Tampilkan postingan dengan label Asep Fauzi. Tampilkan semua postingan

Cerpen Asep Fauzi: Membunuh Masa Lalu

Sebenarnya, Edy suka-suka saja jika ia bertemu dengan teman-teman lamanya yang sudah menyandang berbagai profesi. Entah saat dalam pelatihan kurikulum di beberapa hotel di Banjarmasin, saat mendampingi anak didiknya lomba baca puisi di Jakarta, saat ia menjadi juri lomba menulis cerpen tingkat propinsi, saat mengunjungi pameran pembangunan dalam rangka ulang tahun Kotabaru, atau ketika ia sekadar jalan-jalan ke Pasar Subuh Kemakmuran.
Termasuk sore ini di taman kota, saat dia tengah duduk di salah satu kursi yang didesain sedemikian rupa, menikmati novel teranyarnya Tere Liye dengan belaian angin yang telah memasuki musim hujan, terasa nikmat tiada bandingannya, Edy bertemu dengan masa lalunya.
Dan untuk pertama kalinya ia mengutuk pertemuan dengan teman yang telah terpisah belasan tahun lamanya itu, tapi juga senang, tapi juga…ah, Edy mengumpat kepada dirinya sendiri yang tidak tahu sama sekali bagaimana seharusnya ia bersikap dengan pertemuan itu.

Cerpen Asep Fauzi: Menghitung Suara

“Nomor tujuh…nomor tujuh…nomor tujuh lagi. Lagi, nomor tujuh….”
Sudah sebulan terakhir ini ibumu menghitung suara, menirukan suara Para Petugas Penghitungan Suara. Dia akan betah berlama-lama berdiri di depan jendela kamar tidurnya, menatap kosong ke arah jalan sambil terus berhitung.
Tidak ada hal lain lagi saat ini yang dilakukannya selain menghitung suara. Tubuh ibumu juga kian layu disekap kesedihannya yang teramat mendalam, ditambah selera makannya yang seakan dia usir. Coba saja kau lihat matanya! Terlihat sangat lelah.
Mama sedang menghitung suara untuk Abah-mu. Supaya sidin menang, senang dan tenang di atas sana!” itu jawaban ibumu dengan mata berbinar-binar, saat kau tidak tahan lagi dengan pemandangan itu dan mencoba menyadarkannya untuk kesekian kalinya. Setelah itu, biasanya dia akan kembali sayu dan menangis hebat di pelukanmu. Hatimu tentu saja sudah terbiasa teriris dengan adegan semacam itu. Sampai kapan semua ini, ya, Tuhan? Jerit hatimu.
Sebenarnya, kau sudah pernah menyampaikan perihal keadaan ibumu itu kepada paman dan bibi-bibimu, tapi mereka hanya membisu. Bahkan hanya sekadar menjenguk ibumu saja mereka tidak pernah menampakkan batang hidungnya ke rumah kalian.

Cerpen Asep Fauzi: Merah Putih di Langit Bungkukan

“Serang!!!”
Seruanmu menggelegar, memecah pagi yang masih buta kala itu, Hasan Basri. Lalu suaramu itu membakar dada para pemuda Bungkukan yang hampir tiga bulan ini kau sulut sedikit demi sedikit untuk melawan polisi perintis Belanda yang masih melancarkan penjajahan mereka. Padahal kemerdekaan Indonesia telah diploklamirkan tiga tahun sebelumnya.
Tanganmu dengan piawai menyabetkan parang kecil yang kau pinjam dari salah satu warga kepada penjajah-penjajah itu tanpa memberikan kesempatan kepada mereka menarik pelatuk senjatanya. Handuk yang warnanya telah memudar mengikat kepalamu yang kokoh itu bersimbah peluh luapan semangat.
Timpas!”
Cucuk!”
Cancang!”
Lailahaillallah!”
Allahu akbar!”
Sedangkan suara lantang itu, yang seakan melahap habis rasa gentar para penyerang yang lain, seperti jilatan api yang dilempari jerami dan ranting kering itu adalah milik temanmu, Damanhuri. Suara berwarna merah putih itu berkobar-kobar di langit Bungkukan 13 November 1948.

***

Cerpen Asep Fauzi: Atul

Kau selalu suka menghirup dalam-dalam bau laut, Atul. Mungkin, karena sejak kecil, kau sudah begitu akrab dengan hembusan dan deburannya. Daerah Kotabaru memang sebuah kepulauan. Hasil hamparan air asinnya menjadi andalan perekonomian bagi sebagian besar masyarakatnya. Tapi kali ini, kau tidak sedang menikmatinya di Taman Siring Laut, di Pantai Gedambaan, di Teluk Tamiang, atau di Gudang Ubur-Ubur Perikanan seperti masa-masa kecil hingga kau kuliah dulu.
Kau tengah berada di dalam kapal Ferry. Sudah hampir dua tahun ini, kau rutin melakukan penyeberangan menggunakan kapal ini setiap libur sekolah, dari Pelabuhan Stagen menuju Pelabuhan Tarjun dan sebaliknya, yang juga mengharuskan gadis berkerudung sepertimu untuk akrab dengan hutan dan ladang-ladang masyarakat Suku Dayak.
“Atul!”
Suara perempuan seketika memecah lamunanmu. Kau mencoba merayapi setiap wajah penumpang yang ada. Pagi minggu itu, penumpang memang terhitung lumayan banyak. Mungkin, karena mereka tak ingin bertemu siraman terik kemarau yang masih melanda Kotabaru, jika bepergian terlalu siang.
“Risma!” pekikmu. Akhirnya kau temukan juga wajah perempuan itu.

Cerpen Asep Fauzi: Kisah Sebenarnya tentang Perkawinan Hamdi

Semua orang sekampung sebenarnya sudah tahu benar, terutama ibu-ibu, bahwa sesering apapun mereka membicarakan prahara perkawinan si Hamdi, tetap saja dia akan memasang telinga panci. Namanya juga omongan, dari mulut satu ke mulut orang yang lain, bukannya tetap utuh, malah bertambah, seakan menjadi bahan mentah yang dijadikan berbagai macam barang. Sebuah omongan akan bertambah menjadi lebih panas setelah terus menerus digosok-gosok.
"Si Hamdi tu dibaca-bacai urang saku!"
"Kayaknya dia mati rasa sama bininya itu!"
"Dia belum kenyang dengan masa mudanya. Makanya seperti itu. Sayang, padahal jujurannya mahal sekali; dua puluh lima juta."
Kalimat-kalimat itu hanya sebagian kecil dari pembicaraan orang di kampung transmigrasi ini. Sisanya lebih banyak lagi, dan lebih bervariasi sesuai tanggapan mereka tentang yang terjadi dengan perkawinan si Hamdi dan Halimah itu.

***

Cerpen Asep Fauzi: Di Antara Hujan yang Jatuh

Kau tahu, Ken, di antara hujan yang dijatuhkan-Nya, begitu banyak kisah yang telah kita lalui bersama. Meskipun semisal hujannya telah reda, namun basahnya akan tetap membekas. Menyisakan bau lembab yang tercium begitu nikmat, dihembuskan oleh uap panas dari dalam tanah yang sebelumnya dipanggang oleh terik.
Bulir-bulirnya juga sejenak menghiasi dan mengembun di pepohonan, di ujung-ujung dedaunan yang hijau, di kelopak-kelopak bunga yang bermekaran, di tepi-tepi atap rumah, dan apa saja yang berhasil dijatuhinya. Tak lama, akan ada angin yang bertiup, meluruhkan seluruh bulir-bulir itu, lalu semuanya kembali ke tanah.

***

Cerpen Asep Fauzi: Hanya Mega-mega

Biasanya mega-mega itu hanya terlihat tengah berdesakkan dan berkejar-kejaran di pucuk Bukit Sebatung yang akhir-akhir ini lebih sering kau lihat dari beranda rumah kontrakkanmu. Sebelum akhirnya kau akan masuk ke dalam kamar mandi. Lalu melamun, berlama-lama di sana. Meskipun tetap saja kumismu kian subur bak belantara lantaran tidak pernah kau cukur.
Akhir-akhir ini, kau lebih sering mengingat kejadian malam itu. Tepatnya, kata-kata dari ayah mantan calon istrimu, “Ada yang lebih siap menikahi, Lili. Semoga kamu bisa mengerti! Karena dalam keluarga kami, jika sebuah rencana sudah tersiar, pantang untuk menunda apalagi membatalkannya. Hal itu hanya akan mencoreng kehormatan keluarga besar kami. Sedangkan kamu, belum juga siap uang jujurannya.”
Kini, mega-mega menaungi hatimu. Namun, bukan berarti juga membuatmu kepingin mendendangkan lagu yang terdapat kata ‘mega’ di liriknya, yang telah lama menjadi kebanggaan kotamu. Kotabaru gunungnya bamega /bamega ombak menampur di sala karang /ombak manampur di sala karang….*

***

Cerpen Asep Fauzi: Perempuan yang Kelaparan Ketika Matahari Terbenam

Ini adalah Maghrib kedua di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, tokoh perempuan kita makan seperti kesetanan. Yang keluar dari mulutnya hanya kata ‘lapar…makan…haus…minum’ sembari mengunyah dengan rakus makanan dan menenggak minuman yang tanpa henti dikeluarkan oleh Suri, pembantu di rumah ini yang telah mengabdi belasan tahun lamanya. Namun makanan kudapan dan minuman berupa kolak, kurma, cendol, sari india, es kelapa, jus apel, hingga pada makanan berat seperti nasi putih, sate, semur ayam, ikan goreng, capcay, sambal goreng, dan apa saja yang tersedia untuk berbuka puasa, tidak akan bertahan lama di perut perempuan itu. Tetap saja dia akan berkata, “lapar…makan…lapar…aku lapar!”
Haji Karni dan istrinya tentu saja kalang kabut melihat kelakuan anaknya yang berbeda seratus delapan puluh derajat itu. Kegiatan berbuka puasa kali ini jelas berbeda. Mereka heran. Anaknya adalah gadis tercantik di Komplek Rumah Sepuluh itu. Dan sebelumnya, tidak pernah berlaku seperti itu. Sangat menjaga penampilan terutama tubuh langsingnya. Namun sejak memasuki sepuluh hari terakhir puasa tingkahnya seperti orang tidak waras. Dan ketika adzan Isya berkumandang, barulah tingkahnya kembali normal. Namun, semuanya tidak langsung berangsur baik. Perempuan itu langsung mendekam berjam-jam di dalam toilet, demi menetralkan pemasukan ke perutnya yang tidak wajar saat dia kalap. Meskipun yang mengherankan juga bahwa, makanan itu tidak juga membuat perubahan terhadap tubuh perempuan itu.

Cerpen Asep Fauzi: Yang Merindukan Air Mata

Kau memang telah lama tidak menemukan air mata itu. Air mata yang pada akhirnya adalah semata-mata hanya untuk si pemilik air mata itu sendiri, bukan untuk dirimu. Kau hanya bertugas mencatatnya dengan penuh sukacita dan gemuruh takbir saat menemukan keindahan dari air mata itu.
Kau selalu memohonkan untuk si pemilik air mata itu kepada Tuanmu agar dia diberikan jalan yang mudah, selebar-lebarnya menuju sebuah negeri akhir yang di dalamnya mengalir sungai-sungai susu dan madu yang legit dan lezatnya tiada tara. Itu telah tertulis di dalam kitab yang diturunkan kepada kekasih-Nya.
Namun, telah berpuluh-puluh tahun lamanya juga kau tak pernah lagi berhasil menemukan jenis air mata itu. Meskipun sebenarnya, yang menjadi tugasmu bukan hanya mencatat air mata itu. Hanya saja, kau begitu prihatin bahkan bersedih hati, karena begitu banyak manusia yang telah melupakan peringatan-peringatan Tuanmu yang membuat air mata itu seakan menjadi punah dari muka bumi dan kini air mata itu sangat kau rindukan. Sunggguh, kau teramat merindukan setiap tetes dan alirannya yang menyungai di sela-sela wajah dan kalbu manusia yang telah bersaksi akan Tuanmu dan kekasih-Nya.
Air mata yang kau rindukan ialah jenis air mata yang bening di atas bening, air mata yang jika dilihat dari asal-muasalnya adalah yang berasal dari hati yang bersih, hasil dari tangisan untuk masa depan yang paling depan dalam hidup ini, atau minimal menangisi kekeliruan yang telah diperbuat mereka kepada Tuanmu. Oh, rindu akan air mata itu seakan menggerogotimu.

***

Cerpen Asep Fauzi: Senja yang Temaram

Kau bisa saja menilainya sendiri, Senja, siapa yang tidak tahu diri, ayahmu inikah atau ibumu itu? Mata kepalamu sendiri yang menjadi saksi kepergiannya. Entah ke mana dia yang telah lenyap saat kita bangun. Dan tentu saja dengan siapa dia pergi? Itu juga pertanyaan yang penting, Nak. Iris saja telinga ayahmu ini, jika dia pergi sendiri di malam hari, mungkin saat kita sudah terlelap, atau saat subuh buta. Karena, setelah tadi malam kami cekcok pukul setengah dua belas, dia masih meringkuk dan terisak di kamar. Tentu saja tidak ada tukang ojek di pengkolan di atas jam dua belas di desa kita ini. Apalagi sebelum subuh.
Suatu saat nanti kau juga akan merasakan, Nak, bagaimana suasana rumah tangga tidak sesepele yang dibayangkan. Bahwa sebuah pernikahan tidak semata-mata bermodalkan kata-kata legit yang bernama cinta, Nak. Akan tetapi lebih dari itu. Adanya ketulusan menerima kekurangan masing-masing. Memahami pribadi pasangan yang merupakan jenis makhluk yang berbeda dan dengan kerumitannya sendiri-sendiri. Dan yang pasti tidak sempurna kau pahami jika belum menjalaninya, Nak. Biarlah, pantas atau tidak aku ungkapkan ini padamu, Senja! Toh, kini kau sudah mulai beranjak dewasa.

Cerpen Asep Fauzi: Perihal Aku dalam Mimpimu

Assalamualaikum? Maaf sebelumnya.
Tadi malam saya mimpi tentang Anda.
Saya harap Anda sehat selalu dan dalam lindungan-Nya!
Aku tertegun membaca pesan BBM darimu siang ini, Dew. Sebagai seorang lelaki lajang, tentu saja aku berpikir konyol. Semacam ada kesenangan tersendiri saat tahu bahwa aku sampai hinggap di dalam mimpimu. Apa-apaan ini? Sebenarnya, seberapa istimewanya’kah aku untukmu? Tetapi buru-buru kutepis kegagalan fokusku terhadap pesanmu itu. Di akhir pesanmu, ada kalimat pengharapan dan doa untukku.
Aku lantas membalasnya. Aku jawab salammu dan aku ketik, bahwa hari ini aku dalam keadaan sehat. Aku meyakinkanmu, bahwa aku baik-baik saja, tidak kurang satu apa pun.
O y, kalau tidak sibuk, sore ini pukul 16.00 
di taman, oleh beberapa mahasiswa (sepertinya satu kampus denganmu), 
saya diminta hadir untuk membentuk komunitas menulis sastra. 
Jika kamu tidak ada kesibukan, silakan ikut hadir!

Cerpen Asep Fauzi: Hujan Batu di Gubuk Lelaki Buta

Lelaki buta itu tengah menangis. Padahal siang ini, angin tengah sepoi-sepoinya membelai apapun yang ditiupinya ke arah gubuk tempatnya berdiri itu. Jika saja matanya masih wagas laiknya mata manusia pada umumnya, tentu dari kedua sudutnya akan meleleh air bening. Namun yang terlihat memang hanya dua belah mata yang telah mati, tergantung begitu saja di kelopaknya. Tidak bergerak. Mata itu terlihat menjijikan dengan darah kering yang masih menempel di kedua belahnya. Sedangkan di bagian tengahnya terlihat basah. Sesekali, beberapa ekor lalat terbang dan hinggap di mata lelaki itu.
Namun, lelaki itu bergeming. Meski lalat telah beberapa kali hinggap menyedot dengan lahap cairan kental kekuningan yang ada di bagian tengah matanya yang amis namun terlihat juice itu. Kau tahu, bukan perihal kondisi matanya yang menjadi musabab dia menangis. Namun, ia sedang menangisi apa yang orang-orang sebut sebagai dosa. Ya, dia memang telah lama membenci dirinya sendiri yang selama ini terlampau asyik menimang kesalahan-kesalahannya.

***

Cerpen Asep Fauzi: Lelaki Peri

“Dalam keluarga kita, lelaki memang harus pergi melaut, Acong! Apalagi kau anak lelakiku satu-satunya! Kau sudah seharusnya ikut bersama ayahmu ini, agar nanti saat dewasa, kau sudah terbiasa!”
Ayahmu geram, Acong. Dia mengatakan hal itu dengan bahasa Bajau yang kental, sembari memegang dan menggoncang-goncangkan kedua bahumu yang lemah. Matanya menombak bebas ke dalam matamu yang sayu.
Dia kalap. Saat itu, baru saja hari kelulusanmu dari sekolah dasar. Melalui ibumu, kau meminta kepadanya untuk melanjutkannya ke SMP. Kau menangis mendengar penolakannya, Acong. Perasaanmu terlalu tipis, bak kulit bawang.
Kau memang tidak seperti anak lelaki dari suku Bajau pada umumnya yang pemberani menerjang ombak, legam oleh terik, dan kekar, Acong. Kau menyadari hal itu sejak kecil. Ayahmu pun jelas tahu, kau sering sakit-sakitan. Meskipun tidak setiap hari ayahmu berada di rumah, tapi lebih banyak menelisik jeroan laut.

Cerpen Asep Fauzi: Wanita Paling Kucinta di Dunia

Lihat wanita itu, Kawan! Iya, dia. Wanita yang akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan kerentaan di atas tempat tidurnya yang lusuh. Merebahkan tubuh yang dulu bentuknya jelas sangat ideal, tapi kini kian mengerut digerogoti usia.
Syukurnya dia tidak menyidap sebuah penyakit yang mengkhawatirkan, mungkin berkat semasa mudanya yang penuh gerak. Hanya saja dia sudah sangat tua. Ya, penyakit orang tua tepatnya. Tapi sungguh, dia wanita yang paling kucinta di banua ini, bahkan di dunia ini.
Kecintaanku kepadanya tentu saja bukan karena ia yang telah menghadirkanku ke dunia ini, atau bahkan dia istriku, simpananku apalagi, sama sekali bukan!
Apa katamu? Aku hanya mengagumi dan mencintainya karena dulu ia seorang wanita yang sangat cantik. Ah, aku tak pernah sematrealistis itu, Kawan. Aku selalu ingin mencintainya dengan sederhana, seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu1. Intinya dia mencintaiku, begitupun sebaliknya aku kepadanya.

***

Cerpen Asep Fauzi: Dialah Puisi: Eko Suryadi WS

Kau mengenal peramu kata itu di sudut Taman Siring Laut. Tepatnya di bawah Pohon Kariwaya besar yang rindang di samping kiri panggung Dewan Kesenian Daerah, agak berjarak dari hingar-bingar pengunjungnya. Suatu ketika, lelaki itu tengah duduk sendiri.
Ya, dia memang selalu diam berlama-lama sendirian menghadap ke arah laut. Kadang tatapannya seperti menikmati deburannya, bahkan juga terlihat seperti menertawai lincahnya ombak yang tengah berkejaran itu. Atau juga ada kalanya, kaulihat tatapannya seperti kilatan amarah dan kekecewaan kepada hamparan air asin itu.
Tubuhnya yang gempal dan tinggi. Rambutnya yang lurus dan agak panjang disisir mengarah ke belakang, dengan kacamata yang kautebak adalah kacamata minus. Dia biasa mengenakan baju hem lengan pendek dengan celana jeans.
Setelah kau perhatikan, dia bukan hanya sekadar duduk bersantai menikmati hamparan laut dengan hembusan angin sorenya yang menghanyutkan. Tapi, ada hal yang tengah ia lakukan dengan asyik yang menurutmu tak pernah membuatmu sepenasaran itu kepadanya.

Cerpen Asep Fauzi: Perjalanan Malam

Perjalanan itu dimulai sejak kau menerima tawaran Engkus untuk bekerja di pertambangan batubara sebagai buruh cuci atau juru masak yang ada di Kalimantan. Kau akui, dia memang sosok lelaki yang sangat pandai meluluhkan hati wanita, tak terkecuali ibumu. Wanita yang selama ini selalu menghalang-halangimu untuk bersuami karena takut kau akan diboyong oleh suamimu dan meninggalkannya. Tapi wanita yang kepalanya sudah mulai ditumbuhi uban itu akhirnya takluk oleh rayuan Engkus.
Perjalanan itu sungguh melelahkan dan menguras kewanitaanmu. Perjalanan terlama yang pernah kau lakukan. Jika selama ini kau hanya berjalan menuju ke sawah untuk bekerja, ke Pasar Lewieuh Sari, atau paling jauh dari tanah Tasikmalaya itu, kau hanya pernah ke Bandung mengunjungi Uwa1 Mimin atau ke Pantai Pangandaran bersama ayahmu yang telah lama meninggal. Tentu saja itu dulu, saat kau masih brwujud gadis kecil. Sehingga seluk-beluk Pantai Pangandaran misalnya, jelas kau tidak dapat mengingatnya kembali dengan detil bagaimana lembut pasirnya, riak ombaknya, segala hal yang ada di pantai itu. Apalagi jika kau diminta mengingat rute jalan menuju rumah

Mimin, kau tidak akan lagi mampu mengingatnya.

Cerpen Asep Fauzi: Rumah-rumah yang Meninggalkan Kota

“Kalian tanyakan saja kepada diri kalian yang selama ini pongah. Telinga kalian begitu sibuk dijejali oleh serba-serbi dunia ini. Kalian seakan lupa, bahwa kalian bukanlah penduduk asli bumi ini, asal kalian adalah syurga. Kalian tinggal di bumi ini hanya untuk mengikuti ujian, lalu segera kembali….”*

***

Cerpen Asep Fauzi: Ziarah Debu

Debu-debu beterbangan, lalu hinggap di setiap rongga dan guratan permukiman, saat kau memasuki desa ini lagi. Warna desa seakan sengaja dilukis oleh bulir-bulir tanah cokelat kehitam-hitaman; rumah-rumah yang beratap seng dan daun rumbiya, pepohonan dan rerumputan menjelma corak kecokelatan yang legam.
Sejauh mata memandang, yang terlihat olehmu hanya kekusaman. Hawa yang gerah karena tak banyak lagi hutan yang melindungi desa ini dari pancaran sang surya secara langsung. Dan jika hujan tiba, jalanan di desa ini akan berubah bak kubangan kerbau, karena tanpa aspal. Hanya tanah yang menjadi lumpur.
Lebih parah dari sebelumnya, saat pertama kali desa ini kau tinggalkan untuk menyandang gelar mahasiswa. Empat tahun kuliah dan memasuki dunia kerja hingga tahun kedua. Meskipun kau tetap sadar, bahwa ini tanah kelahiranmu, masa kecil dan remajamu.
Tidak tersisa lagi jejakmu di sini, selain tapak-tapak masa lalu. Rumah satu-satunya peninggalan orang tuamu, telah kau jual untuk biaya merantau dan kuliah beberapa tahun yang lalu.
Desa ini kini senyap.

Cerpen Asep Fauzi: Rumah yang Membusuk

Angin laut khas bulan Juni menguliti tubuhku. Cahaya rembulan malam ini nyaris sempurna, sehingga setiap sudut mampu dengan jelas terjangkau oleh kedua bola mataku.
Entah bagaimana awalnya, aku sudah berada di atas panggung yang baru saja tadi sore selesai dibangun oleh warga desa Rampa ini. Aku duduk di panggung yang dibangun di atas laut yang letaknya beberapa ratus meter dari permukiman.
Panggung inilah yang besok akan kugunakan untuk memimpin Selamatan Leut, sebuah upacara adat tahunan bagi kami, warga nelayan suku Bajau-Kotabaru, sebagai ungkapan rasa tahu diri atas berlimpahnya tangkapan hasil laut.
Hamparan air asin ini memang sudah menjadi rumah bagi kami, bukan sekadar tempat singgah untuk mencangkuli rezeki-Nya, tapi inilah napas dan hidup kami.
Di salah satu sisi panggung, telah dirikan pula sebuah tongkat seukuran pergelangan tanganku, panjangnya sekitar 12 meter, ditancapkan ke dasar laut, terbuat dari bambu kuning yang mendadak ditebang tadi pagi.

Cerpen Asep Fauzi: Buku-buku Titipan Ustadz

“Mas, Iqqi!” Begitu panggilmu pagi itu. Aku baru saja masuk ke dalam kelas yang di depan pintunya bertuliskan ‘Kelas 2A’. Aku tidak menjawabnya, hanya menghampirimu dengan wajah dan mata penuh tanya. Kau yang beberapa menit yang lalu baru saja menjawab salamku dan telah duduk di balik meja kerjamu itu, mengeluarkan sebuah bungkusan.
“Afwan. Ustadz mau titip buku, ya Mas.”
Belum sempat aku bertanya, kau lebih dulu melanjutkan kata-katamu,“Nanti sore. Tante Rezeki insha Allah akan mengambil buku ini ke rumah, Mas Iqqi. Iya, ini untuk Tante Rezeki.” Kau tersenyum, aku menerimanya.
“Syukron ya, Mas!” katamu lagi.
Aku hanya mengangguk, lalu berjalan menuju tas sekolahku dan memasukkan titipan yang katamu buku itu di antara buku-buku pelajaran dan alat tulis milikku. Buku itu dibalut dengan pelastik berwarna putih.
Seingatku, baru saja kemarin kau bertanya prihal apakah aku mempunyai seorang tante bernama Rezeki Purnamasari atau tidak, hari ini kau sudah menitipkan sesuatu untuk tanteku itu.
Aku jelas mengenal baik dirimu, Ustadz Asep. Kau adalah salah satu guru di sekolah dasar islam ini, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Meja kerjamu memang berada di kelas ini, tepat bersebelahan dengan meja kerja Ustadzah Ramlah-wali kelas kami.

***