Cerpen Ali Syamsudin Arsi: Menembus Bias Cahaya
Sesekali dipalingkannya arah wajah ke pusat matahari, tak bertahan lama, kedua matanya terkatup. Ia palingkan pula ke sebelah kanan tak jua tampak pantai atau garis tipis penanda daratan. Di sela baju lusuh terlihat jelas kulit dan urat tangan yang hitam pucat. Berpaling lagi ke arah kiri, nun jauh mata dikuat-kuatkan untuk memastikan bahwa matanya tak salah dalam menentukan pilihan. Tapi tak jua ia dapat memutuskan, ke arah mana tujuan yang sebenarnya.Perahu kecil, tidak lebih dari 14 meter panjangnya, tak banyak yang dapat dilakukan. Pantai asal berangkat sudah tidak jelas di mana letaknya, pesisir tujuan berlabuh masih bertudung kabut. Semua menjadi serba tidak menentu, semua serba gelap dan muram.
“Aku hanya seorang manusia,” ucapnya hampir tak terdengar sama sekali. “Ini alam telah menelan ketidak-berdayaan, kecil terombang-ambing. Lautan sekeliling, perahu ini teramat kecil.”
Angin datang berembus, perahu kecil itu kembali bergerak mencoba mengikuti garis lengkung arah matahari tenggelam.
“Aku manusia yang kini tak lagi memiliki alamat asal-muasal, dan kini pun aku manusia yang tentu saja tak jua menyimpan alamat tujuan ke mana. Tak ada titik pasti, tetapi arah tenggelam matahari sebagai harapan. Mungkin hanya sekadar harapan.”
Ombak dan pulau persinggahan sama-sama menghalau. Dalam perjalanan tanpa memiliki tanda apa pun juga adalah sebuah bentuk dari kepasrahan yang luar biasa, lama sudah air mata tidak lagi keluar sebagai teman, namun matahari masih membuka jalan. Kedua kakinya masih tegar di tempat berpijak. Matahari tepat di atas kepala. Entah pada hari yang ke berapa. Berangkat, seingatnya saat kabut subuh menutup daun jendela, bahkan kersik daun kering pun jangan sampai berbunyi ketika bersentuh dengan telapak kaki agar diam sunyi, agar diam sepi, dan mengendap menghindari. Bila begitu, masih ada saja beberapa bayang di belakangnya yang terdiam mematung sebab hanya jerit melengking dengan tancap tajam di tubuh, di jantung di kepala di bagian dada. Masih ada beberapa bayang di belakangnya yang bersebab tak lolos bias cahaya, sampai menemu garis penjaga.
Adalah suara dari pusat kota menggelegar dan bergema, “Mereka tidak punya hak untuk bernapas dan bebas berjalan di sini. Bila mereka menampakkan diri di tengah-tengah kerumunan maka kita patut mencurigainya, kejar tangkap dapatkan orang itu, baik sendiri maupun bersama-sama. Mereka kelompok kelas yang tidak berkelas.”
Suara itu merambat ke seluruh pori-pori kota dan dengan suara itu maka sekian kelompok manusia yang memiliki kelasnya menjadi pasang cakar, pasang jerat, pasang mata dan pasang perangkap. Aturan dibuat untuk memberikan tekanan demi tekanan, membuat lingkaran demi lingkaran, bahkan dari aturan itu pula membuka kemungkinan yang terkuat dan terbesar adalah pengejaran demi pengejaran, pengepungan demi pengepungan. Bila sudah disekap oleh para pengejar maka terasa kaki-kaki itu bukan berpijak lagi di bumi, pedih di siang-siang sampai jerit di malam-malam. Berkepanjangan. Bahkan kadang terdengar suara dari pusat kota yang membuka lebar kepada para pengepung untuk melenyapkan lapisan generasi ke lapisan generasi berikutnya, “Lenyapkan mereka dengan cara yang paling tersiksa. Mereka sebenarnya tak pernah ada di depan mata kita. Pagar segala batas yang ada bahkan jangan sampai ada asap yang membubung jauh tinggi yang dapat mengabarkan bahwa asap itu berasal dari pedih di siang itu, kepul yang bersumber dari jerit di malam-malam itu. “Kita buat mereka sebagai pusat penindasan. Kita tidak pernah dapat menerima kehadirannya. Kejar dan kepung mereka sampai ke batas-batas lenyap dan tanpa suara, sebab semua suara hanya kita yang memilikinya,” suara dari pusat kota semakin menjadi-jadi dan itu berlangsung sejak lama.
Subuh berkabut, adalah subuh yang telah dinanti. Mengendap-endap untuk melepaskan diri dari jerat di lengking pedih. Hampir di seluruh titik jalan dan lorong, bersiaga segala jenis senjata, tak segan-segan memberondong.
Sabda dan Nur Alam telah sepakat untuk bertemu di titik yang ditentukan. “Kita tidak bisa bergerak dalam waktu yang tidak tepat. Bila terlambat sedetik pun maka sangat fatal akibatnya,” Sabda menjelaskan dengan suara yang tertahan dalam pertemuan rahasia. Betapa sangat berartinya perhitungan yang harus dilakukan. “Saya paham, waktu yang paling tepat memang tinggal tiga hari lagi karena berdasarkan menunggu kabut paling tebal adalah di saat itu, setelah atau sebelumnya tidak akan banyak membantu,” sahut Nur Alam. “Sampaikan kabar ini kepada yang lain,” sambil berlalu melenyap di sela-sela daun dan gelap malam Sabda berlalu dari singkatnya perjumpaan dalam kesepakatan yang membahayakan.
“Ini genting dan sangat menentukan,” ujar Nur Alam kepada istrinya.
“Mengapa hanya hari ini disampaikan, kita belum bersiap,” ucap istrinya dengan bibir bergetar.
“Apa yang harus kita siapkan, kita hanya membawa tubuh dan perlengkapan serta barang lain secukupnya.” Nur Alam mengucapkan hampir tak terdengar.
“Kamu juga harus bersiap, kita akan berangkat pada subuh yang telah ditentukan ayahmu,” didekatkan ujung bibirnya ke daun telinga anaknya yang sedari tadi hanya nanar memperhatikan kedua orangtuanya berbicara dalam nada suara hampir tak tersimak olehnya.
“Tapi kita akan menuju ke mana,” tanya istrinya pula, “Di sini kita sudah lama tidak diterima, dan di seberang kita juga tidak tahu di mana pastinya.”
“Ya, benar. Semoga Allah melindungi kita semua,” bergetar pula terdengar suara Nur Alam, nada suara berkandung kepasrahan memuncak. Tak ada penjelasan untuk itu. Ia sendiri, bahkan banyak sesama mereka telah berangkat dan seluruhnya sangat sulit didapat kabar.
“Subhanallah.” Sang istri terlihat menadahkan doa, ”Ya Tuhan kami, hanya kepadaMu kami berserah diri. Tak ada yang lebih mengetahui selain Engkau. Kami datang karena Kuasa Engkau dan kepada Engkau kami kembali. Amin, amin, amin. Maafkanlah kami dan terimalah pengharapan kami. Ya Allah, ya Tuhan kami. Engkau mengetahui segala rencana kami maka jaga dan perkenankanlah permohonan kami ini, kami pasrah kepada apa yang akan terjadi, mungkin itulah pilihan yang paling tepat, ampuni kami dan kepadaMu semua akan berjalan agar sampai tujuan. Ya Allah, ya Tuhan kami, perkenankan pilihan kami ini.” Enam telapak tangan menadah terbuka ke atas, dan mereka sangat yakin bahwa Tuhan pasti mendengar semua permohonan itu, sangat yakin bagi mereka. Karena memang tidak ada kekuatan dan ketentuan lain selain dari Tuhan yang mereka sembah.
Di sela hari tersisa, kehidupan berjalan seperti biasa. Pagi-pagi sekali saat suara azan berkumandang Nur Alam, Hadiah istrinya, dan Berkat Suci anak perempuan mereka, tetap melakukan salat kewajiban berjamaah di bilik rumah mereka. Terdengar jelas desir ombak di pantai. Angin dingin membalut perkampungan bagian Barat pojok negeri Myanmar. Jauh dari peristiwa Arakan di bulan Juli yang menggetarkan; getar daun-daun pintu, getar pasir-pasir di gigil kerusuhan, getar yang menelungkupkan sekitar 80 jiwa saudara-saudara mereka, yang satu di antaranya adalah anak lelaki mereka, mereka sangat berduka lebih dari itu mereka pun selalu mencari jalan agar dapat lolos dari segala macam bentuk bahaya. Getar-getar perselisihan yang meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan mereka. Peristiwa Arakan adalah peristiwa yang tak mungkin dapat mereka lepaskan begitu saja, mereka tentu akan selalu menyebut nama Bongkah sebagai korban dari kerusuhan. Ya, Bongkah saat itu terjebak dalam perseteruan yang mencapai puncak, tentu saja mereka dalam kondisi kalah sebelum mampu bergerak maju. Jangankan dapat memukul lawan, sedang ruang kebebasan mereka pun telah lama dengan sengaja dilenyapkan. Mereka bukan hanya tanpa senjata, tetapi kaki dan tangan serta jemari mereka sudah lama dibelenggu tanpa dapat berbuat apa-apa, mereka hanya boleh berdoa dan ternyata dari doa itulah mereka masih dapat bicara seadanya, masih dapat bekerja seadanya, masih dapat bernapas dalam kepungan seperangkat aturan yang sungguh menyakitkan, dan itu berlangsung sejak nenek moyang mereka yang datang dari Negara di sebelah garis perbatasan. Peristiwa Arakan sungguh amat memilukan, di sana Bongkah didapatkan dalam kucuran darah penyiksaan yang berakhir di ujung pembantaian. Peristiwa Arakan adalah pemusnahan sebuah generasi atas kemanusiaan yang lunglai di bawah mata kaki kekuasaan.
Sinar menerpa permukaan laut menghadirkan bayangan pagi dari kejauhan, bayangan dari sebentuk tangan tengadah, tangan mungil Berkat Suci menirukan gerak tingkah dari kedua orangtuanya yang sedang berdoa. Dalam sayup doanya, “Ya Tuhan, aku tak habis paham akan kepergian dia, kakak lelakiku, kami tak lagi bersama. Ya Tuhan, pergi sejauh apa ia kini. Ya Tuhan bimbinglah ia dalam perjalanan.” Ditatapnya wajah gelap ibunya, seketika terlihat seberkah senyum, senyum penuh pengharapan. Senyum dalam getir teramat dalam. Senyum ketulusan seorang ibu kepada anaknya tercinta, anak yang masih ada satu-satunya. Senyum untuk anaknya yang kini duduk ikut tengadahkan tangan seperti mereka, subuh pun berjalan seperti tanpa rencana besar mereka. Semua tersimpan rapi dan biasa-biasa saja, sebab di kiri kanan masih banyak mata serta telinga yang menempel di daun-daun jendela, entah pula ada banyak mata entah ada banyak telinga di ruang-ruang terbuka, bahkan bersebaran di hampar pasir dalam desir ombak pantai sepanjang kampung duka lara.
Pagi lenyap tanpa prahara, siang memasuki ruang-ruang tanpa terbaca apa-apa, sore mulai bersiap menutup semua jendela tanpa kaca, menutup daun pintu yang telah miring entah ke arah mana, seperti merapatkan seluruh dinding rumah yang lama tembus banyak cahaya, bahkan hampir seluruh permukaan atap rumah mereka tak mampu menahan turunan air hujan dan tajamnya sinar matahari, menjadi lubang-lubang angin secara gratis, secara cuma-cuma. Malam tiba, malam menjelang puncak kecemasan. Tapi keputusan telah ditetapkan dengan sepenuh keyakinan, bertahan dalam kekang dan tekanan yang tak akan pernah berhenti. Keputusan berangkat jauh walau tak pernah didapat kepastian akan ke mana dan bagaimana jadinya. Oh sebuah situasi yang tidak pernah dipilih oleh mereka yang mampu berpikir dalam kejernihan kondisi, sangat menjepit dan sangat sakit.
Puncak malam, tidur penuh bara. Kepasrahan kepada yang kuasa. Harus tegar untuk mampu menepis getar. Kabut subuh mengantarkan perjalanan mereka dengan getar yang tak kalah hebatnya. Subuh bergetar. Kabut bergetar. Tulang-tulang mereka bergetar. Langkah-langkah mereka bergetar. Mereka berpencar satu demi satu dengan tujuan satu titik berjumpa-temu. Menembus bias cahaya, ternyata ada saja jerit dari langkah-langkah berderik dan sangat sakit. Di belakang, entah siapa, ada saja yang terkapar. Nur Alam menengok sebentar ke belakang, sementara tangan kanannya meremas erat jemari Suci, ada perasaan lain menyeruak tiba-tiba. Di belakang, nun di balik samar-samar cahaya ia melihat istrinya tak dapat maju bergerak, sulit baginya bila mundur karena telah direntang jarak, sedang waktu tak bisa tidak harus ditempuh dalam hitungan yang tetap. Sebelum berangkat, ia teringat, ada nada getir istrinya berucap, “Kalian harus maju lebih dahulu, jangan pernah melangkah lagi ke belakang. Ini perjuangan suci, dan keselamatan anak kita tentu yang utama, selamatkan ia,” setengah berbisik saat mereka berpapasan dalam detik-detik persiapan berangkat menuju titik ditentukan. Perahu telah menunggu, selain mereka bertiga ada pula keluarga lain tentunya, akan penuh sesak dalam satu perahu.
Kaki malam pun melangkah memasuki pintu kabut di subuh berselimut senyap dan tulang digigit rasa dingin yang kental. Lelaki itu memalingkan wajah ke arah pusat matahari. Beberapa saat ia pingsan di bibir pantai, anak lelaki mereka lebih dahulu tiada, kini istrinya jauh tertinggal karena sebutir peluru tepat di bagian kepala. Suci benar ada bersamanya namun rasanya juga tak dapat berbuat apa-apa, ia pun membisu karena telah hilang suara, hanya isak tertahan dalam bingung di gelap cuaca, debur ombak di pantai tak akan mampu dilawan oleh teriaknya yang parau. Tak lama berselang Sabda disertai beberapa orang datang menolong, tinggal sedikit langkah ia menuju perahu. Perahu tak bisa lama bersandar di pantai, segera saja menjauh menuju laut lepas.
Ombang-ambing perahu kini berada jauh mengapung di laut lepas, orang-orang berupaya menyadarkannya, selain dia ada beberapa orang lagi yang pingsan di sana. Satu demi satu dapat disadarkan. Perlahan dan pasti, lelaki itu berdiri, sesekali dipalingkan arah wajahnya ke pusat matahari.
Setelah peristiwa berdarah di Arakan, orang-orang dalam perahu itu satu demi satu meninggalkan tanah pijak mereka, kini tak ada tanah lain siap sedia menerima, lalu kemana perahu itu menuju. Apakah ada bilik kecil di rumah kita. Dan kini nurani wajib ikut bicara. Apakah arti sebuah kemerdekaan.
Serulah mereka dengan kata-kata, ”Rohingya, Rohingya, wahai Rohingya. Nurani kemanusiaan memang harus bicara, Rohingya, Rohingya, wahai Rohingya.”[]
Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution
Cerpen sebagai sambung rasa lanjutkan kawan
BalasHapus