Tampilkan postingan dengan label Rismiyana. Tampilkan semua postingan

Cerpen Rismiyana: Ken

“Ta, kalo boleh jujur, kamu adalah orang yang paling keras dari sekian banyak orang yang pernah kutemui.” Mbak Titis berkata pelan. Matanya mengerjap beberapa kali. Aku tahu, pasti berat baginya untuk mengatakan penilaiannya barusan.
Aku sendiri hanya mengangkat alisku sesaat. Lalu tersenyum sambil memandang wajahnya.
“Walau begitu aku tetap menyukaimu, karena dari awal ketemu aku udah ngerasa kamu baik.”
Kali ini aku tertawa mendengar penilaiannya itu. Siapa sih yang tidak senang disebutkan sifat-sifat baiknya. Tapi, bagiku penilaian yang pertama tadi jauh lebih berbekas.
Mungkin bagi Mbak Titis yang lembut dan besar di lingkungan Jawa Priyayi, yang baru saja menamatkan Pascasarjana UGM, berhadapan dengan remaja sepertiku adalah hal baru dalam hidupnya.
“Manusia itu seperti tanah, ia memberikan kehidupan berupa tumbuh-tumbuhan sebanding dengan sinar matahari dan air hujan yang ia terima dari langit yang menaunginya.”
Lanjut Mbak Titis lagi berfilosof.

***

Cerpen Rismiyana: Hitam Putih Kotaku

Hujan baru saja reda. Angin berhembus dari utara. Seperti biasa aku berdiri di bawah tali jemuran yang berseliweran di atas kepalaku. Memandang ikan-ikan di kolam dan sesekali awan yang berlarian di langit. Menunggu saat adzan Ashar dikumandangkan.
Kotaku dikenal dengan julukan Kota Seribu Sungai. Namun, aku lebih senang menyebutnya Kota Seribu Mesjid. Bukan hanya di kotaku, di sepanjang jalan Banjarbaru, Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai, dan kota-kota kecil lainnya, hal yang sangat mudah ditemui adalah mesjid! Kalimantan Selatan, bagiku adalah Propinsi Seribu Mesjid.
Karena tekstur tanah kotaku seperti pada umumnya kota-kota di Kalimantan Selatan adalah rawa. Tanah berair dan datar. Maka, ketika adzan dikumandangkan dari mesjid-mesjid itu, suara adzan seakan memenuhi segala penjuru. Mendengung, bergemuruh.
Sambil menengadah, memandang gumpalan-gumpalan awan berarak, mataku memejam beberapa saat. Ya Allah.., seandainya mata dapat memvisualisasikan wujud malaikat, mungkinkah yang akan terlihat pada setiap adzan dikumandangkan seperti saat ini adalah ribuan malaikat yang sibuk berseliweran mencatat pahala? Pahala bagi muadzin di mesjid-mesjid dan surau-surau itu, pahala bagi orang-orang yang dengan khidmat mendengarkan kemudian berdoa, dan pada mereka yang bergegas memenuhi seruan muadzin.
Tiba-tiba HP di saku gamisku bergetar. Ada SMS masuk.

Cerpen Rismiyana: Pasar Itu Milik Ibuku

Aku senang bermain menyusun bawang merah yang tercecer dengan Anto di pasar, saat kurasakan sepasang tangan menggoyang-goyangkan kedua tanganku. Hari masih sangat pagi. Aku baru bangun, dan mataku terasa sangat malas karena sisa kantuk yang masih menggantung. Dengan malas kubuka kelopak mataku yang terasa berat.
“Wan, mandi. Nanti kamu terlambat ke sekolah.” Ternyata sepasang tangan itu milik ibu. Sekarang, ia berusaha membantuku berdiri.
“Hari ini Jumat, Bu, masuknya jam 8. Jadi tidak apa-apa agak siangan...” Tapi ibu seperti tidak mendengar penjelasanku. Tangannya kini menuntunku ke ruang bawah, ke kamar mandi. Eh, bukan kamar mandi, tapi lorong kecil antara dinding rumah dan pagar tembok rumah sebelah yang kami jadikan sebagai tempat mandi dan mencuci.
Setelah menyiram badanku dengan beberapa gayung air dan sedikit bilasan sabun, aku bergegas mengenakan seragamku. Tadi aku lupa, sejak Senin lalu aku harus berjalan kaki ke sekolah. Jadi, walaupun hari ini masuk jam 8, tetap saja aku harus berangkat jam 07.15 pagi.