Tampilkan postingan dengan label Banjarbaru. Tampilkan semua postingan

Kumpulan Puisi M. Nahdiansyah Abdi: Cegukan

Download Ebook Kumpulan Puisi M. Nahdiansyah Abdi: Cegukan (PDF)

Kumpulan Puisi M. Nahdiansyah Abdi: Cegukan


Link Download:
https://userscloud.com/suizikez3aen

Kumpulan Puisi M. Nahdiansyah Abdi: Dari Edan, oleh Edan, untuk Eden

Download Ebook Kumpulan Puisi M. Nahdiansyah Abdi: Dari Edan, oleh Edan, untuk Eden (PDF)

Kumpulan Puisi M. Nahdiansyah Abdi: Dari Edan, oleh Edan, untuk Eden

Link Download:
https://userscloud.com/ygsc29q4kjex

Kumpulan Puisi M. Nahdiansyah Abdi: Buku Harian Pejalan Tidur

Download Ebook Kumpulan Puisi M. Nahdiansyah Abdi: Buku Harian Pejalan Tidur (PDF)

Kumpulan Puisi M. Nahdiansyah Abdi: Buku Harian Pejalan Tidur


Link Download:
https://userscloud.com/3lohmot5y2ld


Cerpen Ali Syamsudin Arsi: Berlari Semakin Jauh

Dia datang dari sebuah kampung di pinggiran wilayah kabupaten. Kampung yang ditumbuhi pohon-pohon rindang, pohon-pohon itu berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. kampung Dadap adalah nama yang tidak asing baginya.
“Sebenarnya aku tidak betah tinggal di kampung ini,” ucapnya suatu ketika kepada kawannya melalui sebuahsurat, ia menumpahkan banyak persoalan.
“Tapi bila kamu melepaskan diri dari kungkungan kampungmu sendiri, lantas daerah mana yang akan menjadi tanah harapanmu,” tanya rekan korespondennya dengan maksud untuk dapat memastikan bahwa ia sendiri sangat peduli akan persoalan orang lain. Membaca surat balasan itu Dulmas terdiam.
Dulmas lahir sebagai anak dari seorang kepala desa. Di rumahnya sendiri banyak bahan bacaan yang disantapnya. Dari beberapa majalah ibukota sampai langganan suratkabar lokal. Dulmas ternyata seorang pembaca yang teliti dan memang tekun, bahkan kadang sampai bersuntuk-suntuk bila sudah ada bahan kunyahan dalam berbagai bentuk, boleh buku, boleh majalah, boleh koran atau bentuk yang lain.
Ibu Dulmas seorang guru, sebagai PNS yang sudah cukup lama bertugas, terkadang berpindah-pindah tempat tugasnya, dan perpindahan itu tidak pernah ia kehendaki, orang-orang di lingkungan dinas tempatnya bertugas terlalu sering memanfaatkan kewenangan mereka agar bukan hanya ibunda Dulmas tetapi lebih banyak guru yang dimutasikan dengan semau-maunya saja.
Ayah Dulmas sejak kecil sudah biasa dengan barang-barang dagangan, mereka mempunyai sebuah toko di ibukotakabupaten yang jaraknya sekitar 5 kilo meter dari kampung Dadap.
“Ayah, saya ingin pergi dari kampung ini, ingin  ke luar pulau,” saat yang dikiranya tepat, mencoba menyampaikan hasrat lama yang bersemayam dalam pikirannya. Lelaki sebagai ayahnya hanya diam dari kata-kata, tetapi ujung matanya mencoba masuk ke dalam alam pikiran anaknya yang baru saja datang kepadanya, dan ia mendengarkan kata perkata dari anaknya. “Dulmas, apa sebenarnya yang sedang kamu pikirkan,” ibunya menyela lebih dahulu sebelum suaminya menguraikan pendapat. “Sebaiknya kamu pikirkan lagi dengan baik dan berulang kali, sebab kakakmu Saldah selepas bulan haji nanti akan melangsungkan pernikahan, ini perayaan kita yang pertama tentu saja kamu dapat menyaksikan persandingan mereka. Dulmas membagi sama dalam sikap sopan, satu sikap menunggu jawaban dari ayahnya, sementara Burhan masih diam dan terlihat asyik pada pikirannya sendiri, dan satu lagi kepada keinginan menguraikan jawaban terhadap ibunda tercinta. Dulmas masih menahan ucapnya, hanya sedikit bergerak arah wajahnya kepada ibunda, masih dalam diam dan gemuruh di dada.
Dulmas belum juga menjawab pertanyaan ibundanya. Dicoba berharap persetujuan kepada ayahnya. Burhan sedikit bergerak dari duduk semula. Dalam hati Dulmas sangat memohon datangnya kata-kata dari ayahnya, Dalam hatinya, “Ayah, jawablah dulu pernyataan saya, karena dari rangkaian kata-kata ayah maka akan mudah bagi anakmu ini untuk memberikan uraian alasan secara bersamaan, saya akan menjawab pertanyaan ibu yang sangat berharap dan akan mencoba memberikan tanggapan pula kepada sikap ayah sendiri,” kata-kata itu seakan menjadi tameng pada dirinya untuk tidak langsung lepas dari jerat-jerat sikap diamnya. “Saya masih mencoba bertahan untuk tidak bicara sebelum mendapat respon kata-kata dari ayah tercinta,” hatinya masih berbisik dengan lembut dan sabar.
Diam dari Burhan ternyata masih memperpanjang daftar sikap diamnya Dulmas pula.
Berkali-kali ibunya menguraikan alasan bahwa ini saat yang kurang tepat, “Tundalah dahulu niat kamu itu, Dulmas.”
Siti Masmurah berupaya keras agar ada yang didengar dari kedua belahan bibir anaknya. Tidak hanya di meja makan, tetapi saat berpapasan di halaman depan rumah pun tetap dicobanya. Mereka sudah saling mengetahui sikap masing-masing anggota rumah tangganya, mereka memiliki sikap yang tidaklah begitu sulit untuk dipahami, tetapi masing-masing akan mendapatkan jawaban dan akan saling menghormati harus bersikap seperti apa. Lebih-lebih sikap diam ayah mereka. Sudah biasa bila ada persoalan penting maka terlihat seperti ada ‘seteru’ antara Dulmas dengan Burhan. Mereka saling mempertahankan sikap dan pikiran masing-masing.
Siti Masmurah biasanya akan memainkan peran yang tidak gampang. Jam terbangnya sudah tidak diragukan berhadapan dengan persoalan seperti ini.
“Persoalan ini tidak harus diselesaikan dengan sesegeranya, saya harus membaca tanda-tanda apa yang mendasari keinginan anakku untuk pergi jauh itu,” Burhan melanjutkan ucapan-ucapan pada dirinya sendiri seraya membenahi barang-barang dagangan di toko mereka. Sebentar lagi ia pulang ke rumah. Matahari sudah melepaskan warna jingga di arah nun jauh.
“Bila memang setiap orang wajib berpindah dari asalnya berada untuk menemukan tempat baru sebagai tujuan, maka kepergiannya adalah sebuah anugerah karena keinginan itu datang dari dirinya sendiri sebagai bentuk kesadaran,” Burhan masih memberi peluang kepada pikiran-pikirannya agar dalam menentukan sikap menjadi berdasar. Setiap jengkal langkahnya adalah bentuk renungan bahkan semacam zikir di keheningannya.
Rupanya sejarah perpindahan itu telah lama dan memang dapat menjadi sebuah kewajiban, oleh sebab itu tidaklah berlebihan bila dalam sebuah perencanaan untuk maju dan berkembang maka perpindahan itu akan membuka mata dan telinga, banyak sekali anugerah dari semua perjalanan demi perpindahan, tetapi bukan untuk semata-mata kekosongan pikiran. Bila kekosongan ini yang dilakukan maka akan mengakibatkan hampa belaka, yang ada adalah kesia-siaan belaka. Kering dan percuma.
Hari mulai gelap, Burhan masih duduk tersandar di belakang meja kerjanya. Banyak catatan penting yang berserak di hadapannya. Ia akan bekerja sendirian kini, ia akan ekstra keras lagi. Di bagian lain keputusan harus disampaikan dan semua anggota keluarga pasti menunggu, sangat menunggu. Tak ada yang ditunda, bahkan untuk urusan catat mencatat itu semoga bisa digantikan oleh menantunya yang tidak lama lagi akan tiba. Usaha keluarga yang telah dirintis bersama.
Matahari akan cerah. Walau sebelumnya pelangi membuka warna di balik hujan, dengan cara melengkung di garis horisontalnya. Bayangan ke tujuh bidadari yang turun dari kayangan menuju sebuah danau. Bidadari-bidadari itu meyakini bahwa persoalan awet muda mereka adalah berkat guyuran air telaga tersebut. Mereka harus selalu mandi di telaga itu pada waktu yang telah ditentukan, biasanya pada saat gerimis tipis turun dengan perlahan. Telaga yang tidak terlalu jauh dengan pinggiran kampong Dadap, telaga yang terletak di sebalik hutan lebat di ujung kampung.
Ternyata Dulmas tetap berangkat, ia melambaikan tangan dan di pipi ibunda ada garis air yang menurun, bening, tentu berharap agar yang pergi segera kembali.

***

Tiba saat yang dinanti oleh keluarga Burhan. Banyak warga kampung Dadap berdatangan, mereka siap sedia membantu segala sesuatu dalam persiapan perayaan akad nikah dan resepsi perkawinan anak pimpinan mereka, anak pak Burhan dengan seorang lelaki yang sudah lama berpacaran. Tidak lama di pertigaan jalan menuju rumah kedua mempelai terbaca tulisan sederhana, “UNDANGAN PERKAWINAN Saldah Mahmudah & Fajar Anugerah” (lengkap pula dengan nama kedua orang tua mereka, lengkap dan sungguh lengkap). Turut mengundang seluruh anggota keluarga besar kedua mempelai. Bulan haji bersamaan dengan musim hujan, dan ini saat-saat yang tepat untuk sebuah perkawinan.
Bergotong royong di Kampung Dadap adalah aktifitas yang sudah turun-temurun dari waktu dahulu, sampai kini pun masih dilakukan. Tak ada yang berat kaki atau berat tangan. Semua bahu-membahu, saling gurau di ruang belakang saat mempersiapkan banyak bahan olahan, di perapian pun sama terlihat dan terdengar gurau-gurau, celoteh-celoteh yang membangun suasana ceria. Tidak para lelaki tetapi berbaur pula dengan para wanita tua atau muda.

***

Dulmas menempuh rute perjalanan yang tidak biasa, ia memilih alur sungai sebagai jalan untuk mencapai tujuannya. Banyak nama sungai dilalui, berhari-hari bahkan berbulan-bulan.  Sengaja ia putuskan komunikasi kepada siapa saja yang ia kenal, tidak terkecuali kepada pihak keluarganya di Kampung Dadap.
Dari hulu Sungai Tabalong, Sungai Negara, Sungai Martapura, bahkan lebih jauh lagi ke sungai dengan ukuran besar dan kecil, banyak anak sungai dan semua pun tidak ada yang dicatatnya, tetapi semua dialami dengan ingatan saja, karena ia sendiri tidak membawa perlengkapan rekam-merekam, tulis-menulis, catat-mencatat. Semua berjalan secara alami dan tubuhnya adalah bagian yang paling utama dalam pendokumentasian perjalanan panjangnya, entah berujung sampai di mana atau sampai seberapa lama waktunya.
“Perjalanan ini hanya memerlukan sebuah keberanian,” ucap hati Dulmas dengan penuh keyakinan. Untuk sebuah keberanian itu ternyata Dulmas harus menyiapkan raga tubuhnya dalam bentuk meditasi, semacam mematung di sepi-sepi. Raga tubuh kasarnya harus diam dan melakukan penjelajahan ke semua arah. Penjelajahan itu menuntut konsentrasi yang sangat menguras energi bahkan bukan hanya terfokus tetapi ada pemecahan ke segala arah. Pusat perhatiannya menjadi kabur, gelap sangat. Ini bukan proses yang baru ia alami tetapi telah menjadi kebiasaan bahkan sebagai tradisi bersifat pribadi. Pemecahan itu selalu ia lakukan, paling tidak ada dua sela waktu dalam sehari. Meditasi. Perjalanan meditasi itu ternyata bukan hanya mengubah raga tubuhnya sebagai apa yang ia nikmati sebagai raga kasar manusia, tetapi jelajah itu telah mengubah ia sebagai apa saja sesuai alam pikirannya. Ia menjadi ‘olah sukma’ dan boleh dikata sampai kepada ‘alih rasa’. Ilmu meditasi yang ia dapatkan sendiri dan Dulmas sangat menikmatinya. “Ini bukan hanya semacam ‘Asmaradananya Ki Danarto’ tetapi boleh jadi lebih dari itu,” jelas Dulmas suatu ketika kepada rekan koresponden dalamsuratbalasan sebelum ia memutuskan untuk pergi jauh dari rumahnya sendiri. Pergi dengan menyimpan persetujuan kedua orang tuanya, dan ucapan berat hati dari kakaknya tercinta, Saldah yang beberapa bulan ke depan akan melangsungkan pernikahan. “Baiklah, kakak tidak bisa menghalang-halangi kemauan adik, walau kita sudah mengetahui bahwa beberapa bulan lagi kakak akan melangsungan acara keluarga,” kata Saldah di saat yang memang tepat untuk mereka berdua.
“Apakah yang membuat aku sangat bahagia, Noktar?” tanya Dulmas ketika ia akan memulai perjalanan jauh. “Inilah saat-saat yang sangat aku tunggu, aku akan memulai perjalanan ini via jalur sungai-sungai yang ada di pulau ini, Pulau Kalimantan,” sebuah semangat petualang sejati tergambar sangat jelas, berkobar-kobar.
“Baiklah Dulmas, aku berhenti berkirimsuratuntuk waktu yang tidak dapat dipastikan, ini kemauan kamu sendiri,” balas Noktar dalam suratnya kepada Dulmas.
Dulmas ingin tidak ada yang mengganggunya selama perjalanan itu berlangsung.
Melewati beberapa situs di alur sungai pula. Sungai ternyata merupakan sederet tempat tinggal yang sulit untuk dilepaskan oleh masyarakat, itulah yang banyak disaksikannya. Dulmas menatapnya dengan penuh rasa senang.
Sungai-sungai besar, dari yang bernamaKapuas, Barito, Mahakam, bukan hanya itu, sampai ke sungai-sungai kecil yang bertebaran. Bahkan konon kabarnya pembagian wilayah hampir di luasnya hamparan pulau itu tidak lepas dari jalur sungai sebagai garis pembatas. Itu sangat memudahkan, oleh karena batas wilayah tidaklah harus dalam bentuk garis lurus, tetapi secara alamiah dan irit serta tidak akan menguras tenaga berlebihan. Ini menjadi wajar-wajar saja.
Di kedua sisi sungai-sungai itu alangkah lebatnya hutan-hutan, masih terasa getar-getar rimbun dengan sepenuh misteri yang ada di dalamnya. Tetapi pada beberapa tempat memang terlihat padat sebagai tempat hunian. Rumah-rumah yang bertiang kayu, dan debur gelombang kecil menghantam sehingga rumah-rumah itu pun turut bergetar.
Sementara itu di kampung Dadap.
Saldah turut bergetar. Malam-malam pertama yang menghadirkan getar-getar, seluruh persendian tubuhnya turut bergetar. Tiang dan kaki ranjang juga bergetar.
“Sungguh luar biasa, betapa cepatnya perubahan itu terjadi. Sungai-sungai yang meliuk di dalamkotaini semakin sempit, kalau tidak mau dikatakan sebagai parit-parit.”
Parit-parit yang berasal dari sungai-sungai kecil tetapi sungguh, dahulu di bawah jembatan yang berbentuk melengkung itu dapat dilalui banyak jukung. Tetapi kini, selain keruh dan menumpuk sampah, kelebaran sungai pun sudah sulit dipertahankan. Jalan raya tempat menampung laju banyak kendaraan tidak juga banyak berubah, sama saja dengan kondisi lama beberapa puluh tahun berlalu, sedang jumlah mobil, apalagi kendaraan roda dua semakin sesak saja, melihat arus di jalan raya seperti sebuah alir sungai yang bergerak begitu cepat. Sungai sendiri menjadi lambat,  ramping dan tersumbat.
“Tak salah bila dalam hitungan yang sangat singkat makakotaini tenggelam,” bisik hati yang tidak jauh dengan gumam, “Kotadalam kondisi di bawah permukaan laut,” dan itu sangat memungkinkan untuk terjadi.
Pikiran yang melanglang buana dari dalam diri Dulmas semakin menjadi-jadi. Terbang ke sana-sini. Ia dapat menjelma daun-daun ilalang di daerah gersang. Ia mampu menjelma gelombang lautan atau bahkan menjadi buih-buih yang ikut serta menghantam setiap pantai. Ia pun dapat menjadi badai yang mengepung bukit dan puncak gunung.
“Tentu saja semua perjalanan pikiran itu adalah bagian dari sebuah bentuk perlawanan,” jelas Dulmas lebih kepada dirinya sendiri. Kini ia berada di sebuah bendungan besar.
“Tetapi pikiranku terbang, tak mudah dibendung,” ucapnya seraya berjalan dan memperhatikan sekelilingnya.
Bendungan itu sendiri menyisakan cerita yang sangat melekat bagi semua orang, terutama bagi masyarakat sekitarnya.
Dari bendungan besar itu pula lampu-lampu menyala terang, jalan-jalan terang, gedung-gedung terang, rumah-rumah terang, kamar-kamar terang, pikiran-pikiran terang.
Kampung-kampung tetap tenggelam. Orang-orang semakin kencang berlari, dan semakin jauh. Entah, engkau, apakah juga lari dari segala sesuatunya. Di keramaian kampung Dadap, Dulmas tak pernah tahu itu. Ia masih saja berjalan di antara pikiran-pikirannya sendiri, karena baginya persandingan itu adalah bagian dari yang biasa-biasa saja. Sedang jelajah pikirnya adalah bagian yang teramat ia suka.
Dulmas belum juga pulang, ia berlari semakin jauh.[]

Cerpen ini didedikasikan buat sastrawan besar Indonesia bernama Danarto, entah apa yang terlintas ketika ingat beliau, entah pada cerpen berjudul apa sehingga lintasan wajah tokoh itu menjadi hadir begitu saja, dan semua menjadi entah dibuatnya.


Sumber:
http://sawali.info/2012/08/27/berlari-semakin-jauh/

Cerpen Harie Insani Putra: Sesuatu yang Pecah di Hari Itu

Tersebutlah di dunia antah berantah, lahir seorang bayi mungil dengan berat badan 5 ons. Meski demikian, kelahiran bayi itu sudah direncanakan. Maka, sebuah rencana yang berhasil pantas untuk dirayakan, kata orang tua bayi tersebut. Akhirnya mereka putuskan untuk mengundang banyak orang. Satu demi satu undangan sudah mulai berdatangan. Orang-orang berkumpul di tepi kolam renang yang airnya menimbulkan bayangan sinar bulan. Pesta pun dimulai. Mereka benturkan gelas tanda bersulang. Rencana orang tua bayi itu telah berhasil.
“Betapa indahnya tanggal kelahiran anak kita,” ucap ayah dari anak itu kepada istrinya. Yah, sejak awal mereka telah merencanakan agar bayi dalam kandungan itu lahir bertepatan pada tanggal satu bulan satu tahun 2001. Kalau diurutkan ke dalam angka, 010101. Begitulah, Untuk mendapatkan momen tersebut, mereka berani membayar mahal salah seorang dokter untuk melakukan bedah cesar tepat pada waktunya. Bahkan, jika bisa si jabang bayi keluar dari rahim sang ibu tepat pada pukul 01.00.
Rencana itu memang berjalan dengan lancar. Usaha mereka tidak sia-sia. Betapa bodoh dokter yang menolak tawaran mereka sebelumnya. Berapa pun mereka siap membayar. Tapi dokter sebelumnya tidak setuju demi keselamatan sang bayi. Karena menurutnya, satu bulan lagi bayi itu pantas dilahirkan dengan normal. “Hidup, bukan soal kapan detik itu sedang berlangsung, tapi bagaimana proses detik demi detik itu akan dilewati,” kata dokter sebelumnya ketika menasehati pasangan suami istri itu ketika tetap memaksa untuk melakukan bedah cesar. Akhirnya, kedua pasangan suami istri itu memutuskan untuk menggunakan jasa dokter yang lain. Tentunya, dengan tawaran harga yang lebih tinggi.
Di keramaian pesta, kedua pasangan itu tampak puas. Sementara di dalam rumah mereka, beberapa orang perawat sedang cemas memperhatikan perkembangan seorang bayi mungil di dalam tabung inkubator. Lantas mereka dikejutkan dengan suara teriakan di luar sana, tempat orang-orang sedang asyik berpesta. Ternyata, ada seorang tamu yang tak sengaja menyenggol meja, gelas-gelas itu kemudian jatuh ke lantai dan pecah. Setelah orang-orang di luar sana berteriak, dalam hitungan detik, di dalam sana pun juga telah terdengar teriakan yang jauh lebih mengkhawatirkan ketimbang gelas yang pecah. Tapi, semua orang tak bisa melupakan sesuatu yang pecah di hari itu, mereka selalu mengingatnya dengan muram. Karena sesuatu yang pecah di hari itu adalah sebuah tangisan.[]

Cerpen Muhammad Daffa: Dua Orang Seteru

KAU selalu percaya, setiap orang terlahir dengan banyak keajaiban. Semisal dalam kisah yang akan kuceritakan ini. Tentang seorang bayi yang lahir di tengah bising wabah. Kedua orang tuanya sepakat memberinya nama Pandemi Mujarabat. Dengan harapan ia selalu dapat menjadi keajaiban yang mujarab bagi lingkungan di sekelilingnya. Keajaiban yang berlipat-lipat. Pandemi tumbuh dewasa sebagai seorang yang disegani. Ia mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit, mulai dari diare, asam lambung, encok pinggang, tyfus, hingga penyakit-penyakit yang sudah tidak diketahui lagi obatnya oleh mantri golongan mana pun. Pandemi kian hari kian santer. Namanya melambung bak seorang artis papan seluncur. Di mana-mana orang mengelu-ngelukannya, menyebutnya pahlawan. Orang-orang di kota kami membuat spanduk besar dengan sketsa wajah Pandemi Mujarabat hingga memajangnya hampir di setiap jalan dan ruas-ruas perempatan. Pandemi dikenal tidak saja hanya karena kemampuannya yang mustajab itu, melainkan juga karena kemampuannya yang lain yang tak kalah menakjubkan. Ia mampu mengeluarkan roh orang dari badan dengan berbekal jampi yang ditiupkan ke ubun-ubun. Roh tersebut akan pergi mengembara ke berbagai tempat yang ia inginkan, lalu dengan kecepatan yang tak mampu ditangkap mata orang biasa, Pandemi akan memukul tubuh orang yang rohnya ia keluarkan dengan telapak tangannya hingga tubuh itu mengeluarkan asap tipis. Saat itulah si fulan kembali tersadar dan merasa takjub dengan apa yang ia alami barusan. Pandemi diberinya uang sejumlah lima puluh ribu rupiah. Namun Pandemi menepis uang itu. Ia hanya bilang kepada si fulan, kalau ada teman atau keluargamu yang mau berobat atau sekadar jalan-jalan dengan roh nya, kamu bisa membawanya kemari. Si fulan hanya mengiyakan, mengucap syukur dan terima kasih, lalu pulang dengan langkah yang ringan. Bagi sebagian orang, Pandemi adalah juru selamat. Ia titisan Tuhan dalam wujud manusia yang digdaya. Banyak juga orang yang kemudian ingin agar Pandemi meminang anak gadisnya, atau sekadar mengajak Pandemi ke luar kota, menjelajah puncak-puncak gunung, menaklukkan belantara ditemani gadis-gadis yang sudah diseleksi penduduk kota untuk mengawal Pandemi. Jika sudah begini keadaannya, Pandemi hanya geleng kepala dan beberapa waktu berselang akan menyunggingkan senyum dari bibirnya. Pandemi sebenarnya tak risih dengan tawaran-tawaran itu. Ia hanya butuh penyegaran untuk mengenal dirinya yang sesungguhnya. Pandemi menyadari hal ini. Ia memang memiliki berbagai keajaiban sejak kecil, tapi bukan berarti itu suatu jaminan bahwa hidupnya akan bergelimang banyak berkah dengan kemampuan-kemampuan mustajab. Setiap orang memiliki kecenderungan untuk memilih, ibunya pernah berkata suatu waktu, jauh di musim-musim yang telah lalu. Ayahnya, juga berkata yang kurang lebih sama. Pandemi hanya perlu waktu.
Di sebuah senin yang menjemukan, Pandemi kedatangan tamu jauh dari luar kota. Namanya Murni Gelabakan. Murni mengaku telah bunting lima bulan. Laki-laki yang menghamilinya , Menak Wiro, lari ke sebuah kota yang dikelilingi dua lautan dan tujuh sungai keramat. Kota itu bernama Gini Mancer.
"Tolong aku, Pandemi. Kau satu-satunya orang yang kuharapkan dapat membantu. Kata orang juga, kau dukun yang tak mata duitan. Makanya aku mau datang kemari…"
"Itu hanya bualan yang dikarang-karang penulis cerita yang gagal, Murni. Kemarilah. Mendekat padaku. .."
Sempat ketakutan karena mengira Pandemi akan macam-macam dengannya, Murni akhirnya menurut. Pandemi meludahi kening dan bibirnya sebanyak tujuh kali, lalu mengucapkan mantra-mantra yang tak sepenuhnya dipahami Murni.
"Laki-laki yang menghamilimu mempunyai rajah di tubuhnya. Aku tidak bisa melihat lebih jauh apakah ia masih ada di Gini Mancer atau tidak…"
"Bagaimana mungkin? Katanya kau orang sakti, Pandemi. Maka carilah jalan lain untuk menemukannya. Jika sudah berhasil, buat ia kembali padaku…"
"Maksudmu, aku kirim pelet, gitu?…"
"Iya, kau kan dukun. Pasti bisa melakukan hal-hal yang semacam itu…"
Pandemi menggelengkan kepala berulang kali. Dari bibirnya, terucap juga serapah,
“dasar perempuan!"
Murni Gelabakan tak pernah bakal menyangka jika kisahnya dengan Menak Wiro yang telah membuang benih di rahimnya bakal serumit ini. Sekarang ia tengah menanggung buah dari perbuatan mereka. Buah yang bakal tumbuh menjadi biang bagi lingkungan tempat Murni Gelabakan menetap. Murni yakin buah yang tengah dikandungnya itu akan jadi bajingan yang lebih dahsyat lagi dari bapaknya. Murni tak ingin lagi mengingat bajingan kampung itu, ia kini hanya berfokus pada upayanya untuk kembali menemukan jalan keluar dari segala duka-citanya. Ia ingin kembali menjadi perawan.
Ketika Pandemi mengetahui bahwa Murni Gelabakan ingin jadi perawan lagi, tawanya meledak. Memecah seisi ruang kerjanya.
“Di mana-mana, yang aku tahu, kalau sudah bunting, pasti mintanya menggugurkan kandungan. Lha kamu kok malah aneh sih. Kemarin waktu datang pertama minta nya pelet bin manjur, sekarang malah minta kembali jadi perawan. Kamu tidak kasian sama buah yang kau kandung? Lama-lama buah itu akan mengutukmu jadi ibu yang lebih bajingan dari siapa pun!…"
Murni Gelabakan hanya tertunduk diam. Ia merasa Pandemi tak memiliki niatan yang cukup kuat untuk membantunya kembali menjadi perawan.
“Kamu pikir gampang jadi perawan lagi? Buahmu mau diapakan kalau gitu?.."
“Aku tak mau mengurusnya sampai bajingan itu kembali ke pelukan..!"
Mendengar kata-kata Murni Gelabakan, seketika mulut Pandemi ingin mengatakan hal yang sama ketika Murni minta pelet kepadanya. Tapi entah kenapa, Pandemi urung mengatakan itu. Ia merasa selongsong peluru tentara Tuhan datang dari arah kegelapan dan menembus kepalanya hingga penghuni yang lelap di dalamnya terburai berhamburan.
Pandemi sangat ingin membantu Murni Gelabakan. Termasuk menyihirnya kembali jadi perawan. Yang membuatnya tak tega adalah buah yang tengah mengarang cerita di dalam rahim Murni Gelabakan. Apakah buah itu harus dikeluarkan dengan paksa?
Jika Pandemi melakukannya, penduduk langit  akan mengetahuinya dan memberinya suatu ganjaran yang tidak main-main. Ganjaran yang bukan sekadar tamparan di muka. Lebih dari itu. Di lain sisi, Pandemi merasa kasihan dengan Murni Gelabakan.  Ia pun akhirnya luluh dan menawarkan tumpangan tinggal sementara kepada Murni, agar buah yang tengah dikandungnya tetap terjamin sehat wal afiat. Pandemi sudah berjanji mengenai hal itu. Perempuan muda itu terasa sangat menggairahkan baginya. Kecantikan memang dapat membuat lelaki mana pun lumpuh dan tak berdaya. Termasuk Pandemi.
Bagaimana mungkin seseorang yang sudah bertahun-tahun merelakan dirinya membujang bisa jatuh cinta kepada seorang perempuan yang sudah kehilangan masa perawannya? Bagaimana mungkin seseorang yang dipuja-puja sebagai dewa dan memiliki banyak keajaiban bisa menaruh harapan pada seorang perempuan yang mengaku tengah bunting lima bulan?
Berhari-hari setelah Murni Gelabakan menghilang begitu saja dari kediamannya tanpa sepucuk pun pesan, Pandemi Mujarabat selalu berangan-angan perempuan itu bakal kembali dan terisak-isak di bawah kakinya. Memohon agar Pandemi melamarnya. Tetapi kenyataannya Murni Gelabakan tak pernah lagi kembali. Mungkin pelet bin manjur berhasil meringkus kembali hati Menak Wiro. Bayangan Murni selalu datang dan mengganggu. Dalam hatinya, Pandemi Mujarabat yakin seyakin-yakinnya jika Murni Gelabakan sebenarnya juga jatuh cinta kepadanya. Khayalan macam ini terbawa hingga beberapa bulan kemudian. Tepat di sebuah minggu yang murung, hujan tergesa, dan beberapa tempat di kota tergenang air, Murni Gelabakan kembali ke rumah Pandemi Mujarabat. Ia menggendong seorang bayi mungil. Di waktu yang bersamaan, seorang lelaki datang dari arah tak terduga. Murni tercekat. Ia menggumam beberapa kali. Ia menggumam seraya mengumpat bangsat tiada henti. Pandemi jadi semakin yakin lelaki itulah yang dibilang Murni Gelabakan sebagai bajingan yang telah membuatnya bunting. Pandemi tidak boleh membiarkan Menak Wiro kembali kepada Murni. Ia berjanji akan melakukan sesuatu agar Murni tidak kembali lagi pada lelaki itu. Penduduk langit tak boleh tahu.  Tapi bagaimana mungkin?
Pandemi tak punya banyak waktu. Ia harus secepatnya mencari Menak Wiro dan menggorok batang lehernya. Tapi pertanyaan yang sama selalu datang menampar-nampar dinding jantungnya, bagaimana mungkin?
Penduduk langit, kau tahu, bakal selalu mengawasi gerak-gerik makhluk yang bernama Pandemi itu. Karena ia digdaya. Karena ia bisa melakukan apa saja terhadap orang-orang di sekitarnya.
Tengah malam, ide gila muncul dari kepala Pandemi.
Menak Wiro tidak boleh kembali kepada Murni. Ia harus mati.
Mati dengan cara yang sudah ditentukan.
Dengan membawa sebilah keris pusaka miliknya, Pandemi keluar dari rumah dengan dada membusung. “dengan benda jahanam ini, takkan ada seorang pun yang bisa menghalangiku, termasuk penduduk langit, yang dahulu telah dicuri kesaktiannya oleh ayahku!"
Menurut cerita ibunya, ayah Pandemi juga seorang dukun seperti dirinya sekarang. Ia juga disegani karena kemampuan mustajab  menaklukkan makhluk-makhluk yang tak dapat ditangkap mata biasa. Suatu ketika, permulaan musim hujan, ayah Pandemi pergi ke belantara. Mencari sebilah keris pusaka bernama Watu Mujeng. Ia mencari keris itu sebagai upaya untuk menyempurnakan ilmu. Menurut gurunya, Ki Jenggeleng, Watu Mujeng hanya bisa ditemukan oleh seseorang yang telah mendapat tanda rajah kalajengking di punggungnya sejak lahir. Dan orang itu adalah ayah Pandemi.
Ayah Pandemi pada akhirnya berhasil mendapatkan keris yang dimaksud Ki Jenggeleng, meski ia harus bertarung tujuh hari tujuh malam dengan siluman hutan bernama Arya Menak. Dengan Watu Mujeng, ayah Pandemi berhasil menjadi seorang yang tangguh dan tak terkalahkan di banyak pertarungan. Beberapa kali jawara-jawara dari luar kota mencoba menjajal ilmunya, bahkan tak sedikit di antara mereka yang berniat membunuh, tapi tak satu senjata pun sanggup menembus tubuhnya. Ayah Pandemi kebal terhadap segala jenis senjata, termasuk senjata-senjata yang telah dilebur dengan mantra gaib. Bertahun-tahun kemudian, ketika ayahnya sudah di ambang sekarat, dengan mata mendelik dan lidah menjulur keluar serupa anjing kehausan, Pandemi dipercaya untuk menjaga sekaligus memiliki Watu Mujeng.
Jauh sebelum masa sekaratnya, Mas Dengklok, demikian orang-orang menyebutnya, adalah seorang yang gemar menantang makhluk-makhluk langit. Kebanyakan dari mereka merasa geram terhadap tantangan itu dan coba meladeninya. Mereka terheran-heran ketika tak satu pun senjata berupa keris, pedang, dan tombak yang mampu melukai tubuh Mas Dengklok. Dan orang-orang yang pada saat itu menyaksikan pertarungan antara kedua makhluk berbeda haluan itu mengira bahwa Mas Dengklok lah makhluk langit yang sesungguhnya. Hanya saja ia berbeda. Bila makhluk langit dilahirkan di kayangan yang berbaur dengan sungai-sungai sorga dialiri arak putih, maka berbeda hal nya dengan Mas Dengklok. Ia dilahirkan di sabtu petang ketika huru-hara terjadi hampir di seluruh wilayah kota. Orang-orang terbunuh. Kepala mereka ditebas dengan pedang berukiran rajah kalajengking. Serupa dengan tanda yang kemudian muncul di punggung  Mas Dengklok.
Mas Dengklok dilahirkan di sebuah pemukiman kumuh yang berbaur dengan sungai-sungai comberan beraroma tahi kalong. Jika malam datang dan menyusup diam-diam ke pemukiman itu, para kalong akan berkumpul dan membuang berak seenak jidat mereka. Maka tak mengherankan jika Mas Dengklok pernah mendapat julukan Pendekar Rahim Kalong, dan hal itu menjadi bahan tertawaan kawan-kawan sebayanya di masa kecil.
Makhluk langit merasa dipermainkan oleh Mas Dengklok. Mereka mencoba menyerangnya dengan tenaga gaib yang bersumber dari sebuah tombak berukiran naga api. Serangan tenaga gaib itu berakhir sia-sia karena Mas Dengklok justru malah semakin digdaya tiap kali diserang dengan cara demikian. Sihir yang dimiliki tombak naga api diserap habis Mas Dengklok dan jadilah ia semakin tak terkalahkan hingga tahun-tahun kemudian. Makhluk langit pulang ke kayangan dengan serapah tak berkesudahan, mereka bersumpah akan menuntut balas terhadap Mas Dengklok dan akan menghabisi anak-anak keturunannya.
Murni Gelabakan sedang menjemur baju-baju cuciannya ketika Pandemi datang mengendap dari arah samping rumah. Watu Mujeng tergenggam kuat di tangannya. Di mana  Menak Wiro? aku harus menyusup ke dalam rumah dan menikamnya hingga mampus. Pandemi terus melangkah pelan membelakangi Murni dan berjalan menuju pintu. Dari arah dalam rumah, Pandemi seperti telah menemukan kesempatan berikutnya. Ia mendengar dengkuran keras dan ia yakini itu adalah si Menak Wiro yang tengah pulas dibuai mimpi-mimpinya. Dengan geraknya yang cekatan, Pandemi membuka pintu dan bergegas ke sebuah kamar yang menjadi sumber dengkuran.
Di atas ranjang, tubuh Menak Wiro sedang khusyuk berdekap bantal dan dua guling. Dengkurnya semakin nyaring, tapi Pandemi, dengan sebilah keris Watu Mujeng di tangannya, tak mau ambil pusing. Ia harus segera mengakhiri Menak Wiro dan merebut Murni Gelabakan. Pandemi tak perlu berpikir panjang. Dengan menikam bagian jantung berulang kali, lelaki macam Menak Wiro pasti akan langsung mampus dan roh nya melayang ke neraka. Khayalan-khayalan terus bermunculan dan tumbuh di kepala Pandemi yang sudah dirasuki bayangan jahat. Kau harus membunuhnya, dan membawa kepalanya menjauh dari rumah ini. Bisikan-bisikan lain datang, mendorong Pandemi untuk segera menghujamkan Watu Mujeng. Lalu memenggal kepala Menak Wiro.
Ketika Pandemi sudah mengambil ancang-ancang untuk menghujamkan Watu Mujeng, sekonyong-konyong ia dengar suara denting senjata menebas batang lehernya dari arah belakang. Ia tak sempat menoleh lagi karena yang terjadi kemudian adalah kepalanya sendiri yang tercerabut dari tubuh, menggelinding ke atas lantai dan baru berhenti ketika menabrak tembok. Darah berhamburan di mana-mana.

Banjarbaru, April 2020


Sumber:
https://www.banaranmedia.com/cerpen-muhammad-daffa-dua-orang-seteru/

Cerpen Muhammad Daffa: Fragmen-fragmen Kanaya

Kanaya tak pernah bertanya kepada ibunya apa sebab bapak meninggalkan mereka pada tahun-tahun yang telah jauh berlalu. Ibu bilang bapak bisa terbang, mempunyai sepasang sayap. Kanaya juga ingin seperti bapak. Punya sayap. Leluasa menjelajah berbagai tempat. Ibu hanya tergelak mendengar. Katanya, sepasang sayap yang dimiliki bapak tidak sembarang orang bisa memilikinya. Hanya orang-orang pilihan. Apa itu orang-orang pilihan? Tanya Kanaya. Orang-orang yang hidupnya penuh dengan berkat tuhan. Kanaya tak puas. Ia ingin bertanya lagi. Tapi ibu sudah keburu pergi, menghilang di antara kegelapan hutan. Kanaya ingin menyusulnya. Kembali kepada dekap dongeng-dongeng yang meninabobokan hidupnya sejenak. Ibu pernah bilang, suatu saat jika Kanaya sudah tumbuh besar akan dapat kesempatan mewarisi dongeng ibu. Menurut ibu, Kanaya akan mampu memahami kisah sepasang sayap jika dirinya sudah melewati beberapa fase. Fase pertama, ketika  tubuh Kanaya ditumbuhi perdu-perdu cahaya, cahaya itu akan membuatnya dapat melihat segala yang tak mampu dilihat orang kebanyakan. Fase kedua, ketika Kanaya sudah beranjak dewasa. Sayap-sayap akan bermunculan dari punggungnya, beriring bunga-bunga beraroma luka. Bapak sudah melewati fase-fase itu, sehingga sepasang sayap di punggungnya bertambah banyak seiring waktu. Kanaya senang. Ia semakin ingin memiliki sayap. Ia ingin terbang dan bebas bertualang. Kanaya bosan dengan kehampaan.
Sampai suatu ketika, di sebuah hari yang tak pernah diduga Kanaya, beberapa orang yang mengaku utusan menteri datang ke rumahnya meminta izin untuk menggunduli hutan. Tentu saja Kanaya tak setuju. Hutan di belakang rumah Kanaya hanya boleh dijamahnya seorang, tak boleh ada orang lain yang datang ke sana, apalagi berniat merusaknya. Orang-orang dari kota itu tak ambil pusing. Bagi mereka Kanaya hanya orang sinting yang suka melamun dan berangan-angan menjadi putri kahyangan. Cerita Kanaya sudah sering didengar oleh mereka ketika secara tak sengaja menangkap pembicaraan dari beberapa kawan kerja yang juga sebelumnya datang ke rumah Kanaya. Mereka lari tunggang-langgang karena melihat sosok perempuan setengah melayang dengan tongkat bermata bintang, mengancam mereka dengan sihirnya. Kanaya hanya tergelak kecil menyaksikan kejadian itu.
Tak banyak orang yang tahu mengenai Kanaya, karena siapa pula yang ingin berkenalan lebih jauh dengan seorang bocah perempuan sinting macam dirinya? Kanaya tak ambil pusing, ia juga tidak bersedih atas apa yang dikatakan orang-orang tentang ia dan keluarganya. Bagi Kanaya, kesedihan sudah lebih dari cukup, tak butuh penawar lagi. Apalagi secangkir tawa yang membuat orang semula waras menjadi gila. Kanaya tak ingin orang-orang di sekitarnya menjadi sinting hanya gara-gara mendengar ceritanya tentang ibu. Tentang seorang peri yang melahirkannya.
Kanaya ingat betul bagaimana ibunya memulai kisah itu. Semua bermula dari seorang pemuda yang datang ke tengah hutan bersama kawan-kawannya. Tampak bahwa mereka rombongan dari kota. Salah satu dari kawan pemuda itu membuang ludah di bawah sebuah pohon. Pohon di mana salah seorang peri bersemayam. Peri yang sedang khusyuk terlelap dalam tubuh pohon terbangun lalu mengumpat berkali-kali. Akibat dari umpatannya itu sangat luar biasa. Hujan turun dengan deras secara tiba-tiba, disertai air yang memancar dari tanah. Rombongan dari kota terpaksa meninggalkan hutan sementara dan kembali beberapa hari kemudian. Tampak salah seorang lelaki tua di antara rombongan itu.
Ibu menghentikan cerita. Kanaya pun berupaya menebaknya,
“Pasti si lelaki tua itu kakek sihir!”
Ibu tak bergeming. Air mukanya berubah.
“Tak ada jawaban yang benar, Kanaya..”
Kanaya memajukan bibirnya, wajahnya berubah masam.
“Lelaki-lelaki itu mengencingi sebuah pohon sebagai sebuah syarat yang diajukan si lelaki renta agar tidak diganggu oleh penghuni hutan dan membiarkan bekas pesingnya menguar ke udara. bertepatan dengan itu, seorang perempuan muncul dari rimbunnya kegelapan, membawa tongkat bermata bintang. Kau mungkin mengira ia penyihir. Karena dandanannya memang terkesan mendukung: jubah hitam panjang menjuntai, rambut setengah keriting yang dibiarkan tergerai, dan kakinya…kakinya tidak menapak tanah! Mungkin kau juga berpikir ia setan alas yang selalu dijadikan kisah bagi anak-anak nakal..”
Kanaya menatap lamat wajah ibunya. Kisah pun berlanjut.
“Perempuan itu dulunya  adalah peri berwajah purnama yang sedang bosan berada di kahyangan dan mencoba turun ke bumi. Tapi oleh ayahnya, ia dilarang pergi ke bumi. Karena datang ke bumi sama saja dengan bunuh diri, katanya. Peri itu tidak peduli. Ia mengabaikan nasihat ayahnya. Maka terdengarlah serapah yang akan menjadi ciri temurun bagi anak-anaknya yang kelak lahir ke dunia: berwajah bopeng, kulit bersisik serupa ular, dan rambut penuh kutu. Si peri tak peduli. Ia tetap menjauh dari kahyangan dan terbang menuju bumi…”
Ibu kembali menghentikan cerita. Kanaya kembali menagihnya untuk kembali melanjutkan. Tapi ibu tak bergeming. Ia terdiam beberapa waktu. Katanya,
“Kalau kau mau kisah ini kulanjutkan, maka rabalah dulu pergelangan tanganmu, apakah tanda temurun yang bermula dari serapah itu masih ada? Jika memang tanda itu tak bisa terhapuskan, maka aku ragu untuk kembali melanjutkan ceritanya..”
Kanaya ingin berbohong, tapi ia tak tega pada ibunya. Kanaya ingin sekali berbohong. Seperti bapak. Seperti bapak yang meninggalkan ibu dengan kebohongan-kebohongan. Ibu selalu bilang begitu tiap kali bercerita tentang bapak.
Kanaya ragu untuk melihat pergelangan tangannya, karena sudah sejak lama seluruh tubuh ia bungkus dengan karung goni yang sudah dibentuk sedemikian rupa, hingga amat mirip dengan baju yang dipakai sehari-hari. Kanaya ingin sekali melihat tubuhnya. Tanpa kaca. Hanya bayang-bayang yang mengada.
Ibu kembali menyuruhnya, Kanaya masih terdiam. Lamunan-lamunan dan angan tentang bapak menjadikannya kian suntuk dihajar kehampaan. Hanya kehampaan.
Kali ini Kanaya berusaha berani. Setelah sekian lama menyembunyikan tubuhnya dengan karung goni, kini waktunya kembali melihat apakah tanda temurun berupa sisik ular masih ada?
Ibu tak percaya. Hanya Kanaya seorang yang percaya. Tubuhnya semakin dipenuhi dengan sisik. Tapi anehnya tidak menguarkan aroma amis. Mungkin itulah keajaiban. Kanaya bingung apakah ia harus sedih atau gembira. Ia pikir dengan karung goni yang membungkus tubuhnya maka akan menyerap cacat bawaan yang menempel pada tubuhnya sejak bayi. Tapi nyatanya tidak. Bapak yang dulu bilang, bahwa karung goni yang dipasangkan ke tubuh akan menghapus kutukan. Dan sekarang apa? Lagi-lagi kebohongan semakin melucuti Kanaya ke dasar sunyi. Kanaya juga kerap bertanya-tanya, apakah semua yang dikisahkan ibunya itu benar? Apakah ia memang lahir dari rahim seorang peri kahyangan yang menjadi penguasa hutan? Atau segala yang terjadi hanya sebuah ilusi yang diciptakan seorang tukang sulap keliling untuk membawanya tamasya ke alam maya?
Kanaya terpejam. Lamat-lamat suara ibunya memanggil. Memanggil dengan lirih. Terkadang diselingi isak sesenggukan. Kanaya tak bisa tahu kenapa ibunya sesenggukan. Apakah ia benar-benar menangis seperti kebanyakan orang ketika melihat suatu hal yang menyedihkan, ataukah ia sedang dilanda kenangan stadium lanjut, terbahak-bahak, hingga setengah menangis? Kanaya hanya bisa bertanya-tanya, hanya bisa menduga-duga, apakah cerita ini akan terus berlalu membawanya ke relung yang semakin jauh atau malah sebaliknya.
“Lanjutkan lagi kisahmu, ibu. Aku masih ingin mendengarnya, meski setengah terpejam dan samar kudengar suaramu berkisah..”
Ibu tak bergeming. Tapi Kanaya dapat merasakannya. Aroma itu. Aroma sorga yang selalu membayang-bayanginya. Sorga kahyangan.
Ibu meneruskan ceritanya tiba-tiba, dengan air mata yang menggenangi pipi.
“Rombongan dari kota dikepung oleh si peri. Lelaki renta, penyihir bayaran yang telah disewa oleh para lelaki itu, kemudian berhasil melumpuhkannya dengan potongan bambu kuning yang telah diludahi sebanyak sepuluh kali. Ditulisi rajah-rajah gaib yang mampu menangkal segala bala dari setan laknat mana pun..”
Kanaya tampak tak sabar. Cerita ibu masih terus membuatnya penasaran.
“Peri yang telah diringkus kemudian dibawa ke kota, dikurung di rumah salah seorang dari lelaki-lelaki itu. Sang peri berusaha untuk melawan, membuka kurungan yang dibuat oleh lelaki renta, sebuah penjara khusus yang hanya bisa ditembus dengan suatu kemampuan linuwih tertentu. Suatu malam, peri berhasil lolos karena ia diam-diam mencuri dengar pembicaraan dua ekor cicak yang menyusup ke sebuah kamar rahasia. Di sana ada sebuah kitab usang berisikan mantra-mantra sakti. Peri itu menirukan satu buah mantra yang dihafalkan si cicak dan menghancurkan penjara yang membuatnya merana berhari-hari. Hari itu juga, ia melarikan diri. Kembali ke hutan…”
Kanaya membuka matanya. Ia memandang raut ibu yang tampak berduka. Seperti ada kesedihan yang menggantung di pelupuk matanya.
“Ibu sedang bersedih rupanya…”
“Tidak ada yang patut dijadikan alasan buat sekadar bersedih, Kanaya..”
“Termasuk bapak?…”
Ibu menundukkan wajahnya. Setiap Kanaya bertanya tentang bapak, yang terpintas di benaknya hanya seseorang dari masa lalu yang tak pernah kembali. Hilang ditelan tahun-tahun riuh.
“Ceritakan padaku tentang bapak. Aku belum mendengar bagian tentang itu dari cerita-cerita yang ibu bawakan hari ini..”
“Setiap perempuan punya cara sendiri untuk melupakan kenangannya pelan-pelan. Bapakmu ada dalam kenangan itu, berpendar, membawa sepasang sayapnya berkelana. Sepasang sayap yang menjadikannya bebas. Benar-benar bebas. Menghilang dari ibu..”
Kanaya tak mengerti tentang apa yang disampaikan oleh ibunya. Matanya ikut berkaca-kaca. Ia tak tahu apa sebabnya dan mengapa bisa demikian. Apakah kesedihan bisa menular lewat cerita?
Kanaya lekat memandangi wajah ibu. Sisa-sisa purnama itu masih ada. Malam menyala di bibirnya yang merona.
Di malam-malam yang menjadikan matanya terjaga, Kanaya selalu membayangkan bapak kembali ke hutan tempat rumahnya tegak dan menemuinya tiba-tiba. Kanaya selalu berangan-angan jika suatu saat bapak kembali, ia akan berupaya bangun sebagai Kanaya yang baru. Kanaya yang jauh dari rasa malu. Seperti yang biasa dibilang ibu padanya. Berkali-kali.
Kanaya ingin hidup normal layaknya anak-anak yang sebaya dengannya. Bermain bersama mereka, bercerita dengan riang gembira. Kanaya selalu membayangkan hari-harinya akan seenak itu. Selama ibu belum mau bercerita mengenai yang sesungguhnya terjadi pada bapak, Kanaya tak akan bangun sebagai Kanaya yang baru. Kanaya hanya ingin bertemu bapak. Mengajaknya berbincang hangat seraya mendengar bapak membuat celoteh lucu yang akan dibagikan kepada ibu.
Anak seumuran Kanaya harusnya sudah mempunyai banyak teman, tidak dibuang dan dikucilkan. Kanaya merasa ia bukan manusia pada umumnya. Makanya tak seorang pun mau menjadikannya teman. Kanaya bocah goni, ejek mereka tiap kali Kanaya mengajak bermain bersama.
Setiap kali Kanaya menanyakan perihal bapak, ibu seakan tak menggubrisnya dan beralih kepada kisah yang lain, yang tentunya menarik bagi Kanaya. Ada semacam sekat yang memisahkan ibu dengan bapak, sekat-sekat itu seakan terus memisahkan mereka hingga waktu yang tak bisa ditentukan.
Satu hal yang membuat Kanaya terus didera penasaran yang teramat sangat adalah dongeng yang selalu diceritakan ibu berulang kali ketika Kanaya sudah ingin terpejam,  menemui mimpi-mimpi manisnya. Dongeng itu terus mengganggu pikirannya, mengaduk-aduk jiwa kanaknya yang meronta, selalu menagih cerita. Selalu menagih kepulangan bapak. Kanaya tak bisa benar-benar pulas sebelum ibu menceritakan yang sebenarnya tentang perginya bapak. Termasuk hubungan bapak dengan dongeng yang biasa dikisahkan ibu. Apakah peri itu benar-benar ibu? Jika memang iya, kenapa tak ada sepasang sayap di punggungnya? Kemana perginya sayap itu?
“Sayap-sayap bapak tumbuh di punggungmu, Kanaya. Hanya ibu yang bisa melihatnya. Sayap-sayap itu mengelopak aroma kahyangan serupa dengan para peri yang dulu terusir dan menetap di bumi…”
“Apakah aku akan segera terbang? Menghilang seperti hal nya bapak?..”
Ibu menatap wajah Kanaya dengan lekat. Matanya kembali berair. Kesedihan menggantung di pelupuk matanya.
Kanaya ingin ibu bercerita soal bapak. Dan ia ingin tahu dengan sebab apa bapak menghilang hingga kini. Kanaya ingin tahu kenapa bapak meninggalkan ibu dan memberinya harapan berlebih. Harapan yang tak pernah bersambut kenyataan.
Kanaya merasa sayap-sayap di punggungnya tumbuh semakin banyak, bahkan melebihi sayap seekor burung. Kanaya merasa tubuhnya melayang tiap beberapa kali dicobanya berlari. Tiba-tiba ia jadi teringat dengan peri hutan yang dikisahkan ibu. Ketika berkaca, Kanaya merasa wajahnya bukanlah wajah ibu. Tak ada kemiripan. Kanaya menduga ia bukan anak kandung, melainkan anak pungutan. Ibunya tak pernah membahas lebih jauh soal ini. Tapi Kanaya ingin sesekali menanyakannya, dan ia harus tahu kali ini. Sayap-sayap itu-Kanaya teringat cerita tentang bapak. Bapak yang selalu hidup dalam benaknya, diombang-ambingkan dongeng ibu.
“ibu tak boleh menyimpan rahasia sendiri..”
Bujuk Kanaya suatu petang. Langit memekarkan kuntum-kuntum jingga. Kali ini Kanaya benar-benar ingin mendesak ibu. Ia tak ingin terus-menerus menjadi pendengar dongeng tentang bapak.
Ibu hanya memandang wajah Kanaya. Hening. Tak ada jawaban. Kanaya berpikir ibunya sudah benar-benar lelah karena terus didesak. Di sisi lain, Kanaya juga berpikir ibunya terlampau tabah mengurung masa lalu bersama bapak. Mengubur bapak di antara keping-keping ingatan.
Kata ibu, bapak keturunan langsung orang langit. Makanya ia punya sepasang sayap.
Ibumu tidak seperti bapak. Tidak punya sayap. Makanya ibu tidak bisa menyusul bapak. Menemaninya bertualang.
Ibu bilang, bapak sesekali datang ketika Kanaya baru berumur beberapa minggu. Membawa buah-buahan yang dibungkus rapi serupa parcel.
Waktu itu bapak berpesan kepada ibu, supaya Kanaya dirawat dengan baik. Termasuk memberikannya dongeng-dongeng tentang sepasang sayap itu. Sayap yang hanya dimiliki bapak seorang.[]

Banjarbaru, April 2020


Sumber:
https://www.banaranmedia.com/cerpen-muhammad-daffa-fragmen-fragmen-kanaya/

Cerpen Ananda Rumi: Senja yang Tak Jingga

 

Cerpen Ananda Rumi: Senja yang Tak Jingga
Kelak di satu senja, anakmu dan anakku akan saling bercerita tentang orangtuanya yang menggilai senja dan tak lagi jingga setelah itu.

Senjamu tak lagi indah, Nona. Sejak seseorang penulis memotongnya beberapa tahun lalu. Senjamu kosong. Belakangan kulihat, kamu selalu pergi ke sudut pelabuhan dan melukis senja yang berwarna jingga saat kapal-kapal itu melepaskan jangkarnya. Kebiasaanmu yang aneh, melemparkan lukisan-lukisan yang kau lukis sendiri ke aliran Sungai Barito dan mengulanginya setiap hari. Pacarmu menganggap kamu gila dan ia tidak terima. Kamu mengulangi lagi kelakuan-kelakuanmu yang dianggap pacarmu kurang waras di setiap senja. Kamu mengulanginya berharap ritual itu bisa kembali mempertemukan kita. Tapi nyatanya, kita tak pernah dipertemukan Tuhan, bukan? Kamu hanya berfantasi, Nona.

Kamu bukan lagi senjaku yang pernah berbunyi saat hening jangkrik di penghujung malam. Kamu pernah berkata, mengagumi malahan, retorika dan intonasi irama saat aku membacakan puisi senja di delik publik. Yang ketika itu, kamu tidak di sana, Nona. Kamu hanya mengagumiku di dunia maya saja. Tapi tidak di dunia nyata.

Sebuah kota sedang bersolek mewakilkan rasa kita, dan kata-kata tak bermakna seperti rindu yang tenggelam di penghujung malam saat pertama kali bercinta di sofa kerajaan tak bertuan. Ditambah aroma tubuh yang kamu tinggalkan pada sprei kamar yang kita inapi tadi malam.

Ketika rasa itu menyerang saat senja, kamu bilang, tak ingin mencinta terlalu cinta. Tak ingin membawa perasaan terlalu dalam. Perih. Kamu mengakui tak ingin rasanya merindu terlalu rindu sampai kau rela membagi rindu di dua tempat yang padahal, jaraknya tak jauh berbeda. Kekuatan mana yang bisa menutupi jingganya senja sebagai pengingat kenangan antara kamu, aku, dan dia. Kamu hanya berfantasi, Nona. Tidak mencintaiku seutuhnya.

Kamu, Nona. Perempuan berambut legam dengan mata bulat duduk di pojok sebelah kiri pelabuhan. Telapak tangan kananmu menyapu leher sedang jari kiri menyisir poni yang menutupi wajah. Kamu bilang tak ingin melukis lagi karena setiap goresannya bukan lagi rindu, hanya kamuflase rasa sakit hatimu karena kita tak lagi bertemu.

Beberapa waktu setelahnya, kamu menjadi rajin ke toko buku untuk membeli buku catatan, menuliskan kata-kata rindu. Kamu bilang, ada aroma parfume tubuhku di sampulnya yang membuatmu harus memiliki buku itu. Setelah matahari hampir meninggalkan kota kita, kamu membawanya ke ujung pelabuhan.

Buku catatan yang sedari tadi terletak di atas paha melembab karena bulir yang menetes dari beningnya mata seorang ibu. Pipimu basah. Sesaat lagi, jingga akan memerah. Kerikil terakhir kau lemparkan ke sungai. Buku itu masih kosong, kau belum menuliskan sesuatu karena senja yang jingga menurutmu tak lagi indah. Sejak meninggalkanku, kamu tak lagi merasa ada sesuatu yang istimewa di alam semesta. Hidupmu kosong, Nona.

Satu sore yang perih, seorang lelaki menjemputmu agar tak lagi menangisi potongan kalimat-kalimat dariku yang kau ketahui adalah lelaki yang pernah ada dalam hidupmu, dulu.

Kata-katamu semakin mengosong tanpa makna. Semakin menarik diri dari perasaan rindu semakin kelakuanmu berbalik dari arti sebenarnya. Tak dinyana, hujan datang tanpa tanda-tanda. Kamu dan pacarmu berteduh di antara lalu-lalang manusia pengangkut barang kapal. Seketika, tetas hujan di pipi merah mudamu menyadarkan, bahasa-bahasamu sedang diawasi para serigala malam yang berlagak seperti domba.

Malam akan berkabut, senja menyelimuti pelabuhan. Kamu berlari ke arah sungai yang berbatasan dengan jalan raya kota kita, lantas melemparkan buku tadi dan memerhatikannya mengapung, larut dibawa arus sungai, hilang, dan tenggelam. Upayamu melupakan lelaki penulis senja hanyalah bualan. Kamu bilang, jika saja mampu mewarnai langit, inginmu melukis senja tak lagi berwarna jingga. Mungkin abu-abu sebagai ungkapan ketidakterimaanmu akan keadaan.

"Aku ingin langit senja tak lagi jingga, agar kesenangan dan kebahagiaanku akan penulis senja itu pun hilang," ungkapmu termangu menyadar di bahu pacarmu.

Kamu pergi berdua dengan motor ke toko bangunan dan membeli cat abu-abu sebanyak yang kau butuhkan. Beberapa kuas disiapkan dengan sebuah tangga yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Beberapa kali dirimu mencelupkan kuas itu dan mewarnai sudut senja menjadi abu-abu Pacarmu yang tadi melongo memegangi tangga di pertengahan jembatan. Orang-orang di sekitarmu memerhatikan heran. "Seorang perempuan gila sedang berusaha mengubah senja agar tak lagi berwarna jingga," kata seorang seniman yang lewat di samping jembatan. Kau tuli. Tak ingin mendengarkan apa pun kata orang.

Goresan kuasmu menutupi satu sudut langit yang tak lagi berwarna jingga. Sungai di bawah jembatan tidak lagi memantulkan cahayanya. Melihatnya, kau tersenyum dengan sebulir air mata di pipi. Melihatnya, sontak membuat seorang pemuda melaporkan kejadian itu kepada polisi dan dinas tata kota. Sirine polisi meraung mencarimu yang telah dianggap mencemarkan keindahan kota karena melukis senja menjadi abu-abu.

Kamu menarik napas panjang. Dan orang-orang masih saja terngaga melihat kelakuanmu yang belum membuang kuas di tangan. Setiba saja mobil polisi berhenti di hadapan. Kamu dan pacarmu diamankan dan dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.

“Nona, kamu dilaporkan atas dasar pencemaran keindahan kota. Benar begitu!”

“Iya, Pak!”

“Apa yang melatarbelakangi kelakuanmu yang tak elok ini!”

“Saya hanya rindu, Pak. Saya rindu kepada lelaki penulis senja yang meninggalkan saya!”

“Alasan macam apa ini?”

Para polisi saling pandang dan bersepakat untuk menahan kamu dan pacarmu sebagai rekan perbuatan tidak menyenangkan terhadap warga. Tersebab tuduhan pencemaran keindahan kota sampai ada jaminan untuk pembebasan. Tertanda atas laporan warga dan peraturan daerah dinas tata kota. Kau diam, tak tahu harus berbuat apa.

Kabar itu meledak ke semua timline media sosial dan televisi. Bahkan pada headline koran-koran terpampang berita disertai fotomu membelakangi kamera fotografer koran ketika mengecat langit. “Seorang perempuan gila ditahan polisi atas tuduhan mencemarkan keindahan kota”.

Badan penanggulangan bencana dan pemadam kebakaran berlalu-lalang di sekitaran kota atas perbuatanmu, Nona. Mereka sedang berusaha menghapus sisa warna abu-abu yang kau buat. Upaya itu tak pernah berhasil. Sampai seorang lelaki lain menjemputmu sebagai jaminan untuk membebaskanmu atas tuduhan-tuduhan yang telah ada.

Kamu berjalan keluar perlahan dan meninggalkan pacarmu sendirian saat berteduh di lobi kantor polisi. Kamu membuka pintu mobil dan masuk ke dalam kabin. Seorang lelaki yang sekian tahun telah membuntutimu membawa meninggalkan kota kita dan pacarmu di sudut jalan raya pintu gerbang kantor polisi kota.

Bulir hujan menghiasi jendela. Manusia-manusia malam menjajakan cinta di pinggiran kota sungai. Kamu menghilang dari hiruk-pikuk perasaan. Lalu, perasaan takut itu datang lagi, kamu takut terlalu bahagia karena rasa mencinta kepada seseorang. Kamu memutuskan agar tak lagi bahagia. Perlahan, kamu mencari ketakutan-ketakutan untuk kenikmatan rasa sakit yang tak pernah terbayarkan. Dan berharap besok langit senja tak lagi jingga. Atau lebih baik, langit runtuh saja. Dan kamu hancur melebur menjadi mikro partikel yang menutupi bingkai langit. Kamu memejamkan mata. Perasaanmu menghambur menuju bandara.

Bandara. Apalagi, lelaki penyimpanan memori nan terang itu menandai beberapa tempat yang disukanya sebagai titik berbagi tangis, sedu sedan, serta duka karena perpisahan. Kamu tak pernah tahu di mana keberadaannya sekarang. Kau mematah karena sikap lelaki penulis senja itu. Bukan dia yang meninggalkan, tapi kamu. Yang memihak agar tidak menjadi pengganggu dalam kehidupannya yang kau kira akan baik-baik saja.

Kamu mengaku selalu belajar kehidupan dari kisah hidup seseorang lainnya. Kamu berkata hati tak pernah memilih, tapi dipilih. Bagimu, jika memang lelaki penulis senja mengatakan telah memilih, selamanya lelaki itu tak akan pernah akan tulus mencintai. Karena kamu tahu, kamu tak perlu memilih. Hati selalu tahu ke mana harus berlabuh. Siapa yang mengira kamu telah melabuhkan hati dan perasaanmu kepada lelaki yang telah memunyai buah hati.

Kamu sedang meyakinkan hati agar perjalanan untuk meninggalkan kota kita kali ini tidak akan menyenangkan. Tersebab hatimu sedang berada dalam jeratan lelaki yang belum terlatih untuk patah hati. Lelaki yang telah membuntutimu sejak bangku sekolah. Kamu menyadari kepingan cinta yang kau tanam sendiri tak akan pernah berbuah manis. Kepadaku kamu pernah bilang, “Tak perlu ada pemanis untuk sesuatu yang telah ditakdirkan pahit.”

Sebelum bertemu penulis senja itu, kamu tak pernah sepatah ini. Kesenangan dan keceriaan yang kau tampakkan hanya bungkusan dari rasa sakit hati tiada tara. Kamu sedang lelah bersandiwara untuk menolak kepada lelaki yang sedang berpura-pura mencintaimu saat sekarang. Yang pada hakikatnya, kamulah yang sedang berpura-pura. Dan aku bilang, terkadang cinta bisa saja datang dari kepura-puraan.

Langit mendung membias cahaya jingga. Gerimis malu-malu di balik awan. Aku terburu-buru memesan tiket pesawat untuk meninggalkanmu karena pusing. Mendengar ocehan senja yang seolah sempurna dan tak pernah buruk dalam pikiranmu. Sudah, tinggalkan saja. Berpikirlah jernih. Jangan terlalu gila dengan kata-kata. Karena kata-kata bisa dirubah maknanya. Kubilang, senja tak lagi indah. Senja kita tak lagi jingga sejak kabut menutupi kota ini, Nona. Bahkan kabut sudah menutupinya sejak matahari belum terbit.


BJB160918


Sumber:

Radar Banjarmasin, 23 September 2018

https://asyikasyik.com/cerpen-senja-yang-tak-jingga/


Cerpen Meutia Swarna Maharani: Parfum

Ini malam Minggu. Harusnya ini menjadi malam yang menyenangkan untukku. Berbaring di ranjang yang empuk dengan keripik pisang buatan Mama dan segelas cokelat hangat, ditemani bisik deru pendingin ruangan dengan pengaturan suhu yang pas dan koneksi internet yang lancar. Harusnya begitu. Dan sampai detik ini, aku masih berharap seperti itu.
Tapi kenyataannya, Mama sekarang berdiri di hadapanku mengenakan kebaya hijau lumut yang sudah dipesannya di penjahit seminggu lalu. Sambil merapikan peniti yang tersemat di ujung kanan kerudungnya, Mama menatapku dan tersenyum hangat.

Cerpen Swary Utami Dewi: Malam Takbiran

Cerpen Swary Utami Dewi: Malam Takbiran


Hari ini tanggal 22 Oktober 2006. Kata Abah malam takbiran. Kata Emak? Ah, aku harus menanyakan lagi besok apa kata Emak sewaktu aku menjenguk makamnya?
Tapi ya, betul… Anang, temanku sehari-hari yang setia bersamaku pergi dari pagi sampai sore untuk menyemir sepatu di bandara Syamsuddin Noor, juga mengatakan ini adalah malam takbiran. Tapi yangMuhammadiyah aja. Yang NU baru lusa lebarannya, tanggal 24. Lho, kok bisa beda gitu? Aku tidak mendapat jawaban kecuali garukan kepala Anang menandakan kebingungannya.

Cerpen Swary Utami Dewi: Penantian Telah Usai

Cerpen Swary Utami Dewi: Penantian Telah Usai


Asti duduk di beranda belakang rumah sembari menatap kumpulan mawar yang mulai berkelopak. “Mmh… indahnya,” gumamnya perlahan. Rekah dan rona mawar dirasakannya berbeda dengan suasana hati yang sedang tidak menentu. Tanpa terasa dibelainya perlahan cincin berhiaskan jamrud yang melekat di jemari kiri.

Cerpen Swary Utami Dewi: Cukup Sudah

Cerpen Swary Utami Dewi: Cukup Sudah


Tangan Salma masih terus menakar minyak tanah yang sedang dibeli Tajang. “Sudah cukup 5 liter, Nak.” Teguran lelaki paruh baya itu menyadarkannya dari lamunan. Sesudah memberikan uang kembalian, Salma bergegas menutup warung. Sudah menjelang magrib. Dia tidak mau sedikitpun melewatkan waktu magrib, saat di mana dia merasa paling khusuk berdoa sesudah sholat, mengadu apa saja yang ada di hati kepada Yang Kuasa.

Cerpen Swary Utami Dewi: Melon pun Menyeruput Sodanya dengan Gembira

Cerpen Swary Utami Dewi: Melon pun Menyeruput Sodanya dengan Gembira


Suatu senja menjelang magrib di pelataran Taman Ismail Marzuki, awal November 2007. Aku dan dua teman duduk menunggu pesanan. Di kafe sederhana paling pojok, aku memesan jus jambu. “Enak banget lho,” promosiku kepada mereka yang kemudian turut memesan jus itu. Seperti biasa, lenggang, sejenis empek-empek yang dicampur telur dan dimasak layaknya telur dadar, melengkapi santapan soreku.

Cerpen Swary Utami Dewi: Semua Menghadap Tuhan

Cerpen Swary Utami Dewi: Semua Menghadap Tuhan


Samyong, Batam, pertengahan 2000. Tidak ada yang tahu apa yang ada di benak para perempuan yang duduk berjejer di salah satu pusat hiburan kelas bawah di Batam itu. Beberapa asyik menghirup nikotin dari batang-batang rokok di sela-sela jari pucat mereka. Gincu dan bedak tebal menempel ketat di bibir dan wajah. Rambut di keriting atau dipotong bergaya bob. Satu dua dari mereka nampak saling berbisik, kemudian tertawa terkikik.

Cerpen Swary Utami Dewi: Yang Tertunda

Cerpen Swary Utami Dewi: Yang Tertunda


Pintu Ka’bah serasa makin sempit. Dari kejauhan, kulihat ia makin menciut dan menciut dan.. gubrak… suara tumpukan buku yang berjatuhan dari meja menyadarkanku. Aku mengucek mata, menoleh kiri kanan, mencari kalau-kalau ada mata yang menangkap ulah tidurku. Syukurlah, perpustakaan saat itu sudah lumayan sepi. Jadi aku bisa terhindar dari rasa malu.

Cerpen Swary Utami Dewi: Episode Nida dan Sableng

Cerpen Swary Utami Dewi: Episode Nida dan Sableng


Seorang teman baikku kemarin menelfon sambil menangis tergugu. Aku tidak ingin menghentikan tangisnya. Diam saja mendengarkan sampai 5 menit berikutnya, di saat kupingku sudah terasa berdenging panas, baru dia bisa berbicara.
“Dia menipuku. Lelaki itu bajingan.” Aku mengerutkan dahi.
“Siapa yang bajingan, Nit?”

Cerpen Swary Utami Dewi: Tiga Mimpi

Cerpen Swary Utami Dewi: Tiga Mimpi

Ya, Allah. Aku tersentak. Mimpiku barusan, walaupun sekejap, begitu menakutkan. Aku memandang wajah Ibu yang tetap tenang dalam komanya. Syukurlah. Ibu mertuaku ini tidak seperti perempuan bertanduk iblis dalam mimpiku barusan. Dan suamiku, dia tidaklah buruk seperti dalam mimpiku. Aku, akupun tidak sebodoh aku dalam mimpi burukku tadi.
Rasa kantuk masih mendera. Tapi kengerian mengingat mimpi dalam tidur singkatku di sofa sebelah ranjang Ibu, membuatku enggan kembali tidur.

Cerpen Swary Utami Dewi: Perempuan yang Cemburu

Cerpen Swary Utami Dewi: Perempuan yang Cemburu


May, demikian suamiku memanggilnya. Aku tidak tahu nama panjangnya. Yang jelas, yang aku tahu dia adalah May. Suatu malam, sebulan lalu, tiba-tiba sering kudengar sms masuk menjelang tengah malam ke hp Ridho. Mula-mula kupikir itu biasa. Tapi esoknya dan esoknya lagi hal itu berulang. Anehnya, Ridho selalu cepat menghapus sms-sms itu. Sesekali dia nampak melirik ke arahku, khawatir aku memergokinya.

Cerpen Meutia Swarna Maharani: Mata Dibalas Mata

Cerpen Meutia Swarna Maharani: Mata Dibalas Mata


Saat Dinda memutuskan sudah saatnya untuk ia menikah, syarat dari Mama hanya satu; wali nikahnya haruslah Daim. Bagi Mama,  Daim dilangkahi adiknya dalam urusan jodoh merupakan satu yang haram.
Walau Daim sudah bilang berkali-kali bahwa ia tak ambil pusing soal siapa yang menikah duluan, Mama tetap tidak mau tahu urusan. Daim wajib untuk datang menjadi wali nikah Dinda sebagai bentuk restunya.

Cerpen Meutia Swarna Maharani: Baruna

Cerpen Meutia Swarna Maharani: Baruna


Terlahir sebagai seorang buta tidaklah begitu buruk. Setidaknya bagiku. Aku masih bisa merasakan hangatnya sinar mentari di permukaan kulitku, juga masih mampu meminta tambah untuk setiap masakan Simbok. Aku tak terlalu menderita. Selama hidungku masih dapat menghirup udara seberapa pun yang kumau, aku masih terhitung bahagia.