuka hatinya untuk cowok lain.
Sedang Rudolf sendiri? Barangkali asyik bersama cewek-cewek bule yang cakep dan lebih agresif. Barangkali dia... Tuhan! Aku cemburu? Sarah mendekap dadanya sendiri. Apakah aku mencintainya?
Sarah menangis ketika menyadarinya. Mengapa aku harus merangkai mimpi yang sangat mustahil ini, Tuhan?
"Sarah," Rudolf menyentuh bahunya lembut. "Kamu ingat apa yang pernah kau ucapkan dulu? Sekarang aku menagih janjimu!"
Sarah menggigit bibir. Tentu saja aku ingat, bisik hatinya. Karena janji itulah, maka aku tidak bisa menikmati kebahagiaan bersamamu seutuhnya. Karena aku yakin, jawabanku akan melukaimu, bahkan melukaipu pula.
"Setelah pulang, aku merenungi kata-katamu. Mungkin kau benar, keputusanku waktu itu terlalu tergesa-gesa. Lalu kuputuskan untuk tidak menghubungimu. Aku coba melupakanmu. Setahun lebih, Sa. Itu bukan waktu yang pendek. Dan selama itu pula aku tersiksa kerinduan yang kian mencekam. Sampai akhirnya aku yakin, aku benar-benar mengasihimu. Ketika libur kusempatkan pergi ke sini. Aku ingin memastikan, apakah hatimu pun untukku, ataukah tidak sama sekali."
Tuhan, Sarah mengeluh. Matanya berkaca-kaca. Ribuan jarum halus mulai menusuki hatinya. Nyeri! Kuatkan hatiku! Pintanya lirih.
"Maafkan aku, Dolf!" Suara serak Sarah penuh getaran. "Aku tak bisa. Ada tirai di antara kita yang sulit untuk tertembuskan."
Tangis Sarah pecah. Rudolf diam mematung. Dia sibuk menenangkan hatinya yang bergolak.
Rudolf meraih kepala Sarah, dan mendekapnya.
"Tak apa, Sa. Kuhargai keputusanmu, walau aku belum bisa mengerti. Jangan menangis!" bisiknya kemudian. Lirih.

***

HIRUK-PIKUK Bandara 'Adisucipto' seakan mengurung mereka dalam kebisuan. Keduanya tenggelam dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Mencoba menghayati arti perpisahan kali ini.
"Ridho!"
Panggilan itu mampu menggugah Rudolf. Sedikit terperanjat dan hampir tak percaya pada pendengarannya. Ketika seorang cowok hitam manis menghampiri, baru dia yakin.
Cowok itu meninju bahu Rudolf pelan. "Kamu ada di sini juga, To? Mau balik ke Jerman? Ngapain kamu di sini?" cecarnya membuat Rudolf bingung untuk menjawab.
Cowok itu melirik Sarah yang terbengong-bengong di samping Rudolf. Dia kemudian tersenyum. "Oh, iya. Kamu dulu pernah cerita tentang seorang bidadarimu yang ada di Yogya. Ini to orangnya? Saya Anton, teman kuliah Ridho di Jerman."
Sarah masih kebingungan. Tapi cowok bernama Anton itu sudah menggenggam tangannya. Sedang Rudolf Cuma bisa mendelik.
Tiba-tiba seorang gadis manis menghampiri. Sarah mengenalnya, Yuri teman sekampus, lain fakultas. Mereka sering bertemu di rapat Sema PT.
"Kalo ini bidadariku!" kata Anton memperkenalkannya. "Yuri, kamu masih ingat mahasiswa berdarah gado-gado yang paling suka kumpul sama mahasiswa Indonesia? Nah, ini dia orangnya Ridho alias Rudolf Krecthmer. Kukira dia sibuk rapat di mesjid bersama teman lainnya, ngurus soal Bosnia. Dan ini bidadarinya."
Yuri tersenyum. "Dia teman sekampusku, Sarah."
"Oya! Kebetulan sekali. Mari kita ambil barangku! Kita gabung di sini. Begitu kan, Dho?"
Rudolf mengangguk bodoh. Keduanya kemudian hilang, mengambil barang.
Rudolf melirik Sarah. Gadis itu tertunduk dalam.
"Sarah!" penggilnya sambil mengangkat dagu Sarah. "Kenapa?"
"Ridho?"
"Oh, itu nama pemberian teman-teman setelah aku pulang menyusuri asal-usulku sampai ke Suriah. Ridho Allah, lengkapnya mereka menyebutku setelah memutuskan memeluk Agama Islam. Aku menyukai nama itu. Tapi aku malu untuk mengatakannya padamu. Nama itu terlalu agung untukku."
Air mengalir, menetes di pipi Sarah. "Tuhan, kalau begitu tirai pemisah di antara kita sebenarnya tak ada. Tak pernah ada jurang antara kita!"
"Maksudmu?" Rudolf mengernyitkan kening. Dia berpikir keras. "Jadi kamu mengira kita berbeda hingga ka..."
Sarah mengangguk. Airmatanya makin deras. "Meski aku harus mengingkari kata hatiku sendiri, karena sesungguhnya akupun menyayangimu."
Rudolf memeluk tubuh Sarah erat. "My God!"

***

SARAH baru saja memasang lagu Eric Clapton ke dalam mini componya. Itu kaset Rudolf yang ketinggalan. Cowok itu ngefans sama lagunya dewa gitar itu, maka diputarnya untuk mengusir kangen pada Rudolf.
Yuri masuk. Wajahnya yang suram membuat hati Sarah bertanya-tanya. Sejak kejadian di bandara, keduanya jadi sahabat dekat.
Setelah memencet tombol play dan memutar volume sedang, dia menghampiri Yuri yang sedang duduk di bibir dipan. Mata sahabatnya itu berair. Ada apa gerangan?
"Kenapa, Yur? Wajahmu kok kusut?" tanyanya lembut.
Yuri diam. Dia menatap Sarah tajam. Lalu mendesah. Berat.
Dengan ragu Yuri menyerahkan lembaran Koran Jawa Pos. Dia mengikuti telunjuk Yuri di halaman depan pojok bawah. Tergesa Sarah membaca berita. Tak ada yang istimewa. Cuma tentang seorang pahlawan perjuangan ketika Bandung Selatan menjadi lautan api. Dan seorang pemuda dengan nama yang sama, seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di Jerman, sahid di Bosnia bersama beberapa temannya. Beberapa pemuda yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar itu bermaksud melakukan penyelidikan di Bosnia-Herzegovina. Mereka diberondong peluru oleh milisi Serbia.
Dada Sarah tiba-tiba berdebar kencang. Dibacanya satu-satu nama pemuda yang menjadi korban penembakan tersebut. Jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika menemukan kalimat... serta seorang mahasiswa Jerman keturunan campuran, Rudolf 'Ridho' Kretchmer...
Tubuh Sarah lemas seketika. Dia Cuma bisa merasakan rangkulan Yuri yang begitu erat. "Tadinya aku belum percaya, Sa. Tapi setelah menerima surat Anton, ternyata kabar itu benar..."
Oh! Pandangan Sarah gelap. Dia melihat sosok Rudolf beriringan bersama teman-temannya. Dia menjerit memanggil. Tapi cowok itu cuma menoleh sebentar dan tersenyum, lalu jalan lagi. Sarah lari mengejar. Tapi langkahnya tercegat ketika Rudolf dan kawan-kawannya memasuki sebuah istana yang sangat indah dan megah.
Could you know my name... if I saw you in heaven...
Suara Eric Clapton yang serak penuh haru terdengar lamat-lamat. Sarah menjerit. Bayangan itu lenyap. Yang ada hanya kegelapan yang pekat.[]


Catatan:
Dimuat di Anita Cemerlang Vol. 457 tgl. 11-21 Nopember 1993

Sumber:
https://www.wattpad.com/story/133401489-tears-in-heaven-tamat

Cerpen Lis Maulina: Balada Cinta Citra

HARIZ kehilangan kemampuan, keahlian, dan kehebatannya di lapangan. Smes keras dan tajam yang biasanya jadi senjata mematikan lawan, jarang terlotar. Kalaupun sesekali dilakukan, kesannya memaksakan diri. Hasilnya bila tidak terlalu jauh atau terlalu lebar, pasti nyangkut net dan jatuh di daerah permainan sendiri.
Pengamatan bolanya yang biasanya akurat, juga sering ngawur. Bola yang melaju kencang dan sudah bisa dipastikan keluar, dipukulnya kembali. Sementara yang jelas-jelas masuk, dibiarkannya jatuh.
Penonton bersorak mencemooh. Mereka kecewa dengan penampilan buruk Hariz. Padahal biasanya, mereka begitu memujanya. Bukan saja karena permainannya yang bagus dan mantap, tapi juga karena penampilan fisiknya yang menarik. Yah, Hariz memang cakep. Tidak heran bila dia punya banyak fans yang rata-rata cewek ABG.
Aku menatap Hariz. Dia berubah hanya dalam jangka waktu sehari. Mata kelamnya tersaput kabut kesedihan. Sama sekali tidak terisa binar semangat. Wajahnya tak lagi menggambarkan ketegaran dan kegagahan seorang atlit, tapi kemurungan cowok yang tengah dirundung duka.
Padahal di perempat final kemarin, Hariz begitu bersemangat. Bahkan dia yang membangkitkan kepercayaan diriku ketika kehilangan pola permainan akibat terus-terusan dicecar lawan. Dia mengingatkanku pada tekat kami untuk menjuarai kompetisi kali ini. Alasannya jelas, karena kejuaraan ini dihadiri beberapa tokoh perbulutangkisan nasionak yang ingin menjaring bibit-bibit baru daerah.
Hariz berhasil membangkitkan semangatku. Aku menemukan pola permainanku. Kami pun bahu-membahu meraih kemenangan. Sebab kami punya satu tujuan dan cita-cita; ingin menjadi atlit bulutangkis nasional yang membawa nama bangsa di kancah internasional. Jadi, kesempatan kali ini harus kami manfaatkan sebaik-baiknya.
Tapi sekarang, justru Hariz yang lupa pada tekat kami. Aku tahu penyebabnya. Hariz sendiri yang cerita ketika dia datang dengan wajah murung dan langkah lesu.
"Nabila," bisiknya lirih. Pandangannya menerawang. "Dia tak pernah mencintaiku."
Aku terkesiap. Nabila adalah cewek Hariz. Baru tiga mereka resmi pacaran. Selain bermain sebagai pasangan ganda campuran di lapangan, aku dan Hariz bersahabat cukup akrab di luar lapangan.
Kami saling terbuka dan sering tukar cerita. Jadi, tidak mengherankan bila aku mengetahui kisah cinta mereka, dari awal perkenalan, pendekatan, dan akhirnya jadian. Pengetahuanku yang justru ditertawakan Andre, teman satu klub.
"Citra, kenapa kamu harus menyiksa hatimu sendiri dengan mendengarkan kisah cinta mereka?" Begitu katanya selalu.
Aku tersenyum getir. Aku dan Hariz memang saling terbuka. Namun ada satu hal yang masih kusembunyikan; perasaanku yang sesungguhnya kepadanya. Andre tahu, karena dia pernah mengungkapkan cintanya padaku. Aku tak punya alasan lain untuk menolak kecuali berterus terang aku sudah mencintai cowok lain. Dan cowok itu adalah Hariz, pasanganku di lapangan badminton. Untungnya, Andre berjiwa besar. Dia menerima keputasan dengan lapang dada.
"Nabila menerimaku hanya untuk membalas Rudy yang pernah mengecewakannya. Dia ingin buktikan, dia mampu mendapatkan cowok yang melebihi Rudy dalam segala hal. Cowok itu adalah aku." Hariz menjelaskan ketakmengertianku dengan nada pedih. Hati bagai ikut teriris mendengarnya.
Pak Monang, manajer klub, dan Mas Johan, pelatih kami melangkah ke arah kami. Dari wajah mereka, aku bisa menebak apa yang ingin mereka lakukan. Aku bangkit, menghadang langkah mereka. Kubujuk mereka agar tidak menumpahkan kemarahan dan kekecewaan pada Hariz sekarang. Aku takut, dia akan semakin tenggelam dalam keputusasaan dan ketakberdayaan.
Aku maklum bila Pak Monang dan Mas Johan kecewa. Tinggal kami satu-satunya harapan klub meraih gelar juara. Teman-teman yang lain sudah kalah sebelum babak semifinal.
Meski ganda campuran bukan partai bergengsi, namun bagi klub kami cukup berarti untuk mempertahankan dana sponsor agar tidak berpindah ke klub lain.
Kuyakinkan Pak Monang dan Mas Johan. Aku berjanji akan memenangkan pertanding, dengan syarat mereka mau menyerahkan persoalan Hariz kepadaku. Untungnya, akhirnya mereka setuju.
"Ayo, Riz!" kataku saat wasit memberi isyarat memulai set kedua. "Kamu pasti bisa! Kalah atau menang, tidak masalah. Yang penting, kita berusaha maksimal!"
Hariz mengangguk ragu. Namun aku bertekat memenuhi janjiku pada Pak Monang dan Mas Johan. Aku harus memenangkan pertandingan. Dengan atau tanpa Hariz. Itulah satu-satunya jalan kami bisa berlaga di final.

***

MALAM final tiba. Sebelumnya, aku sempat menemui Nabila. Bermaksud membantu memperbaiki hubungannya dengan Hariz. Bila mereka rukun, Hariz pasti bisa memusatkan konsentrasinya menghadapi pertandingan final malam ini. Tapi yang kudapat malah kabar yang amat mengejutkan.
"Kamu terlambat, Cit!" bisik Ila lirih. "Kami telah putus. Hariz yang memutuskan."
Aku tertegun. Hampir tak percaya dengan pendengaranku. Bagaimana mungkin? Aku tahu pasti Hariz sangat mencintainya.
Ila menunduk.
"Aku yang salah, Cit. Hariz sebenarnya cowok baik. Terlalu baik malah. Tapi aku mengecewakannya. Dia tahu, aku masih mencintai Rudy. Makanya dia rela melepasku untuk kembali pada Rudy. Katanya, dia hanya ingin aku bahagia. Meskipun harus melukai hatinya sendiri.
Aku tertegun lagi. Ada keharuan menyusup hatiku. Betapa tulusnya kasih Hariz pada Ila. Seandainya kasih setulus itu bisa kumiliki. Ah, alangkah bahagianya!
Lamunanku buyar ketika terdengar suara panitia memanggil nama kami lewat pengeras suara. Aku melirik Hariz. Keadaannya lebih buruk dibanding malam semifinal lalu. Kabut yang menyaput matanya lebih tebal. Garis-garis wajahnya semakin jelas menggambarkan kedukaan.
"Aku dan Ila putus, Cit," katanya sebelum aku bertanya. "Maaf, bila permainanku malam ini pun juga mengecewakan!"
Aku hanya menghela nafas. Aku tak bisa menyalahkannya. Dia baru saja melepas cewek yang dikasihinya untuk dimiliki orang lain. Itu bukan pekerjaan mudah. Seandainya aku berada di posisinya, mungkin keadaanku jauh lebih parah. Yang kusesalkan, mengapa cobaan ini harus terjadi saat kami berjuang meraih impian yang selama ini kami dambakan.
Kami lolos babak semifinal adalah sebuah mukjizat. Meski Hariz bermain buruk, aku tetap berusaha sekuat tenaga mengumpulkan angka demi angka. Untungnya, penampilan lawan juga tidak seprima biasanya. Kami menang rubberset dengan selisih angka yang sangat tipis. Namun, tak urung tenaga dan staminaku nyaris habis terkuras.
Mustahil bila malam ini juga mengharapkan mukjizat. Lawan yang kami hadapi jauh lebih tangguh. Staminaku belum sepenuhnya pulih. Tapi menyerah begitu saja bukanlah sifatku. Apalagi langkah kami sampai bisa tampil di final cukup berat. Mungkinkah aku melepaskan kemenangan yang tinggal selangkah lagi begitu saja?
Tidak! Aku menggeleng tegas. Kupejamkan mata sambil berdoa dalam hati. Mohon kekuatan Tuhan. Bila kami harus kalah, aku ingin kalah secara terhormat, bukan kalahnya pecundang. Aku ingin melangkah keluar lapangan dengan kepala tetap tegak. Setelah membulatkan tekat dan niat, aku memasuki lapangan dengan hati mantap.
Seperti yang kuduga, perjuanganku kali ini jauh lebih berat dari yang kualami di semifinal. Lawan benar-benar tangguh. Hanya dalam beberapa menit saja mereka dengan mudah menyelesaikan set pertama. Arah bola yang mereka pukul masih teramat susah untuk kutebak. Aku keteteran dicecar smes-smes keras dan bola-bola tajam.
Di set kedua aku memperlambat tempo permainan. Aku barusaha keras menahan laju angka mereka sambil terus menganalisa. Usahaku tidak sia-sia. Perlahan aku mulai mengenali pola permainan mereka dan menemukan kelemahannya. Beberapa kali aku mencuri angka dengan memanfaatkan kelemahan mereka. Permainan mereka mulai kacau. Stamina mereka menurun karena memaksakan kemenangan di set pertama. Pukulan dan pengamatan bola mereka mulai ngawur. Meski dengan selisih tipis, kami berhasil mencuri kemenangan di set kedua.
Set ketiga aku mendapat dukungan penonton yang bersimpati dengan perjuanganku. Namun aku lengah. Aku tergelincir ketika ngotot mengejar bola yang jatuh jauh di depan net, otot paha kananku tertarik. Aku menjerit dan jatuh terguling.
Hariz bergegas menghampiriku. Juga Pak Monang dan Mas Johan yang menonton di pinggir lapangan. Dengan izin wasit mereka memapahku ke tepi lapangan. Mas Johan coba menyembuhkan pahaku dengan pijat dan urut. Namun rasa nyeri itu tak kunjung reda.
Wasit memberikan dua pilihan; meneruskan pertandingan atau memberikan kemenangan WO kepada lawan. Airmataku mengalir. Bukan karena nyeri di paha kananku. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang atlit selain harus menyerahkan kemenangan kepada lawan sebelum pertandingan benar-benar berakhir. Tapi agaknya aku tak punya pilihan lain.
"Maafkan aku, Cit!" Hariz yang semula lebih banyak diam tiba-tiba buka suara. "Aku tahu ini salahku. Seandainya aku tidak membiarkan kamu berusaha sendiri, kamu tak mungkin cidera. Jadi, kalau boleh aku meminta, beri aku kesempatan memperbaiki kesalahan ini! Aku janji takkan mengecewakanmu."
Aku tertegun menatapnya. Aku menemukan kesungguhan di wajahnya. Mata kelam itu kembali menyiratkan tekat baja seorang atlet tangguh yang pernah kukenal.
"Baik, kita teruskan pertandingan!" putusku tanpa sedikitpun rasa ragu.

***

"SELAMAT, Riz!" ucapku tulus ketika Hariz datang menengokku di rumah sakit.
Hariz kaget. "Kamu sudah tahu, Cit?"
Aku tersenyum. Tadi pagi Mas Johan mampir mengabarkan berita gembira padaku. Hariz ditawari bergabung dengan sebuah klub besar di Pulau Jawa yang banyak melahirkan atlet-atlet bulutangkis nasional.
Terbayang lagi di mataku pertandingan final tadi malam. Setelah kuputuskan untuk tetap melanjutkan pertandingan meski paha kananku cedera. Hariz menepati janjinya. Dia bagai bangkit dari mimpi buruk yang panjang. Kecemerlangan permainannya mengejutkan lawan yang semula sudah merasa yakih kami akan memutuskan menyerah WO.
Tepuk tangan bergemuruh menyambut kembalinya Hariz dengan smes-smes tajam dan dropshot-dropshot cantiknya. Membuat lawan sama sekali tidak berkutik. Bahkan semangatku yang hampir redup bagai tersiram bensin, menyala-nyala.
Nyeri di betis kananku seolah tak terasa saat bahu-membahu dengannya di lapangan. Mengumpulkan poin demi poin sampai akhirnya memetik kemenangan. Setelah itu, baru terasa kaki kananku bagai copot. Aku segera dilarikan ke rumah sakit.
"Sungguh, kemenangan yang manis!" Aku tersenyum. "Aku tidak menyesal meski harus menginap di rumah sakit. Apalagi kamu dapat kesempatan emas bergabung dengan sebuah klub terkenal pencetak pemain nasional. Aku yakin, sebentar lagi Indonesia akan memiliki satu lagi atlet bulutangkis tangguh."
Hariz memandangku. "Benarkah kamu senang, Cit? Bukankah itu berarti kita tidak akan bisa bermain bersama lagi?"
Aku tertegun. Kenapa Hariz mengingatkanku? Kalau mau jujur, sesungguhnya sudut hatiku yang terdalam merasa amat sedih. Bermain berpasangan dengannya adalah satu-satunya kebahagiaan yang bisa kuraih. Karena tidak mungkin aku mengharap lebih. Sekarang satu-satunya kebahagiaan itupun harus kulepas. Tapi aku rela. Sungguh! Karena tak ada yang lebih membahagiakanku selain melihatnya maju dan sukses.
"Ternyata Andre benar. Selama ini aku buta. Ada cewek yang tulus mengasihiku. Tapi aku malah mengejar-ngejar cewek yang hanya ingin menjadikanku pelarian."
Aku terkesiap kaget. Wajahku pias. "Ap... apa katamu, Riz? Andre bilang apa padamu? Dia cerita apa tentang aku?"
"Banyak. Terutama tentang perasaan yang selama ini kamu sembunyikan dariku. Tuhan, kenapa aku begitu buta? Kukira, cintaku pada Ila paling tulus. Tapi ternyata tak ada apa-apanya dibanding cintamu. Begitu banyak yang telah kamu berikan padaku tanpa sedikitpun mengharap balasan. Bahkan kata Ila, sebelum malam final, kamu datang padanya. Bermaksud memperbaiki hubungan kamu. Kenapa, Cit? Bukankah seharusnya kamu senang hubungan kami berantakan?"
"Aku ingin kamu bahagia, Riz. Supaya bisa berkonsentrasi pada pertandingan. Dan Ila adalah kebahagiaanmu," bisikku lirih sambil menunduk. Dia sudah tahu. Jadi tak ada gunanya aku terus menyembunyikannya.
Kudengar Hariz menghela nafas panjang. Aku tak berani mengangkat wajah sedikitpun. Aku bahkan tak tahu, setelah ini apakah aku sanggup bertemu dengannya.
"Aku sudah memutuskan, Cit. Kukatakan pada orang yang mewakili klub itu, aku akan bergabung bila kamu juga ikut. Jawabnya sungguh menggembirakan. Tidak masalah, katanya. Sebenarnya mereka juga ingin mengajakmu. Tapi karena kamu cedera, tawaran itu mereka tunda. Namun mereka setuju bila aku menunggumu sembuh sehingga kita bisa berangkat bersama."
"Kita? Apa maksudmu, Riz?" Aku mendongak kaget. Kutatap wajahnya dengan mata nanar. Hatiku teriris pedih. "Demi Tuhan, Riz! Cinta tak bersambut bagiku tak masalah. Karena aku masih bisa bahagia melihatmu bahagia. Tapi, jangan kasihani aku dengan cara seperti ini!"
"Aku tidak sedang mengasihanimu, Citra. Untuk apa? Kamu sudah membuktikan, kamu tidak perlu dikasihani. Kamu tegar." Hariz memegang bahuku sambil menatap lekat. "Tapi, salahkah bila baru sekarang kusadari, jauh di lubuk hatiku sebenarnya menyimpan benih kasih untukmu? Tadi malam, ketika kamu berjuang teramat keras untuk meraih kemenangan sampai cedera, baru aku merasakan. Sesungguhnya, aku menyayangimu lebih dari yang kukira. Aku merasa sangat menyesal telah membuatmu terluka. Aku takut kamu akan mudur dari pertandingan dan takkan pernah mau berpasangan denganku lagi. Aku baru sadar, sesungguhnya aku membutuhkanmu lebih dari yang kusangka. Itu sebabnya, aku bisa bengkit dari mimpi burukku dan menemukan kembali diriku yang sesungguhnya. Itu semua demi kamu, karena kamu, dan untuk kamu, Citra. Kamu harus percaya itu!"
Aku tertegun. Bagaimana mungkin aku bisa tidak percaya bila mata kelam itu menatapku lekat seperti ketika dia memintaku untuk meneruskan pertandingan di malam final? Tatapan yang mampu meyakinkanku, sehingga kubuat keputusan tanpa sedikitpun ragu.[]


Sumber:
https://www.wattpad.com/story/98230812-balada-cinta-citra-tamat

Cerpen Lis Maulina: Si Putri Malu

JANTUNG Melati berpacu lebih cepat ketika mereka berhenti di depan pintu sebuah kelas. Seperti kelas-kelas yang lain, kelas ini pun bercat kapur putih, kecuali pintunya yang bercat biru laut dan bingkainya yang berawarna biru tua. Melihat sebuah papan bertuliskan 'II A3.2' di atas pintunya, yakinlah Melati, mereka memang sudah sampai di kelas barunya.
Melati menarik napas panjang. Mencoba menenangkan dirinya yang mulai merasa kebat-kebit, grogi. Dari dalam kelas terdengar suara gaduh yang luar biasa. Maklum, kelas yang tidak ada gurunya, ibarat tikus-tikus yang lepas dari pengamatan kucing! Apalagi ini kelas Sosial. Biasanya memang terdiri dari manusia-manusia yang sulit diatur dibanding jurusan Fisika dan Biologi. Menurut Pak Basuki, guru yang sekarang mengantar sekaligus walikelasnya, di antara dua kelas Sosial lainnya, kelas II A.3.2 memang yang paling sulit diurus.
Melati bertambah grogi mendengar penjelasan tersebut. Dia tidak bisa membayangkan, bagaimana nanti dia digiring memasuki kelas. Ah, kalau saja boleh memilih, Melati lebih suka tetap tinggal di Samarinda, sekolahnya yang dulu. Bersama teman-teman yang sudah dianggapnya seperti saudara. Lagipula diapun sudah merasa menyatu dengan alunan Sungai Mahakamnya, dengan tetangga dan penduduk lainnya, terutama dengan... Galang.
Alangkah sedihnya Melati ketika diberitahu Papa, mereka sekeluarga harus pindah ke Banjarmasin, karena Papa ditunjuk jadi pimpinan anak perusahaan yang baru di sana. Andai saja bisa, Melati ingin tetap tinggal di Samarinda, numpang di rumah Tante Martha. Tapi tentu Papa Mama tak mengizinkannya.
Papa membujuknya mati-matian. Papa berjanji mencari tempat tinggal yang lingkungannya sama dengan lingkungan mereka tinggal di Samarinda. Yang letaknya strategis, mudah bila mau ke mana-mana, dan rasa kekeluargaannya masih kental dan terasa. Papa juga berjanji memasukkan Melati ke sekolah terbaik di kota ini. Pokoknya Papa berjanji semua akan berjalan seperti ketika mereka di Samarinda. Papa meyakinkannya, dia akan mendapat teman-teman yang sebaik teman-teman lamanya.
Masalah sebenarnya bukan itu. Mereka yang mengenal Melati pasti tahu permasalahan sebenarnya terletak pada Melati sendiri. Dia punya sifat pemalu yang kadang melebihi dosis. Terutama bila menghadapi suasana dan lingkungan baru. Melati agak susah beradaptasi. Dia pendiam bila berada di tengah-tengah lingkungan yang belum dikenalnya, sehingga susah akrab dengan orang.
Karena itulah Melati menjadi cemas bila dia harus memasuki lingkungan yang baru. Kalau di rumah, tidak masalah. Karena dia selalu didampingi papa dan mamanya. Mereka kenalan bersama-sama dengan tetangga di sekitar rumah. Tapi bila ke sekolah, mungkinkah juga dia ditemani papa dan mamanya? Jelas tak mungkin.
"Pokoknya usahakan kamu bersikap sewajarnya," begitu nasihat Papa, Mama, maupun Mas Galang kepadanya. "Jangan menghindari tatapan mereka dengan terus menunduk! Angkat mukamu, dan berikan senyum ramahmu! Jangan terlalu diambil hati guyonan mereka, anggap saja angin lalu! Kalau bisa, tanggapi dengan guyonan juga. Biasa kalau murid baru itu dikerjain terlebih dahulu. Yang penting, kamu kuat mental saja!"
Melati mengomel dalam hati. Iya, ngomong sih enak! Yang ngejalanin setengah mati.
"Lho, kok malah melamun?" Pak Basuki menegurnya sambil mengembangkan senyum bijaknya. "Ayo, kita masuk!"
Melati merasa agak tenang melihat senyum itu. Kayaknya guru-guru di sini memang sama baiknya dengan guru-guru yang dulu. Benar kata Papa kalau begitu.
Pak Basuki mendorong pintu yang tertutup setengahnya. Derit pintu yang pelan itu sanggup menghentikan kegaduhan di dalam. Terdengar derap kaki bercampur gesekan kursi dengan lantai. Pasti anak-anak itu bergegas duduk manis menunggu guru yang masuk.
Melati mengikuti langkah Pak Basuki memasuki kelas. Dia tidak berani mengangkat wajahnya. Ah, persetan dengan segala nasihat mereka! Gerutunya dalam hati. Ketika sosoknya nongol di ambang pintu saja sudah mengundang bermacam komentar yang digumamkan dari berbagai sudut. Membuat kepalanya semakin berat untuk diangkat.
"Pagi, anak-anak!" sapa Pak Basuki sambil meletakkan tumpukan buku di pelukannya di atas meja. Melati berdiri di sampingnya.
"Pagi juga, Pakkk...!" Seperti koor yang tidak ditata rapi, murid-murid menjawabnya. Ada yang sengaja dipanjangkan. Ada yang setengah menjerit. Ada yang memakai suara bas, persis suara monster.
"Hari ini kalian mendapat teman baru," lanjut Pak Basuki.
"Assyiiik! Yang ini, Pak? Bolehlah!" celetuk seorang yang bersuara cempreng.
"Kenalin dong, Pak!" sambut yang lain.
"Iya, Pak! Suruh dia cerita yang puannnjang ... tentang dirinya."
"Benar, Pak. Data-data selengkapnya."
"Iya, Pak."
"Benar, Pak."
Matilah aku! Keluh Melati panik. Inilah saat yang paling dia takuti. Tuhan, kuatkan aku! Menyesal rasanya pernah ikutan menggoda Ambar ketika menjadi murid baru di kelasnya dulu. Mereka memberondong Ambar dengan pertanyaan yang kadang tak masuk akal. Tapi Ambar cukup luwes menghadapinya. Dia menjawab semua pertanyaan dengan jawaban yang tak kalah konyolnya.
Tapi aku bukan Ambar, keluh Melati lagi. Kali ini pasrah bercampur putus asa. Dan aku tidak bisa seperti Ambar.
"Teman-teman memintamu memperkenalkan diri," kata Pak Basuki menggugahnya.
Melati mengangkat muka, menatap wajah guru itu memohon perlindungan. Matanya mengerjap, antara bingung dan panik. Tapi Pak Basuki malah mengangguk, membuatnya tak berkutik. Hanya tatap mata arif lelaki setengah baya itu memberi sedikit kekuatan untuknya. Dia yakin Pak Basuki tidak akan membiarkan dia dipecundangi teman-teman barunya ini.
"Nam .. ma saya Melati," ucap Melati dengan bisikan yang tergagap.
"Hahhh? Apa?"
"Kamu dengar, Di?"
"Tauk! Belati 'kali!"
"Masak? Bukannya Bambang?"
Celetukan-celetukan lain terus keluar di sela-sela tawa yang bergema memenuhi seisi kelas.
"Aduh, Pak! Nggak kedengaran," protes seorang cewek.
"Iya. Abis dia menghadap Bapak aja, sih. Nggak mau liat kita."
"Iya, ya. Padahal kita kan lebih manis-manis daripada Pak Basuki."
Pak Basuki mengulum senyum mendengar celoteh muridnya. Dia memandang Melati dan dengan isyarat menyuruh Melatibicara menghadap teman-temannya.
Ingin rasanya Melati pingsan saja saat itu. Supaya terbebas dari keadaan yang sangat menyiksa ini. Tapi apalah dayanya? Akhirnya dia hadapkan juga wajahnya ke arah teman-temannya. Menguatkan diri untuk memandangi mereka. Kebanyakan mereka cengar-cengir menggoda. Beberapa anak cewek berusaha menyembunyikan tawa. Ada juga yang diam dengan tatapan yang lebih mengandung simpati.
"Nama saya Melati Sri Rezeki," Melati mengeraskan suaranya."Ohhhhh? Melati, tho?" Kembali jawaban mereka seperti koor.
"Saya dari Samarinda," lanjutnya.
"Ah, masak? Bukannya dari Jayagiri?" celetuk cowok yang duduk di pojok kanan paling belakang. Dari suaranya yang cempreng, Melati tahu dialah yang paling sering nyeletuk tadi. Dari wajahnya kelihatan dia memang agak bandel.
Suara tawa bergemuruh lagi menyambut celetukannya. Wajah Melati menghangat.
Dari pojok kiri terdengar teriakan bernada girang, "Ih, pipinya memerah, nek!"
"Ih, iya!" sahut yang di depannya. "Dia tersipu."
"Tapi malah tambah manis, ya?" Kembali si cempreng bersuara.
Wajah Melati semakin terasa panas. Telinganya seperti terbakar. Dia bisa membayangkan bagaimana warna wajahnya sekarang. Ya, Tuhan! Jangan biarkan mereka terus menggodaku, doanya dalam hati.
"Wah, pantasnya sih, namanya bukan Melati, tapi Putri Malu."
Untung Tuhan mendengar doa Melati. Pak Basuki mengangkat tangannya, menenangkan kelas yang semakin gaduh.
"Cukup, anak-anak!" katanya lantang, sarat wibawa. "Kita mulai belajar."
Desahan kecewa terlontar dari beberapa mulut yang tidak puas dengan keputusan Pak Basuki. Sedang Melati memandang guru itu penuh terimakasih.
"Kau boleh duduk, Melati!" suruhnya kepada Melati. "Nana, ajak Melati duduk di sampingmu!"
Seorang cewek manis berponi yang duduk sendiri di bangku barisan ketiga mengangguk. Dia tersenyum kepada Melati, dan menggeser duduknya ke dekat jendela.
"Yah, Pak! Perkenalannya kan belum selesai." Lagi-lagi si Cempreng mengajukan protes ketika Melati duduk di samping Nana.
"Sudah cukup! Yang lain-lain bisa kalian tanyakan di luar jam pelajaran."
Tak ada yang berani protes lagi. Pak Basuki membuka bukunya, melihat pelajaran terakhir. Kemudian memulai tanya jawab sebelum melanjutkan pelajaran.
Baru Melati bisa bernapas lega. Walau kecemasan itu belum hilang, karena penggojlokan mungkin belum lagi berakhir sampai di sini.
Benar dugaan Melati, ketika lonceng istirahat berdentang, seluruh penghuni kelas menghambur ke arahnya. Berebut mengulurkan tangan dan menyebut nama masing-masing ditambah embel-embel konyol. Melati bingung menyambutnya. Apalagi secara sengaja, yang sudah salaman pun mengulurkan tangan lagi, lagi dan lagi. Hingga seakan penghuni kelas ini tak ada habisnya.
Kali ini Nana yang menyelamatkannya. Teman sebangkunya itu kasihan melihat Melati kebingungan. Tangan Melati digandengnya, dan diseretnya dengan paksa menjauhi tempat itu.
Tentu tindakan Nana mendapat protes keras. Tapi Nana cuek. "Melati mau kuantar ke Koperasi, beli emblem, lokasi, dasi, dan seragam olahraga," jawabnya berkilah.
Nana mengajak Melati berkeliling lingkungan sekolah. Semula memang ke ruang Koperasi, membeli barang-barang yang diperlukan Melati, kemudian Nana memperlihatkan ruang-ruang lainnya; perpustakaan, lab Biologi, lab Fisika, lab Bahasa, ruang Osis, ruang PKK, bahkan ke kantin segala.
Di kantin itulah Melati bertemu Etha, teman SMP-nya. Hampir saja dia lupa. Temannya itu tambah manis dan tinggi. Untung Etha membantu dengan tawanya. Tawa khas itu yang mengingatkan Melati. Mereka kemudian asyik bercerita, mengenang nostalgia selama SMP. Setelah lulus SMP, Etha melanjutkan ke SMA ini, kembali ikut orangtuanya. Waktu di Samarinda Etha ikut neneknya.
Melati senang sekali. Sekarang dia benar-benar merasa lega. Dia telah mendapat dua teman baik. Nana, teman sebangkunya dan Etha, teman lamanya yang ternyata satu SMA, walau lain kelas. Etha di Biologi. Tapi Melati merasa optimis, karena dua temannya ini pasti akan mau membantunya beradaptasi dengan lingkungan sekolah ini.

***

MELATI dan Nana sedang meneguk es jeruknya yang terasa segar setelah berolahraga, ketika Etha menghampiri mereka dengan seorang cowok cakep. Melati agak tersipu menyadari siapa cowok itu. Dia yang memperhatikannya diam-diam dari ruang Osis, ketika kelas mereka main basket di lapangan.
"Ini Han, Mel, Ketua Osis," ujar Etha memperkenalkan. "Dan ini Melati yang kuceritakan itu, Han."
Melati memandang Etha tak mengerti. Kenapa Etha harus menceritakan dirinya kepada Han? Sedang Nana cuma mendengarkan sambil menikmati bakso yang mereka pesan.
Etha tertawa melihat mimik Melati. "Aku memang cerita tentang kamu pada Han. Soalnya, dia sedang bingung mencari pemain basket yang dapat diandalkan. Aku ingat, waktu SMP kamu kan jago main basket."
"Benar, Mel. Sebab beberapa bulan lagi akan ada kompetisi-kopetisi basket yang lumayan penting; Walikota Cup, Sumpah Pemuda competition, dan lain-lain. Tahun lalu, regu basket sekolah kita, terutama putrinya, adalah regu yang diperhitungkan. Beberapa gelar juara kita rebut. Tapi akhir-akhir ini prestasi tim putr1 menurun, karena sebagian pemain andalan lulus tahun lalu. Sedang pemain baru belum mampu menggantikan mereka. Kualitas permainan masih jauh di bawah standar," jelas Han panjang lebar.
"Lalu kuusulkan pada Han untuk mengajakmu bergabung. Kukatakan, kamu jagoannya three points ketika SMP dulu," sambung Etha.
Melati tersipu. "Ih, Etha bisa saja! Dia terlalu melebih-lebihkan."
"Ah, tidak! Etha benar. Saya sudah melihat sendiri kemampuanmu tadi. Permainanmu cukup memukau. Padahal saya tahu kamu belum mengeluarkan seluruh kemampuanmu."
Melati makin tersipu mendengar pujian cowok itu.
"Kamu mau bergabung kan, Mel?" desak Etha setengah memaksa.
Melati akhirnya mengangguk setuju.

***

SEJAK itu Melati ikut latihan basket bersama Etha dua kali seminggu di lapangan basket sekolah. Rabu sore jadwal latihan khusus untuk putri. Sedang Jumat sore untuk gabungan putra-putri. Kalau hari Minggu pagi, setelah jogging latihan fisik. Kadang latihan ditambah porsinya menjelang kompetisi.
Semula Melati tidak mengalami kesulitan sama sekali. Semua berjalan mulus. Teman-temannya baik. Mereka menerima kehadiran Melati dengan tangan terbuka. Malah mengagumi permainan Melati, dan mengakui kehebatan Melati yang setingkat di atas mereka.
Padahal Melati sempat mencemaskan adanya iri atau dengki yang timbul karena kehadirannya. Sebab pasti ada satu dua orang yang kedudukannya digeser Melati dari regu inti. Namun kecemasan itu tidak terjadi. Mereka cukup lapang dada menerima segala keputusan yang ditetapkan pelatih. Mereka bahkan mau belajar kepada Melati untuk meningkatkan kemampuan bermain mereka.
Semua berjalan lancar. Mulus tanpa hambatan. Tapi benarkah selalu demikian? Ternyata tidak.
Masalah itu baru terasa setelah beberapa bulan berjalan. Datangnya dari salah seorang teman Melati, sesama pemain basket. Tapi bukan pemain yang tersingkir dari regu inti. Bukan. Justru rekannya di regu inti, sama-sama pemain andalan, yakni Saskia.
Melati sendiri lupa sejak kapan Saskia mulai bersikap sinis padanya. Padahal mulanya dia merasa biasa saja. Sikap Saskia ketika menyambutnya sama ramahnya dengan teman-teman lainnya. Kenapa sekarang berubah? Dia seakan selalu berusaha mencar-cari kesalahan Melati. Dan apabila menemukannya, kesalahan itu dibesar-besarkannya dengan selalu mengungkitnya.
Suatu saat, ketika mengadakan latih tanding setelah latihan, Melati dan Saskia tergabung dalam satu regu. Melawan Etha dan cs-nya. Kalau Melati melakukan kesalahan, Saskia memarahinya habis-habisan, seakan dia melakukan kesalahan yang teramat fatal dalam pertandingan vital. Gerutuannya selalu terdengar sepanjang bermain.
Kejadian seperti itu berulang dua tiga kali. Untuk yang ketiga kali, Saskia tak pernah lagi mau satu regu dengan Melati bila latih tanding tiba. Dia pasti memilih jadi lawan Melati. Dan kalau sudah begitu kejadiannya, Saskia tak segan bermain kasar. Berkali-kali Melati kena sikut, didorong, dipepet, bahkan pernah ditendang tulang keringnya. Kelihatannya seperti tidak sengaja, namun dari tatap sinis Saskia, Melati menangkap adanya unsur kesengajaan.
Melati benar-benar tak habis pikir, mengapa Saskia kelihatan begitu membencinya. Dia tak merasa pernah melakukan kesalahan yang menyakitinya. Melati malah berusaha bersahabat dengannya. Bukankah Saskia dulu begitu juga? Bahkan Saskia pernah berjanji, mereka akan jadi partner yang baik di lapangan, yang akan mengobrak-abrik pertahanan lawan. Sekarang kenapa berbalik seratus delapan puluh derajat? Saskia sangat antipati padanya.
"Dia cuma merasa tersaingi dengan kehadiranmu," kata Etha ketika dimintai pendapatnya.
Namun Melati tidak sependapat. Kalau memang merasa tersaingi, kenapa bukannya dari dulu Saskia bersikap sinis? Kenapa kebencian itu baru diperlihatkannya sekarang? Dulu Saskia malah baik dan amat bersahabat.
Tidak! Melati yakin ada sebab lain. Mungkin dia telah melakukan kesalahan yang menyakiri Saskia tanpa dia sadari. Tapi apa? Melati benar-benar tak tahu. Sedang Saskia sendiri selalu menghindari orang lain yang membicarakannya.
Melati semakin tak enak hati. Apalagi persoalan ini terus berlangsung sampai adanya kompetisi bola basket se SLTA Walikota Cup. Pada penyisihan pertama, dia dan Saskia diturunkan bersama-sama. Baru menit-menit pertama Melati melakukan satu kesalahan. Bukan kesalahan fatal sebenarnya. Tapi sakia mencak-mencak nggak karuan. Akhirnya terpaksa Mas Yos, pelatih mereka menarik keluar Melati untuk menjaga kekompakan tim.
Sejak saat itu, entah atas inisiatif Mas Yos sendiri, ataukah atas permintaan Saskia, mereka tidak pernah lagi turun bareng di pertandingan berikutnya. Kalau Saskia yang turun, Melati nonton di bangku cadangan. Sebaliknya bila ingin memasukkan Melati ke lapangan, Saskia mesti ditarik keluar dulu.
Alangkah tidak mengenakkannya keadaan seperti itu. Tim mereka jelas kehilangan kekompakan. Dan Melati sadar, dia berada pada posisi tidak menguntungkan. Masalahnya dialah yang pendatang, yang menjadi orang baru dalam tim. Sedang Saskia sudah sejak kelas satu menjadi anggota regu inti. Mas Yos dan teman-teman lain pasti lebih memihak Saskia.
Melati kemudian mengajukan permohonan mengundurkan diri dari regu inti. Tapi di luar dugaan, semua menolak permohonannya. Mas Yos, Etha, dan beberapa teman tidak menyetujui gagasan itu. Apalagi Han. Cowok itu mentah-mentah menolak dan membantah. Katanya pengunduran diri Melati bukan memecahkan masalah, malah menambah masalah.
"Benar, Mel," kata Mas Yos mendukung pendapat Han. "Kalau kamu mengundurkan diri, regu kita akan kehilangan asset yang dapat diandalkan. Terus terang, di antara seluruh anggota regu, kamu dan Saskia yang punya potensi paling besar. Andai dua potensi itu disatukan, pasti menghasilkan kekuatan yang maha dahsyat. Kalian mempunyai kelebihan masing-masing yang saling mendukung. Apabila salah satu dari kalian keluar, akan terjadi ketimpangan."
"Tapi kalau kenyataannya kami selalu turun sendiri-sendiri, apa gunanya, Mas?" tanya Melati putus asa.
"Kita cari lagi jalan keluar yang paling bijaksana. Kita selidiki masalah apa sebenarnya yang ada di balik sikap Saskia."
Mereka memang terus berusaha. Namun waktu juga terus berpacu. Babak penyisihan bisa mereka lewati dengan mulus. Babak perempat final dan semifinal beruntung juga bisa mereka lalui, walau harus dengan perjuangan keras. Sekarang final sudah di depan mata, dua hari lagi. Tapi mereka belum juga menemukan jalan keluar terbaik. Ini jelas akan menguntungkan pihak lawan yang juga punya kekuatan yang tidak bisa diremehkan.
Sampai kedatangan Etha yang tiba-tiba, dua hari sebelum pertandingan puncak. Dia membawa berita yang cukup mengejutkan Melati.
"Aku tahu mengapa Saskia bersikap begitu padamu," katanya dengan napas terengah. "Saskia mau juga bercerita setelah kupaksa. Dia benar cemburu padamu, karena..."
"Merasa kehebatannya kusaingi?" potong Melati.
"Bukan! Karena Han lebih memperhatikanmu."
Melati terbelalak. Dia sama sekali tidak menyangka kalimat yang akan diucapkan Etha. "Hah? Apa?"
"Iya. Diam-diam Saskia menyukai Han." Etha mengangguk mantap.
Melati menepuk jidatnya sendiri. Huh, Tuhan! Mengapa aku begitu buta? Pantaslah kalau itu persoalannya. Han, Ketua Osis sekaligus Kapten Regu Basket Putra itu memang sangat memperhatikannya. Cowok itu beberapa kali menjemputnya latihan, apabila Etha tidak bisa menjemputnya. Juga selalu menawarkan mengantarkannya pulang. Namun sering Melati menolak, kecuali latihan mereka berakhir menjelang Magrib, baru diterima. Juga perhatian-perhatian lainnya, yang menandakan begitu pedulinya cowok itu kepadanya. Tak jarang membuat Melati jengah sendiri.
"Sebelum kedatanganmu, Saskia dan Han memang pernah dekat. Perhatian-perhatian Han dulu menjadi miliknya sebelum beralih padamu."
Melati menarik napas dalam-dalam. "Tapi kami cuma berteman."
"Masak?" Mata Etha menggoda.
"Sungguh!" tegas Melati. "Bagiku Han sekedar teman biasa."
"Saskia tidak percaya. Menurutnya, kamu memberi harapan pada Han."
"Dia tahu dari mana?""Katanya, kamu kelihatan malu-malu kucing menerima perhatian Han."
"Astaga, Etha!" Melati mencengkeram kuat bahu Etha, agak mengguncangnya. "Tidakkah kau jelaskan padanya, sejak dulu aku memang begitu? Tidakkah kau katakana, aku memang pemalu sejak lahir? Tidakkah kamu ceritakan, semua yang mengenalku sepakat menyebutku 'Si Putri Malu'? Jadi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Han. Sama sekali tidak."
Etha terdiam, memandang wajah Melati lekat. Lalu bibirnya mengukir senyum. Melati tersipu melihat senyum yang mengandung godaan itu.

***

MELATI baru datang ketika pertandingan hampir mulai. Semua menunggunya gelisah di kamar ganti. Mereka baru lega ketika sosok Melati berlari kecil masuk.
"Maaf, saya terlambat!" Melati menjelaskan sebelum ditanya. "Habis, sengaja menunggu suporter khusus dari Samarinda."
Tiba-tiba muncul sosok lain di belakang Melati. Seorang cowok kece bertubuh atletis dan berwajah tampan. Tersenyum manis sambil merangkul bahu Melati.
"Hai, saya Galang. Si Melati manja memaksa saya jadi suporternya. Jadi, saya bela-belain datang. Untung kuliah libur dua hari. Kalau tidak terpaksa bolos. Demi..." katanya sambil tertawa kecil.
Semua tertegun. Mereka sama sekali tidak menyangka adegan yang disuguhkan. Berganti-ganti memandang Melati dan Galang.
"Mas kakaknya Melati atau..." Etha bertanya ragu.
"Kakak ketemu gede," jawabnya konyol sambil melirik mesra Melati. "Kenapa? Kalian terkecoh pada Melati yang kayaknya malu-maluin ini, ya? Huh, padahal dulu dia yang ngejar-ngejar, lho!"
Melati langsung mencubit lengan Galang dengan gemas.
Keterpanaan mereka tergugah ketika suara di speaker menyuruh regu yang akan bertanding bersiap. Semua kembali pada kesibukan semula. Dalam kesibukan Saskia tiba-tiba mengampiri Melati, dan berbisik. "Maafkan aku, Mel! Tadi aku minta Mas Yos untuk menurunkan kita bersama-sama. Eh, cowokmu cakep juga, ya?"[]


Catatan:
Dimuat di Anita Cemerlang Vol. 527 tgl. 16 – 26 Nopember 1995

Sumber:
https://www.wattpad.com/story/90529314-si-putri-malu-tamat