Tampilkan postingan dengan label Muhammad Faried. Tampilkan semua postingan

Cerpen Muhammad Faried: Tentang Teman Seperjalanan

Buatku, sekarang adalah perjalanan laut yang kesekian kalinya. Dan tetap saja keadaannya masih sama seperti pertama kali aku naik perahu motor besar ini. Seperti perasaan yang memberikan perasaan simpang-siur, muncul melompat-lompat saling mendesak-desak, berebut tempat, berganti-ganti menguasai diriku. Hingga di atas perasaan itu, rasa ketergantungan akan nasib kecemasan akan bencana, harapan akan keselamatan, dan ketidakberdayaan terhadap kebesaran alam, hadir dalam bentuknya yang paling sempurna.
Kemudian aku mencoba menoleh ke sekeliling untuk melihat orang-orang di luar diriku, orang-orang yang begitu asing bagi diriku. Di geladak, di lorong-lorong, bergeletakan, terbaring, duduk, seperti benda-benda yang dihamburkan begitu saja. Sampai pada akhirnya aku mencoba menghela nafas. Dan rupanya, suara helaan nafas beratku tadi menarik minat seorang perempuan yang sudah sejak lama tadi berdiri di sebelahku, lalu dia menoleh serta memandang diriku.

Cerpen Muhammad Faried: Tentang Istri Rahman dan Tembok Pagar yang Kotor

Ditendangnya botol plastik kosong bekas air mineral tak berdosa itu, sehingga melesat terbang dan jatuh ke dalam got, yang mengagetkan kerumunan lalat di air selokan kotor tersebut. Mungkin, ada beberapa ekor lalat benar-benar tertimpa botol plastik bekas tadi, atau setidaknya ketenangan lalat-lalat yang sedang asik berkerumun di air comberan telah terusik, menjadi korban kesewenang-wenangan si Rahman.
”Yah..., bagi seorang suami terkadang memang sulit untuk menerima kesuksesan yang berhasil diraih istrinya. Memang wajar jika kau, sebagai kepala keluarga merasa tersaingi atau terancam eksistensinya”, imbau Kadir pelan, meniru-niru gaya seorang psikolog.
Rahman cuma menyahut dengan dengusan nafas berat. Lalu dia bangkit berdiri. Kadir mengira, Rahman hendak menendang ember butut yang berada di tepi selokan. Ternyata Rahman cuma hendak meluruskan kakinya yang sudah terasa pegal atau kesemutan lantaran sudah hampir satu jam duduk mendungkung di trotoar depan rumah Kadir. Tetapi, Kadir kembali merasa cemas karena Rahman tak lekas kembali duduk. Oleh sebab itu pula, Kadir merasa perlu untuk menambah kewaspadaan. Siapa tahu tiba-tiba saja Rahman menendang ember tadi dan pastilah air kotor yang berada di dalamnya akan muncrat membasahi pagar rumah yang baru saja setengah kering, selesai dia cat.