Cerpen Sina Kharina: Perempuan Tanpa Suara
“Sampai kapan, Wan?” tanya Masitah.Iwan hanya diam. Dia tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ibunya. Perempuan itu masih duduk diam di ruang tengah. Entah bisu atau memang tak berniat buka suara. Sejak pertemuan pertama, Iwan tak mendengar sepatah katapun keluar dari mulutnya.
“Bukannya Ibu tak mau membantu orang, Wan, tapi kita tak tahu siapa dia. Mana tetangga sudah nanya-nanya,” kata Masitah lagi.
Iwan membenarkan kata-kata ibunya. Kemarin saja waktu dia membonceng pulang perempuan itu, Acil Imai, tetangga mereka, memandanginya penuh tanya. Besoknya, ibu diinterogasi perihal perempuan itu saat membeli sayur.
“Kamu nggak curiga, Wan?” Masitah bertanya setengah berbisik.
“Curiga apa, Bu?”
Masitah bangkit dan menengok ruang tengah memastikan perempuan itu tidak sedang mencuri dengar percakapan mereka. Setelah yakin, Masitah kembali duduk bersisian dengan Iwan di tepi tempat tidur “Mungkin saja dia penipu. Zaman sekarang perempuan juga bisa jadi perampok.”
“Ibu terlalu berpikir macam-macam.”
“Apanya yang macam-macam. Waspada itu penting.”
“Apa yang bisa diambil dari kita, Bu?”
“Gini-gini kita juga punya sedikit tabungan. Kita ini nggak miskin, Wan,” Masitah cemberut. Iwan tersenyum kecil. Dielusnya lembut punggung perempuan tuanya itu. “Iwan punya firasat kalau dia bukan orang jahat.”
“Apa dia gila, Wan? Kerjanya cuma diam, melamun, ditanya juga nggak dijawab. Kalau bisu paling tidak dia kan bisa ngasih isyarat, biar jelas, dia itu siapa dan tinggal di mana?”
“Dia tidak gila, Bu.”
“Tapi sampai kapan dia bakal tinggal di sini?”
Iwan tak menyahut. Semua kata-kata ibunya berkecamuk di pikirannya. Iya, sampai kapan perempuan itu akan tinggal di rumah mereka. Keluarga bukan, kenalan juga bukan. Perempuan itu adalah orang asing yang dibawanya pulang ke rumah.
“Kalau begini terus, kita yang jadi bingung,” kata ibunya lagi.
Iwan bukannya berdiam diri, dia sudah bertanya ke sana-sini, tapi tak seorang pun yang kenal dengan perempuan di rumahnya itu. Mungkin dia berasal dari luar daerah. Mungkin dia tersesat dan tak tahu jalan pulang. Tapi mungkinkah perempuan dewasa sampai tak tahu bagaimana cara pulang. Tapi bagaimana kalau dia memang tak tahu. Hilang ingatan kah? Atau karena dia lupa bagaimana cara berbicara?
“Laporkan ke polisi saja, Wan, mungkin ada keluarganya yang mencari.”
Iwan mengangguk.
***
Cantik, sepertinya kata itu tak terlalu cocok untuk perempuan itu. Hidungnya kecil, bibirnya sedikit tebal dengan mata sayu yang terlihat tak berdaya. Masih pukul 06.00 pagi saat Iwan menemukan perempuan itu rebahan di pangkalan ojek. Bingung, anak perempuan siapa yang dibiarkan telantar tanpa perlindungan. Dia tak terlihat seperti gelandangan, apalagi orang gila. Iwan membiarkan langganannya pagi itu diantar Husni, teman seprofesinya. Iwan duduk di sadel motor dan menunggu perempuan itu membuka mata.
“Kok tidur di sini?' tanya Iwan saat perempuan itu duduk. Dia tak menjawab hanya pandangannya lurus ke arah Iwan. Dingin. Baju kaos dan rok panjangnya terlihat lusuh.
“Biar kuantar pulang,” tawar Iwan.
Perempuan itu menurut saat Iwan memberi isyarat agar dia duduk di sadel motor Iwan. Jadilah seharian itu, mereka mengitari jalanan Alabio-Amuntai tanpa arah dan tujuan. Perempuan itu tak mengatakan apapun sepanjang perjalanan. Akhirnya terpaksa Iwan menghentikan motornya di depan rumahnya sendiri.
***
“Ke mana?”
Pertanyaan itu menghantui beberapa hari ini. Perempuan itu masih dengan dunianya. Ibu kerap bertanya, sampai kapan mereka menampung perempuan itu. Iwan akhirnya sekarang tahu ke mana harus menuju. Dia menemukan alamat perempuan itu dengan bantuan temannya yang seorang polisi.
Perempuan itu mematung di dekat pintu. Dia tak mau beranjak meskipun Iwan sudah membujuknya sekuat tenaga.
“Kau tak kangen keluargamu?”
Seperti biasa tak ada suara dari perempuan itu. Dia masih bungkam, hanya matanya kali ini yang terlihat berkaca-kaca.
“Kau akan segera kuantar ke rumah. Ayo!”
Iwan bingung harus melakukan apa. Perempuan itu bergeming. Kali ini dia menggeleng, baru kali ini dia memberikan respon terhadap perkataan Iwan.
“Kau tak mau pulang?”
Perempuan itu menunduk. Kembali hening. Iwan salah tingkah.
“Kau boleh mengantarku ke mana saja atau membuangku, asal jangan kau antarkan aku pulang ke rumah.”
Iwan tertegun.
“Aku lelah disiksa lelaki itu.”
Tangis perempuan itu pecah. Ini pertama kalinya mereka bertukar banyak kata. Kembali, ada rasa tak asing menyelimuti hati Iwan. Rasa yang sama ketika dia memutuskan untuk membawa perempuan itu pulang ke rumah. Ekspresi wajah itu, tatapan itu.
Iwan pernah melihat ekspresi serupa di wajah Rizka, sahabat yang diam-diam dicintainya sebelum Rizka akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dua tahun silam. Sahabatnya itu meninggal bersama janin yang dikandungnya dan tak seorang pun tahu siapa ayah dari janin tersebut. Iwan tak ingin perempuan tanpa suara di rumahnya itu berakhir seperti Rizka. Berakhir dengan wajah keputusasaan.[]
Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution
0 komentar: