Cerpen Sandi Firly: Ziarah

17.33 Zian 0 Comments

Cerpen Sandi Firly: Ziarah

PADA sisa seperempat malam itu ia terbangun. Ditengoknya istrinya yang tertidur membelakanginya. Suara ngorok istrinya seperti peluit kapal di malam tanpa angin dan gelombang. Disibaknya selimut, diraihnya jaket yang tergantung di dinding pintu kamar, dan sebuah senter di atas meja. Dia bertekad tetap ke luar rumah menuju pekuburan di belakang surau, sekitar 500 meter dari rumahnya ke arah barat. “Aku mesti ke kubur, ke kubur.” Hatinya begitu gelisah. Di luar bulan terang, langit luas membentang, awan-awan tipis menepi. “Pekuburan itu pasti terang cahaya bulan. Aku mesti ke kubur, ke kubur.”
***
Cerita ini bermula dari sebuah nazar. Salim telah bernazar, bila ia bersama tiga anak buahnya berhasil mendapatkan intan di pendulangan Cempaka, maka ia akan berziarah ke makam Wali Songo di Jawa. Tak hanya sendiri, ia akan mengajak anak istri dan tiga anak buahnya. Ini adalah kaul pertamanya untuk pekerjaan mendulang.

Peruntungan Salim memang sedang sepi. Setahun belakangan ini hasil mendulangnya hanya mampu untuk makan sehari-hari dan membayar utang sembako bekal mendulang di warung. “Cobalah Pak Salim bernazar, insya Allah. Nazar apa saja, tentu yang baik-baik. Pak Salim pasti tahulah itu,” begitu saran Pak Majid, ustaz di pesantren dekat rumahnya di Desa Antaraku, ketika ia menceritakan perihal usaha mendulangnya yang kian tak menghasilkan.
Salim merasa hanya mendulanglah pekerjaan yang mampu dilakukannya, seperti juga dulu almarhum bapaknya. Lagi pula ia telah mendulang sejak muda. Dari hasil mendulang juga ia akhirnya bisa mengawini Saidah, istrinya, yang kemudian melahirkan Diyang, Murni, dan Nanang. Dua anak perempuannya telah dibawa laki mereka masing-masing. Mereka kawin dalam usia muda, Diyang 18 tahun, Murni 16 tahun. Diyang kini di Samarinda, suaminya bekerja sebagai penjual buah. Sedangkan Murni di Pangkalanbun ikut suaminya yang bekerja di perkebunan kelapa sawit. Jadi tersisa si bungsu Nanang yang masih bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah—di kampung biasa disebut Sekolah Arab.
Bagi orang Banjar yang berdiam di Martapura, berziarah ke makam para wali menjadi semacam cita-cita rohani, seperti halnya berhaji meski tingkatannya tidaklah setinggi itu. Namun dimafhumi, berziarah ke makam para wali sudah mentradisi. Salim juga tahu, tiap tahun ustaz-ustaz di pesantren di desanya mengadakan ziarah ke makam Wali Songo, dan selalu saja ada warga di sekitarnya yang ikut berziarah bersama. Mereka berangkat rombongan, kadang sampai 20 orang. Dan setiap pulang dari ziarah Wali Songo, seolah-olah mereka seperti pulang dari berhaji.
Salim memang sudah sering mendengar, kalau nazar adalah salah satu kunci untuk membuka pintu rezeki. Dan ia yakin, dengan nazar berziarah ke makam wali-wali di tanah Jawa, maka Tuhan akan memudahkan ia dan anak buahnya bekerja dan bahkan menunjuki mereka lubang galian mana yang harus dikerjakan untuk mendapatkan intan. “Para wali adalah kekasih Tuhan, sudah tentu berziarah ke sana sangat baik. Tuhan pasti senang,” begitu bisik hati Salim. Kendati ia sebenarnya merasa tidak enak dengan Tuhan karena bernazar seperti itu. Sebab ia sudah lama meninggalkan salat lima waktu, jarang beramal sedekah, dan entah berapa tahun tak lagi berzakat.
Namun Salim juga merasa tak punya pilihan bagus untuk merayu Tuhan selain nazar ke makam Wali Songo. Sementara untuk nazar berhaji, ia merasa belum siap secara mental – tentu saja selain ongkosnya yang mahal. “Di tanah suci, apa-apa yang dilakukan orang selama hidupnya, terutama yang tidak baik, akan ditampakkan oleh Tuhan dan bahkan dibalas langsung. Ada jamaah yang tersesat berjam-jam, ada yang ditarik-tarik askar Arab, atau bibirnya tak bisa lepas ketika mengecup hajar aswad.” Tambahan cerita itu pula yang membuat Salim merasa tak siap berhaji. Ia takut salat yang ditinggalkan dan zakat yang dilupakan akan berubah menjadi askar Arab, sering diceritakan bertubuh tinggi besar dengar wajah hitam sangar, yang akan mengejar-ngejarnya di tanah suci. Sebab itulah ia cukup bernazar ziarah ke makam Wali Songo saja.
Sudah tentu Salim tidak menceritakan perihal nazarnya ini kepada anak buahnya maupun anak istrinya. Memang begitulah. Sebuah nazar tak seharusnya diceritakan kepada orang lain. Cukup kita sendiri yang mengetahui. Cukup hati kita. Sebab nazar adalah sebuah permintaan terdalam, dari lubuk hati. Harus murni, tulus. Karena bila sebuah nazar diceritakan, itu bisa mengurangi keikhlasan. Takut dianggap ria, takut dianggap gagah-gagahan, dan yang paling dikhawatirkan adalah takut tidak bisa melaksanakan nazar tersebut bila memang hajat telah dipenuhi oleh Tuhan.
Salim pernah mendengar sebuah cerita tentang nazar ini. Di kampung seberang sungai desanya ada seorang pendulang yang rumahnya terbakar dan menghanguskan seluruh harta di dalamnya. Kejadian itu hanya berselang satu bulan setelah si pendulang berhasil mendapatkan intan cukup besar. Dari cerita yang beredar, si pendulang pernah bernazar akan menyantuni 100 anak yatim bila ia mendapat intan. Rupanya Tuhan memperkenankan nazarnya. Si pendulang diberi rezeki dengan mendapatkan sebiji intan berkualitas bagus dan laku dijual seharga Rp 1 miliar. Setelah uang itu dibagi-bagi terlebih dulu dengan beberapa rekan kerjanya, si pendulang tetap mendapatkan bagian yang cukup besar. Uang hasil penjualan intan itu pun lalu dibelikannya perabotan seperti televisi, vcd, kulkas, kipas angin, sofa, lemari kaca, baju-baju baru untuk anak istrinya, serta dua buah sepeda motor (konon menurut cerita lagi, si pendulang itu sebenarnya ingin membeli mobil, namun karena tak bisa menyetir dan tak ada garasi di rumahnya maka dibelilah sepeda motor. Sebelumnya cuma beli satu, tapi karena rumahnya dirasa masih bisa menampung satu sepeda motor lagi, maka dibelinya lagi sebuah). Sementara ia sibuk dengan barang-barang barunya itu, nazarnya menyantuni 100 anak yatim pun terlupakan.
Begitulah, satu bulan berselang, rumahnya terbakar dan menghanguskan barang-barang yang baru dibelinya. Meski penyebab kebakaran diduga akibat korsleting listrik, namun orang-orang tetap saja mengaitkan musibah itu dengan nazarnya menyantuni 100 anak yatim yang tidak ditunaikannya.
“Nazar itu baik. Namun jangan sekali-sekali berani bernazar bila kamu tidak sanggup memenuhinya.” Itulah pesan Pak Majid yang terus diingat Salim. Sepulang dari rumah Pak Majid, pesan itu berdenyut-denyut di kepalanya. Itu sehari sebelum ia dan tiga anak buahnya berangkat ke Cempaka untuk mendulang. Malam itu juga ia meluruskan nazarnya berziarah ke makam Wali Songo bila berhasil mendapatkan intan. Sepanjang perjalanan pulang ia terus mengucapkan nazarnya dalam hati seperti doa. Berulang-ulang. Berulang-ulang hingga ia tiba di depan pintu rumahnya. Sebelum memasuki rumah, sekali lagi dia niatkan nazarnya, sambil pula ia meyakinkan Tuhan bahwa ia pasti akan melunasi nazarnya bila Tuhan berkenan memberinya rezeki di pendulangan.
***
Pada hari ketiga di pendulangan, Salim mendengar jeritan Zakir, anak buahnya, dari dalam lubang pendulangan seperti orang kerasukan. “Galuh! Galuh!” teriak anak muda itu. Sudah dipahami dalam adab pendulangan, bila seseorang menyebut nama Galuh di pendulangan, itu bukanlah sedang memanggil nama seorang anak gadis, terlebih lagi merayunya. Galuh itu sebutan untuk intan yang didapat. Sebab menurut hikayat, bila menyebut nama intan dengan nama sebenarnya, maka intan tersebut bisa lenyap secara gaib. Masih dipercaya pula, bahwa intan adalah penjelmaan putri dari alam tak kasat mata.
Salim sempat terpukau melihat benda yang diperlihatkan Zakir di antara jempol dan telunjuknya. Benda seukuran pentol bakso itu tampak hitam mengkilap. “Ya, ini memang Galuh. Galuh,” ucap Salim setelah benda bulat seukuran pentol bakso itu ditelitinya dengan cermat. Pengalamannya bertahun-tahun tak mungkin luput. “Ini memang Galuh, Zakir,”  ulang Salim dengan mata berbinar-binar kepada Zakir yang senyumnya terus mengembang, juga kepada dua anak buahnya yang lain, Rasid dan Umar, secara bergantian. “Akhirnya saya jadi kawin juga,” sambut Zakir, yang rupanya telah terbayang uang yang akan didapatnya dari penjualan intan itu nantinya. Sedangkan Salim teringat dengan nazarnya berziarah ke makam Wali Songo.
Seketika saja kabar penemuan intan sebesar pentol bakso oleh kelompok Salim tersiar ke seantero masyarakat Banjar. Layaknya setiap intan yang ditemukan adalah penjelmaan seorang putri, maka intan sebesar pentol bakso itu pun diberi nama “Putri Malu”.
Bergantian rombongan pejabat ibukota setempat mengunjungi Desa Antaraku, yang jalannya seperti kubangan kerbau dan hanya bisa dilewati sebuah mobil satu arah. Begitu pula beberapa pengusaha intan, baik dalam kota maupun luar daerah, rela menempuh perjalanan hampir tiga jam untuk melihat dengan mata kepala sendiri intan yang disiarkan sebesar pentol bakso itu. Di antara pengusaha tersebut ada juga yang telah menyiapkan uang kontan untuk tawar menawar, namun ternyata harga yang dipasang Salim untuk si “Putri Malu” membuat para pengusaha benar-benar malu merogoh kocek mereka.
Seiring itu, sontak nama Desa Antaraku yang sebelumnya terisolir, menjadi terkenal. Imbasnya, jalan menuju desa pelan-pelan mulai dilakukan peninggian oleh pemerintah dengan menguruk pasir dan batu kerikil. Begitu pula Sekolah Arab, tempat Nanang putra Salim belajar, membuka mata pejabat yang berkunjung untuk melakukan perbaikan; menambal atap yang bocor dan menambah meja kursi untuk murid.
Dua minggu sejak ditemukan, belum ada juga yang berani meminang “Putri Malu” dengan mahar yang pantas. Salim pun mulai diserang gelisah. Ia terus teringat dengan nazarnya berziarah ke makam Wali Songo. Ia khawatir ada apa-apa bila nazarnya itu tidak segera dilaksanakan.
Pada hari keduapuluh, akhirnya datang H. Lihanuddin, pengusaha asal kota intan Martapura yang mau meminang “Putri Malu” dengan nilai mahar tertinggi, Rp 3 miliar. Setelah berunding dengan ketiga anak buahnya, Zakir, Rasid dan Umar serta melibatkan Pak Majid sebagai tokoh Desa Antaraku, Salim pun memutuskan menerima pinangan H. Lihanuddin.
Usai pembayaran intan, Salim memberitahukan tentang nazarnya kepada anak istrinya, ketiga anak buahnya, termasuk juga kepada Pak Majid yang dulu menyarankannya untuk bernazar. “Karena saya belum pernah naik pesawat, maka saya memohon kepada Pak Majid yang sudah berpengalaman untuk menjadi kepala rombongan kita untuk berziarah ke makam Wali Songo, seperti yang telah saya nazarkan. Semua ongkos, saya yang tanggung,” ucap Salim sambil tersenyum. Semua yang hadir tampak senang.
“Alhamdulillah, saya akan siapkan secepatnya rencana ziarah kita,” sahut Pak Majid, “Tapi, Pak Salim tampaknya buru-buru sekali ingin menunaikan nazarnya. Takut kualat ya,” canda Pak Majid yang langsung disambut gelak tawa. Salim hanya tersenyum masam sambil mengelus rambut di kepala depannya yang mulai menipis.
***
Perjalanan ziarah ke makam Wali Songo berjalan lancar. Salim juga membawa banyak oleh-oleh untuk para tetangganya. Namun, meski telah menunaikan nazarnya, Salim merasa ada yang menggelisahkan hatinya. Tiga hari sudah ia terbangun tiba-tiba di tengah malam. Seperti ada suara yang memanggil-manggil dalam tidurnya, tak tahu suara siapa.
“Apakah mungkin karena nazarnya terlambat dilaksanakan?” tanya istrinya ketika Salim menceritakan perihal mimpi dan kegelisahan hatinya saat sarapan pagi.
“Rasanya tidak juga. Bukankah kita cepat saja menjual intan itu dan langsung berangkat ziarah.” Atau, jangan-jangan karena saya tidak menziarahi makam wali-wali di kota Martapura ini? pikir Salim. “Iya, saya tahu, Bu,” ucap Salim cepat, “Usai sarapan kita langsung pergi ziarah ke Kalampayan dan Sekumpul.”
Istri Salim hanya menatap bingung dengan keputusan tiba-tiba itu.
“Oya, jangan lupa, nanti kita mampir dulu di pasar Martapura, beli kembang rampai.”
“Lho, bukankah di Kalampayan dan Sekumpul ada banyak penjual kembang rampai buat peziarah?”
“Oh iya, lupa. Entah kapan terakhir aku tak ziarah ke sana,” sahut Salim agak kikuk. Sebab ia sadar, seumur hidupnya belum pernah ziarah ke Kalampayan dan Sekumpul.
Jadilah hari itu, sehari penuh Salim, istri dan anaknya berziarah ke Kalampayan dan Sekumpul. Ketika kembali ke rumah, hari telah menjelang maghrib. Selesai mandi, Salim langsung tidur. Ia merasakan lelah yang sangat.
***
Seperti malam-malam sebelumnya, pada sisa seperempat malam itu ia kembali terbangun. Namun kali ini ia benar-benar dapat mengingat mimpi itu. Ia juga mengenal benar suara yang memanggil-manggil dalam tidurnya, suara yang selama ini menggelisahkan hatinya. “Aku mesti ke kubur, ke kubur.”
Di luar bulan terang, langit luas membentang, awan-awan tipis menepi. Sepanjang perjalanan menuju pekuburan di belakang surau, sekitar 500 meter dari rumahnya ke arah barat, Salim melihat di kedua bola matanya yang basah hanya ada sosok ayah ibunya yang terus berucap, “Aku rindu, kau tak menjengukku.Aku rindu, kau tak menjengukku.”
Salim tersungkur. Tangannya terbentang memeluk dua kubur yang terang bermandikan cahaya bulan malam itu.***

Martapura, 2008

: ilustrasi oleh sandi firly

Sumber:
https://sfirly.wordpress.com/2009/01/20/220/

0 komentar: