Cerpen Mia Ismed: Sumini

Hujan malam ini senandungkan lagu riang katak yang sebentar lagi beranak pinak. Juga nyamuk yang sedang naik daun menjadi bahan perbincangan manusia. Bagaimana dengan kopimu sayang? apa kau juga turut trauma menyeruputnya di malam dingin memanja, karena Si Anida yang diam-diam menyelinap atau karena Sarinah yang seksi menyembulkan nafsunya. Ini bagian dari dendangku memagut rindu dirinai hujan yang mulai menggigilkan deru rindu.
Lagi-lagi rindu itu sangat kurang ajar, meski sudah kututup rapat setiap rongga kamarku. Dia datang tanpa permisi. Menyelinap masuk mengisi cangkir kopiku malam ini. Mengharap kau teguk dalam-dalam sampai ampas penghabisan. Sesekali kulihat senyummu hadir di cangkir itu. Ntah itu sebuah pertanda kau tak lagi manis seperti tegukan pertama. Apakah mungkin kau sudah gantikan cawanmu dengan melati putih di teh manismu? mengakhiri seluruh memory tentang hujan yang semalam kita ciptakan.
Hujan itu air yang sama seperti kemarin. Gaungan guntur lah yang sepertinya membuat hujan kali ini berbeda. Ada sedikit kegalauan yang terekam sangat apik. Dan aku berharap kau di sana tau pesan yang terbaca dari gemuruh itu. Itulah hatiku Raden. Meski gemuruh hujan melunturkan jejakmu di pelataran ini. Namun rindu itu tetap membekas sampai engkau benar-benar kembali. Kalender nadi tetap mencatatmu sebagai tamu istimewa.
Ingin rasanya kuceritakan pada hujan. Ada ribuan bulir rindu yang menggenang. Menyublim diantara mentari yang tak kunjung tiba. Rona keemasannya mengisyaratkan luka yang terpendam. Memendam rindu yang tak berkesudahan. Hadirmu gaib meski semua diluar kewajaran. Masih ingin berteriak pada hujan malam ini, harapan terhampar meski harus melawan keterluntaan. Digaris waktu tak pernah menemu titik jemu. Tentang jawabmu yang tersapu sayup bayu. Dalam rinai hujan pun kupeluk bayangmu yang membiru. Rindu tempias menghujani mata yang mulai basah. Ada sedikit cawan yang kau sembunyikan di antara senyumu yang tak biasa.
Inikah jawaban atas deru rindu tak bermuka sayang? Ataukah kau coba gantungkan bayangan itu diantara semak yang semakin belukar?. Bagaimana harus kukatakan rindu ini pada hujan kekasihku, sementara dingin yang menggigilkan jiwa menagih rindu untuk kau peluk. juga gemeretuk gigi yang saling berhimpit ingin menelan saja rasa yang semakin membuncah hebat dikegelapan malamnya. Di sudut kelambu raga ini terus meringkuk, menerjemahkan kata yang terus mendesak.
Kau bagian dari hujan itu. Setiap bulirnya masuk mengisi pori-pori rasaku. Desauan angin ingin tahu saja isi kamarku yang menyenandungkan rindu bertalu-talu. Aku sampai lupa menaruh rinduku dimana? pada kerlip lampu kutanya pun tak berucap. Di dinding kamar pun seakan memekat, atau kau bersembunyi di balik bantal lusuh itu?dan menemuiku dimimpi malam? sampai pukul satu dini hari kujemput namamu tak jua datang. Sampai mentari datang menyeruak dengan sesahutan nuri. o, rindu aku benar-benar lupa jejakmu ntah kemana.
Aku benar-benar ingin membakar rindu itu seperti kayu menjadi abu, menyatu. Seandainya ragamu bisa kumasukkan dalam diriku menjadi satu. Pesonamu itu seperti degup yang tak berkesudahan di jantungku meski semua tidak rasional. Bagaimana caranya menghapus parasmu di hatiku. Sedangkan dirimu sudah menyatu dalam aliran darah disekujur tubuhku.
Cinta tak pernah bersalah, dia hinggap ditaman-taman hati manusia meski sampai saat ini tak pernah tau siapa yang menanam dan dari mana benih itu. Juga jangan kau pertanyakan warnanya sekalipun dari jenis apa. Ketika jarak adalah ukuran pandang kau tetap melekat kuat tak berjarak. Mana mungkin kau kulupakan sedangkan dirimu menyatu dalam aliran darahku sampai detik ini. Ini titipan Tuhan bukan sebuah kegilaan. 
Degup jantung itu berpacu meski kadang roda-roda itu kini menua dan rantainya sering loss karena karat yang mendaki. Binar matamu mengisyaratkan rindu yang mengalir air dengan derasnya. Entah bendungan aksara itu mampu menampung atau menjadi kawah candra di muka. Lagi-lagi parit hati sudah terisi penuh nama yang berjejal di bilik-biliknya.
‘Raden Mas’. Iya kusebut Raden Mas. Nama yang sangat indah. Karena di kampung Semanu ini menjadi seorang anak pejabat yang berpendidikan tinggi sudah sepantasnya disebut priyayi dengan segala title yang disematkan di perguruan tinggi. Orang yang tahu segala hal termasuk soal cinta. Mungkin semua itu terlampau kurang ajar bagi seorang gadis seperti aku, Sumini. Gadis kampung yang jauh dari pendidikan mengharapkan secawan cinta dari anak priyayi.
Kemarau yang panjang tahun lalu menjadi saksi. Daratan pegunungan kampung ini mengering dan makin beku saja dalam persidangan musim. Kau datang menghapus rindu anak-anak kampong bermandi cerita. Kau adalah hujan itu Raden. Pertemuan kita di pancuran tendon air itu seakan menyibak tirai hatiku yang tak pernah terjamah dari lelaki manapun. Tak kupedulikan siapa kamu dan statusmu apa. Semua tampak sempurna.
Sudahlah, barangkali cinta itu semacam udara yang adil dan legowo memberikan nafas panjang untuk siapa saja. Termasuk hinggap di pori-poriku yang legam ini. Kampung hatiku benar-benar terisi teka-teki tentang tiki taka cinta yang halus dan bening. Apakah rasa itu terus kugembalakan di perladangan? Atau kusauhkan di pesisir di antara jejal batu karang? Sebab jika kukubur saja takut akan menjadi zombie. Jika kupadamkan takut mematikanku dan jika kubantai takut menjadi hantu yang terus menghantui lelap tidurku.
Biarlah rasa itu kubiarkan mengembara, menjadi domba-domba menyelimuti jiwa-jiwa yang sepi dan mendingin. Karena musim kadang memacu desaunya menyublim hingga minus derajat. Kau hadir menghidupkan bara yang telah lama terkubur sebelumnya. Biarkan rasa itu menjadi puisi tentang rinai embun dalam batok kepala dan menjadi kran dalam jantungku yang senantiasa berdegup.
Kran yang tetap mengalirkan rindu. Meski gemerciknya tak selalu di tengah. Kadang menepi atau sekedar menempel di sarung solatmu. Hingga mengering dan menjadi noda suci. Karena suatu saat nanti ketika tubuh ini benar-benar kusyuk tanpa busana di hadapanNya, noda itu menjadi persaksian yang tak lagi bisa dihapus.
Atau biarlah raga itu sekedar menjadi padasan yang tak pernah mengharap upah. Meski setiap saat menampung rindu yang ia tumpahkan sederas butiran hujan dari tiris atap. Tempat itu tak lekang oleh debit rindu kecuali sang pemilik memecahkan tempayan itu benar-benar hancur berkeping.
Cinta itu mungkin terlalu kedodoran untuk kumiliki Raden Mas. Kadang kuberkaca hati ini terlalu sesak menampung  ribuan nyawa yang berjejal. Satu persatu ingin mencuil saja hati yang kian menghitam warnanya. Aku hanyalah Sumini yang selamanya tetap Sumini. Gadis kampung anak Pak Marwoto penjual burung pelatuk di kampung Semanu.
Terlalu naïf kita nikmati perjamuan cinta ini, bersanding di antara gemeretak ranjang yang sedari tadi ingin menjerit saja. Beban itu terlalu berat hingga semua bermaklumat, pun lampu itu sedari tadi meredupkan matanya. Seperti gelap ataukah kalap. Dalam hatiku berkecamuk inikah cinta yang kalian bangun dari pakaian yang serba kedodoran. Hingga terlihat riak-riak kegilaan. Compang camping tak bermuka.
Raden Mas, cinta itu telah membutakan akal kita. Nun jauh di sana seorang perempuan berpangku tangan menyandarkan dagu menunggumu di malam-malam biru. Biru memekat seperti dalamnya laut yang menenggelamkan wanita-wanitamu ke angan yang melangit. Gemintang kadang berkerlip mengisyaratkan mata yang memandang kita dari kejauhan.
Rembulan pun ingin tahu banyak menyelinap di dedaunan, ranting dan tanah tempat kita berpijak. Aku sangat payah menanggung kegundahan rindu yang melindu sepanjang waktu. Angin laut juga sepertinya ingin saja membedah hati kita, menyapunya habis yang kemudian menghembuskan ke liang telinga wanita yang kau nikahi lima tahun silam.
Aku berharap rindu itu mempertemukan kita seperti pertemuan bulan dan matahari, meski harus menunggu berpuluh tahun dalam rona gerhana. Takdirlah yang menyatukan keduanya meski hanya beberapa saat.
Iya, Sumini namaku anak Marwoto! Di mana letak keperawananmu? Apakah kau taruh di atas dinding kamar Bapakmu? Atau kau sudah gadaikan bersama burung-burung pelatuk dagangan Bapakmu? Yang kemudian kau meronta mencari di sela-sela kelambu. Apakah lelaki itu sudah membuat kelaminmu benar-benar menghilang? Lalu perjamuan macam apa yang kalian lakukan di kamar itu? Sumini, mereka tetap memanggilku tanpa koma, marga juga title.   
Raden Mas, di suluh janjimu kukuatkan temali gadisku. Biarkan hubungan ini kita rekatkan di antara kaki langit menjulang tinggi ke awan. Setiap saat kau bisa mengambilnya di perjamuan siang bersama mentari saat engkau singgah di kampung ini. Karena ketika malam tiba kau harus pulang membawa rembulan untuk wanita berkalung rindu buah hatimu.
Sumini tetap namaku utuh tak terpenggal, menjadi simpanan rindu abadi. Di tampah-tampah ibuku hati kupertaruhkan. Di atas jemuran kerupuk legendar dari sisa-sisa nasi yang sedikit ditambah boraks akan lebih afdol sebagai pemanis cinta biar tahan lama. Begitu perjamuan-perjamuan selanjutnya sedikit-sedikit kutambahkan boraks dan pewarna tekstil sebagai pengganti darah keperawanan di atas dipan-dipan yang mulai rapuh.
Raden Mas aku tetap setia diperapian cintamu. Cinta yang tak pernah padam. Meski hujan terlalu deras mempermainkan api dan tungku hatiku. Barangkali saat ini hanya dapat kutemui namamu di gemuruh udara. Signal pegunungan ini terlalu mahal untuk menjumpai namamu. Barangkali ada angin jahat yang cemburu membelokan rindu ini kebelantara hutan. Dan akhirnya mempermainkan jantungku yang memompa rindu yang memanas.
Ada apa denganmu Raden? Malam ini nada itu berdering kembali, sebuah misteri yang buatku ragu. Adakah yang kau takutkan?. Beberapa pekan kau raib dan kini kau membisu cukupkah deringan itu sebagai nada rindu atau teror yang mematikannya. Kubuka ponselku perlahan sebuah kata mencambuk rinduku “Sayang mungkin kita sementara padamkan permainan ini. Ada sebilah hati yang mulai mengintai perjamuan kita. Aku berharap kau tampung rindumu beberapa waktu. Ku harap kau mengerti keadaanku” Raden.
Sebait kata yang tak buat gentar sama sekali tuk cumbui cintaku padamu Raden. Ini adalah pilihanku, bermain api dalam tungku istana yang sudah kau bangun. Ingin memilikimu tanpa batas meski tembok itu batas yang kokoh. Memenjarakanmu dan buat kita bagaikan di dalam jeruji. Terlalu sulit untuk kuuraikan tentang rasa ini. Mencintai seorang lelaki yang sudah beristri. Bukanlah alasan aku tak laku lantas menjadi perawan tua yang tak bisa memilih seorang perjaka muda. Tapi hatiku sudah terlanjur mencintaimu. 
Tiga purnama kita lewati Raden. Meski hanya tegur sapa lewat udara merangkai cerita yang tercecer kutekuni setiap nafasnya. Karena rinduku tak berupa menjelma aksara mati yang menyelubungi. Biarkan ku merindumu dalam diam memelukmu dengan tangan rembulan. Kadang keramaian buatmu lupa akanku dan rindu itu singgah diranjang yang ia suka.
Kubuka lembaran-lembaran  media sosialmu barangkali kutemukan rinduku yang bergumpal di sana. Di bawah tuts keyboard putih yang kau tinggalkan. Bait-bait tersenyum dengan mesra membelai hatiku penuh gairah.

Untuk Suminiku
Tiap Huruf Kutulis dengan hati berdebar
Takutku akan pergimu
Kuakui kau memberiku banyak arti
Tapi aku belum siapa-siapa
Belum mampu berikau ini itu yang bermakna
Tapi sungguh, bahagiamu adalah bagian terpenting dari pemenuhan cintaku
Kukan bayar lunas sayangku dengan terbaikku untukmu
Hanya untukmu, tak peduli waktu
Tidak cukupkah hati dan jiwaku dalam helaan nafasmu?
Apa kau tak rasa kalauku tiap waktu menekunimu
Dalam hatimu adaku
Tiada kata lain aku teramat mencintamu tanpa batas waktu
Tidak ada yang perludikhawatirkan
Bukankah memberi semangat adalah bagian terkecil dari cinta?
Bukankah memberi tanpa harap menerima adalah kata lain cinta?
Bukankah hatimu telah jujur akanmu?
Tanpamu kubukan apa apa
Harapku tidak mengada-ada
Ijinkan aku mencintaimu secara sederhana
Seperti juga kayu yang abu karena api
Seperti angin yang hilir pada musim
Dan keputusan adalah kata sepakat
Harapku di kedalaman hatimu bisa mencerna
Seberapa besar cintaku untukmu
Mungkin cukup untuk sekedar sisakan ruang tunggu tanpa jemu
Sebab hariku adalah dirimu

Raden mas, Februari 2016

Bait-bait itu menguatkanku seperti nyawa yang selalu menghidupkan cerita rinduku entahlah.
Bapak, maafkan aku, setiap lelaki yang datang meminangku hati ini seakan mati. Ada rasa yang berkecamuk hebat. Dan aku sangat membenci semua ini. Karena aku tak mampu memberikan kebahagiaan untuk Bapak.
Apakah aku benar-benar terkena racun berbisa? Racun itu menjalar menyelubungi setiap lubang pori dan entah dari mana datangnya. Bayangan itu selalu menerorku. Bayangan yang buat nalarku ini tidak rasional. Lelaki berjambang dengan senyuman api. Aku makin terbakar saja di perapian cinta yang sulit kupadamkan. Rindu yang mengkristal di lelangit kamar karena sampai detik ini aku bukan siapa-siapa.
Raden Mas, aku tetap menunggumu dalam rinai hujan hingga musim kemarau tiba. Berharap cinta kita terus bersemi bersama rumput halaman pekarangan ini. Sampai waktu benar-benar tak lagi cemburu. Karena semesta begitu siri memandang kita dengan mata rembulan. Entah di ujung purnama keberapa wajah kita benar-benar utuh menyinari bumi hatiku yang tak pernah rapuh.
Aku Suminimu tetap setia menjadi wanita eraman dalam sangkar. Entah sampai kapan, kita nikmati saja perjamuan cinta di bawah kolong melepas waktu yang terus bergulir di antara siang dan malam. Menabuh cinta dan kerinduan yang selalu menyala dalam sekam dan abu.[]


Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/57750c4eaf7e618721955d19/sumini

Cerpen Mia Ismed: Diary Ibu

“Apa Dok!, ibuku terkena HIV AIDS? Gak mungkin dok, barangkali dokter salah deteksi. Ibu seorang wanita bermartabat mana mungkin menderita penyakit serendah itu! Katakan dok itu semua tidak benar!” Aku sangat syok mendengar indikasi dokter. Dokter hanya diam mematung sambil menggelengkan kepala beberapa kali.
Jadi selama ini ibu menderita penyakit itu, lalu mengapa menyembunyikan semuanya dari aku. Aku sungguh tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam keluargaku. Setahuku keluargaku sangat bahagia. Ayahku seorang yang bermartabat dan ibu? Dia seorang wanita mulia yang memegang teguh kesetiaan terhadap agama dan keluarganya. Bagaimanamungkin penyakit itu bersarang di tubuh ibu. Ntahlah aku harus tahu dibalik semua ini. Kutatap wajah ibu dipembaringan yang penuh dengan selang infuse.
“Mayang.. ibumu belum sadar juga?. Suara paman mengagetkan lamunanku.
“Iya paman…belum ada tanda-tanda ibu akan sadar. “
Kutatap lekat-lekat keadaan ibu, ia sangat lemah sudah lima hari terbaring kaku di ICU. Wajahnya semakin menciut tubuhnya menyusut hingga tersisa kulit  dan  tulang,  rambutnya gundul, jarinya biru, mulutnya pun tak mampu lagi berbicara. Berbaring saja susah. Ibu koma, hanya sebuah doa yang dapat kulakukan saat ini. Ibu benar-benar sudah tidak bisa diajak komuikasi.
“Paman bolehkah Mayang bertanya suatu hal? Apa yang sebenarnya terjadi dengan ibuku paman?”
“Ceritanya panjang Mayang, kelak kau akan tahu Nak!”
Belum selesai paman menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Terdengar suara ayah yang datang dari balik pintu.
“Mayang… gimana keadaan ibumu?” Ayah datang dari tempat kerjanya lengkap dengan tas yang masih bergantung manis ditangannya.
“Ya begitulah ayah belum ada tanda-tanda ibu akan sadar.”
Selang beberapa menit suara pendeteksi jantung elektrokardiogram ibu berbunyi keadaan semakin kritis. Aku bergegas menemui dokter jaga. Semua terjadi sangat cepat. Detak jantung ibu berhenti. Ibu dinyatakan meninggal.
“Dokter berbuatlah sesuatu untuk istriku! Salamah…salamah bangun istriku!”
“Kami tidak bisa berbuat banyak pak, Allah berkehendak lain. Istri Bapak sudah meninggal.
“Apa dok ibu meninggal? Ibu…!.” Suaraku tercekik ada keraguan yang menikung pikiranku.

***

Diki Wijaya Subrata semakin menyesali keadaan ini. Salamah yang dulu dia tinggalkan adalah wanita manis, sederhana, tangguh dan baik.
“Dia ibu yang hebat bagi anak dan suaminya. Ya, dia wanita hebat melahirkan anak-anak hebat. Tapi kenapa aku menyia-nyiakannya hanya karena nafsuku belaka?”
Tak henti-hentinya Diki Wijaya Subrata memaki dan menyesali perbuatannya. dihadapan batu nisan itu mulutnya tak berhenti-berhenti minta maaf.
“Salamah, Maafkan aku, Salamah!” Diki Wijaya Subrata meraung-raungdisebelah nisan yang bertuliskan nama perempuan ayu itu.
“Sayangnya waktu tak akan pernah kembali, Ayah. Di mana ayah ketika ibu sedang sakit! Apa yang ayah lakukan hingga ibu menderita penyakit senista ini?” bentakku  sambil menangis.
“Ibu kini telah pergi. Tenang dialam kedamaaian. Dia sudah menemukan kebahagiaan. Barangkali di sana ia akan menemukan jodohnya yang setia.” Kutinggalkan tubuh ayah sendirian dipemakaman itu.
Sepulang dari pemakaman pikiranku berkecamuk hebat. Segudang pertanyaan berjejal dibilik-bilik otakku. Kusegerakan menuju kamar ibu. Tak ada yang aneh semua tampak seperti dulu. Barangkali ditumpukan buku-buku islami yang sering ibu baca ada sesuatu yang dapat membuka kunci dari semua masalah ini. Pandanganku tertuju pada buku hitam semacam diary yang terselip diantara buku-buku kesayangan ibu. Kubuka dengan hati-hati lembaran-lembaran itu. “Catatan diary?” bisikku dalam hati.

10 agustus 2000, Hari ini aku bahagia sekali. Seorang gadis desa yang dipersunting pemuda tampan yang bermartabat. Terimakasih ya Allah, mungkin ini jawaban dari doa dan pengorbananku selama ini.
19 september 2001 Aku sangat bahagia. Tuhan memberikan sebuah cinderamatanya untuk rumah tanggaku. Seorang gadis mungil yang keluar dari rahimku. Gadis itu cucu semata wayang keluarga Subrata. Mayang Kinaryosih Subrata, nama yang disematkan suamiku. .
Februari 2002 Aku tak yakin suamiku akan segila itu. Aku masih mempercayainya seperti dua tahun yang lalu. Dia laki-laki setia dan sangat menyayangi keluarganya. Apakah yang dikatakan orang-orang itu benar? Atau karena memang suamiku seorang lelaki yang mapan sehingga banyak yang iri dengannya? Sudahlah aku akan mengubur semua prasangka burukku.
Mei 2002 Ini yang aku takutkan selama ini. Kau menikung dari kisah yang sudah kita sepakati dua tahun silam dihadapan tuhan suamiku. Kini kau jauh berubah, kau sering marah-marah dan mulai enggan duduk sebentar saja berbagi kisah. Aku ingin selalu melihatmu dengan senyum cerah menimang buah hatimu yang sedang lucu-lucunya. Tapi senyummu itu kini ntah kemana. Dan kau gadaikan untuk siapa?
Juni 2002 Suamiku, ntah aku egois atau ingin menguasai waktu dan ragamu. Jujur aku sangat kesepian. Kini kau sering pergi kedaerah-daerah demi bisnismu. Aku disini sangat merindumu pulang seperti tahun-tahun lalu. Kini aku mengandung janinmu yang kedua aku berharap kau ada setiap detiknya. Tapi aku harus kuat tak boleh manja.
Desember 2002 Putri kedua kita lahir meski harus menghiru udara beberapa jam dan akhirnya yang kuasa lebih saying dan memanggilnya, ayu kinanthi Subrata. Semoga kau menjadi bidadari-bidadari disyurganya nak
Februari 2003 Aku sadar mungkin raga ini terlalu naïf mencintai seorang priyayi dari kayangan. Sebaik apapun diriku rasanya tak pantas bersanding denganmu suamiku. Terlalu bnyak yang cenburu dan buatmu malu. Fitnah itu mungkin tak membuatku sakit hati, tapi yang kukalutkan kau terlalu percaya dengan orang diluar saa ketimbang istrimu sendiri saying.
Juni 2003 Suamiku kau semakin tak kukenal. Kau habiskan waktumu hingga  larut malam.   Apakah benar yang dikatakan orang-orang di luar sana  berselingkuh dengan seorang perempuan yang sudah bersuami?. Dan yang membuat hati ini hancur perselingkuhannya itu membuahkan anak.
September 2003 Hari ini aku tertampar sengatan halilintar yang membumi hanguskan hatiku yang subur tentangmu. Ternyata d iluar sana kau sangat liar suamiku. Kau bagi-bagikan cintamu untuk perempuan-perempuan itu. Disini aku hanya sebilah lidi yang tak mampu berbuat apa-apa. Aku tetap perempuan sederhana yang mengagungkan cinta. Meski kau sudah luluhlantakan hatiku hingga menjadi butiran-butiran debu. Aku tetap bertahan.
Desember 2003 Kubuka kiosku yang tetap kurawat subur dagangan disana. Juga senyum yang selalu kusuguhkan disetiap pengunjung yang selalu setia menanti menu istimewa sajian kiosku. Meski hatiku tak lagi utuh aku terus memberikan yang terbaik untuk pelanggan setiaku. Ntah mata ini tak sengaja tertegun melihat seorang perempuan dengan perut membuncit bertandang dikios kueku. Menurut pengakuannya ia sedang mengandung anak Subrata. Wajahnya tak asing dimataku tiga bulan yang lalu wajah itu mampir ditelepon genggam suamiku. Menurut pengakuan suamiku dia klien di perusahaannya. Tapi hari ini semua terbukti bahwa mereka menjalin hubungan lebih dari sekedar rekan kerja. Hatiku berkecamuk hebat. Aku tak tahu harus berbuat apa. Bagaimanapun dia perempuan seperti aku. Dia tak pernah bersalah. Suamikulah yang menggantungkan hati setiap wanita yang dijumpainya.
13 Januari 2004, menjadi catatan nadir yang mengungkap secarik hati. Hati yang terbuat dari baja atau apalah sampai aku tak tahu mengatakannya. Bagi sebagian orang mungkin ini terlalu dramatis. Tapi itulah kehidupan yang sulit ditebak. Perjalanan itu amat curam hingga aku harus mencari celah untuk selamat dari jurang-jurang yang siap menelanku mentah-mentah.
Catatan takdir akan selalu kurekam apik dikalender nadiku. Kunikmati setiap getirnya. Waktu menjadi persaksian bisu tapi aku tetap setia dengan kisah yang sudah tergaris.
Aku sakit dan penyakit ganas telah bersarang ditubuhku HIV. Sakit yang buat orang memicingkan mata dan hatinya. Entahlah tuhan sedang mengujiku. Aku tetap wanita setia yang melayani suamiku apa adanya. Inikah balasan dari keluguan dan kesetiaanku. Ntahlah aku hanya sebilah lidi yang siap retak ketika sang pemilik mematah-matahkannya
08 september 2004 Anakku kutak ingin kau tahu banyak tentang sakit ibumu juga terlebih kelakuan ayahmu. aku ingin kau tumbuh menjadi anak manis yang berpendidikan. Aku ingin ayahmu tetap menjadi ayah istimewa dan ibumu wanita yang mulia.

Kubaca catatan-catatan itu dengan linangan air mata. Kutekuni kisah ibuku. Ibu maafkan aku jadi selama ini kau sangat perkasa menyimpan rahasia-rahasia ini dibalik senyummu yang manis menggembang?. Kutemui paman yang sedari tadi mengepulkan asap rokoknya diruang tamu. Ayah. Ya ayah masih mematung di atas batu nisan ibu. Tak kupedulikan keadaannya. Ntahlah dari pengakuan dokter tentang penyakit ibu, aku sudah menaruh gelagat tidak baik terhadap ayahku. Yang terpenting saat ini adalah menemui paman Sunaryo yang setia menjadi asisten toko kue ibu yang kebetulan masih kerabat dari ibu.
“Paman.”suaraku mengagetkan lamunannya.
“Iya Mayang, kenapa kau menangis?”
“Paman Tadi malam belum bercerita tentang ibu. Tadi tak sengaja kutemukan diary ibu ditumpukan buku-buku itu. Begitu banyak rahasia yang tak kuketahui selama ini paman.” Tangisku pecah
“Yah, baiklah paman akan menceritakan keadaan yang sebenarnya Mayang. Tapi paman berharap kau tetap menghargai ayahmu. bagaimanapun dia adalah orang tuamu. Bertahun-tahun ibumu menderita. Banyak sekali aral melintang yang seakan tak mau pergi dari kehidupannya. Mulai dari Salamah kecil sampai ia menikah dan mempunyai anak.
Salamah anak yang tangguh, lahir sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara  dengan  kehidupan  yang  papa.  Di kampung  halamannya, Gunung Kidul,  kebiasaan berladang  sudah menjadi mata pencaharian sehari-hari.  Ayahnya  seorang  buruh sawah milik pambakal yang dibayarkan tiga perempat persen dari hasil tanam. Meski kehidupan yang serba kekurangan Salamah kecil dengan setia membantu menopang perekonomian orang tuanya. Sejak kelas tiga SD dia sudah memutuskan masa depannya demi membantu ayahnya. Salamah kecil tak pernah mengeluh. Ia jajakan keripik belalang di warung-warung, pasar dan emperan toko. Upah recehan persenan dari pemilik panganan itu ia kumpulkan untuk biaya adik-adiknya sekolah yang sebagiannya lagi ditabungnya dalam bambu. Tak berhenti di situ,  Salamah pun harus mencari rumput untuk ternak sapi tetangga yang diimpu ayahnya.
Kerja keras Salamah untuk menebus hidup dan pendidikan adik-adiknya tak pernah surut. Hingga pada suatu hari dia mendapatkan modal dari hasil kerja kerasnya. Ia belajar berdagang jajanan pasardi pasar tradisional wonosari.
Suatu hari ada seorang pemuda yang diam-diam memperhatikan keuletan dan kecantikan Salamah. Diki Wijaya Subrata, seorang pengusaha yang bergerak dibidang property. Demikian nama pemuda itu, berniat untuk meminangnya. Akhirnya pinangan itu diterima dengan sukacita.
Setahun pernikahannya, Salamah dikarunia seorang gadis cantik. Rumah besar itu kian ramai dengan suara tangisan bocah manis yang keluar dari rahim Salamah. Berita kelahiran cucu keluarga Diki Wijaya Subrata sempat menggemparkan warga. Mengingat keluarga Subrata adalah keluarga terpandang di kampungnya. Ke manapun Salamah kecil akan diperlakukan istimewa oleh penduduk setempat.
Delapan tahun kemudian putri keduanya lahir. Namun sayang gadis keduanya tak berumur panjang. Gadis mungil itu sangat cepat pergi dipelukan sang Khalik. Belum kering darah yang keluar dari rahimnya, Salamah pun harus menelan rasa pahit tatkala ia mendengar kabar kegilaan suaminya rupanya tak hanya membagikan cintanya untuk perempuan-perempuan di luar sana. Suaminya semakin liar dengan dunia malam yang serba gemerlap dan bebas. Maklum Subrata adalah lelaki mapan juga rupawan, siapa saja yang melihat juga akan nempel dibuatnya.
Pada suatu pagi  kutemui ibumu tergeletak tak sadarkan diri dimuka toilet toko. Dengan hati kalut kubawa ibumu ke rumah sakit di Yogyakarta. Menurut pemeriksaan dokter di daerah vital dan mulutnya tumbuh jamur dan bercak diseluruh tubuh disertai demam yang cukup tinggi. Kondisinya terus melemah berdasarkan tes kesehatan dia positif terjangkit virus yang mematikan HIV. Ia semakin gusar tak karuan. Namun paman mencoba meredam hati ibumu.
Opname yang kedua kalinya dilalui tanpa seorang suami dan anak. Itu tak membuatnya rapuh. Paman dan Herjenah selalu ada untuknya. Herjenah, meski kehidupannya juga bernasib sama ditinggalkan suaminya lantaran tidak dikaruniai keturunan. Salamah selalu berpesan untuk merahasiakan penyakitnya terhadap anak dan sanak saudaranya.
Salamah terbaring lemah di atas pembaringan yang tak lagi hangat karena berjuta-juta sel  liar menguasai tubuhnya. Rambutnya menipis, matanya cekung tak berair, bibirnya kelu tak semekar dulu. Hatinya dingin  menahan rindu. Entah pada siapa rindu itu dia tumpahkan. Menemui kekasih sejati, atau rindu dengan dunianya yang terampas. Entahlah, dia bingung dibuatnya. Ia ceritakan semuanya kepada sahabatnya herjenah. Suara itu terekam kuat ditelinga paman.
“Bagiku memeluk hujan itu lebih hangat, merindu bergelayut di pohon cabai. Bercengkrama dengan petai, ikan asin dengan nasi akingnya, sungguh nikmat,” seloroh Salamah pada Herjenah. Kawan sepermainan yang sama-sama dipanggil Tuhan tempo lalu. “Tuhan sedang bercanda memberiku cubitan kecil yang sakit dan menggelikan. Akupun tersipu merasakan kelucuan ini,” selorohnya dengan mata nanar. Herjenahpun tersadar. Sahabatnya tak lagi kuat seperti dulu, berdamai dengan mimpi yang dirajutnya di malam-malam bisu. “Tadi malam Tuhan mencubitku. Barangkali nanti malam Tuhan menggelitikku sampai sekarat,” ucap Salamah.
“Kadang cubitan itu perlu Amah, untuk menyadarkan lamunan kita yang melampaui batas,”  Herjenah menimpalinya dengan senyuman kecut.
Mata keduanya nanar, menyisakan tangis yang memekat. Kidung sunyi mengisyaratkan mereka untuk bangkit. Tetapi keadaan yang membelenggunya terdiam. Beberapa tahun kemudian, Diki Wijaya Subrata pun akhirnya pulang setelah harta yang ia miliki makin habis karena anak tirinya yang terlibat kriminal. Diki Wijaya Subrata menyesali keadaannya. Ia berjanji tidak akan meninggalkan Salamah lagi. Namun semua sudah terlambat. Salamah koma beberapa hari di rumah sakit.
Begitulah ceritanya Mayang, sudahlah sekarang ibumu sudah tenang. Barangkali disana ibumu sudah mendapatkan jodohnya yang terbaik. Lelaki impian yang setia menemani dialam keabadian.
Penjelasan paman juga diary yang kutemukan sudah cukup menjadi jawaban. Ibuku seorang wanita yang tegar dan mulia. Dalam perjalanan deritanya, dia hanya selalu tersenyum. Menyimpan rahasia luka hidupnya. Dia tidak pernah bersalah. Ibu hanyalah korban kegilaan ayahku. Aku yakin tuhan memberikan tempat terindah untuk wanita mulia itu. Ibu maafkan anakmu, barang kali diujung usiamu ini. Kutemukan sosokmu yang sebenarnya. Selama ini betapa kau disudutkan dari keluarga juga gunjingan para tetangga. Bagiku kau perempuan hebat dan suci. Ayah, apapun dirimu dulu, engkau adalah ayahku. Dalam ragaku mengalir deras darahmu. Terkadang rasa berontak itu ada menyudutkan hatiku, ayah harus merangkai kenangan itu. Masa tua ayah bergelimang sunyi berpeluk kepiluan yang menghantui. Menjadi sebuah catatan hati yang tak terlupakan. Ibu Salamah, bersabarlah karena lelakimu kini sudah berubah. Biarkanlah dia senantiasa memandang senyummu yang kekal meski hanya lewat mimpi.[]

Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/5775ce4cc223bda804962001/diary-ibu

Cerpen Mia Ismed: Mainan Baru

Sang bagaskara menunjukan dewi siangnya yang sudah lumayan terik. Burung tak lagi berkicau pun kokok ayam mulai hilang. Jam dinding sekolah SD Muhammadiyah 3 Wonosari telah menunjukan pukul 10.58 WIB. Kurang lebih dua menit lagi Maksum meninggalkan kelas ini. Tidak seberapa lama bel pun berbunyi.
“Teng…, teng…,teng…!”  Tanda seluruh siswa harus mengosongkan tempat duduknya.
“Assalamu alaikum,” suara Maksum memasuki rumah joglo tua beralaskan tanah. Sejak kecil Maksum diasuh neneknya. Ayah dan ibunya sudah lama pergi meninggalkannya. Meninggalkan bukan karena melepas tanggungjawab akan tetapi kereta naas yang ditumpangi ketika mudik dari ibu kota terguling. Ayah dan ibunya mengadu nasib di ibu kota sebagai pedagang warung kopi.
Semenjak kepergiannya, Nenek Saodahlah yang mengurusi Maksum.
“Waalaikum salam!” jawab nenek tanpa menoleh ke arah Maksum. “Sudah pulang Maksum?” .
“Iya, Nek,” jawab Maksum sambil menaruh barang-barang sekolahnya di lemari tua di sudut ruangan.
“Nenek, hmm Maksum boleh nggak minta mainan?” Sambil menatap ragu dan penuh was-was Maksum membuka mulutnya sembari menuju ke arah nenek.
“Maksum…, Maksum…! Kalau mau beli mainan, ya … harus menabung dulu,”” sahut nenek sambil tersenyum. Sesekali tangannya tak mau diam menampi beras.
“Maksum mau beli mainan mobil-mobilan seperti punya si Ikhsan dan Fathan. Harganya empat belas ribu rupiah, Nek,” jelas Maksum dengan nada mengharap.
“Iya, tapi harus nabung, Le. Kan Maksum setiap hari nenek beri uang saku seribu rupiah. Ya, sisakan uang sakunya jangan dihabiskan, Le,” tukas nenek Saodah sambil menatap erat cucunya.
Dengan lesu Maksum pergi ke meja makan. Dibukanya tudung nasi tanpa selera. Sayur nangka, ikan asin pun tak lagi nikmat dipandang mata. Maksum terdiam mengayunkan sendok makan seakan berat yang kemudian mengatupkan mulutnya rapat.
Nenek Saodah diam-diam memperhatikan cucunya yang sedang bersungut-sungut. Dengan senyuman tipis Nenek Saodah menggeleng-gelengkan kepala.

***

Seminggu sudah berlalu. Hari ini adalah Jumat pertama Maksum menabung. Hitungan hari ketujuh ia memasukan koin-koin sisa uang sakunya. Setiap hari Maksum menyisihkan uang sakunya sebesar seratus rupian yang kemudian dimasukan ke dalam celengan bambu yang dibuatnya sendiri. Sepulang sekolah Maksum dengan riang bergegas menuju lemari. Rupanya dia menaruh celengan bambu itu di bawah kolong lemari yang berlantaikan tanah keras. Maklum rumah joglo tua Nenek Saodah belum tersentuh semen sedikit pun. Tetapi keteguhan keluarga Saudah membangun agama Allah sangat diperhitungkan. Setiap Jumat Nenek Saodah tak pernah absen memberikan makanan bagi jamaah sholat Jumat. Nenek Saodah setiap hari berjualan lontong sayur di pasar Wonosari. Hari liburnya adalah hari Jumat. Sebagai penghormatan beliau untuk memberikan hidangan cuma-cuma bagi jamaah.
Kakek Abdullah suami Ibu Saodah adalah seorang ustadz di kampung itu. Di masa hidupnya kakek mendirikan masjid tepat di muka rumahnya. Kakek Abdullah adalah seorang imam masjid sekaligus guru mengaji di kampung itu. Sepeninggalan Kakek Abdullah, Nenek Saodah istiqomah memberikan sedekah dan menjaga masjid yang dibangun suaminya itu. 
“Maksum…, Maksum…! Pulang sekolah kok nyelonong aja. Sini bantu Nenek di dapur, Le!” tegur Nenek.
“Iya, sebentar, Nek. Tanggung,” sahut Maksum memberesi uang recehan yang sedari tadi dihitungnya. Tak banyak hanya terkumpul tujuh ratus rupiah.
“Maksum, gimana? Jadi menabung? Berapa sudah tabungan yang sudah kau kumpulkan, Le?’ Tanya Nenek lagi. “Ayo, bawa sini celenganmu!”
Tanpa berpikir panjang Maksum pun dengan riang mengambil celengannya, berharap nenek memberikan uang tambahannya. Dengan tersenyum riang dan lari-lari kecil Maksum memperlihatkan recehan-recehan itu.
“Ini, Nek, baru tujuh ratus rupiah,” Maksum membuka lebar-lebar jarinya yang menyembulkan beberapa recehan.
“Lumayan,” ucap Nenek Saodah.
“Nenek minta tolong ya, Le, belikan lombok sama tomat di warung. Sebentar lagi jamaah datang. Nenek belum bikin sambal. Oh ya, pake uang yang tujuh ratus yang dicelengan itu ya, Maksum.”
Dalam hati Maksum berdegup. ‘Apa uang celenganku buat beli lombok sama tomat. Nggak salah ni nenek!’
“Tapi, Nek?” penuh heran Maksum mengernyitkan dahinya yang berkeringat
“Sudah. Belikan saja cepat,” jawab Nenek tanpa melepaskan pandagannya ke arah kayu bakar.
Dengan muka kusam sepanjang jalan ia memikirkan tabungannya yang baru seberapa itu.

***

“Maksum, besok hari Minggu ke rumahku, ya! Kita mainan bareng. Fathan, Ali, sama Lana. Gimana kamu sudah beli tamiya belum?”
“Aku belum punya, San.”
“Minta dong sama Nenek kamu.”
“Iya. Aku lagi nabung, San.”
“Ok. Aku tunggu, ya!”
Ikhsan meninggalkan Maksum berlari ke rumahnya. Kembali di kepalanya terpikirkan tentang mainan.
Maksum duduk termenung di teras masjid. Dari kejauhan Lek Jarwo, muazin masjid Assholihin itu mendekati Maksum.
“Assalamualaikum, Maksum!”
“Waalaikumsalam, Lek.”
“Kok sendirian? Kenapa nggak main sama Fathan? Biasanya jam segini kalian main bersama-sama.”
“Malas, Lek Jarwo.”
“Kok, malas. Kalian bertengkar, Maksum?”
Hanya dengan gelengan kepala Maksum membalas pertanyaan Lek Jarwo yang bertubi-tubi.
“Cerita sama, Lek. Apa yang buat kamu nggak mau mainan lagi?”
“Aku nggak punya mobil-mobilan, Lek. Sedangkan mereka semua punya tamiya. Kemaren Nenek menyuruhku menabung, tapi baru seminggu dapat tujuh ratus rupiah diminta Nenek untuk dibelikan lombok sama tomat di warung.Kapan cukupnya tabungan, Maksum, Lek?”
Sambil geleng-geleng kepala Lek Jarwo pun mengerti. Ternyata itu  yang membuat Maksum nggak mau mainan lagi. “Gini, Maksum. Nenek beli tomat sama lombok kan buat dijadikan sambal. Sambalnya untuk makan Nenek atau untuk jualan?”
“Untuk pelengkap hidangan di masjid, Lek.”
“Nah, itu, Maksum. Maksum tahu tidak, ketika kita membelanjakan harta kita di jalan Allah, maka Allah akan melipatgandakan harta kita sepuluh kali lipat nantinya.  Dan nilai tujuh ratus itu lebih mulia dan lebih mahal di mata Allah dibading mainan teman-teman kamu itu. Hari jumat adalah hari istimewa, untuk itu perbanyaklah beribadah dan bersedekah”
“Tapi, Lek…!?”
“Maksum anak baik, Nenek pasti memberikan pelajaran ini supaya Maksum tahu belajar keiklasan. Nenek pasti mendidik Maksum bagaimana artinya berbagi. Karena sedekah ketika dalam keadaan lapang itu sudah sewajarnya, Maksum. Akan tetapi dalam keadaan sempit pun ketika kita menafkahkan harta kita di jalan Allah, maka Allah akan melipat gandakan dengan rizki yang tidak terduga-duga nantinya.”
Dengan seksama Maksum memperhatikan penjelasan Lek Jarwo. Maksum pun akhirnya mengerti makna sedekah untuk kehidupan sehari-hari.
“Makasih, Lek. Maksum pulang dulu.”
“Oya, Maksum. Kebetulan Lek barusan panen lombok. Nih,  Lek Jarwo tambahi uangmu buat beli tamiya.”
Dengan hati riang Maksum pun menerima pemberian Lek Jarwo sebesar sepuluh ribu rupiah. Lek Jarwo hanya tersenyum penuh haru melihat kepergian Maksum dengan senyum tersungging di wajahnya yang sedari tadi kusut tak karuan.
“Assalamualaikum, Nek! Maksum pulang.”
“Waalaikumsalam, Maksum. Kok tumben, Le, seneng banget. Gimana celeganmu sudah genap?”
Maksum tak lantas menjawab. Dengan hati was-was antara jujur atau tidak. Sebab nanti kalau aku jujur pasti uangku diminta nenek lagi. Huff…!
“Kok diam? Pasti kamu marah ya sama Nenek dengan uang yang Nenek pinjam tempo hari?”
“Loh, kok Nenek tahu aku masih kecewa!”  bisiknya dalam hati.
“Sini, Le! Nenek tidak bermaksud membuat Maksum kecewa. Apalagi Maksum merasa dirugikan dengan tindakan Nenek. Maafkan Nenek, ya!”
“Iya, Nek. Sekarang Maksum tahu maksud Nenek. Lek Jarwo sudah banyak memberikan nasihat sama Maksum. Maksum ikhlas kok, Nek. Alhamdulillah hari ini uang Maksum sudah terkumpul lagi lebih banyak. Tadi Lek Jarwo memberi Maksum uang sepuluh ribu.”
“Alhamdulillah, akhirnya Maksum tahu artinya berbagi. Nih, Nenek tambahi lagi uangnya tujuh ribu. Sudah lebih kan uangnya buat beli mainan?”
Dengan hati berbunga-bunga Maksum pun langsung memeluk Nenek. “Terimakasih, Nek! Maksum akan belikan mainan. Sisanya Maksum tabung.”
“Yee…,  akhirnya aku bisa beli mainan!” teriaknya girang.

***

Hari Minggu yang cerah setelah memberikan makan kambing dan ayam-ayam di kandang belakang rumah, Maksum bersemangat untuk menuju pasar Wonosari yang tak jauh dari kediaman Neneknya. Ia segera membeli mainan baru yang diidamkan selama ini.  Sebuah mobil-mobilan tamiya berwarna orange lengkap dengan baterainya.
Dengan riang gembira Maksum pun menepati undangan bermain di rumah Fathan. Ia melangkah dengan penuh percaya diri. “Terimakasih ya, Allah, atas rezeki-Mu. Tamiya yang seharusnya aku beli dengan menabung selama seratus hari, ternyata dalam waktu dua minggu aku bisa mendapatkan mainan baru dan uang lebih untuk terus ditabung.”
“Hai, Fathan ! Assalamualaikum!” sapa Maksum dari jauh dengan semangat.
“Maksum? Waalaikumsalam. Wow, keren banget mobil-mobilanmu. Baru ya, Maksum?” sambil memegang dan memandangi secara teliti.
“Iya, nih. Baru aja aku beli.”
“Mana Ikhsan sama Ali? Kok belum muncul-muncul,” tanya Maksum sambil menatap sekelilingnya.
“Haha…, Maksum…, Maksum! Lihat, sekarang jam berapa? Baru pukul delapan tiga puluh. Kita janjian kan jam sembilan. Semangat amat!” jawab Fathan menimpali.
Mereka tertawa bersama-sama dengan riangnya. Cerahnya sang mentari menyambut keceriaan Maksum dengan hati yang syukur dan bahagia.[]


Catatan:
Lek: sebutan laki-laki dewasa yang berarti paman
Le: sebutan anak laki laki
Rumah joglo: rumah jawa kuno

Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/57776575537b61330581e03f/mainan-baru

Cerpen Mia Ismed: Gerobak Cinta

Terkadang cinta hadir hanya untuk dikenang dan selamanya hanya dalam mimpi. Cinta sering tak berpihak karena manusia yang menciptakan kelas-kelas. Padahal Tuhan menciptakan perbedaan untuk saling mengenal  dan menyayangi, bukan untuk saling memisahkan diri. Biarlah nomor 212 yang selamanya tetap angka mati yang tak pernah kembali.
“Bukanlah jabatan yang membuatku jatuh cinta untuk ke sekian kali, Wir!”
Aku tahu di gerobakmu cintaku akan selalu ada buatmu. Gerobak ini adalah kejujuranmu menjawab pergulatan hidup. Meski roda-roda yang menopangnya sering bocor karena batu-batu runcing, juga paku yang disebarkan orang-orang yang serakah mengais harta. Kau tetap berjalan membawa gerobakmu. Memanjakan lidah penikmatnya di sepanjang jalan sampai ke lorong perkampungan.
Ah, tak kupedulikan semua itu. Tangan-tangan kekarmu adalah murni bukan karena kau sering berolahraga pun menjadi binaragawan. Langkah tegapmu tak ada yang mengajarimu seperti tentara-tentara militer itu. Senyum manismu senantiasa terurai kepada setiap orang yang menjumpaimu.  Aku semakin terpesona. Aku berfikir manusialah yang membuat kelas-kelas yang akhirnya kita disisihkan. Kelas-kelas di mana orang menjustifikasi pekerjaan dengan derajat dan status sosial. Semua itu pada dasarnya satu tujuan supaya dapur tetap mengepul, dan bisa bernaung dari panas dan hujan.
Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Berhak memiliki cinta dari pasangannya. Berkewajiban menunaikan segala perintah-Nya. Bukan menuruti kehendak manusia yang menciptakan kelas-kelas sosial sehingga ia terpuruk dan akhirnya pasrah meninggalkan cintanya. Entahlah, Wir! Aku semakin tak mengerti mengapa semua menganggap kita berbeda.
Saat ini aku benar-benar harus memilih bukan lantaran aku mengkerdilkan keberadaanmu, pun menampik semaian cinta yang ada. Namun waktulah yang belum tepat untuk utarakan semuanya. Malam ini aku harus pergi meninggalkan kampung ini. Entah untuk berapa tahun lamanya. Masa depan kita masih panjang dan aku harus mengubah keadaan keluargaku, Wir. Sekali lagi, maafkan aku. Aku harap suatu hari nanti kita mungkin akan dipertemukan dalam keadaan yang berbeda. Entahlah, berdoa sajalah, ketika takdir kita digariskan untuk bersama aku akan kembali hanya untukmu.
Sepanjang perjalanan ini bayangmu selalu hadir di setiap hembusan angin yang memporak-porandakan pemandangan di luar jendela. Kau tetap tersenyum dengan gerobak manis yang setegar pemiliknya. Rinduku tetap terjaga di pelupuk mata. Meski hatiku sudah tempias lantaran rindu ditelan masa. Masa yang tak pernah kembali seperti saat kita di kampong itu.
Pergulatan batinku selalu ada. Tak ada handpone pun warta berita. Aku serasa terpenjara. Orang tuaku benar-benar memisahkan kita nun jauh di pulau yang tak pernah sebelumnya kujamah. Inikah hukuman atau sebagian takdir karena cinta yang tak pernah mendapatkan wibawa. Ah, sudahlah! Biarlah kisah kita terjalin lewat doa.
Kampus biru ini adalah kekasihku yang kedua. Aku akan belajar mengenalnya, menikung sejenak dari pergulatanmu. Setahun, dua tahun lamanya, kabarmu kian kabur. Kudengar di seberang sana kau sudah mulai belajar melupakanku. Entah itu dari hatimu atau memang kau sengaja mencurangi hatimu. Seperti janjimu dulu, kau akan pergi menjauh dari aku untuk selamanya ketika aku bukanlah jodohmu. Apakah ini janjimu, Wir! ketika kau putus asa dan menjauh sejauh-jauhnya dari aku? Lima tahun bukanlah waktu yang pendek ku jaga tali kasih yang entah dibilang buta atau pura-pura tak tahu akan keadaanmu. Aku tetap menjaga sedekat air dan matamu yang tak pernah berucap meski hati terus menyimpan lara. Mataku ini juga takan pernah percaya kalau kau akan mendua sampai melihatmu benar-benar sudah bahagia.

***

Pakaian kebesaran yang kukenakan ini kupersembahkan untuk keluargaku. Yah, ini mungkin yang menjadi kebanggaan mereka. Memiliki seorang anak yang berpendidikan tinggi, yang meneror nurani manusia memiliki martabat lebih tinggi. Sudahlah, aku tak pedulikan semua itu. Yang jelas hatiku benar-benar sunyi. Seharusnya kau ada di sini menemani aku di tengah-tengah keluargaku. Terdengar gelak tawa rekan-rekanku bersama kekasih dan keluarganya sungguh pemandangan yang menyakitkan. Yah, mungkin kasta mereka sama sehingga diterima di tengah-tengah kebahagiaan anaknya. Sedangkan aku, kamu tak pernah mendapatkan posisi itu, Wir.
Terdengar kabar yang menyakitkan tatkala kupulang ke kampung halaman itu. Kau benar-benar sudah melepaskan janjimu itu, Wir! Tak ada yang dapat kutemuai karena kau sudah jauh pergi meninggalkan kampung ini. Kini kau sudah bahagia dengan kekasih pilihanmu, Wir?. Kupandangi foto pengantin yang bergantung pilu di dinding rumahmu. Tak banyak yang dapat diceritakan ibumu. Hanya guratan-guratan sedu mata beradu.
Saat ini benar-benar kupendam rasa yang mereka sebut cinta. Barang kali hati ini telah mati dan aku akan mengubur semua rasa yang hadir bersamamu.
Terimakasih, Wir, telah memberikan rasa sakit, karena sakit itulah aku bisa merasakan arti sebuah pengabdian. Pengabdian sepenuhnya untuk Tuhan Yang Maha memiliki kehidupan bukan mengabdi cinta semu kepada makhluk yang sering berhianat. Entah apakah kata hianat juga pantas untuk kusematkan padamu. Atau barangkali akulah yang sebenarnya penghianat itu. Lebih memilih keluargaku daripada cinta kita. Mungkin aku harus menutup jauh-jauh dengan makhluk yang bernama cinta bernafas rindu. Cinta yang mereka sanjungkan di atas segala-galanya. Juga cinta yang berdalih rupiah. Barang kali sahabat terbaikku adalah sepi meski mereka katakan itu uang. Uang bagiku selingan yang tak harus ada.
Senja di batas kota inilah kuhabiskan waktuku memeluk rindu sebesar gunung uhud. Rindu yang berkepanjangan dengan ruh kesunyian. Kucoba memeluk waktu dengan aktivitasku sebagai karyawan swasta di perusahaan ternama di bumi ruwai jurai. Bergulat dengan kertas dan kebisingan-kebisingan rupiah yang bergolak seperti hati manusia yang tak pernah puas.

***

Jangan kalian tanyakan lagi aku harus mengakhiri masa lajangku ini sampai kapan. Karena barangkali jodohku adalah kematian. Yah, gadis mana sih yang tak ingin segera menikah, merasakan anugerah cinta yang mereka gadang-gadang sampai akhir hayat. Apalagi aku sudah punya segalanya, pekerjaan, rumah, tabungan, pendidikan tinggi semua sudah kudapatkan. Apa karena alasan itu aku juga harus punya cinta yang mereka anggap kebahagiaanku belum sempurna. Bukankah kebahagiaan itu sudah mereka rampas dan hakimi sejak dulu?   Entahlah, jika kebahagian kita juga mereka yang turut campur menakarnya. Begitu egoisnya manusia.
Di sudut hatiku yang paling dalam sering kudapati kelucuan-kelucun air mata yang terus mengalir. Lagi-lagi semua orang mempersoalkan akan kesendirianku. Terlebih ibuku. Barangkali memiliki anak gadis yang lambat menikah itu sebuah aib yang memalukan sehingga aku selalu disudutkan.
Lagi-lagi hari ini aku dipertemukan dengan waktu yang terus menerorku. Seorang pemuda kota yang mereka anggap mapan karena takaran harta, terus membujuk ibuku. Dengan modal kaya lantas dia mengikrarkan dirinya mapan?  Rupanya nilai kemapanan takaran manusia adalah kepemilikan jabatan atau harta kekayaan. Bukan kedewasaan mengenal diri. Sehingga dengan bangga ketika ia bertandang ke rumah gadis yang mereka juga anggap mapan pasti diterima atau paling tidak mendapat simpati. Luar biasa hebatnya!.
Lima belas tahun lamanya kukubur rasa itu. Meski kabar yang kudengar di seberang sana kau cukup menderita, Wir! Belasan tahun tak jua kau dapatkan. Kau merindukan buah cinta. Barangkali buah cintamu masih bersemayam dalam pelukan bidadari-bidadari di surga seperti kesucian cinta kita yang tetap terjaga di alam nirwana.
Di rumahNya inilah kudapatkan kebahagiaan yang sempurna. Memeluknya erat dengan lantunan ayat-ayat suci. Aku yakin tiada tempat yang indah bergantung yang dapat dipercaya menumpahkan segala kesunyian jiwa. Hanya Sang pemilik bahagialah kuserahkan segala duka ini. Bukan menyalahkan takdir pun kenangan itu. Biarkan kasih  sayang Allah sebagai penawar dan penghapus luka. Karena kasih manusia sering bermusim dan tak pernah abadi.
Ayah, ibu, maafkan anakmu. Jangan kawatirkan kebahagiaanku. Karena aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku saat ini. Jangan jadikan kesendirianku sebuah aib yang terus menerormu setiap waktu. Juga jangan kau dengarkan teror mulut-mulut manusia yang bermuka kecut dengan serangan kata-kata yang buatmu semakin terluka. Aku sudah cukup bahagia dipelukanmu. gerobak cintaku akan kukubur habis sebagai kenangan manis. semanis bidadari yang bersemayam dalam hatiku.[]


Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/57765b8562afbdda2c8d79bf/gerobak-cinta

Cerpen Mia Ismed: Surga itu Dekat

“Hei anak pemulung, jangan dekat-dekat bau tau haha, coba lihat sepatunya bekas dimakan ulat berlubang-lubang “ ledek segerombolan teman-temanku saat aku melintasi mereka yang sedang duduk di bawah pohon perdu ketika istirahat.
Ingin rasanya aku lari dan marah dengan Ibuku. Aku sangat malu lahir dari seorang anak pemulung yang miskin dan kumuh. Seragam putih merahku pun tak secemerlang anak-anak yang lain. Sudah dua tahun sejak kelas tiga baju dan celanaku belum berganti. Apalagi sepatuku tampak lubang kesana-sini. Sering Ibuku mendapatkan hasil memulung sepatu bekas yang sudah dibuang pemiliknyadi tong sampah. Juga tas bergambar kartun yang sudah mulai kabur warnanya dipungutnya sisa-sisa sampah orang kompleks.
Hidup di ibu kota ini sangat keras. Mencari makan sesuap nasipun Ibuku harus mengais rejeki di tempat-tempat yang bagi orang-orang pada umumnya menjijikan. Dipungutnya sampah-sampah plastik bekas minuman anak-anak sekolah. Juga botol-botol bekas sampah rumah tangga yang ada di kompleks perumahan yang tak jauh dari tempat tinggalku. Saat ini aku sudah kelas empat SD Sari Mulia. Meski aku anak pemulung tapi Ibu tetap ingin aku sekolah. Bapakku sakit-sakitan. Bapak hanya mampu memulung sesekali saja. Asmanya selalu kambuh, itu sebabnya Ibu tak mengijinkan Bapakku bekerja terlalu capek. Ibuku tak pernah meninggalkan solat lima waktu. Setiap Ibu keliling mencari plastik bekas minuman dengan membawa gerobak dorong. Tak pernah tertinggal bungkusan plastik hitam berisi mukena.
Entah mengapa semakin hari teman-temanku semakin berani mencaciku. Bahkan mereka tak segan melempariku dengan bekas makanan di kantin. Aku hanya diam dan berlalu. Tak ada yang mau berteman denganku. Semua tampak jijik dan malu mempunyai teman seperti aku. Hingga suatu hari Ibuku melewati sekolahku dengan gerobak dorongnya waktu istirahat ke dua. Ibu melihatku dari kejauhan. Hari itu aku harus menebus seragam olahraga. Ibu berjanji hari ini akan memberiku uang. Karena tadi pagi Ibu belum menjual plastik-plastik itu ditempat juragan plastik. Terpaksa Ibu harus menunggu juragan datang. Ibu pun menghampiriku dengan wajah penuh peluh. Ia seka dengan jilbab kaus yang sudah kelihatan lecek karena usang. Beberapa lembaran uang ribuan tergulung karet gelang, Ibu menyodorkan uang itu.
“Ini Nak uangnya, cepat kamu bayarkan untuk membeli kaus seragam sekolahmu”. “Jangan lupa jika ada sisa uangnya ditabung ya” suaranya lembut dengan tatapan sayang.
Ntah kenapa aku tak ingin Ibuku berlama-lama berada disini. Aku takut teman-temanku melihatnya. Belum selesai kuberkecamuk dalam pikiran antara was-was takut ketahuan. Suara teman-temanku sudah menghardikku dari kejauhan.
“Oii lihat pemulung itu mau masuk ke sekolah kita hahah”.”Ih pasti uangnya itu sangat kotor” suara itu semakin menghujam keras hati dan pikiranku.
“Cepat pergi Bu, aku gak mau melihat Ibu disini. Aku malu Bu!” seketika kubentak Ibuku dengan suara keras-keras.
Ibu pun melangkah pergi. Tampak diraut mukanya rasa kecewa dan sedih. Tapi tak kuhiraukan. Aku lebih sedih setiap saat dihina teman-temanku.

***

Malam itu sangat gelap, kulihat dikejauhan sana bintang-bintang kecil berkerlip menghiasi langit di atas atap seng tua yang berdindingkan kardus dan spanduk bekas. Di bawah lampu minyak Ibu senantisa melantunkan suara merdu alquran dengan mushaf yang sudah kuning tak bersampul. Bapak terbaring disebelahnya. Sedangkan aku duduk membaca buku-buku sekolah sesekali memandang bintang-bintang itu.
“Rizky kamu malu punya Ibu pemulung Nak” Tanya Ibuku seusai menyelesaikan bacaannya yang terakhir. Kulihat sekilas Ibu duduk disampingku masih mengenakan mukena yang sudah agak kuning melekat diwajahnya.
Aku hanya diam, sebagai tanda protes dilahirkan dari keluarga miskin.
“Anakku, apakah kamu tahu dari tumpukan sampah-sampah itu Ibu dan bapakmu membesarkanmu Nak”. “ dari sampah-sampah itulah Ibu merajut mimpi-mimpimu agar tetap hidup dan kamu menjadi anak yang berguna”
“Tapi Bu aku malu dihina teman-teman terus”
“Jangan pernah kau hinakan sampah-sampah itu Nak, kelak dari sanalah kau akan bermartabat”
Kata-kata Ibu tak bisa menghilangkan rasa maluku di sekolah. Kadang aku berpikir lari dari rumah dan mencari orang tua asuh. Pernah suatu hari kulihat teman-temanku melewati perkampungan kumuh tempat tinggalku. Mereka sangat mengenali gerobak Ibuku. Mereka tak segan-segan menendang gerobak itu hingga terjungkal. Saat itu Ibuku sedang ke puskesmas membawa Bapak berobat. Aku hanya membisu menyaksikan ejekan-ejekan itu.
Hari ini aku akan pergi. Aku akan berhenti sekolah. Aku akan ke stasiun pasar senen. Aku akan mengamen di atas kereta. Aku ingin hidup bebas dari ejekan dan cacian teman-teman. Kulangkahkan kakiku dengan cepat membawa dua lembar pakaian kutenteng diplastik hitam. 
Sepanjang jalan tak banyak yang kupikirkan. Waktu itu bapak sedang tidak enak badan Ibu pun bergegas membawanya ke puskesmas. Aku tak menghiraukan semunya. Aku hanya ingin lari dan pergi menjauh dari mereka. Ntah mengapa tiba-tiba langkahku terhenti. Ada seseorang menepuk pundakku. Seorang pemuda yang tidak pernah kukenal sebelumnya.
“Maaf kalo boleh tau musola di daerah sini dimana ya Dek?”
“Tidak jauh dari sini Bang, ayo saya antar”  jawabku kemudian.
Laki-laki itu mengikutiku dengan berjalan kaki.
“Oya kamu mau kemana, siang-siang begini?”
“Aku mau ke stasiun Bang”
“Stasiun? Mau pergi kemana?
“Mau cari uang Bang, Aku bosan diejek teman-teman terus”
Dengan tersenyum pemuda itu mengajakku duduk di teras musola itu.
“Kamu mau cari uang betul? Apa yang kamu bisa?”tanyanya penuh selidik.
“Dimana orang tuamu Dek?”
“Orang tuaku miskin, Ibu pemulung. Bapakku sakit-sakitan. Aku selalu diejek teman-teman sekolahku. Mereka tak ada yang mau berteman denganku Bang” aku malu. Makanya aku ingin pergi saja”
“Oya siapa namamu? Perkenalkan nama Abang Jaya. Abang tinggal di daerah blok M. kebetulan Abang bekerja di Yayasan Darul Mutaqin. Kamu mau gak ikut Om?
“Namaku Risky. maksudnya bekerja di tempat Om?
“Tidak Risky. Kamu tidak bekerja tapi sekolah. Om akan menjadi orang tua angkatmu”
“Tapi..Bang?
“Iya.. tapi kamu harus pulang menemui bapak dan Ibumu. Kita berpamitan meminta do’a restunya gimana?
“Ok” aku pun menganggukan kepala meski di pikiranku masih ragu dengan jawabanku mengiyakan ajakan Bang Jaya.
Seusai sholat zuhur Bang Jaya mengajaku kembali ke rumahku. Saat itu perasaan ini berkecamuk pulang atau pergi saja tanpa memberitahu orang tuaku. Seratus meter lagi kakiku samapai di gubuk mungil itu. Dari kejauhan sesekali kulihat penghuni permukiman kumuh itu datang menuju gubukku. Ntah apa yang mereka lakukan dirumahku. Langkahku kian dekat kulihat peti keranda terlihat tak jauh dari rumahku. Siapa gerangan yang meninggal. Rasanya beberapa jam yang lalu tempat ini sunyi sepi tak ada peristiwa apapun.
Perlahan kudekati rumahku, Ibu kulihat Ibuku mengaji di depan manusia yang terlentang terbungkus kain tapih. Bapak ternyata tubuh yang terbalut kain itu adalah bapakku. Yang tadi ke puskesmas dibawa Ibu berobat ternyata menghembuskan nafasnya yang terakhir.

***

Sepeninggalan bapakku, aku hanya tinggal bersama Ibuku. Keinginan ikut dengan Bang Jaya kuurungkan beberapa hari. Aku tak tega meninggalkan Ibuku seorang diri. Pagi itu Bang Jaya singgah ke rumahku. Sejak kepergianku dihari Bapakku meninggal. Kuputuskan untuk tidak masuk sekolah lagi.
“Assalamu alaikum Risky”
“Waalaikum salam Bang Jaya”
“Sendirian ya, Ibu dimana?
“Ibu pergi memulung Bang”
“Bagaimana Risky kamu masih marah dengan Ibumu? Kamu masih ingin meninggalkan orang yang bekerja tak pernah lelah untuk hidupmu?”
“Surga itu sangat dekat Risky. Dekat sekali sedekat darah yang mengalir di bawah kulitmu. Dipompa jantung dan menggerakkan urat nadimu. Nafasnya sangat dekat. Yang terhirup hidung kemudian menuju paru-paru. Kamu tahu itu siapa. Surga itu di bawah telapak kaki Ibumu. Pengorbanan Ibumu sangat nyata. Matanya senantiasa terjaga dimalam-malam sepi. Senyunya terurai meski kau sering menyakitinya. Do’anya tulus tak pernah mengiba apa yang dia terima.
Aku hanya terdiam. Bang Jaya terus menasehatiku. Dalam hatiku yang sangat dalam. Aku takpernah menampik. Aku sangat sayang Ibuku. Keegoisankulah yang menguburkan rasa cintaku yang dalam itu. Hatiku teracuni ocehan teman-teman yang mengkerdilkan orang tuaku. Kini aku kehilangan bapak. Dan aku tak ingin kehilangan Ibu lagi.
“Risky saat Ibumu pulang nanti, kita akan pergi bersama-sama ikut Abang. Kamu sekolah dan Ibu tetap bekerja bukan menjadi pemulung, tapi membantu Abang kerja di rumah. Memasak dan merawat kamu. Orang tua Abang sudah lama meninggal. Abang berharap Ibumu dan kamu menjadi bagian dari keluarga Abang.
Siang itu serasa sebuah keajaiban mengubah semua jalan hidupku. Ibu dengan senang hati menerima ajakan Bang Jaya. Kita pergi menuju rumah Bang Jaya di blok M. ini adalah jawaban doa-doa Ibuku atas kerja keras dan kesabarannya. Maafkan aku Ibu. Siapapun dirimu dan apapun keadaanmu aku tak akan meninggalkanmu untuk kedua kalinya. Karena di kakimulah surgaku berada dan ditelapak tanganmu namaku senantiasa kau sebut dalam setiap harapan doa-doamu.[]


Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/57767a48e122bdf3174f1c79/surga-itu-dekat

Cerpen Mia Ismed: Pesantren Tahfidz Impian

Semilirnya pepohonan karet mengibaskan dedaunan kering membelai sela-sela rambutku. Hari ini aku sudah seminggu bekerja di kebun ini. Capek, berat, jauh dari keramaian. Tak lagi ada senda gurau teman, tak ada lagi tegur sapa guru-guru.  Seragam putih biru yang bisanya melekat di  tubuh ini. Kini tergantikan baju kebun yang lusuh penuh getah dan sedikit apek. Sepatu hitam yang dulu senantiasa disemir berganti sandal jepit lusuh tak berupa. Dengan penutup kepala kaus bekas yang terikat erat di belakang kepalaku ini mungkin tak seorang pun mengenaliku. Karena yang terlihat hanya mata. Tangan pun terbungkus kaus tangan  usang milik Ayah.
Semenjak peristiwa naas menimpa Ayahku, kuabdikan jiwa ragaku menggantikan posisi Ayah di perusahaan perkebunan karet ini. Tak banyak harapan. Aku hanya ingin Ayahku istirahat, dan dapur tetap mengepul. Kakakku tetap sekolah. Meski harapanku meneruskan sekolah ke pesantren tahfidz sementara kukubur dalam-dalam. Entah sampai kapan aku harus menjalani profesi ini. Tapi tak apa, aku ikhlas selagi keluarga tetap tersenyum. Gaji Ayah tetap mengalir untuk membeli beras dan kebutuhan sehari-hari.
Liburku hari Jumat dan Minggu. Hari Minggu yang seharusnya liburan anak-anak seusiaku, kuhabiskan  untuk bekerja di kolam pemancingan chek dam yang ada di daerahku. Aku menjadi buruh cuci piring dan bersih-bersih. Tenagaku sehari dihargai sebesar lima puluh ribu rupiah. Lumayan buat uang saku, karena uang gaji menorah karet semua kuserahkan sepenuhnya untuk keluargaku.

***

Hari minggu senang sekali rasanya, menghirup udara segar, melihat kolam-kolam yang penuh ikan beraneka macam. Tak  hanya  itu  aku pun  bisa melihat riangnya pengunjung lesehan itu. Beraneka jenis mobil dan kalangan datang ke sini. Mereka bersukaria, bercengkrama dengan keluarganya menikmati hidangan istimewa di atas meja.  Sambil menunggu menu yang mereka pesan, mereka bisa  memancing ikan yang ada di bawahnya. Betapa menyenangkan tempat ini bagi mereka. Melepas kepenatan  pekerjaan, rekreasi di tengah kolam yang dikelilingi pepohonan yang lebat.
Terselip rasa iri melihatnya tapi ya sudahlah. Aku yakin semua pasti akan berlalu. Aku harus kuat.  Kudatangi salah satu meja pengunjung yang sedari tadi menunggu giliran untuk memesan menu lesehan ini. Tanpa kusadari ternyata itu adalah rombongan keluarga salah satu guru SMPku dulu. Ibu Risna namanya. Dia adalah salah satu guru kesayangannku. Orangnya sederhana dan penuh simpati. Aku sering bermalam di rumah beliau. Aku sangat senang dengan segala nasihat dan figure beliau.
Dia tak pernah lelah mengasah bakatku. Kebetulan aku adalah siswa berbakat dibidang seni. Sederet seni kuikuti mulai dari rebana, teater sampai kesenian daerah. Tanpa henti aku belajar dari Bu Risna. Hingga mengikuti beberapa festival seni tingkat sekolah maupun kabupaten. Dengan kegigihanku Bu Risna menunjukku sebagai ketua sanggar seni di sekolahku. Alhamdulillah aku berhasil menyabet beberapa tropi di berbagai event. Bu Risna tak pernah mengenal lelah. Beliau tak pernah tanggung-tanggung membagikan ilmunya dengan mengundangku dan beberapa teman berlatih di rumahnya. Tak jarang kami bermalam beberapa hari sebelum hari ‘H’ kompetesi dimulai.

***

Bangunan sekolah beratap biru itu seakan bercerita. Banyak sekali di bawah atap itu kisah yang mungkin tak selesai diceritakan dalam sehari. Bayangan teman-teman seangkatan selalu menggariskan berjuta kisah. Mungkin saat ini mereka sudah menemukan sekolah favorit yang mereka idam-idamkan. Sedangkan aku bertamu ke sekolah ini sebagai apa?. Meski ragu antara malu dan tak mau dicibir dinding-dinding putih itu. Langkahku terus melaju. Kutatap sekelililngku tampak banyak perubahan. Mushola yang dulu menjadi rumahku di kala istirahat untuk bermanja dengan Sang Khalik menumpahkan rasa lelah dengan menunaikan sholat dhuha. Kini bangunan itu makin cantik saja. Halamannya diplester sangat luas. Sekelilingnya ditanami pohon ketapang yang membuat halaman itu kian rindang dan sejuk. Di sisi kiri bangunan terdapat lajuran tempat berwudhu yang dilengkapi tong air. Hmm, betapa rindu tempat itu. Di halaman mushola pula biasanya aku dan teman-teman ekstrakurikuler rebana senantiasa menabuhkan bunyinya dengan lantunan solawat nabi.
Sambil menunggu waktu istirahat tiba, kutunggu Bu Risna keluar dari ruang kelas. Aku duduk di bawah pohon ketapang di sebelah parkiran sekolah. Kupandangi sepeda berjajar rapi milik siswa SMP ini. Juga di sebelahnya terlihat deretan motor, dan mobil dewan guru. Banyak sekali perubahan sekolah ini. Semua tertata rapi. Di sudut sekolah tampak bangunan baru yang ketika itu belum ada. Terlihat  pula laboratorium bahasa. Waw, keren sekali sekolahku kini. Seandainya dulu aku bisa menikmati semua fasilitas ini mungkin tidak terlalu kuper sekali.
“Teng…,teng...,teng…! suara bel istirahat berbunyi, mengusik perdebatan pikiranku. Kulihat jam tangan yang sudah sedikit buram menunjukan jam sepuluh. Meski sudah buruk jam ini kudapatkan dari hasil susah payahku. Ketika itu aku mengikuti lomba monolog yang diadakan badan kearsipan daerah. Alhamdulilah aku mendapatkan juara kedua, selain tropi uang pembinaan pun kuperoleh sebesar satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Jam inilah sebagai kenangan sisa beli kambing yang kurawat sampai sekarang.
Kulihat anak-anak sudah berhamburan keluar kelas. Bergegas kutemui Ibu Risna di kantornya. “Permisi Bu mau bertemu dengan Ibu Risna” sapaku pada salah satu guru yang ada di kantor itu.
“O iya tunggu ajak Nak, ini si Said kan? Sekolah dimana sekarang? Tanya guru yang lain saling bersahutan. Kutemui mereka satu persatu dengan mengulurkan tangan tanda baktiku. Mereka menatapku dengan penuh selidik. Melihat pakainku tanpa seragam. Aku hanya mengenakan kaus ekstrakurikuler drama dan memakai sandal jepit. Malu sebenarnya menghadapi mereka semua. Kini aku bukanlah siapa-siapa. Tak ada yang bisa dibanggakan. Tanpa seragam sekolah pun status soasial.
Kududuk tepat di depan meja Bu Risna, kupandangi seisi ruangan kantor itu. Awalnya aku kaget karna kantor yang semula bercat putih kini dinding itu hampir tak terlihat. Penataan ruangan serta fasilitas kantor semakin lengkap. Terlihat loker guru dan multi media terpampang di dinding kantor. Tak tertinggal pula sederetan tulisan motivasi dan lemari piala tersusun rapi. Deretan poto kepala sekolah dari awal berdirinya sampai sekarang tersusun. Tampaknya ada poto baru yang belum kukenal sebelumnya. Ya kepala sekolah yang dulu semasa aku sekolah seorang laki-laki tergantikan Ibu yang menjadi nomor satu di sekolah ini sekarang.
Tak lama kemudian muncul Ibu Risna membawa setumpuk buku tugas para siswa. Beliau kelihatan kepayahan. Kusambut buku-buku itu yang kemudian kususun di atas mejanya. 
“Sudah lama Nak? Sapanya dengan seksama memandang ke arahku.
“Lumayan Bu” Kubungkukan tubuhku di hadapan meja Bu Risna.
“Ayo kita ngobrol dimana enaknya. Di kantin apa ke mushola” Ajak Bu Risna sambil membawa bungkusan plastic kresek hitam.
Dengan hati senang kuikuti langkah guruku itu. Tak ada yang berubah dari penampilan maupun perhatiannya. Rupanya langkah Ibu Risna menuju ke mushola. Itu yang membuat hatiku tenang. Sebab di kantin tidaklah nyaman untuk membicarakan masalahku ini, takut terdengar siswa lain  angkatan dibawahku tentu masih mengenaliku.
Di emperan mushola yang bisaanya diguNakan anak-anak untuk berlatih rebana ini akhirnya aku bisa mencurahkan keluh kesahku selama ini.
“Ayo Nak dimakan snack dan minumannya Ibu sudah siapkan buat kamu. Gimana kabarnya Nak” Bu Risna membuka pembicaraan dengan duduk bersimpuh sambil membenahi jilbab yang senantiasa berkibar di kepala sampai dadanya. Anggun sekali.
“Alhamdulilah baik Bu, cuman saya belum bisa menunaikan keinginan saya untuk menuntut ilmu di pesantren yang pernah saya cita-citakan dulu” Dengan sedikit lesu kujawab pertanyaan Bu Risna.
“Apa masalahnya Nak, coba kamu cerita sama Ibu”
“Kejadiannya ketika saya ujian nasional hari kedua Bu. Sewaktu saya pulang ke rumah. Ibu saya kala itu menangis sambil memeluk saya. Dengan hati bingung kutanyakan perihal dia menangis. Ibu menceritakan kalau Ayah kecelakaan. Beliau jatuh dari pohon karet, kaki Ayah patah. Dan saat itu oleh salah seorang teman kerjanya di bawanya ke tukang urut untuk disangkar putung (atau sambung tulang) tanpa dokter. Seketika itulah hati ini menangis. Sejak itu Bu saya putuskan untuk menggantikan posisi Ayahku sebagai buruh menorah karet tempat Ayah bekerja selama ini dan mengubur dalam cita-citaku. Sepulang sekolah aku selalu mengerjakan pekerjaan ayah di kebun”.
“Terus kakak kamu gimana Nak, masih tetap sekolah?”
“Iya kakak harus tetap sekolah. Saat ini kakak perempuan saya sudah kelas tiga SMK. Saya tak ingin harapan kakakku kelak menamatkan pendidikannya terganggu Bu. Biarkan saja saya bekerja untuk keluarga”.
Dengan menarik nafas panjang, kulihat butiran-butiran hangat menetes di pipinya yang licin dan bercahaya karena air wudhu yang membekas. Tak banyak yang dikatakan selain belaian lembut ditanganku.
“Said kamu anak baik, kalo boleh Ibu minta. Mau nggak kamu tinggal sama Ibu. Ibu akan sekolahkan kamu Nak” Pintanya penuh harap.
“Tidak Bu, saya tidak mungkin meninggalkan Ayah, Ibu dan kakakku. Mereka butuh saya. Kalau saya tidak bekerja mereka tidak bisa beli beras dan kakak pasti akan putus sekolah”.
“Sekarang gimana kondisi Ayahmu Nak?”
“Ayah sudah lumayan sehat akan tetapi berjalan harus ditopang dengan menggunakan tongkat di kedua lengannya”.
Dengan menarik nafas panjang bu Risna mengeluarkan sebuah bungkusan di tas plastik yang sedari tadi aku tak tahu isinya.
“Ini Nak Ibu berharap kamu baca setiap saat. Alquran inilah sebagai penerang hatimu yang sedang diuji. Tidak ada satupun kebaikan di dunia ini terlepas dari balasan Allah Nak. Ibu yakin Allah mempersiapkan masa depanmu lebih baik. Rencananya sangat indah. Allah maha kaya, Maha baik.  Kasih sayangnya maha luas, jangankan bumi dan langit beserta isinya. Syurga pun Allah kasih bagi hambanya yang dikehendaki”. Allah berfirman dalam surah Al-Insyirah ayat enam dan delapan bahwa  sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, dan hanya kepada tuhanmulah engkau berharap”  Bu Risna meyakinkan aku akan janji Allah itu pasti.
“Ibu bangga Nak, kamu selain pintar juga sholih. Betapa beruntungnya orang tuamu Nak. Risky manusia tidak hanya dapat diukur dari banyaknya harta kekayaan. Akan tetapi kesehatan, kebahagian keluarga, teman dan lingkungan yang baik serta anak solih seperti kamu adalah risky yang tak terhingga nilainya”.
Aku hanya menunduk, dengan penuh syukur. Bu Risna tidak pernah berubah. Seandainya kondisi Ayahku tidak seperti ini. Dengan senang hati kuterima ajakan Bu Risna mengangkatku sebagai anaknya.
“Terimakasih Bu atas motivasinya, suatu hari nanti ketika Allah menghendaki memberiku kesempatan untuk menuntut ilmu di pesantren. Ibu adalah orang pertama yang akan saya beri kabar”.
“Oya Nak, jangan lupa kalo kamu ada kesulitan jangan segan-segan menghubungi Ibu. Sering-seringlah ke rumah atau ke sekolah kalo kamu ada waktu. Ibu akan selalu ada buat kamu”.

***

Sore itu selepas seharian bekerja di kebun, bisanya aku bercengkrama dengan anak-anak kebun di mushola yang tak jauh dari rumahku. Wak Basuni adalah ustadz mengaji di mushola itu. Setiap harinya Wak Basuni mengajari anak-anak kebun mengaji. Aku pun tak pernah absen dari tempat itu sebagai muazin. Di sinilah aku banyak belajar dari Wak Basuni dan Haji Dahlan sebagai imam mushola Nurul Yakin.
Di tempat inilah kudengar cerita teman-teman seangkatanku bersekolah dengan segala kegiatannya yang baru. Tak ada rasa iri maupun kecewa. Hati ini turut senang. Suatu hari nanti aku pasti bisa masuk pesantren tahfidz.. Saat ini keluargaku lebih penting. Ya Allah, limpahkanlah kesehatan untuk Ayah dan Ibuku. Luaskanlah rizkiku. Lapangkanlah hidupku. Amin! Doaku senantiasa kupanjatkan setelah menunaikan sholat lima waktu.
Pepohonan karet ini sekarang bukanlah tempat asing lagi bagiku. Aku akan tetap di sini untuk sementara waktu. Menjadi anak-anak kebun yang tidak serakah dengan sesuatu yang mungkin belum pantas Allah karuniakan untukku. Di sinilah pesantren kehidupan yang senantiasa mengajariku arti bersabar, berbagi, dan melawan keegoisan diri.

***

Setahun berlalu kelulusan kakak mengibarkan semangatku. Dia  masuk tiga besar lulusan terbaik. SMK Budi Luhur bekerja sama dengan beberapa kantor swasta memfasilitasi siswa berprestasi direkomendasikan bekerja ke kantor-kantor mereka.
Saat ini kakak bekerja dishow room kendaraan buatan china. Keadaan ini membuat orang tuaku menjadi lega. Ayah pun berangsur sembuh seperti sedia kala.
Pagi itu minggu terakhir dibulan Juni. Mentari memancarkan wajahnya indah sekali. Aku  bergegas menuju tambak ikan pemancingan menunaikan pekerjaan selingan. Baru setapak kulangkahkan kaki ini kearah pintu, dari kejauhan terlihat sebuah sedan silver menembus kebun menuju ke gubukku. Dengan penasaran kuamati dengan seksama.
Tampak senyuman tersungging yang tak pernah kulupakan itu. Ibu Risna beserta suami datang menjengukku. Ntah mimpi apa aku semalam, sampai angin segar mengantarkan guruku bertandang kerumah ini.
Kusambut kedatangannya dengan suka cita. Ayah dan ibuku merasa terhotmat dengan kedatangan beliau. Beliau memberiku sebuah amplop berkop warna hijau.
“Bukalah, Nak! Itu tiket dari Allah yang di kirimkan-Nya lewat Ibu.” Ibu Risna menyodorkannya ke arahku.
Kubuka perlahan amplop itu. Kubaca penuh teliti. Sebuah formulir pesantren favorit di negeri ini. Darul Qur’an milik Ustadz Yusuf Mansur yang berada di Bogor. Benar-benar mengagumkan aku hari ini bisa memegang formulir pendaftaran pesantren tahfidz impian.
“Ibu berharap kamu terima tawaran Ibu untuk melanjutkan ke pesantren impianmu, Nak!”. Suaranya menjawab teka-teki di balik selebaran itu.
Dengan penuh syukur berlinang air mata ini, menumpahkah rasa ketidak percayaan ini. Terimakasih ya, Allah. Kau dengar dan kabulkan doa-doaku melebihi yang aku minta.
Kudatangi kedua orang tuaku, dan dengan erat kupeluk mereka. Memohon restu ayah dan ibuku. Kuikuti Ibu Risna pergi ke pesantren impianku hari itu juga menuju ke Bogor.

***

Lima tahun lamanya aku menimba ilmu di pesantren tercinta ini. Banyak hal yang dapat kupelajari di tempat ini. Tak hanya ilmu agama berbagai keterampilan pun diajarkan di sini. Dari wirausaha sampai menejemen. Hari ini adalah penyematan almamaterku di pesantren ini. Aku diwisuda. Ayah ibuku datang beserta Ibu Risna. Aku akan pulang membawa mimpi-mimpiku, mengajarkan anak-anak kebun belajar menegakkan Al Quran. Mengumandangkan ayat-ayat Allah dan mengamalkannya. Mendirikan rumah tahfizd di komplek perkebunanku.
Ayahku kini pensiun dari pekerjaannya. Alhamdulilah rumah tahfiz yang kudirikan di atas tanah milik ayah kini sudah dipenuhi anak-anak. Kusemai bibit-bibit baru tahfiz-tahfiz Al Quran muda kebun ini. Usahaku mendapatkan respon baik dari pihak perusahaan. Perusahaan menawarkan sebuah proyek mendirikan yayasan pendidikan Islam berbasis Al Quran. Dengan senang hati kuterima tawaran itu. Mulai saat itu kuabdikan hidupku sebagai pengajar di yayasan Islam perusahaan karet, bukan sebagai buruh toreh tetapi sebagai penyemai generasi robbani. Barakallahu Robbi![]

Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/5776d5311593733d0dd6f608/pesantren-tahfidz-impian

Cerpen Mia Ismed: Pelukis Senja

Bagaimana caranya aku harus melukis dirimu. Sedangkan takdir sudah terukir jauh sebelum kau terlahir. Lihatlah guratan-guratan itu. Tergambar manis di jari-jari tanganmu. Meski seribu pisau melukainya. Takdir itu takan pernah merubahnya. Maya sayang, aku hanya seorang pelukis murahan. Mana mungkin aku dapat menggambar hatimu yang terlampau menjulang. Lihatlah tanah itu. Meski para ilmuan berpendapat bumi itu bulat tapi yang kita lihat datar adanya. Kedataran tanah itu dihiasi gunung, lembah juga lautan. Sesuatu yang di atasnya hanya fatamorgana manusia. Tak perlu kau ubah, tak perlu kau palsukan. Karena kepalsuan itu akan mencabik hatimu perlahan.
Untuk menjadi cantik itu keniscayaan. Tak ada yang perlu kau ubah demi sebuah pencitraan. Hidungmu terlalu manis untuk kau gadaikan dengan barang plastik murahan seperti ember-ember yang dijual keliling para asongan. Berjalanlah tegak menyusuri kakimu meski tak terlihat gemulai sekalipun. Karena  gemulai itu sebuah alibi untuk menyembunyikan ketidak percayaan.
Kanvas ini hanya sebuah perantara melukiskan rasa yang diutus kuas majikannya. Karena jauh di atas semuanya sudah tergambar di antara langit ke tujuh. Mentari mengisi kekosongan yang terus berputar dan akhirnya senjalah yang akan menentukan pergantian di malam-malam gelap. Bulan juga terus menanti kapan gilirannya harus berunjuk gigi. Gemintang terus berselancar tak pernah henti. Meski kadang gulungan awan hitam memaksanya untuk sembunyi. Karena manusia terlampau hianat menekuni keindahan bintang dan mengeluarkan segala alibi. Bertindak layaknya Tuhan yang tahu segala hal memprediksi nasib seseorang. Itulah hidup, Maya, jauh di lubuk hati manusia semua ia gadaikan demi uang. Uang ditempatkan lebih tinggi dari Tuhan. Hingga manusia sering menjual ayat-ayatnya di jagat ini dengan harga yang murah.  Jangan coba kau lukis hatimu dengan guratan yang memaksa darahmu menjadi tinta di atas kanvas takdirmu.
Tak ada yang perlu kau sesali. Semuanya berjalan dengan kedua kakinya. Tak perlu kau sambung langkahmu dengan kaki-kaki palsu atau roda-roda itu. Tulangmu cukup kuat untuk kau gunakan. Sebutir nasi mungkin terlihat kecil di matamu. Tapi apakah kau tahu, Mayaku, sederetan semut-semut itu begitu gagahnya memikul dengan segala kepayahannya. Bisa jadi semua yang tampak kecil itu teramat naïf untuk kau pandang tapi semua itu adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Jangan kau mengerang lagi, karena sudah cukup kau sudahi.
Tapi…!? sanggah Maya.
Tak perlu kau lanjutkan penggalan itu. Tapi atau tak, sama saja kau gantungkan langkahmu ke awan. Menjadi terkenal tak harus kau monyongkan bibirmu, juga ragamu memenuhi layar kaca. Itu bagian dari kepura-puraan. Kau akan tetap anggun menyuarakan langkahmu di atas tinta-tinta kertasmu. Meski kau sering tercampakkan di antara gulungan-gulungan penerbitan. Atau kertas-kertas itu akan terbuang menjadi bungkus nasi uduk di pasar kemayoran. Mengukirlah terus dengan tinta rasamu. Karena lembaran itu akan menceritakan hidupmu tanpa harus meminta pengakuan dari siapapun. Aku masih tetap di sini menekuni hatimu, Mayaku.
Menjadi terkenal itu sebuah pilihan. Tapi untuk menjadi bara di hatimu akan selalu kunomorsatukan. Berjuang di balik layar tak semua orang mau melakukannya, Sayang. Ini pilihanku dan kuharap kau menghargainya, Sayang. Mungkin ini membuatmu terlampau dramatis dan aku tahu kau sedikit kecewa. Kusauhkan segala keniscayaan. Tak perlu kau jadi bidadari di mata lelaki hidung belang yang menghargaimu karena rupa juga lenggokan. Matanya terus mengekori setiap inchi tubuhmu. Kau terlalu manis untuk dijamah mata-mata liar itu. Kau tetap bidadariku yang mengisi seluruh kanvas hatiku. Tahukah kau, hati ini cemburu, cukup kau goda aku saja semalam suntuk di kamar yang berdinding lukisan bibirmu. Lukisan-lukisan itu senantiasa memancarkan senja yang indah. Keemasan mentari yang kian menua menjemput rembulan malam dengan pergantian setiap mata rindu memandangnya.
Maya, tataplah mata ini dengan segala kekhusukanmu. Tanggalkan semua nafsu yang mengotori hati dan kelaminmu. Di kejauhan sana kau akan temukan cinta yang tak diragukan. Buanglah mimpimu untuk mengubah takdir dengan menghilangkan jejakNya di wajahmu. Menjadi model iklan atau di atas catwalk sungguh kurisaukan itu.
“Entahlah…!?” Maya masih ragu.
Tidak cukupkah kata tapi yang kau gaungkan? Mengapa ada kata entah seakan kau ragukan takdir itu! Apa yang membuatmu tak yakin dengan keperempuananmu. Lukisan itu amat jelas tak perlu kau ragukan lagi. Atau kau juga masih meragukan kelaminmu, Sayang? Dan mengubahnya dengan dua atau tiga kelamin sekaligus? Jangan berlindung dari kepalsuan untuk mendapatkan kesohoran itu. Aku lelakimu yang tahu setiap jengkal tubuhmu. Kau wanita sempurna. Atau barangkali kau akan menikung senja dengan pergantian pagi? Kau gadaikan cintaku demi sebuah alibi?
“Cukup!?” Maya terpancing emosi.
Tak perlu kau marah, Mayaku. Terlalu dangkal kau tafsirkan permainan itu. Lihatlah seorang bocah kecil berkaleng bekas menabuhkannya bertalu-talu. Ia susuri aspal panas ibukota. Nyalinya tak pernah surut. Dia yakin recehan itu akan singgah satu dua keping setiap harinya. Tak pernah ia gadaikan mimpinya itu dengan permainan lego. Lagu yang dia nyanyikan bukan lagu bajakan milik para pesohor juga musiknya itu, ia rangkai dari rasa yang menjadi ibu peri penolongnya. Di tengah hari tiba, sebutir nasi pun akan ia nikmati meski tak berlauk daging pun pizza seperti anak gedongan.
“Aku kalah!?” Maya seakan menyerah.
Tidak, kau tak pernah kalah karena permainan itu baru saja kau akhiri. Ini babak baru saatnya kau ubah polamu memandang lukisan senja ini.

***

Lelaki entah harus kusebut apa dirimu, kau adalah warna yang melukis keindahan senja itu. Kusematkan janjimu yang bergaung di antara bayangan takdir tempo hari menerorku. Kini kutahu kau benar-benar pelukis andalan. Nalurimu tajam setajam guratan yang kau ceritakan di atas kanvas-kanvas hitam.
Kupandangi guratan-guratan lukisanmu di galeri kecil itu. Semua tampak jujur. Aku berharap lukisanmu itu menjadi takdirku di atas langit-langit biru.
Kau pelukis waktu yang hadir menemani sore terindah di antara sunset cintaku. Lukisan itu benar-benar nyata. Kau dan aku penghias cakrawala menyambut gemintang malam ini. “Dave, kau lelakiku pelukis senja itu.” Mata Maya berbinar menggenggam jemari seniman jalanan ibu kota itu.

Tanah Bumbu, 08 Maret 2016

Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/5777d87faf7e612238e1e8f9/pelukis-senja

Cerpen Mia Ismed: Senja di Pelabuhan Kecil

Senja ini datang lagi. Rona keemasan itu seakan mohon diri dengan santun. Suaranya lembut melantunkan doa-doa yang amat khusyuk. Dan anehnya hanya aku yang mampu memahaminya. Pelabuhan yang menyandarkan kapal-kapal pengharapan hilir mudik dengan lenggana. Disudut loket penyeberangan itu masih sama seperti lima tahun lalu. Pohon mahoni dengan kursi panjang. Disanalah kukayuh harapanku menemui lelaki bercambang dengan mata sayu. Yah lima tahun lamanya rinduku mangkrak, seakan semuanya baik-baik saja. Lelaki itu tak kunjung tiba. Masih terngiang janjinya diujung senja itu. Kulepas kepergiannya bersama datangnya sang kejora yang begitu kilap. Seakan bintang itu memberiku kekuatan akan janjinya yang didengar seluruh semesta.  Wira akan memenuhi janjinya untukmu kata kejora yang disaksikan malam itu.
Kupandangi lekat-lekat langit yang legam dipesisir ini. Kucoba ajak bicara bintang gemintang yang tak pernah ingkar menemui malam. Meski cahayanya kadang harus tenggelam karena mendung yang didesak hujan berebut bumi. Rindu ini menangis. Menatapmu pun tak mampu. Haruskah aku menaruh harap pada hujan yang datang esok pagi. Kau sapa dedauanan yang dicumbui embun malam. Kau hapus jejak itu dikehijauan warnanya.
Betapa menyakitkannya rinduku. Memekat seperti tanah liat disepanjang jalan menuju rumahku, Kejora, Masihkah kiranya rindu yang ia ucapkan mengalir biru atau luntur oleh air laut yang memasin. Aku masih menaruhnya cukup apik disudut hatiku. Wira, lelaki itu selalu kusebut. Namanya cukup berat mengisi kerongkonganku kering tercekat rindu. Rasa cemburu itu terus menggelitik hati yang menyimpan tanya. Apakah hati lelaki itu sudah terjamah wanita lain?.
Mataku berpidah menatap jauh diujung-ujung kapal yang mulai tertelan malam. Riuh suara deru mobil terus mengantri kapal yang dating. Begitu juga hatiku, terus menunggu dengan rapi. Ditempat ini Wira selalu memberiku kekuatan tentang sebuah perjuangan.
“Hidup hanya sebatas perjalanan pagi dengan seja yang terus berganti malam. Bintang, bulan, dan matahari adalah warna yang menghiasi setiap langkah itu. Sehingga kita bisa memandang gunung itu tinggi, laut itu biru, dan langit itu luas tak terhingga. Juga aku bisa membedakan wajahmu dan senja yang merona itu. Semua tampak manis.” Kata Wira yang selalu menenangkanku.
“bagiku pernikahan adalah kapal dan pelayaran adalah proses untuk saling memahami berjuang mengarungi samudra kehidupan. Untuk menyeberangi kita memerlukan kompas sebagai penunjuka arah. Namun kadang pelayaran itu tak mesti berjalan dengan baik. Angin sering mengombang ambing layar juga cuaca kadang siri. Kabut tebal sering menghadang diperjalanan.” Jawabku tak kalah memberikan argumen.
“diyang kau tahu ku abdikan diriku untuk social. Aku juga masih menyangsikan soal cinta. Aku tak ingin membuat wanita menangis. Sejak ibuku meninggal aku seakan kehilangan kendali. Namun pertemuanku denganmu seakan ku menemukan wanita itu kembali. Kau tampak kuat memikul hidupmu.”
“entahlah apakah aku kuat seperti yang kau lihat.” Tukasku mengakhiri perbincangan itu.

***

Ku akui semenjak menjadi single parent untuk putra semata wayangku. Hidupku seakan limbung. Lelaki itu sudah pergi meninggalkanku mengejar mega-mega yang membawanya kebulan. Ntah mengapa Wira telah membuka hatiku kembali yang lama terkunci. Pemuda yang singgah beberapa bulan sebagai relawan pendidikan di tanah borneo ini. Senyumnya ramah menyapa bocah bocah pesisir ini. Kelakarnya manis menyuarakan nyanyian anak-anak negeri.
Wira, terakhir ia kabarkan mengabdikan diri di tanah papua. Itu kudengar satu tahun lalu melalui pesan smartphonenya. Kabarnya kian kabur, ntah karena signal atau apa. Ditempat inilah terakhir kali kugenggam jemarinya. Kita nikmati angin musim yang serak parau.
“diyang, kamu harus kuat ya. Meski aku jauh dari matamu, kau tetap bisa ungkapkan keluh kesahmu. Tulislah tentang banyak hal ke email pribadiku. Aku akan baca dan terus memberimu waktu.” Katanya dengan tatapan meyakinkan.
“tentu Wir, aku akan menulis untukmu.”
“suatu hari kita akan bertemu lagi ditempat ini, semoga kau tak menggantikannya dengan lelaki lain yang.”
“aku menyangsikanmu Wir, apakah aku pantas untuk kau perjuangkan. Kamu tahukan keadaanku. Aku single parent. Tak banyak yang bisa menerimanya. Ketika kau pergi dan lambat laun melupakanku pun tak masalah cinta kita harus kandas karena aku hanya butuh keseriusan dan cinta yang tuus bukan karena iba atau terpaksa”.
“kamu masih tak yakin kesungguhanku?” matanya menatapku lekat.
“aku tak ingin siapapun lelaki itu mencintaiku karena iba.”
“sudahlah, kau terlalu memikirkan perasaanmu. Senja itu sebagai saksi dan pelabuhan ini adalah penghulunya. Kita akan menjadi pengantin di tempat ini.”
Genggaman itu kian renggang. Kapal itu telah merampasnya. Meregang bersama senja yang tenang. Ombak bergulir memainkan rasa yang tumpah bersama gemericiknya jangkar yang mulai ditarik awak kapal. Sunset dilangit barat meredup seakan memaknai hatiku disenja itu.

***

Gatra semata wayangku. Ntah apa yang harus mama katakana kelak padamu nak. Tentang ayahmu yang jauh disingga sananya. Tak seharusnya kau telan malam sunyi. Begitu menyakitkannya gelap itu. Suara tangismu bergaung mesra melucuti kesedihan ibumu. Setiap lelaki yang menggendongmu kau tampak ceria. Apakah kau rindukan ayahmu. Semakin perih rasaku melihat kedekatanmu dengan Wira lelaki seberang itu nak. Kalian bercengkrama di bawah mega-mega yang sebentar-sebentar pergi karena malam adalah teman kita hari-hari.
Gatra, putraku, suatu hari nanti kau akan tahu lelaki perkasa bukanlah ia yang punya harta dan rupawan wajahnya. Kau lelaki kecilku, settiap doa kusebut namamu memohon kepada yang esa kau menjadi lelaki tangguh dan memuliakan wanitamu dan menjadi idola anak-anakmu.
Aku cukup tau diri menjadi single parent bukanlah hal yang mudah. Apapun alasannya janda selalu disudutkan pada sesuatu yang negatif dengan lebel pengganggu.  Aku yakin tak seorang pun didunia ini mau menyandang status itu. Karena pernikahan adalah janji kepada sang maha hidup. Meski perceraian itu sangat perih ini adalah episode yang harus aku lalui. Aku tahu tuhan sangat membenci ini meskipun tak dilarang.
Barang kali ini adalah alasan aku tak ingin dekat dengan lelaki manapun termasuk bang Wira. seandainya cinta itu tak meninggalkan sepi, tak meninggalkan angan-angan dan berakhir dengan kepahitan aku masih mempercayainya. Dan ini bukan masalah percaya atau tidak. Tapi aku semakin yakin bahwa pembuktian cinta itu tak harus diawali dengan perkawinan. Kalau memang toh akhirnya mereka harus menggagntungkan angan dan kesepianlah yang akan memagutnya dengan seribu kisah lara.[]


Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/5779234962afbd6549a88415/senja-di-pelabuhan-kecil

Cerpen Mia Ismed: Lapak

Di tempat ini tujuh tahun lalu Emakku menjadi pesakitan. Lapak-lapak itu bagaikan kunang-kunang terhempas ke angin-angin musim. Serdadu-serdadu itu terlihat bengis. Lapak yang menjadi  harapan anak-anak menghangatkan tungku, juga berharap memakai pakaian baru di saat kenaikan kelas sudah keburu dihabisi. Zaman memang sudah lama merdeka tapi nasib selalu terancam untuk dimusuhi. Anehnya musuh itu datang dari bangsaku sendiri. Nasib yang dipertaruhkan di atas piring-piring, tungku-tungku, tampah-tampah, trotoar dan roda-roda waktu yang terus bergulir. Mereka hanya dianggap sampah yang mengotori wajah kota, jalan raya, harga diri, juga tanah-tanah yang mereka bersihkan dari amis penggusuran. Lapak-lapak dibumihanguskan karena dianggap korupsi jalan, merusak mental generasi  juga dicurigai tempat cuci uang.
Masih kuat ingatanku, tempat ini dalam sekejap rata dengan tanah. Hanya sisa serakan kayu, seng dan sisa-sisa dagangan. Tampak juga ceceran sayur lodeh nikmat, juga kepala ikan asin yang sudah dipunguti kucing kurap kelaparan.  Wajah perempuan paruh baya itu tampak kaku menatap serakan onggokan. Terdengar pula suara gaduh orang berlarian menyelamatkan dagangannya. Juga di seberang jalan terlihat olehku seorang emak tua renta dengan gemetar memunguti kue-kue basah yang tersusun rapi di atas trotoar. Pemandangan kekacauan  itu tak asing di mataku. Karena memang aku dibesarkan di atas lapak-lapak waktu. Terlihat wajah Emakku sayu setiap kali penertiban. Tampak sekali guratan kesedihannya. Namun semangatnya tak pernah luntur meski harus memindah-mindahkan harapan di atas lapak musiman. Mulutnya bergumam lirih entah apakah yang sedang emak lakukan, berdoa atau meratapi nasib yang sering tak berpihak.
“Aku masih ragu apakah negeri ini memang benar-benar  sudah merdeka. Atau barangkali kami adalah musuh yang selalu mengancam stabilitas republik. Sehingga sayur lodehku disatroni dan  piring-piringku harus diangkut ke mobil aparat.  Atap ini dibumihanguskan. Sayur lodeh yang sudah sedari subuh tadi kumasak dengan penuh perasaan turut menjadi saksi pesaktanku?”
“Aku masih belum tahu apakah aku benar-benar musuh yang perlu diberantas.  Sedangkan yang kukenal hanya lombok, bawang merah, garam, merica, juga nangka muda yang setiap saat kurayu menjadi penikmat lidah. Lantas apa yang mereka khawatirkan tentangku? Apakah sayurku mengandung narkoba sehingga dikawatirkan merusak mental atau sayurku beracun hinga takut menebarkan virus yang mematikan?”
“Aku semakin tak mengerti ketika piring-piring itu turut menjadi persaksian kejahatanku. Lantas apa salah lapakku ini? Apakah ia juga dikhawatirkan menjadi markas dan aku dihakimi seperti layaknya teroris yang meresahkan?” 
“Kucing itu rupanya lebih merdeka memutiki nasib. Begitu nikmatnya ia menyulum kepala ikan asin yang dibuang manusia. Kucing itu tak pernah mengharap iba. Hanya sisa-sisa buangan saja yang dimakannya. Kadang manusia salah tafsir menganggapnya pencuri lauk di meja hingga tak jarang ia dihardik, disiram air panas, juga kadang dikebiri.”
“Sepertinya aku dan kucing itu beda peruntungan saja. Dia bisa hidup di mana saja di kolong-kolong waktu. Lantas aku harus menumpang ke negeri mana lagi membawa lapakku. Begitu kotornya orang-orang seperti aku ini hingga harus dibersihkan di muka bumi. Barangkali orang seperti aku hanya merusak pemandangan kota. Dianggap korupsi jalan raya  juga sumber kekumuhan. Nun jauh di kampung sana harapan anak-anakku menunggu kiriman untuk biaya makan, sekolah, juga pakaian di saat kenaikan kelas atau baju baru saat lebaran tiba.”
“Seandainya mereka tahu, bukan hanya kaum moderat yang berhak menikmati hidup. Makan dengan lauk juga tempat tinggal layak. Kami juga perlu makan dan merayakan hari lebaran. Nasib kita hanya beda batas. Lapak kita hanya beda tempat.” Gumam Emak memunguti rasa yang tercecer.

***

Di kamar tiga kali empat ini memang tak pantas disebut sebagai hunian layak. Maklum tempat ini adalah lapak sekaligus tempat tinggal kami. Lapak itu hanya terdiri dari satu pintu tanpa jendela, secara otomatis ketika siang hari pintu itu terbuka untuk menikmati udara. Waktu itu Ramadhan tahun kedua kami tempati lapak di Jalan Sedayu Jakarta Barat. Pemerintah kota memberlakukan pelarangan berjualan di bawah jam tiga sore saat Ramadhan. Entah berapa kali harus kami jelaskan namun mereka terus menghardik Emak dengan ribuan pertanyaan.  Saat itu Emak sedang meracik sayur lodehnya. Di atas tungku mengepul nasi yang akan diperdagangkan siang menjelang sore nanti. Piring-piring yang sedari tadi kucuci pun sudah berjajar rapi di etalase kayu yang dibuat Bapak dari kampung.
Di ibukota ini hanya aku yang menemani Emak membuka lapak mengadu peruntungan. Si kembar Lena dan Leni, adiku, sekolah di kampung dengan simbah. Bapak hanya buruh kuli bangunan yang sering sakit-sakitan. Dulu semasa Bapak masih kuat, kita bernaung bersama di atap ini. Tubuhnya yang legam terus menyusuri jalan di atas roda becaknya membawa nasib. Satu tahun terakhir asma Bapak sering kambuh, dan tenaganya terkuras habis. Itu sebabnya Emak berharap Bapak istirahat di kampong saja. Sebagai anak sulung aku tak ingin menutup mata dengan kemiskinan keluargaku meski saat itu usiaku baru menginjak dua belas tahun.
Siang itu aku tak kuasa menahan tangis. Emak gemetar dan tampak ketakutan. Penertiban pedagang kaki lima selalu digalakkan setiap saat. Berkali-kali Emak harus pindah tempat karena dianggap mengganggu ketertiban. Tapi inilah hidup, meski beradu nasib, Emak harus tetap berjuang. Ini adalah ibukota, kota yang tak pernah tidur. Pedagang kaki lima seperti benalu yang menumpang hidup di atas trotoar dan tanah-tanah lapang keramaian. Mungkin inilah sebabnya kami dianggap sampah dan pengganggu sehingga harus diusir demi keindahan kota. Bukankah kami juga warga negara yang butuh perlindungan dan hak hidup. Keberadaan  pedagang kaki lima seperti Emakku adalah bukti nyata bahwa kehadiran mereka disebabkan oleh ketidakhadiran negara untuk memberikan lapangan kerja yang layak.
Pedagang kecil dengan modal yang sangat kecil. Sehingga tidak sanggup mengakses pasar-pasar yang mewajibkan pedagang kaki lima untuk membayar biaya sewa tempat. Dengan alasan mengganggu ketertiban, oleh serdadu-serdadu itu manusia gerobak ditangkapi, pemulung ditangkapi, pengemis ditangkapi, gelandangan ditangkapi, tak terkecuali dengan kami pedagang kaki lima juga ditangkapi. Lha, ketertiban siapa yang merasa terganggu itu? Ketertiban orang kaya yang terganggu? Sedang orang miskin dilarang merasa terganggu, gitu? Lha, apa negara ini hanya milik orang-orang kaya saja? Kalau negara ini tidak mau ada kami orang-orang miskin, ya mbok dengan serius disejahterakan, maka dengan sendirinya populasi kami juga akan hilang. Iya kan?
Kesejahteraan bagi kami sejauh ini hanya slogan, sedangkan kemiskinan terus beranak pinak seperti benalu di reranting pohon liar di seluruh pelosok negeri. Atau memang kemiskinan adalah asset Negara yang dipertontonkan di layar-layar kaca dihakimi seperti sandiwara panggung menjadi bahan candaan. Dan membiarkan buruh-buruh wanita gemulai berhijrah mencari peruntungan di negeri antah berantah di luar sana. Sawah-sawah kami mengering, harga padi tak sebanding dengan biaya pupuk, sayur dan buah kami tak laku karena harus bersaing dengan barang impor, dan tenaga kami dihargai sangat murah karena tak berijazah.
Semua masih membekas di hatiku. Aku tak pernah menyesali menjadi anak pedagang kaki lima. Semua manusia juga tak bercita-cita menjadi orang miskin dan hidup yang terancam penggusuran.  Dua bulan lalu kesehatan Bapak semakin tak berpihak dan akhirnya kami harus legowo melepas kepergiannya. Emak juga terlihat sudah ringkih. Mungkin saatnya kami harus mengemas diri di kota ini. Tak banyak harapanku mencoba peruntungan nasib di tanah kelahiranku Wonosari.

***

Setiap kali kuberkunjung di kota ini, hatiku seperti medan magnet saja, ingin berlama-lama memandangi tempat itu. Semua sudah berubah. Sungai-sungai itu seakan sudah raib. Trotoar-trotoar nasib itu kini disulap menjadi taman kota yang indah. Indah sekali. Nun jauh di sana nasib manusia-manusia itu tergerus air mata. Manusia gerobak raib disembunyikan dibalik gedung megah. Gelandangan di eramkan dalam sangkar kebijakan. Dan wajah kota ini terlihat sangat manis tanpa noda. “Menakjubkan sekali”. Senyumku getir menyaksikan semuanya.
Semenjak kukembali di kampung halaman kuakhiri masa lajangku. Seorang lelaki yang berprofesi sebagai pedagang pakaian telah menyuntingku. Mulai saat itulah hidupku berubah warna. Kuberanikan membuka diri membawa lapak nasib di pasar Wonosari. Setiap menjelang Ramadan aku dan Mas Joko, suamiku, tak pernah absen mengunjungi kota ini memungut dagangan di Tanah Abang. Aku bersyukur lapakku kini berdiri kokoh, mendendangkan cita-cita buah hatiku, juga masa tua Emakku.[]

Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/57bfef34f492730d4875fc15/lapak

Cerpen Mia Ismed: Tak Sehitam Biji Kopi

Kota ini tak pernah tidur. Seperti terselubung kafein. Tak ada kata malam kecuali gempita. Dan manusia bagaikan robotic. Mulutku terasa kecut sendiri mamandang jalan yang tak pernah berhenti terjamah. Gerimis yang makin rapat tak mampu menghalau kemacetan kota ini. Di sudut jalan persimpangan terlihat lalu lalang bocah menenteng Koran dan kotak semir sepatu. Sungguh anak-anak itu tak seberuntung nasibku. Siapakah yang perlu dipersalahkan. Takdir atau orang tua yang tak begitu bertanggungjawab. Terlihat sangat aneh. Jika cinta memang sumber kebahagian. Tak sepantasnya anak-anak menjadi beban keegoisan hidup.
Teringat duapuluh tahun lalu. Jakarta bagiku adalah impian. Bagi anak seusiaku kala itu. Selepas sekolah dasar Jakarta-lah tempat pertama cita-cita anak-anak kampungku berharap. Terbayang hidup menjanjikan meskipun tak berbekal pendidikan yang cukup dengan modal di bawa urban oleh tetangga yang kebetulan 'sudah sukses' dikota itu. Ntahlah, sukses dimata penduduk desa kala itu dengan ukuran standar apa. Yang jelas jika sudah kerja di Jakarta anak-anak kampong yang dulu lugu, hitam legam akan terlihat bersih dan berbaju bagus. Yang dulunya hanya tau bahasa daerah dengan logat kental, gaya bicaranya akan terlihat modern dengan 'elu, guehnya'. Kadang-kadang untuk bersapa dengan rekan sebayanya sering lupa dengan bahasa daerahnya. Ntahlah itulah yang membuat aku kagum mati-matian.
Ayahku tergolong orang tua yang sangat disiplin. Didikannya keras. Impianku ke Jakarta seperti rekan sebayaku membuatnya tak kehilangan akal. Setiap kelulusan pendidikan, Ayah selalu berusaha untuk mewujudkan impianku dengan membawaku jalan-jalan ke Jakarta. Kota yang seperti aku lihat. Indah dan memberikan banyak kesenangan.
"Bagaimana Jakarta menurutmu Nduk, apakah seperti yang kamu impikan?" Tanya Ayah sembari membawaku keliling Monas.
"Jakarta sangat indah Yah, banyak tempat wisata dan tempat-tempat bagus. Pantesan kawan-kawan sangat betah disini ya." Jawabku, Anak perempuan polos. Maklum selama di desa yang kulihat hanya petak sawah, kendaraan sapi dengan gerobak yang diusung penduduk untuk menarik rumput. Hiburan paling mewah makan bakso di pasar kecamatan.  Ayah hanya tersenyum. Melihat kepolosanku.
"O iya, sudah dua hari kita jalan-jalan tak pernah kulihat teman-teman, dimana mereka Yah?"
"Kamu rindu teman-temanmu Nduk?" Tanya ayah sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk berharap ayah bercerita banyak tentang mereka. Atau mungkin tau perscis keberadaanya.
"Jakarta itu sibuk Nduk. Semua bergerak seperti mesin. Tak ada yang sempat bertegur sapa jika tak kenal. Apalagi bertemu dengan teman tanpa janjian. Sudahlah temanmu sedang sibuk, sebaiknya kita nikmati saja keindahan kota ini sebelum liburan habis."
Jalan Jakarta lambat laun kutaklukan. Awal tahun 2015 aku mengikuti magang di salah satu perusahaan di Jakarta Selatan. Setelah menamatkan pendidikan D3 akutansi salah satu perguruan tinggi di Solo. Entahlah mengapa Ayah mengirim aku kuliah ke Solo yang sangat jauh dari kampungku di Sumatera. Satu pesan ayah kala itu "Cari bekal dulu Nduk, suatu hari nanti datanglah ke kota impianmu jika kau telah siap."

***

"Waduh kok basah-basahan Mbak. Ntar atit loh. Silakan ada yang dipesan kopinya." Pemuda bertubuh tinggi itu menyambutku di pintu kedai.
Aku tersenyum sambil menerima daftar menu yang bertuliskan "Kedai Kopi Bang Yon's. mataku menelanjangi buku menu yang dominan warna coklat kayu.
"Hmm, saya mau yang ini aja deh Bang." Kutunjuk salah satu deretan menu kopi di kedai itu.
"Siap Mbak, oiya...mau ditemani minum kopinya.?" Candaan pemuda itu yang kuanggap terlalu pede.
Dahiku mengeernyit tanda, aku tak paham arah pembicaraan pemuda itu.
"Maaf maksudnya, teman kopinya apa Mbak hehe. Ada kentang goreng, lumpia ala Semarang juga ada."
"Oh... Itu. Iya deh saya mau lumpia Solo eh Semarang kalau ada. Isi rebung ya Bang."
"Ciee lumpia Solo, jangan-jangan mbaknya kangen sama orang Solo ya." Pemuda itu berlagak sok tau. Menjauh mengambilkan pesananku.
Semenjak pertemuan itu aku jadi sering mampir ke kedai kopi Bang Yon's sepulang kerja atau nongkrong dengan rekan kerjaku. Persahabatanku dengan Bang Yon makin dekat. Tak jarang kita sering ngobrol kerinduan tentang Solo dan Klaten kampong halaman Bang Yon di desa Trucuk.
"Ternyata dunia itu sempit ya Mas, di Jakarta malah ketemu orang Solo. Aduh Gerahnya, macet sekali hari ini." ku teguk air mineral sembari memutar tombol AC yang kuputar penuh di mobil avansa violet itu."
"Ah bisa aja kamu, bukankah Jakarta setiap hari seperti ini, gerah. Ubahlah pikiranmu biar kita bisa menikmati segala kemacetan ini sebagai pemandangan indah."
"Indah, ha ha dari mana saya harus terjemahkan. Ada-ada aja Bang Yon ini."
"Coba kamu lihat sisi positifnya. Jika semua hal kau anggap masalah tak ada sisi positif setiap hal yang kau jumpai di kota ini. Kau tau dari kemacetan ini kita bisa memandang betapa sejahteranya Indonesia. Masyarakat mampu membeli mobil-mobil mewah yang tak sengaja kita temui di aspal panas. Di sisi kanan kiri jalan, gedung pencakar langit menambah keindahan kota ini. Di luar sana mungkin ini yang disebut tempat istimewa yang menjanjikan dengan segala kemewahannya."
"Bisa jadi, semua yang tampak adalah ukuran kesejahteraan masyarakat ya Bang. Di balik kemegahannya Jakarta adalah ibu tiri dari mimpi pendatangnya."
"Jangan salah lo, masyarakat itu termasuk ibuku. Yang punya harapan besar hijrah kesini. Ibuku merantau ketika aku masih remaja. Pamanlah orang pertama yang memberikan angin segar untuk keluargaku. Paman kala itu buruh pikul angkut barang di Tanah Abang. Setiap kali lebarang pasti pulang. Banyak hal yang kami tahu tentang kota ini darinya." 
"Ya ya ya, Jakarta selain ibumu aku juga orang yang sama. Bermimpi memiliki Jakarta."
"Hidup di Jakarta kalau nggak modal nekat susah Reys. Sumpek banyak penduduk. Manusia setiap hari berbondongbondong datang mengejar mimpi-mimpi. Kalau nggak punya keahlian dan koneksi ya harus siap-siap menjadi pengemis,"
"Dulu saya pikir juga demikian Bang. Banyak yang bilang Jakarta itu manis, Jakarta itu candu, Jakarta adalah tempat penangkaran mimpi-mimpi. Bagaimana menurut Abang." Tanyaku ingin tahu banyak.
"Ha ha ha... seperti artis-artis itu ya, upst. Kebanyakan orang di luar sana bermimpi ingin menjemput impiannya ke Jakarta. Dengan berbagai cara tentunya. Termasuk kamu kan, jujur?." Matanya menerobos kepalaku yang sepertinya ingin tahu banyak. aku meringis "Ketahuan deh batinku."
"Mimpi manis hanya impian orangorang nekat dalam tanda kutip. Saya pikir jika hanya bermimpi terus hijrah ke Jakarta malah mati konyol. Bukankah mimpi harus diwujudkan dengan kerja keras dan akal sehat. Seperti kedai ini tak cukup dibangun hanya dengan modal mimpi. Dan bagi aku ibuku adalah bagian dari rencana tuhan atas mimpi-mimpiku. Berawal dari ikut paman buruh pikul kemudian menjual nasi di warung pinggir jalan. Oiya waktu itu ibu ditawari  masak acara kawinan dari pelanggan dan kemudian memutuskan membuka cateringan kecil-kecilan. Itu adalah rangkaian mimpi yang tak mudah dilalui Reys."
"Apa yang membuatmu yakin kau bisa hidup di kota ini Bang, kau bilang tadi hidup di kota besar harus punya keahlian dan relasi."
"Haha maksud kamu saya nggak punya keahlian ya?. Iya memang aku hanya tamatan STM tapi aku yakin karena ada Ibu sebagai relasi. Kau tau alasan lain Reys. Karena  kopi. Aku memilih kopi, karena kopi adalah kehidupan. Dia hidup dimana saja. Di hati masyarakat kita. Di warung-warung kopi sering lahir orang-orang hebat. Percakapan-percakapan harmonis masyarakat kelas bawah ya disaat  menikmati kopi-kopi hitam. Di kampungku kebetulan dekat dengan gardu ronda. Kopi dan asap rokok adalah bagian dari malam. Dan malam bagi masyarakat pedesaan adalah perjamuan disaat lelah seharian membajak sawah. Lebih tepatnnya kopi adalah kehangatan."
Aku makin terkesima dengan lelaki berambut ikal bergaya santai ini. Isi kepalaku makin mengubah pola pikirku tentang keruetan kota tantang pendidikan yang sering digadang-gadang masyarakat pada umumnya sebagai standar kesuksesan. Persaingan hidup tak selamanya dihadapi dengan uang, dan pendidikan yang mumpuni. Tapi kecakapan tentang mengubah polapikir ditengah pergulatan.
"Kamu tau apa yang sebenarnya membuat hidup kita tidak pernah maju?" Mata lelaki itu melirik kearahku. Roda mobil mulai bergerak perlahan. Suara klakson gaduh di luar. pengemudi berdesakan ingin segera melajukan kendaraannya.
"Malas, bisa jadikan. Tak mau mengubah keadaan." Jawabannku terlihat dangkal dan terkesan simpel barangkali hingga membuat gigi lelaki itu makin terlihat jelas.
"Kok malah tertawa, lucu ya jawabanku Bang." Aku merasa terjebak dengan jawabanku.
"Lucu sih nggak, kayaknya kamu malas berpikir aja. BT ya? Jadi orang jangan lekas BT lah. Nggak bagus itu buat kesehatan otakmu, Reysa yang manis." Tangannya sambil mengubah porseneling koplingnya.
"Terus, menurut Abang apa sih yang membuat hidup kita gak bisa maju?."
"Yang pertama kita terbiasa tak bisa move on. Terlalu lelap dengan peristiwa yang menyakitkan. Manja istilahnya. Terbiasa menunggu. Terbiasa mencari lowongan pekerjaan dibanding menciptakan. Suka disuruh ketimbang bergerak mengeskplorasi.  Intinya berpikir positif pada setiap keadaan. Istilahnya kita ditinggal kawin sama pacar legowo saja lah. Memang bukan jodoh kita. Yang ada ini kan tidak. Masyarakat terlalu mendramatisir sesuatu yang memang bukan seharusnya menjadi bagian kita. Percaya saja dengan rencana Tuhan."
"Benar juga ya Bang. Apalagi kita hidup dijaman milenial. Semua serba ngehit. Tapi Abang bikin kedai kopi bukan karena lagi trend ngopi bareng kan?" Gangguku nakal sambil mengecilkan tuts musik di sebelah kendali supir.
"Wah bukan stlyle saya ikut-ikutan dong. Kedai Bang Yon's ini kan konsep lama di klaten. Kedai ini melalui proses panjang, dari warung ibu dipinggiran jalan stasiun Tanah Abang. Bukan tanpa alasan aku bikin kedai Reys. Keluargaku pencinta kopi. Bapak yang memang pencandu kopi, Simbah di Klaten itu punya beberapa pohon kopi untuk konsumsi sendiri. Jadi bukan kebetulan sajalah kedai kopi itu lahir."

***

"Reysa kamu harus tau nduk, bapak ibumu menguliahkan kamu jauh-jauh supaya dapat jodoh juga sederajat dengan kita. Ini malah pacaran sama orang yang ndak sekolah. dimana harga diri bapakmu. Lihat kang masmu itu. Jadi laki-laki ya harus berpendidikan tinggi. Jadi pengacara misalnya. Itu kan jauh terhormat."
"tapi Yah, bang yon itu lain dari laki-laki kbanyakan, diapekerja keras dan sangat menghargai wanita."
"kaya gitu caramu membalas budi u]tuk orang tuamu. Orang tua yang mati-matian ingin kamu menjadi orang terhormat. Dan begini caramu menjawab omongan orang tua demi laki-laki itu. Dia siapa ha? Apa sekarang dia lebih bergarga daripada bapakmu ini!"
Sepanjang jalan ngobrol ngalor ngidul tak terasa sampai di gerbang pintu masuk Bandara Soekarno Hatta. Menjemput orang tuaku dari Sumatera yang akan meresmikan hubunganku dengan Bang Yon di Jakarta .
"Sekarang aku tau jawabnya Bang, mengapa mimpiku menarikku kuat untuk segera ke kota ini." Satu kata mengakhiri perjalanan itu.
"Oya... kok baru cerita?" Lelaki itu menimpaliku sambil mematikan mesin kendali supir.
"Karena ada kopi yang menungguku. Kopi yang rindu kutemui. Dan memudarkan sebagian kekhawatiranku tentang kota ini. Mengubah keterasingan yang kita jumpai sebagai keindahan bukan sebuah belukar masalah."
"Kopi, maksudmu?"
"Iya kopi. Ini kopinya." Tanganku mencubit mesra pipi lelaki itu.  Senyumnya mengembang sambil bergumam kesal.
"Bisa nakal juga ya kamu. Awas ya kugigit-gigit nanti." tangannya balas mencubit kedua pipiku hingga terasa sakit.
Meski  aku tak memiliki Jakarta. Aku akan menjaganya seperti biji kopi yang kau seduh untuk bibir-bibir yang rindu nikmatnya dibalik kepahitan bijinya. Berharap Jakarta segar dan tentram bagi penduduknya. Jakarta tak sehitam biji kopi karena kutemukan manisnya di cangkir pertama saat hujan sore itu. Tangan kami berpegangan erat.  Ada  senyum yang terlintas memandang gate kedatangan Soetta.[]


Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/5d91c167097f366b9014bbc3/tak-sehitam-biji-kopi