Tampilkan postingan dengan label Hamami Adaby. Tampilkan semua postingan

Cerpen Hamami Adaby: Kamar Itu Telah Kosong

Kamar dekat ruang kost itu telah kosong. Dimana aku diam sudahlah pasti di jalan Kembang Bakung merah no 10C tidak jauh dari surau yang dibangun oleh paman Hamberan. Menginap tiap waktu untuk mententramkan diri dan hati. Senantiasa berdoa dalam rasa yang tak pernah surut. Tapi Tuhan tak pernah tahu tentang hal ikhwal.
Rocker juga manusia, novelis juga manusia yang tak pernah luput dari perasaan sedih. Kucingku saja kulihat pernah mengadukan nasibnya dalam bahasa yang jarang dimengerrtyi manusia. Risaunya dalam bahasa isyarat tentang kepiluan hatinya, ketika ditinggalkan kekasihnya sesama satwa.
Senja itu sebuah panorama merah jingga menggores langit didalam gelombang cahaya matahari yang bakal terbenam sebentar lagi. Suasa sangat mengagumkan bayang-bayang indah menghiasi lengkung langit yang sebentar lagi meniduri malam. Hening suasa dalam tafakkur mengagungkan kalimah Tuhan. Segala pinta yang terlepas dari putik doa, adalah nikmat, anugrah dan hikmah yang tak ternilai bahasanya.

Cerpen Hamami Adaby: Hujan

Antara bangun dan tidur terasa suara perempuan memanggil Johan di keheningan malam.. Barangkali sayangnya yang lama berdiam dalam bilik kecil pada detak jantungnya. Suara itu jelas selalu menikam di malam hari, bersama degup jantungnya yang mengeram di sesungaian hidungnya. Jelas ketika pandang itu bertemu sejenak di hembusan angin panas.
"Hemm, kau telah jadi maling malam ini," senda genit menerkam matanya.
Tapi Johan seolah tak mendengarnya. Mirna pun mengulang kata-kata itu agak tajam suaranya melengking, namun masih terasa ada kelembutan.
"Bukan lagi maling kau Jophan, tapi rampok." Kata Mirna mengernyitkan bibirnya.
Johan mulai merespon balik ucapan Mifrna dengan celoteh agak mencubit hatinya Mirna.
"Boleh aku nulis cerita juga Mirna?" ujar Johan sambil menyentil tahi lalatnya.

Cerpen Hamami Adaby: Dalam Hening Kekasih, Aku

Malam sangat sepi mengabarkan rindu padamu, kekasih. Lama kutinggalkan malam dalam pengembaraan tak tentu. Terasa malam ini aku merindukanmu. Amat dalam pada nuraniku, mengingat waktu terus berputar tak menunggu. Semakin berlari dari satu noktah ke noktah kian mendekat pada kulminasi tanpa jeda menuju pelayaran hakiki.
Terasa kau panggil namaku, kau eja hati dalam zikir kian menderaskan bunyi kalimahmu, asma yang cemerlang menerang bumi, dari pagi ke malam tiada henti seluruh jagad raya ini mengumandang kebesaran dan kasih sayang. Aku tak henti-hentinya memuji hingga luruh tinggal sepertiga, ya rabb aku benamkan dalam kehambaan berbagi kasih hingga subuh tahrim menjelma.
Aku tafakkur dihunjur sajadah, diam dalam kehampaan rasa, manunggal pada jasadku, maka meresap sekujur tubuh pelangi bianglala sehabis gerimis membasah bumi. Sudah lama kemarau dibumi, kering tanah, lekang hati terasa menjuntai dikedua belah fijar mata. Debu yang berterbangan ditiupnya angin melekat di daun jendela hingga kubersihkan dengan kipas-kipas bulu ayam, kupercik air hingga beningnya mengkilat.

Cerpen Hamami Adaby: Guntur di Tengah Hujan Rindu

Hujan amat lebat di luar dugaan semula. Pada hal gumpal awan di langit sore tak menunjuk tanda-tanda ada kebekuan bakal mencair. Jauh sebelumnya mendung yang terang. Awan sangat putih dan mulus pelan memutari angkasa. Biru langit masih menetap digaris lengkung, dunia menangisinya ketika Amerika bersama kutu-kutunya mencukur rambut Khadafi.
Sore itu angin tak berulah apa-apa, pucuk cemara tak sedikit pun bergoyang seperti hari kemarin sarang burung curiak jatuh di atas tanah bersama telurnya. Seorang anak kecil umur sekitar 8 tahunan terkejut ketika benda itu persis berada dihadapannya kurang lebh 1 meteran.
Ia terdiam disekitar kejadian itu, menoleh kekanan, tak ada orang. Arah muka tak tampak satu pun lalu menggeser pandang kekanan amat berhati-hati. Si Rais terdiam sebentar, ia menunduk sepertinya berniat mengambil benda itu tadi. Didekatinya, dekat sekali sepengambil ukuran lengan anak kecil.

Cerpen Hamami Adaby: Lelaki dengan Segelas Anggur

Sebatang lilin yang kita nyalakan, ini bukan merayakan ulang tahun, Valentine budaya Barat itu, namun karena kamar hati mulai gelap. Praktis amat, benturan hati merogoh saku laci lemari hias yang tak jauh dari tempat dudukku. Tak sengaja juga melakukan hal ini, secara tiba-tiba saja ide muncul dalam kerenyam malam yang dingin.
Sebatang korek api menyala sebagai saksi kunci kebersamaan hati dalam imaji. Namun bukankah api yang menghangat itulah lambang dari takbir kebesaran, hanya orang-orang percaya yang memaknai, lantas tangan menadah hati berbunga tasbih dengan tahmid yang jajam.
Adakah dihatiku dan dihatimu rumbai bayang ainainii yang begitu tajam menusuk kalbu hingga sampai ujung ke ujung-ujung pelataran paling sisi tertanam, sebilah keris yang bakal kau tikam kedalam lambungku, hingga aku nyaris kehabisan darah?. Aku tak perlu membayangkan kemirisan ini, sedangkan letihnya matahari tak pernah mengatakan hal itu.

Cerpen Hamami Adaby: Apa Keinginanmu, Perempuanku?

Sudah kuduga apa yang mau kau katakan padaku. Dari kerinyit kening aura wajahnya tampaklah amat marah. Sesekali ia memandang amat geram menatap tajam, tapi kepura-puraan cepat membuang muka dan melempiaskan pada spieces anggrek yang kemarin sore kuberi nama “Dark Hearty”.
Dari spieces itu aku coba menyesuaikan dengan kodrat alami dan warnanya bunga bukan sekedar seenak memberi nama, tapi dengan pertanggung jawab moral ketika ada orang memperotes “kok sih…. Namanya bloon”.Tapi yakinlah tak ada yang protes, andai juga protes persilahkan dengan hormat bahwa aku siap mempercayakan hanya demi untuk sebuah nama.
Reaksi hati antara aku dengan Harty umpama bejana berhubungan yang terisi air sejajar merata permukaan. Tinggal sulutan api yang menentukanpembakaran apakah labil atau menyimpan anarkisme berlebihan. Dan tak tahulah aku akan seperti apa pertikaian itu. Miris juga hati ini tapi semakin egonya kubiarkan, semakin merengsek seperti deru guntur memekak ditelinga.

Cerpen Hamami Adaby: Please, Up To You

Gelombang samudera itu tak henti-hentinya membantingkan belalainya kepermukaan air laut yang biru. Berkilau diterpa matahari yang rindu pada kehangatan digertak gejolak angin yang meliuk-liukan tarinya diatas permukaan permadani fenomena alam. Kebesaran ini diciptakan dengan segala keindahan dan maknanya.
Perahu nelayan seperti korek-korek api dengan katir lentera yang samar-samar kelihatan antara bayang dan kepekatan malam hampir tak terjangkau mata telanjang. Hanya dalam imajinasi yang kini kusampaikan dengan rengkahan hati, betapa pun laut ini sangat ganas tak kenal siapa pun.
Sejak tadi gelombang itu bergulung-gulung tak pernah diam, melambung keudara menyemburkan debur ombak yang berkejaran diatas kapal-kapal yang berlayar menuju samudera. Maha luas dan yang terlihat sejauh pandang mata, hampar putih kemilau telah merayapi pesona, hingga terasa kecil diriku tak ada kekuatan apa pun, selain Sang pencipta.

Cerpen Hamami Adaby: Ada Bulan di Ujung Sana

Dengan susah payah merangkak kukumpulkan bekas kehilangan kata. Mampukah beberapa satuan kalimat sudah terangkai yang tertumpah dipasir pantai di gelontor virus SMADAF, kupilih kembali jalan bersama butiran-butiran pasir yang lembut kutulis kalimat pengganti. Bagaimana pun aku katakan itu sinonim yang tak berarti.
Kecewa itu pasti dalam perasaan, namun bila terhanyut dalam gejolak kejengkelan tak akan bisa pernah selesai sebuah pertikaian bathin yang semakin meruncingkan beda pendapat ketika argumen tak mempan buat menetralisir kerasnya emosi jengkel, ketika tumpukan kata menjelma permadani cinta.
Aku katakan sesungguhnya kalimat-kalimat yang kususun kembali, amatlah tak seindah pertama konsentrasi penuh, aku duduk televati menung mengalirkan sir dalam rongga dada, hingga syaraf darah optimal bekerja menetralisir menu yang ku hadirkan dalam prasmanan perpisahan.

Cerpen Hamami Adaby: Di Ujung Jalan Persinggahan

Barangkali kau tak selalu harus tahu apa yang kupikirkan. Persis setelah pulang dari rumah teman di perbatasan kota Martapura, Finada. Sesampai di rumah setelah beristirahat kurang lebih sepuluh menit lampu padam sekitar jam 23 .20 menit . Sialan, baru lima menit otakku mengembara masih tetap kuteruskan berkelana menyusur lorong sendu, yang kekar tajam membantai ingatanku.
Aku tak pedulikan semua itu biarkan lampu padam asal hati tetap benderang mengunyah segala keindahan. Malam dingin tak menghalangi mencari diksi tepat buat menyusun bunga kata, diantara kegelapan yang menyandera. Disini perlu suatu kesabaran yang menghampar pada jelajah malam pada beranda yang selalu siap.
Catatanku tak pernah hilang sekalipun hanya dalam memori banding otak kanan yang senantiasa terasah sebilah belati yang mengkilat, ujungnya mewangikan kata dalam segala makna. Akankah jadi mulus membelati? Belum ada prediksi yang pasti, karena aku masih diganggu persoalan sepele. Dari kajian intropeksi layak atau tdaknya tergantung tautan mana yang paling relatif sedikit membuat suatu kesalahan.

Cerpen Hamami Adaby: Namamu Indah, Nora

Ketika malam itu ada pertemuan, aku datang lebih awal. Itu suatu kebiasaan 10 menit sebelum acara dimulai sudah datang. Nampak kursi-kursi belum ada yang menduduki. Cuma ada Ary dan Boni. Teman-teman sudah ku sms. agar ngumpul dipos seni tapi tak ada jawaban pasti. Aku tak kecewa wa laupun sekitar 10 orang.
Sedang asyik mengobrol dengan dua orang teman tadi Ary dan Boni, ketika itu menghadap kearah kedai Hobbies membelakangi jalan, persis lapangan bola. Aku samasekali tak terkejut atas kedatangan Nora sebab kemarin malam Kemis ia menelponku, bahwa ia akan pamitan ketempat asal kerjanya Palu.
Nora datang bersama Rosi dan seorang teman lelaki. Rosi setelah menyalamamiku ia permisi dan sambil berkata yang ucapannya tak kudengar, entah telingaku yang tersumbat, atau kata-kata Rosi yang kurang jelas. Tapi itu tak usah kita perhatikan, biarkan saja tak perlu dikomentar dan takut salah.

Cerpen Hamami Adaby: Bayang-bayang Langkah

Bagaimanapun keinginan setinggi puncak gunung kita hanya bisa melihat dari kejauhan betapa hasrat ini melayang menerobos sisi bukit, itu pun tak dapat sempurna memandang dari kejauhan. Rasa gundah pasti ada bagi siapa saja, tak ubahnya seperti aku ada getar hati untuk berkenalan dengan Ainun.
Hasrat ini yang belum terlaksana menunggu moment yang tepat, sedang waktu dalam hari kian berjalan terus tak terasa makin tua berlari. Ada semacam prediksi yang tak pernah sampai menggumpal di otak. Ram-ram neuron yang kaku dijejali masalah-masalah tugas yang harus diselesaikan, baik aku atau Ainun kian menumpuk.
Kami sama mengerti arti leadership sehingga dijejal setumpuk tanggung jawab agar tak menjadi masalah terhadap keseimbangan jiwa, menata sebaik mungkin urutan prioritas manajerial yang bisa membuat ketenangan dalam menjalankan tugas, baik profesional atau pun rutinitas kerja.

Cerpen Hamami Adaby: Swety Swety

Ketika pulang dari pertunjukan teater di gedung kesenian “PRIVAT” simpang empat Banjarbaru tak langsung pulang, singgah sebentar di lesehan Minggu Besar. Kebetulan malam itu malam Minggu, malam pan jang bagi semua orang. Sepanjang malam gemerlap bulan setengah jadi kekuningan emas bermata blue Sapir.
Banyak orang yang lalu lalang sekitar bulatan lapangan bergerombol dipojok-pojok dekat penjual roti bakar, mie bakso, dan kursi-kursi berjejer disepanjang jalan Telpon, muka kantor Perdagangan disebelah ka nan menghadap kantor Kecamatan jalan P. Hidayatullah kantor perwakilan rakyat. Sebelah kiri gedung-gedung perkantoran berbagai instansi pemerintah.
Tidak terlalu jauh dari komplek perkantoran dimuka lapangan Bola Volley kurang lebih 30 meter jalan lintas negara Jend.A.Yani kantor Polsek Banjarbaru. Kita berdiri dikantor kecamatan, posisi tak berubah ka nan Perwakilan Rakyat sebelah kiri gedung perkantoran berbagai instansi lurus pandang kurang lebih 300 meter an persis dari kantor camat gedung Pemerintah Kota.

Cerpen Hamami Adaby: Jangan Kausebut Namanya

Pagi itu apa yang akan kutulis tak ada tema yang muncul. Hanya melongo diam entahlah kemana fikiran Hamda, melayang seperti layangan putus. Aku yakin benar ia dibelit permasalahan di antara benci dan rindu. Itu dugaan sementara dan kalau pun aku salah memperidiksinya Hamda  ter  senyum tak ada komentar Hamidah.
Sulit menangkap gurat wajahnya sekali pun dihimpit ketidak pastian sebab tak ada kelainan tanda perubahan sikapnya. Ia mampu menyembunyikan hal ikhwal agar sahabat tak ingin ia libatkan terlalu jauh masuk kedalamnya.
Terasa agak sulit juga memulai bicara dengan Hamda. Ia sangat sensitif sekali kalau menyang- kut yang satu ini. Aku faham betul tabiatnya kalau kusebut nama seseorang Hamidah umpamanya, ia marah besar dan mencak-mencak, tak tahu siapa yang ada disekeliling tak ia hiraukan mukanya  jadi merah api lalu berkata garang.

Cerpen Hamami Adaby: Lampu Telah Mematikan Rindu

Entah apa hari itu lampu mati sampai tiga kali. Kesalnya luar biasa, sudah sepertitiga berjalan otakku yang membeban telah ku cairkan dengan pelahiran emosional yang menumpuk di sini. Rasanya agak lega beban yang menghimpit perasaan, memori otak sudah terkuras kering, sampai pada kali ketiga kumulai membuka ram ingatan. Kalau sekali lagi lampu padam saat menulis cerita ini aku protes dengan pln, kenapa lampu sering macet.
Tak habis pikir kalau sekiranya ini terjadi lagi laptopnya yang ku banting atau kusumpahi orang-orang yang memanipulasi pemadaman itu, karena alasan-alasan kurang akurat. Contoh simple yang dulu pernah kudengar karena kurangnya air bendungan saat kemarau. Itu dapat saja kuterima sebab akal sehat tidak bertentangan dengan penjelasan bertepatan dengan musim. Apa harus protes dengan musim yang berarti protes tak beralasan.

Cerpen Hamami Adaby: Percakapan Pagi Itu

Udara pagi cukup bersahabat. Tidak terlalu panas menyengat seperti hari-hari kemarin. Aku  masih ingat ucapan seorang kawan katanya : menunggu adalah pekerjaan  bias sia-sia. Suara itu  menjadi amat sugestif. Tapi masa bodoh tak kuperdulikan ucapannya.
Sebenarnya suara itu amat mengganggu ruang telinga. Kadang timbul bunyi seperti mengejek. Tak perlu itu didengar. Bikin sakit kepala dan pusing. Berulang gendang telinga memastikan dari mana datang gurau itu. Dan mengangguk pelan seperti mendengarkan khutbah Jum’at.
Aku masih duduk dikamar tamu yang berukuran 4 x 3,05 m, cukup buat perangkat kursi  tamu dan dipojok kanan sudut siku-siku televisi 14 inc yang berdebu.  Tidak terlalu jauh  dari garis  pandang sedikit tengadah berjarak   pada dinding sekat atas tergantung gambar hitam putih Adaby.
Gambar ini kadang menjadi pusat perhatian. Sebenarnya tanpa disadari Adaby  hal itu. Ingin  rasa memindah tapi tak ada yang ideal disisi mana harus diletakkan. Disitu  buat  bermakam  dan kadang bila tamu bertandang, paling tidak ia menikmati  ragaku, bahwa pandang ini arah kedepan.