Cerpen Hajriansyah: Malam Kalang Hadangan
Seekor kerbau menyibak air dengan tubuhnya yang besar. Ia meloncat, untuk kemudian berenang di rawa-rawa yang dangkal itu. Ia berjalan mengikuti intuisinya untuk segera pulang ke kandangnya menjelang senja yang redup.Ia tampak seakan berjalan melintasi air. Dan aku, dari gubuk gembala yang kering, memandang mata hitamnya yang bulat mengkilat dari jauh. Ia melenguh panjang memanggil keluarganya, mungkin anak-anaknya atau pasangannya—entah ia jantan atau betina.
Di atas kalang yang disusun dari balok-balok ulin yang kokoh, tempat belasan kerbau yang besar bermalam dalam keluarganya, aku dan temanku—yang terus menguntit kerbau di sana dengan kameranya, mencari angle yang baik untuk memotret—menunggu. Menunggu bagaimana kerbau itu naik dari rawa ke kalangnya dan berkumpul bersama kawanannya, atau keluarganya. Ini eksotik bagi kami yang terbiasa melihat kerbau hanya digembalakan dan dikandangkan di daratan saja. Sementara di sisi kami, si ibu gembala menyiangi ikan-ikan sepat yang akan segera diasinkannya.
Lalu tiba saatnya kerbau itu menaiki kalangnya. Tubuhnya yang berat ditumpukannya ke kaki depannya, yang terlatih mengayuh di air, naik menapak kayu-kayu berat, menyibak air di tubuhnya. Sementara dari atas, entah anak-anaknya, beberapa kerbau kecil menyambutnya dengan lenguh yang mesra. Mereka saling menautkan moncongnya, kemudian tubuhnya, kemudian melangkah ke arah dalam. Sebenarnya, kalang ini tak benar-benar beratap selayaknya rumah manusia. Derap kaki mereka berirama, menghentak perlahan balok-balok ulin seukuran sepuluh-duapuluh yang menjadi lantai bagi kalang mereka, lantai yang penuh dengan kotoran-kotoran yang mengering disapu angin tadi siang.
Hari ini telah cukup. Kami kembali menaiki klotok yang mengantar kami, melintasi rawa-rawa pandit—sehingga roda klotok beberapa kali tersangkut di dasar lumpur—untuk segera, pula, pulang. Kami melewati kumpulan enceng gondok yang telah disibakkan ke pinggir, ditata sedemikian rupa, diikat dengan bambu, agar memikat ikan-ikan bertelur di sana. Ikan-ikan memang dikembang-biakkan sedemikian rupa, untuk kemudian saat masa panen tiba bagi para nelayan air tawar itu menjualnya, basah atau kering, di pasar di tepian sungai.
Klotok yang kami tumpangi membelah sungai. Bunyinya “tok-tok-tok...”, dari mesin Kubota seperempat-PK, memekakkan telinga. Yakinlah, seperti kau rasakan sendiri, kau tak dapat berbincang normal jika sedang menumpangi klotok. Sejauh yang dapat kau lakukan, hanya memandang tepian penuh orang-orang. Yang sedang mandi di batang, atau anak-anak yang berlompatan riang ke air. Ibu-ibu mencuci pakaian, atau yang sedang menyiangi ikan, atau yang sekadar membersihkan peralatan dapurnya, diayun gelombang yang tak seberapa. Pemandangan tepian memang indah, apalagi jika kau seorang pengelana yang datang dari daerah perbukitan.
Rumah-rumah bertiang tinggi menusuk ke sungai berjajaran, jembatan-jembatan kayu yang tinggi—karena perahu-perahu dan kapal harus bisa melintas di bawahnya, jamban-jamban terapung yang diikatkan ke darat atau di tiang-tiang yang menopang rumah, dan tentu saja jukung-jukung penjual ikan yang akan bersandar ke lanting saat seorang ibu memanggilnya.
Kau terus mengarahkan kameramu ke tepian. Kau mencari obyek bidik yang menarik: anak-anak yang melambai-menggodamu, ibu-ibu yang tersenyum ramah pula saat matamu dan lensa kameramu membidik mereka diiringi senyum, kumpulan enceng gondok yang seakan terbang bagai awan di pinggir atau di tengah sungai, dan rumah-rumah yang tentunya unik pula bagimu karena papannya telah menghitam digerus waktu.
Saat ini kau datang, untuk menuntaskan rasa penasaranmu akan cerita orang-orang tentang kerbau rawa yang eksotik, ke kampungku, Nagara. Kau telah sering melihat bagaimana kerbau digembalakan sejak masa kecilmu. Bahkan, seperti ceritamu, kau telah menjadi gembala cilik yang riang dengan ilalang terjepit rapat di antara bibirmu. Kau paham betul, bagaimana kerbau-kerbau diarahkan ke padang lalang sehampir seharian, dan menjelang sore kumpulan itu diiringi dari belakang menuju kandangnya dengan sesekali teriakan untuk mengejutkan mereka yang membelok, bagaimana kerbau-kerbau itu melenguh memanggil anaknya atau hanya untuk sekadar sesuatu yang gembala paham betul maksudnya. Pada malam hari pun kau terbiasa dengan si jantan yang melenguh, diiringi bunyi lonceng yang bergoyang di lehernya. Lalu, kadang-kadang, kau keluar rumahmu sekadar ingin melihat apa yang mengusik kerbau-kerbau tetanggamu itu. Tapi tentu saja, ada banyak hal yang mengganggu kerbau di malam hari, dan tentu bukan hanya yang kasat mata.
