Tampilkan postingan dengan label Ersis Warmansyah Abbas. Tampilkan semua postingan

Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Bangsat Kali Dongok

SANDUL merobek kertas pembukus silet yang baru dibeli dari warung di sebelah rumah. Lapisan kulit luar dan bungkus putih dalam — pengaman ketajaman silet— robek seketika. Ujung silet merobek jari telunjuknya. Darah menetes ke lantai.
Sandul menahan perih, tetapi tidak sesakit hatinya yang remuk redam. Dampratan Sani — temannya sesama pegawai kelurahan Kali Dongok— sungguh keterlaluan. Padahal, selama ini selalu membantunya. Sani adalah tipe pegawai yang tidak mau menyakiti teman sekalipun menjadi sansak olok-olokan. Tidak banyak bicara. Workacholic yang tidak peduli hal lain selain bekerja, dan bekerja.
"Dasar bangsat," teriak Sani. Suasana rapat yang semula ramai perdebatan, tiba-tiba bak kampung tanpa penghuni. Sunyi.
"Kamu mau menang sendiri. Ketika berjuang untuk Pak Kasu-Im, kamu dimana? Kini merasa orang paling berjasa. Kami berdarah-darah, berjuang!" Sani bicara keras karena sangat marah.
Kelurahan harus diurus transparan. Like and dislike harus dihapus. Kita membangun sistem. Tidak perlu orang pintar bicara —dan penjilat. Kita perlu orang yang mampu berpikir, dan bekerja.
Sandul terpaku. Badannya bergetar, kemudian kaku. Untung jantungnya masih berdetak. Rapat bubar. Sandul dibawa ke rumah sakit. Kata dokter hanya schok. Sandul diantar ke rumahnya. Dia harus istirahat total sebulan penuh.

***

Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Pengadilan Oemar Bakry

Siang itu, suasana ruang sidang pengadilan negeri Seberang Lautan begitu mencekam. Sidang yang dipimpin hakim ketua Ratul SH dengan hakim anggota Rapal SH dan Rupil SH, MH, semula diprediksi berjalan mulus. Pada sidang sebelumnya, Oemar Bakry, S.Pd. sebagai tertuduh, tidak pernah membantah BAP yang diajukan kejaksaan berdasarkan penyidikan kepolisian.Saksi-saksi tidak seorangpun yang meringankan. Penasehat hukum Oemar Bakry tidak pula ‘hidup-hidup’ membela. Nampaknya, sesuai tututan jaksa, Oemar Bakry akan divonis hukuman maksimal 25 tahun penjara. Kasusnya penyelewengan dana pembangunan sekolah unggulan Dunia Baru. Tidak tanggung-tanggung, dari dana pembangunan sebesar Rp.100 milyar, Rp.50 milyar dituduhkan diselewengkan Oemar Bakry.
Atas pertanyaan dewan hakim, Oemar Bakry selalu menjawab: “Tidak tahu”. Kalau pertanyaan lebih didalamkan, dijawab: “Saya tidak tahu menahu, Pak”.
Tentu saja membuat hakim kesal: “Saudara ini bagaimana. Sebagai pihak yang bertanggungjawab atas proyek pembangunan sekolah Dunia Baru, selalu menjawab, tidak tahu. Ingat ! Saudara telah disumpah untuk berkata jujur”.

Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Mahkamah Tak Berbias

Silbi sungguh kaget. Tiba-tiba dia berada di ruangan serba putih. Lantai, dinding, plafon, meja, bangku, dan benda-benda di ruangan tanpa pintu dan jendela tersebut berwarna putih. Darah Silbi terkesiap ketika memandang pakaiannya yang hitam. Kontras dengan ruangan menawan tersebut. Ada satu lagi yang hitam, … sebuah kursi. Terletak diantara meja panjang di depan dan deretan seratusan kursi di belakang.“Duduk”. Silbi tidak sempat kaget sebab kakinya otomatis melangkah. Sebenarnya hendak mencerna apa yang terjadi, tetapi apa daya, kakinya tidak mau kompromi. Dalam persekian detik terduduk. Begitu pantatnya menjejak bantalan kursi, belenggu tangan yang terkait di kursi mencengkeram tangan, begitu juga kakinya. Silbi betul-betul tidak paham apa yang sedang terjadi.Apalagi kedua ‘pengawal’ yang menggiring ke ruang serba putih tersebut mendatangkan takut tak terkira. Jangankan tersenyum, tatapan matanya langsung ke hulu hati membuat ngeri mencapai puncaknya. Silbi sungguh tak tahu berada dimana, dihadirkan oleh siapa, hendak diapakan, atau sedang dalam ‘upacara’ apa. Bingung.

Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Dia Yang Ditelikung

Guntur sahut-menyahut menyebar ngeri berpadu jilatan kilat sambar-menyambar. Langit kelam menuangkan hujan bak dicurahkan. Rumput-rumput terkulai bukan lagi menjadi labuhan tanya, letih tidak bergoyang. Rapat di pendopo kelurahan Kali Dongok menebar aroma yang lain dari biasanya. Teguran alam mulai dimengerti. “Kenapa kita harus mengerahkan segala kemampuan. Apa sebenarnya yang kita takuti?”, tanya Sundal Bulung bingung.
“Ya, raksasa bukan, superman pun tidak. Apalagi pemegang kekuasaan. Tidak ada apa-apanya. Energi kita tersadot menghabisinya?”, Dalsun tidak kalah heran.
Tanya Sundal dan Dalsun menyentak urat sadar Sunlad. “Kita katakan, Dia tidak ada apa-apanya. Sampah, garbage. Hari-hari berkelana mencari modus baru, mengodamkan kekuasaan. Dia … cuek bebek saja”.
“Ya ya ya”, Landus menimpali. “Dia mungkin orang gila. Ada saja gagasannya. Ada saja yang dikerjakan. Kita katakan tahi kucing. Apa gagasan kita? Apa bukti karya selain mengatakan kita hebat?”

Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Universitas Kolam Ikan

Embun pagi menghantar sejuk ke lobang pori-pori. Hujan di akhir Desember membentang nyaman menjangkau awal Januari. Ikan nila merah berkejaran dengan nila hitam, memadu kasih mengitari lobang sebesar baskom raksasa yang terlihat putih di tepi kolam. Sesekali ikan mas, patin, dan haruan mendekat. Mereka usir dengan moncong mengagah. Puizz … kabur terkikih-kikih.
Aku menatap jernihnya air kolam di pagi itu. Fajar menyingsing membukakan jalan bagi mentari memancarkan berkahnya. Tidak ada asap. Jernih. Bersih. Nafas membiarkan udara masuk-keluar tanpa portal. Ya, Allah begitu nikmatnya, nyaman Bumi Kau ‘serahkan’ pada kami. Aku membatin.
Sebelum shalat Subuh, aku berselancar di internet. Memeriksa naskah-naskah kuno. Mataku tergagap di tugop —semacam komputer dinding. Tanah yang kuinjak, Banzarbharo, dua abad lalu berada di pulau, yang dulu dinamakan Borneo. E … salah ding, Kalimantan. Nama Bornea maunya Inggris. Belanda menyebutnya Kalimantan, dan republik Indonesia mengikutinya.

Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Cinta yang Terjinakkan

Malam melarut. ‘Hello’ Lionel Richie menyamankan rasa. Hatiku sedang gundah. Perasaan letih. Bulan menyiangi kegelapan. Memanggil-manggil. Kuayun langkah. Menggapai Bulan. ‘Kalau Bulan bisa ngomong’, kan kukurim pesan: “Titip rindu buatnya”.
“Mat malam Uda”.
“Oh”. Aku tergagap. Aku menjadi lelaki paling dungu. Gagap total.
“Da, ikutan duduk, ya”.
“Ya, ya”. Lidahku keluh. Ya, aku memang lelaki dungu. Nora. Perempuan yang kini duduk disampingku. Dia mahasiswaku. Aku menyukainya. Tubuhnya, cara dia berjalan, bicaranya , kepolosannya, kecerdasannya, dan … yang paling kusukai cara dia menatap. Tajam dan lembut.
“Da. Besok aku pulang kampung. Makasih ya, nilaiku bagus. Semester ini IPK 3,65. Dosen-dosen baik-baik deh”.
Kutatap matanya dalam-dalam. Toh takkan terjelas di keremangan. Setengah agak marah kukatakan: “Nilaimu bagus karena memang kamu cerdas. Kamu harus yakin, nilaimu usahamu. Bukan lainnya”, jawabku ketus.

Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Auman Pak Lurah

Dingin pagi menyapa pori-pori. Pergantian musim menjadi nyata. Bulan Juli musim panas menampakkan identiasnya. Pada bulan Agustus, ratig akan kering sempurna, tanaman perdu kekurangan asupan air, dan api panas bumi memicu ladang gambut membumihanguskan semuanya. Musim asap puncaknya.
Pagi itu, entah karena kekacauan cuaca global, apa karena lobang ozon semakin menganga, atau pencairan es di Kutup Utara semakin menjadi, panas adalah penanda paling tegas Bumi Kahatulistiwa. Air sungai tak mengalir, bendungan kering, PLN, sebagaimana tradisinya, tidak mampu meproduksi listrik, byar pret. BBM ikut-ikutan bergabung menebar kesusahan. Nasib negara kaya raya di tangan pemimpin penikmat kekuasaan.
Ulau, termenung. Dinginnya udara yang menjilad tubuhnya tidak terasakan. Siraman AC ruangan pun tak membuat hatinya tenang. Ruang kerja Ulau, lurah Kali Dongok yang dingin ‘dibalut’ galau hatinya. Panas. Kelurahan Kali Dongok, bukannya melaju menggapai idaman, tetapi surut ke zaman purbakala; ketika kekuasaan, primus interpares maujud lebih sempurna. Kekuasaan menentukan segalanya.