Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Bangsat Kali Dongok
SANDUL merobek kertas pembukus silet yang baru dibeli dari warung di sebelah rumah. Lapisan kulit luar dan bungkus putih dalam — pengaman ketajaman silet— robek seketika. Ujung silet merobek jari telunjuknya. Darah menetes ke lantai.Sandul menahan perih, tetapi tidak sesakit hatinya yang remuk redam. Dampratan Sani — temannya sesama pegawai kelurahan Kali Dongok— sungguh keterlaluan. Padahal, selama ini selalu membantunya. Sani adalah tipe pegawai yang tidak mau menyakiti teman sekalipun menjadi sansak olok-olokan. Tidak banyak bicara. Workacholic yang tidak peduli hal lain selain bekerja, dan bekerja.
"Dasar bangsat," teriak Sani. Suasana rapat yang semula ramai perdebatan, tiba-tiba bak kampung tanpa penghuni. Sunyi.
"Kamu mau menang sendiri. Ketika berjuang untuk Pak Kasu-Im, kamu dimana? Kini merasa orang paling berjasa. Kami berdarah-darah, berjuang!" Sani bicara keras karena sangat marah.
Kelurahan harus diurus transparan. Like and dislike harus dihapus. Kita membangun sistem. Tidak perlu orang pintar bicara —dan penjilat. Kita perlu orang yang mampu berpikir, dan bekerja.
Sandul terpaku. Badannya bergetar, kemudian kaku. Untung jantungnya masih berdetak. Rapat bubar. Sandul dibawa ke rumah sakit. Kata dokter hanya schok. Sandul diantar ke rumahnya. Dia harus istirahat total sebulan penuh.
***