Malam hari di desamu udara tentu saja dingin, tapi pasti berbeda dengan dingin malam di kampungku yang datang di saat kemarau seperti ini. Ya, “Dingin yang kering,” katamu, yang berselimut sarung sembari mengusir nyamuk yang merubung tubuhmu.
“Sungguh pemandangan yang menakjubkan! Sebelum ini aku tak pernah tahu bahwa kerbau bisa berenang.”
“Sungguh, kah?”
“Ya. Bagaimana bisa tubuh seberat itu mengapung di air, coba! Tentu, hanya kaki pendek yang terlatih seiring waktu yang bisa melakukannya. Dan, itulah keajaiban alam, atau kebesaran Tuhan, bukan?”
Kau berhenti sebentar, menimbang mana yang lebih realistis hari ini: kerja alam atau kerja Tuhan. Tapi, kau menepisnya, keduanya sama saja bagimu—yang tak panjang akal dan kuat iman. Kau menarik sarungmu lebih tinggi, sampai di bawah dagumu.
“Dan inilah, menurutku, keajaiban perjalanan. Kau tak akan pernah tahu bagaimana orang-orang menyikapi sungai-sungai pasang surut, atau terhadap sungai yang dapat kering hingga berbulan-bulan. Kebudayaan terlahir karena sikap manusia memperlakukan lingkungannya. Tradisi berjalan karena orang-orang memperhatikan anak-cucunya—sementara mereka, percaya pada orang-orang tuanya. Perjalanan seseorang mengilhaminya banyak hal, sesekali juga mempengaruhi beberapa hal, beberapa tradisi yang disinggahinya—tergantung berapa lama ia singgah.”
“Benar, kah?”
“Bisa saja!”
“Aku ingin menanyakan sesuatu.”
“Apa itu?”
“Bagaimana menyampaikan suatu hal yang kita yakini kurang tepat yang tengah berjalan di tengah tradisi kita, kepada orang-orang yang kita hormati?”
“Maksudmu, kau ingin mengkritik orang tua?”
“Kurang lebih begitulah, tapi untuk hal-hal yang menurut kita kurang tepat pengamalannya. Bukankah waktu berjalan, dan keadaan berubah?”
“Benar!”
“Tapi sebagian orang tak ingin berubah, karena mereka merasa nyaman dengan keadaan yang ada. Mereka akomodatif, sebenarnya, melakukan hal-hal yang dirasa perlu untuk menyenangkan semua orang. Tapi mereka, entah peduli atau tidak, tak sadar bahwa tuntutan zaman menggiring mereka ke pinggiran, sehingga mereka terpojok juga pada akhirnya…”
“Tunggu, tunggu… itu kan, menurutmu. Bagaimana kalau demikianlah cara mereka bertahan di tengah ketidakpastian zaman, yang belum tentu lebih baik dari dahulu.”
“Kau perhatikan hadangan, kerbau-kerbau yang digiring ke kalang, kandangnya, sore tadi? Bagaimana mereka kemudian terpojok bersama gerombolannya? Mereka hanya menunggu, sampai perluasan wilayah usaha orang-orang kota dan kebijakan pemerintah setempat menggusur mereka entah ke pinggir atau pojok mana lagi? Sebagai hadangan, mereka tentu tak dapat berbuat apa-apa. Tapi, kita manusia tentu memiliki akal, daya, untuk mengantisipasi perubahan bukan?”
“Benar! Tapi, tetap saja ada peluang untuk kekalahan di tengah laju perubahan yang digerakkan orang-orang yang lebih kuat, bukan? Dan, seperti itulah kerbau-kerbau itu akhirnya kalah pada manusia, yang lebih kuat dengan akalnya. Bukankah demikian juga ujung analogimu tadi?”
“Benar. Tapi, aku masih berdaya. Lalu bagaimana dengan cara mengkritik tadi?”
“Kau lebih tahu, kau adalah putra dari ibu pertiwi yang membesarkanmu. Dan kau, tentu memahami ajaran, kesantunan, orang-orangmu. Kritik harus dijalankan karena cinta, karena kau ingin sesuatu yang lebih baik untuk orang-orangmu, budayamu…”
“Tapi, norma-norma selalu dijadikan alasan untuk menangkis kritik, oleh orang-orang yang tak ingin berubah. Entah mereka tak ingin berubah karena sadar perubahan akan menghapus pengaruh mereka, atau entah untuk sebab yang lain.”
“Kau carilah sebab yang lain itu.”
“Kalau begitu kapan aku akan menyampaikan kritik…”
“Atau, kau memang tak perlu menyampaikan kritik sebenarnya, karena semua yang kau anggap keliru itu hanya kekhawatiran yang akan pupus seiring kau memahami lebih dalam orang-orangmu, budayamu.”
“Boleh jadi.”
Sampai di situ aku terdiam. Aku perlu waktu memahami perbincangan denganmu di tengah malam yang makin dingin ini. Dan kau, kemudian menarik sarungmu lebih tinggi. Tak berapa lama, bunyi cengkerik hilang ditindih suara yang berat dari tenggorokanmu. Sementara di dalam benakku, bunyi papan-papan saling berderit ditimpa tubuh-tubuh yang berat, yang makin berkerumun seiring dingin yang kering di atas kalang hadangan.[]
Sumber:
Hajriansyah. 2016. Kisah-kisah yang Menyelamatkan. Banjarmasin: Tahura Media
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution
0 komentar: