Cerpen Aulia Fitri: Ayan Lanang Tambunan dan Aku

05.47 Zian 0 Comments

Mari kuperkenalkan diriku. Aku adalah malaikat pencabut nyawa yang ditugaskan mencabut nyawa, siapa pun itu. Tuhan selalu mengatakan aku harus melaksanakan tugasku dengan bijaksana. Itulah mengapa aku harus melebarkan pandangan, mengikuti kaki jenjang itu melangkah semu, menginjak bumi.
Targetku kali ini, adalah orang ini. Keheningan dari wajah kusamnya yang tak terperi. Kutatap wajah piasnya tersengat kelamnya mentari, keringatnya mati. Sudah seharian aku mengekorinya, tanpa penat terasa. Aku terus teringat pesan yang harus kusampaikan padanya. Pesan dari Tuhan yang menginginkan aku mencabut nyawanya malam ini juga. Ayan Lanang Tambunan namanya. Ibunya Batak, ayahnya Jawa.

Ayan Lanang Tambunan termasuk pemulung paling populer setahun yang lalu, atau mungkin hingga sekarang. Bagaikan artis yang tengah naik daun, entah itu daun kelor atau daun berlangkas, semua orang membicarakannya. Wajah kusamnya  saja pernah tertempel pada surat kabar harian ibukota, dengan judul bercetak tebal nan besar kurang lebih seperti ini: “MELIHAT IBU MATI, ANAK PUN EPILEPSI.”
“Kau mirip dengan ibuku. Kau mau menjadi ibuku?”
Ayan Lanang selalu menanyakan itu pada sang suster yang setiap hari membawakannya makanan atau obat penenang. Namun sang suster malah tergerung gerung melihat Ayan Lanang langsung melemparkan seonggok belatung. Semakin stres saja Ayan Lanang. Wajahnya selalu cemas, penuh amarah. Kadang dia histeris di malam hari, sambil melolong lolongkan nama ibunya.
Begitulah ia, bahkan setiap wanita yang terlihat oleh matanya selalu disuguhkan pertanyaan yang sama, “Kau mirip dengan ibuku. Kau mau jadi ibuku?”
Namun itu dulu, setahun yang lalu. Sekarang  Ayan Lanang berhasil meloloskan diri dari penjara mengerikan tempat berkumpulnya orang orang ayan seibukota. Alasannya kabur begitu melankolis, dia ingin mencari ibunya yang berada jauh di alam baka. Digenggamnya erat potret sang ibu waktu masih muda ke mana mana. Untunglah tak ada petugas rumah sakit jiwa yang berhasil menemukannya.
Hujan begitu lebat, bertaburan membasahi jalanan. Semarak kota kian terpancarkan. Mobil mobil elegan menderu, membisingkan telinga. Debu aspal akhirnya berhenti mengumpul di tenggorokan. Ayan Lanang pun mendekat, tak sadar ia akan kehadiranku. Bajunya koyak sana sini. Peluh berpaut dengan rinai hujan yang membasahi tubuh ringkihnya. Aku terbatuk. Cukup terharu, hingga pedas bola mataku. Paruh baya itu nampah lelah. Keriput di wajahnya kian merekah. Rasanya tak berhak aku memperkenalkan diriku malam ini.  Padahal aku telah berkenalan dengan ibunya tahun lalu.
Kasihan Ayan Lanang. Dulu dia pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Setiap malam dia pulang membawa sedikit rupiah untuk menghidupi ibunya yang tua renta. Aku tak tahan. Kutinggalkan Ayan Lanang sendirian, kehujanan. Kuselipkan seluruh bayonet ke dalam saku, dan berlalu. Ayan Lanang akan mati, aku tahu! Namun mengapa di saat detik detik kematiannya dia masih saja mendapatkan bencana?
Kutarik napasku pasrah, kututup mataku sebelah. Belum sepersekian detik aku melangkah, terdengar teriakan Ayan Lanang membisingkan telingaku. Tubuhnya terperanjat hebat, hingga kaku membeku. Semilir petir yang melanglang buana telah melepuhkan seluruh tubuhnya, tak bersisa. Wajahnya hangus, hitam pekat tak berdaya, ditelan rinai hujan yang tak kunjung menghentikan keganasannya. Inilah yang telah kuduga.
Aku mendekat, berkumpul dengan kerumunan manusia jalanan aspal yang mengelilingi mayat gosong si Ayan Lanang. Hingga pandanganku terpusat pada sosok wanita yang tidak biasa,  perhatianku tersita. Dia tergolek lemah di tanah. Tubuhnya yang bening transparan meratap, memeluk mayat hangus Ayan Lanang yang begitu hina. Buliran air mata suci terjun membasahi pipinya yang bercahaya. Baju Ayan Lanang yang layaknya abu pun mengotori mukena surga yang dikenakannya. Aku membisu, terdiam. Tak sanggup aku mengatakan, atau menyatakan. Aku begitu mengenalnya, dia juga mengenal diriku. Dia adalah wanita yang dibunuh Ayan Lanang Tambunan dengan tangannya sendiri, tahun lalu.[]


Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution

0 komentar: