Cerpen Miranda Seftiana: Jujuran

05.31 Zian 0 Comments

Diyang duduk di pelataran rumahnya dengan kaki menjuntai hingga anak tangga teratas. Di pangkuannya tergeletak sebuah laung merah bersulam airguci buatan tangannya sendiri. Hatinya tak pernah mati mengharapkan ikat kepala khas lelaki Banjar saat mengucap janji suci pernikahan itu dipakai oleh Sandayuhan nantinya. Meski ia tak tahu kapan lelaki itu kembali ke sini, menemuinya, melunasi utang rindu yang menjelaga di jiwa.
Kakamban dengan warna senada bersulam airguci yang sama tampak melayang-layang tertiup angin senja. Mata gadis paruh baya itu menerawang entah ke mana. Sinarnya tak lagi secerah dulu, seiring usianya yang kian menua. Ia memang masih gadis di usianya yang tak lagi muda. Sebab setelah kepergian lelaki dengan ceruk rembulan sabit di pipinya itu, Diyang tak pernah mengucap janji sehidup-semati dengan siapa pun jua. Bahkan hingga Abah telah pergi untuk selama-lamanya. Abah yang menjadi alasan terkuat mengapa hingga kini ia tetap memilih sendiri.
Kenangannya kembali pada memori puluhan tahun silam. Tentang perpisahan di suatu senja yang lukanya masih belum jua mampu ia temukan penawarnya.

***


Adzan subuh baru saja berkumandang di Masjid Sultan Suriansyah. Seorang lelaki setengah tergesa memasang kemeja kotak-kotak yang warnanya telah luntur dimakan air Sungai Kuin bersama peluh yang memandikan tubuhnya. Sandayuhan, dialah lelaki itu. Seorang pengemudi kelotok yang biasa mengantar para wisatawan ke pasar terapung atau pulau kembang, tempat kera endemik Kalimantan Selatan membangun kehidupan.
"Sial!" umpat elaki berdarah Dayak Hulu Sungai itu saat kelotok yang hendak ia kemudikan tampak tak bersahabat.
Dilepasnya kemeja yang bahkan kancingnya saja belum sempurnya ia tutup. Sandayuhan membongkar mesin kelotok tua itu. Selalu. Baling-baling itu sepertinya sudah telalu ringkih untuk sekadar mengitari sungai kuin walau sekarang jaraknya ia perpendek hanya dari dermaga di depan Masjid Sultan Suriansyah itu. Diistirahatkannya sebentar mesin yang menjadi perantaranya mencari nafkah itu. Dalam hati sungguh Sandayuhan merasa amat kesal. Tak dapat mengertikah kiranya mesin bahwa ia sedang ada janji dengan seorang wisatawan asal Jakarta? Aahh... Mungkin lebih tepatnya bukan hanya tentang itu. Tapi tentang kekalutan hatinya atas nasib lamaran pada Diyang, gadis Banjar yang amat ia cintai.
Masih segar dalam ingatan lelaki bermata sayu itu bagaimana Haji Gusti Nanang, yang merupakan Abah dari Diyang tersebut menyebutkan nominal jujuran atau mahar dengan jumlah yang sangat sulit untuk ia penuhi. Sandayuhan sadar benar, permintaan uang jujuran dengan jumlah puluhan juta itu sepertinya memang taktik Haji Nanang agar bisa menolak lamarannya. Lantaran jika menolak secara langsung, tentu itu akan lebih menyakiti hati Diyang, putrinya sendiri. Ah ... tapi bukankah dengan sikap demikian juga tetap melukai hati Diyang?
Di tengah lamunan panjang tak berujung itu, tiba-tiba mesin kelotok Sandayuhan kembali bisa difungsikan. Segera lelaki itu melajukan kelotoknya menuju tempat yang telah dijanjikan oleh wisatawan dari Jakarta kemarin. Dalam hati ia merapal doa, berharap sang wisatawan tak kecewa dengan keterlambatannya. Sungguh Sandayuhan takut jika kepercayaan penumpang akan hilang padanya. Bagaimana nanti ia mencari nafkah? Meminta pada sang Ayah? Itu sebuah kemustahilan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja ayahnya harus keluar-masuk hutan Meratus sekadar agar bisa membeli beras dan ikan asin untuk makan hari itu bersama adik-adik Sandayuhan yang masih kecil. Ya. Hanya bersama adik-adiknya, sebab sang Ibu telah lama meninggal saat melahirkan adik bungsu Sandayuhan. Aluh.

***

Senja hampir luruh dengan sempurna saat Sandayuhan menepikan kelotoknya di dermaga yang berada tepat di depan Masjid Sultan Suriansyah. Tempat di mana ia dan Diyang biasa bertemu, berbagi rasa juga cerita. Meski belakangan mereka lebih banyak saling diam, memikirkan cara meluluhkan hati Haji Gusti Nanang yang merupakan alasan terkuat mengapa Diyang dan Sandayuhan tak jua mampu mengucap janji setia sehidup semati.
Tiba di dermaga, Diyang telah menunggu dengan mata sembab. Meski diterpa sinar mentari senja, Sandayuhan tetap mengenali bulir bening di sisi mata kekasihnya itu. Setelah menambatkan kelotok, dihampirinya gadis Banjar berambut panjang tergelung, sebagaimana gadis-gadis Banjar pada umumnya.
"Abah masih keras meandak jujuran kaya semalam, Ka ai. Ulun rasanya habis akal sudah membisai ....” Napas berat menghiasi nada bicara Diyang.
Sandayuhan diam. Sejak awal ia sudah tahu bahwa Haji Nanang takkan pernah bersedia merestui hubungannya dengan Diyang. Bagi Haji Nanang, jujuran adalah perkara harga diri, standarisasi kebanggaan di mata manusia. Terlebih, Diyang merupakan gadis Banjar bergelar Gusti, pertanda keturunan langsung dari kerajaan Banjar. Tentu haruslah lelaki bernasab sama agar gelar itu tidak hilang. Berat bagi Sandayuhan, sebab Diyang adalah anak tunggal, ialah harapan Haji Nanang satu-satunya.
"Ujar Abah bila Ka Ayuh –sapaan Sandayuhan- kada sanggup memenuhi jujuran, sidin akan menikahkan ulun dengan Gusti Rizal Syamsudin ...." Diyang kembali berujar lirih.
Hati Sandayuhan bergetar. Sungguh, ia tak rela jika gadis yang ia cintai selama ini harus bersanding dengan lelaki lain nantinya. Mendadak Sandayuhan teringat tawaran perkerjaan dari wisatawan asal Jakarta yang tadi ia antar ke Pasar Terapung. Apa pun pekerjaannya nanti Ayuh siap, asal ia bisa memenuhi jumlah mahar yang telah ditetapkan oleh Haji Nanang agar bisa menikahi Diyang.
"Esok aku akan madam ke Jawa. Tadi aku mendapat tawaran gawian dari wisatawan asal Jakarta, semoga nanti gajinya cukup untuk memenuhi jujuran permintaan Abah ikam, Ding ai ... " Sandayuhan berujar penuh keyakinan.
Kilat mata Diyang justru kian meredup. Mendengar penuturan Ayuh hatinya bukan menjadi lega. Ia justru semakin takut kehilangan.
"Ulun gair pian berpindah ke lain hati amun kita terpisah ...." Mata Diyang kembali basah.
Dipeluk Sandayuhan gadis berkulit laksana langsat itu. Hati Ayuh perih menyadari kenyataan yang tengah mereka hadapi. Sungguh, andai membawa Diyang pergi dari sini tidaklah akan menambah masalah, ia akan melakukan itu. Semata-mata demi kebahagiaan kekasihnya tersebut.
"Malam ini aku akan menemui Abah ikam, bila sidin luluh dan bersedia menurunkan jujuran itu, aku kada jadi madam ke Jawa ...." Akhirnya Ayuh mengambil jalan tengah untuk menenangkan hati kekasihnya, Diyang, gadis yang teramat ia cintai itu.


***

Langit tampak berwarna kunyit saat Diyang mengantar Ayuh ke Pelabuhan Trisakti. Hatinya hancur berkeping-keping saat menyadari kenyataan bahwa lelaki dengan ceruk bulan sabit di pipinya itu harus pergi merantau ke pulau seberang demi memenuhi uang jujuran yang Abahnya tetapkan. Diyang tak rela. Ia takut Sandayuhan akan berpaling ke lain hati nantinya, meski berkali-kali lelaki itu mengucap janji untuk setia. Tetapi bukankah janji bersaksi debur ombak semata tidaklah sekuat janji di hadapan penghulu? Tanpa sadar airmata Diyang kembali berhamburan tak lagi tertahankan.
"Sudahlah, Diyang ... sepertinya memang takdir kita harus dipisahkan dahulu oleh keadaan." Sungguh sebenarnya Ayuh ingin berujar bahwa mereka bukan sekadar dipisahkan oleh keadaan, tapi juga keangkuhan Haji Gusti Nanang, Abah Diyang.
"Jangan menangis lagi, aku akan pulang jika uang jujuran itu sudah cukup." Ayuh tersenyum tipis. Hatinya sebenarnya juga masih ragu, apakah bisa dengan cepat memenuhi uang jujuran berjumlah puluhan juta itu? Tetapi sudahlah, yang terpenting baginya kini tak harus melihat airmata Diyang terus-menerus menetes. Hati Ayuh pilu setiap kali melihat itu.
Diyang tak lagi bisa bicara. Tangannya bergetar menghamburkan beras kuning untuk melepas kepergian Sandayuhan. Matanya menatap nanar tubuh tegap itu yang kemudian menghilang ditelan lambung kapal. Kapal terus menjauh, samar bersama senja yang telah luruh dengan sempurna. Kakamban habang Diyang melambai-lambai ditiup angin malam seakan turut mengantar kepergian Sandayuhan yang entah kapan akan kembali untuk memenuhi janjinya?

***

Sungai Kuin perlahan mulai sepi. Tak ada lagi deru kelotok yang berlalu-lalang. Hanya ada beberapa jukung yang hendak pulang ke rumah membawa hasil berjualan seharian. Dinamika kehidupan perlahan telah mulai terhenti, menanti hari esok berganti.
Diyang mengangkat laung dari pangkuannya. Secipir beras kuning itu ia biarkan tergeletak di atas pelataran rumahnya, berjaga-jaga jika kelak Sandayuhan datang dengan tiba-tiba. Meski pada akhirnya hampir setiap hari Diyang mengganti beras kuning itu. Ia berharap jika lelaki bermata sayu itu mengetuk pintu rumahnya, beras kuning itu selalu segar, sebagai pengganti kesegaran wajah Diyah yang mulai dimakan usia.
Diyang berlalu menuju pintu rumahnya. Laung itu dimasukkan kembali ke dalam sebuah kotak kayu, hanya kakamban habang itu yang setia menemaninya, sesetia Diyang menanti kedatangan Sandayuhan. Entah mayang di pucuk pohon kelapa itu telah berbuah berapa kali, entah telah senja ke berapa pula hari ini, Diyang seakan tak pernah lelah menunggu Sandayuhan menepati janjinya di dermaga depan Masjid Sultan Suriansyah itu. Jika alasan Sandayuhan takut tak mampu memenuhi permintaan Abah, bukankah kini lelaki paruh baya itu telah pergi? Lalu jika tentang Gusti Rizal Syamsudin, sungguh Diyah tak pernah mengikat janji apa pun dengan lelaki pilihan Abah itu. Ia masih suci hingga kini, sesuci air wudhu di Masjid Sultan Suriansyah tempat biasanya Sandayuhan mengadu.
Diyang melangkah berat ke dalam rumah. Ia masih menunggu Sandayuhan, mata nanar itu tak lepas memandangi Sungai Kuin, berharap lelaki pengemudi kelotok tersebut tiba-tiba datang. Membawa robekan sirih lalu menempelkan di kening Diyang, sebagai pertanda ia telah sah menjadi istri dari seorang lelaki yang memang ia cintai.
Andai Diyang tahu, janji itu kini telah dikhianati. Sandayuhan takkan pernah pulang. Ia telah bahagia di pulau seberang dengan seorang wanita lain dan dua orang putra, hasil pernikahan mereka. Ah... Diyang, sampai kapan kau akan menyetia duhai gadis paruh baya?

Basaksi marangkai janji .... 
Badapat batamu sudah batali .... 
Umai padihnya, kada badaya badanku ....[]


Keterangan:
- Kakamban (Kerudung perempuan Banjar )
- Abah masih keras meandak jujuran kaya semalam, Ka ai. Ulun rasanya habis akal sudah membisai (Abah masih keras meminta mahar seperti kemarin, Kak. Saya rasanya sudah habis akal membujuk)
- Ujar Abah bila Ka Ayuh – sapaan Sandayuhan - kada sanggup memenuhi jujuran, sidin akan menikahkan ulun dengan Gusti Rizal Syamsudin (Kata Abah bila Kak Ayuh – sapaan Sandayuhan - tidak mampu memenuhi mahar, beliau akan menikahkan saya dengan Gusti Rizal Syamsudin)
- Esok aku akan madam ke Jawa. Tadi aku mendapat tawaran gawian dari wisatawan asal Jakarta, semoga nanti gajinya cukup untuk memenuhi jujuran permintaan Abah ikam, Ding ai (Besok aku akan merantau ke Jawa. Tadi aku mendapat tawaran pekerjaan dari wisatawan asal Jakarta, semoga gajinya cukup untuk memenuhi mahar permintaan Abahmu, Dik)
- Ulun gair pian berpindah ke lain hati amun kita terpisah (Saya takut kamu berpindah ke lain hati jika kita terpisah)
- Malam ini aku akan menemui Abah ikam, bila sidin luluh dan bersedia menurunkan jujuran itu, aku kada jadi madam ke Jawa (Malam ini aku akan menemui Abahmu, jika sidin luluh dan bersedia menurunkan mahar itu, aku tidak jadi merantau ke Jawa)


Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution

0 komentar: