Cerpen Aboe Fadhil: Dosen Pun Perlu Bercermin

04.59 Zian 0 Comments

Keputusan tanpa kebijakan adalah diktator.

***

Matahari sepenggalahan naik. Seorang mahasiswa dengan langkah terburu-buru menuju ruang kuliah. Bagai mengejar alat transportasi yang akan berangkat, ia begitu takut ketinggalan pesawat. Tak peduli dengan belakang kemejanya yang basah oleh keringat, ia terus berlari seolah dikejar atau mengejar waktu. Yah, ia memang sedang berurusan dengan waktu. Sebuah kesempatan yang bisa saja membuatnya tertunda meraih gelar sarjana, jika ia tak sempat meraihnya.
Pintu kesempatan itu masih beberapa meter di depannya. Ia terus memacu kakinya, hingga jalan masuk itu sudah tampak di pelupuk matanya. Langkahnya mulai santai. Sambil mengatur napas yang masih ngos-ngosan, ia melirik arloji di tangan kanannya. Jarum jam menunjukkan pukul 10.14. Ia kembali terperangah dan menarik napas dalam-dalam. “Ah, sia-sia! Berarti hampir seperempat jam sudah aku terlambat. Dosennya pasti sudah masuk,” keluh batinnya. Harapannya semakin luruh bersama keringatnya.

Di depan ruang kuliah ia berdiri ragu. Dugaannya tidak meleset. Pintunya tertutup rapat. Dari dalam terdengar suara Pak Asmi, M.Pd., menjelaskan materi Statistik Pendidikan. Mahasiswa itu terpaku di depan pintu beberapa saat, bengong harus berbuat apa.
Ia tidak berani mengetuk pintu, sebab ia tahu karakter sang dosen. Pak Asmi itu sangat tegas dan konsisten dengan keputusannya, serta sangat objektif dalam memberikan penilaian. Semester sebelumnya, dari 40 mahasiwa, hanya 4 orang yang mendapat nilai A, 7 orang menerima nilai B, selebihnya memperoleh C dan D. Mahasiswa yang terlambat, kalau pun diizinkan masuk, pasti disemprot dulu dengan kata-kata yang pedas, dan di Daftar Hadir tetap dicatat absen, seperti yang dialaminya dua minggu lalu. Tapi itu lebih mending daripada diusir dan disuruh pulang, seperti dirasakannya minggu sebelumnya.
“Namaku pasti akan langsung dicoret dari Daftar Hadir karena terlambat di minggu yang ketiga ini, seperti dialami oleh Andi, temanku,” gumam batinnya cemas.
Ia begitu khawatir hal itu juga akan terjadi pada dirinya, sehingga ia tidak bisa menyelesaikan kuliah pada semester ini. Padahal ini semester terakhir yang biayanya dijamin oleh orangtuanya. Karena itu, ia terus memutar otak untuk mencari solusi.
“Kalau pintu kuketuk dan kujelaskan alasanku terlambat, pasti beliau juga tidak bisa menerima. Karena ini sudah yang ketiga kalinya,” kata akalnya.
“Tapi, apa salahnya dicoba? Tuh siapa tahu dia merasa iba. Sekeras-kerasnya hati manusia, pasti ada rasa ibanya,” tukas hatinya.
“Itu benar. Tapi tidakkah kau ingat bagaimana Andi yang dicoret dari Daftar Hadir itu juga sudah mengemukakan berbagai alasan, lalu memohon maaf dan mengiba agar diizinkan mengikuti kuliah, tetap tidak diterima? Masihkah kau punya nyali untuk menampakkan wajah di depannya setelah mukamu dicoreng spidol merah dan disuruh pulang pada pertemuan sebelumnya? Sehebat dan selogis apapun alasan kamu, bahkan jika kamu mendatangkan bukti dan saksi atas alasanmu itu, Pak Asmi tetap konsisten dengan keputusannya, bahwa siapa saja yang terlambat datang tiga kali berturut-turut, maka ia dianggap mengundurkan diri dari perkuliahan yang diasuhnya,” debat akalnya mengalahkan hatinya.
Ia pasrah. Sebuah kursi yang patah salah satu kakinya, yang tersandar ke dinding di samping pintu itu dimanfaatkannya untuk menenangkan pikiran, sambil mendengarkan dan mencatat ucapan dosen.
“Lebih baik kamu pulang. Sia-sia saja kamu di sini. Toh kehadiranmu tetap tak dihargai. Malah jika dosen tahu kamu berada di sini, dia semakin marah dengan kelakuanmu ini. Atau laporkan saja sama Dekan, atau kepada Rektor kalau perlu, bahwa dosen ini terlalu otoriter, killer,” bisik egonya.
“Tapi apa salahnya duduk di sini? Yah, anggaplah ini sebagai rehat sejenak untuk menghilangkan penat dan mengeringkan keringat. Dan, siapa tahu ada mukjizat,” bantah asanya, hingga emosinya mengalah.
Setelah panjang lebar menjelaskan rumus perhitungan mencari nilai korelasi antara dua variabel, suara dosen itu tidak terdengar lagi. Ruang kuliah menjadi hening. Tak seorang mahasiswa pun berani berbicara dengan temannya apalagi berbuat keributan. “Yang mau berbicara, silakan keluar!” begitu tegurnya tegas setiap ada mahasiswa yang tidak serius mengikuti kuliahnya.
Tiba-tiba “kring... ting… ting,” terdengar bunyi seperti uang receh jatuh ke lantai. Namun semua mahasiswa tetap membisu. Tak ada yang berani membuka mulut atau bereaksi. Padahal jika hal itu terjadi saat dosen lain yang mengajar, pasti suasana ruang kuliah menjadi seperti pasar.
“Siska! Apa yang kau lakukan?” bentak Pak Asmi dengan mata melotot ke arah gadis yang duduk di kursi barisan kedua dari belakang, setelah matanya menangkap sebuah cermin kecil di bawah kaki mahasiswi itu.
“Tidak apa-apa, Pak,” jawab Siska gugup.
“Ini ruang kuliah, bukan kamar dandan. Biar pakai bedak setebal jari, tetap saja jerawat kamu kelihatan,” semprot sang dosen dengan kasar. Mahasiswa lain tampak memegang perut karena menahan tawa. Namun mereka berusaha menutup mulut sekuat tenaga, karena kalau sampai tawa mereka lepas, kemarahan Pak Asmi bisa tambah meluap. Suasana semakin mencekam. Semua mahasiswa seolah menahan napas.
Tiba-tiba Siska yang merasa harga dirinya dilecehkan, mengangkat wajah. Sambil menyeka airmata dengan ujung kerudungnya, ia berkata tegas: “Bapak sendiri perlu bercermin!”
“Ada apa dengan wajah saya?” balas Pak Asmi tak kalah kerasnya.
Seluruh mata tertuju ke muka Pak Asmi. Merasa ada yang salah di wajahnya, ia mengingat-ingat peristiwa sebelum mengajar. Pukul 09.30 berangkat ke kampus. Pukul sepuluh kurang sepuluh menit, makan di kantin dengan terburu-buru. Kurang dua menit lagi, langsung masuk ke ruang kuliah.
Pak Asmi duduk menunduk. Dari kaca reben hitam di atas meja, ia melihat sebutir benda putih di tepi kiri bibir bawah. Segera diambilnya sapu tangan dari saku celana. Lalu mengelap dahi yang sebenarnya tidak berkeringat, karena ruangan ber-AC, dan terus ke bawah bibir, agar tidak kentara bahwa ia menyingkirkan butiran nasi itu.
“Ya sudah! Kita teruskan kuliah,” ucap Pak Asmi sambil berdiri, lalu memberikan soal evaluasi. “Dua tambah tujuh, kali lima, kurang delapan, bagi empat, berapa?” tanyanya dengan keras, seakan ingin menghapus ingatan mahasiswa tentang nasi di bibirnya tadi. Suasana hening sejenak sebelum ada yang mengangkat tangan.
“Sembilan koma dua lima, Pak!” jawab Madi, setelah menghitung dengan kalkulatornya.
“Yang lain?” tanya Pak Asmi sambil mencatat jawaban mahasiswa di papan tulis dengan boardmaker.
“Tiga dua, Pak!” jawab Mirna setelah melirik mesin hitung di Hape-nya.
“Ada lagi?”
“Tujuh koma dua lima, Pak!” jawab Saidi berdasarkan perhitungan otaknya.
“Yah, kenapa jawabannya beda-beda? Padahal ini ilmu eksak, hitungan pasti. Dasar ngga ngerti semuanya! Jawabannya tiada yang betul,” sambung Pak Asmi ketus. Lalu ia kembali duduk dan melirik ke Daftar Nama Mahasiswa.
“Coba, Fadil! Berapa hasilnya?” tanyanya sambil menatap ke seluruh penjuru ruangan diiringi pandangan mahasiswa. Ketika yang ditanya tidak terlihat, baru mereka sadar bahwa Fadil absen lagi hari itu.
Pak Dosen kembali memandang Daftar Hadir untuk menunjuk mahasiswa yang lain. Tiba-tiba, “Tiga Lima, Pak!” jawab Fadil dari balik pintu dengan suara yang cukup keras.
Pak Asmi kaget. Keterkejutan itu mendorong langkahnya menuju pintu dan membukanya. Ia hampir tak percaya ketika dilihatnya Fadil duduk di atas kursi yang dikeluarkan oleh seorang mahasiswa atas perintahnya itu.
“Mengapa kamu duduk di sini, tidak masuk ke dalam?” tanyanya.
“Maaf, Pak! Saya terlambat lagi. Jadi saya tidak berani masuk, karena khawatir mengganggu Bapak.”
“Ya, sudah. Silakan masuk! Tapi lain kali jangan terlambat lagi,” katanya memberikan toleransi.
“Iya, Pak! Terima kasih,” jawab Fadil sambil masuk, dan memilih duduk di kursi barisan depan yang masih kosong.
Ruang kuliah berubah sedikit lebih santai. Sebagian mahasiswa terlihat bisa bernapas dengan lega, dan saling pandang satu sama lain.
Pak Asmi melanjutkan penjelasannya.
“Jadi, jawaban yang betul adalah 35. Kalau menghitung angka statistik itu, selesaikan dulu perkalian dan pembagian, yaitu 7x5 dan 8:4, sehingga hitungannya menjadi 2+35-2=35,” jelasnya sambil menuliskan di white board.
“Kalau menggunakan kalkulator, jangan pakai Kalkulator Jagung, yang hasil hitungannya tidak ilmiah. Untuk data statistik, gunakan Kalkulator Scientific, seperti punya saya ini,” kata sang dosen memperlihatkan Kalkulator yang sangat lengkap tombol-tombolnya untuk berbagai jenis perhitungan cos, sin, tan, dan sebagainya.
“Sebelum kuliah berakhir, silakan kalau ada yang mau bertanya,” katanya memberi kesempatan kepada mahasiswa. Ditunggu satu menit, tak satupun mahasiswa yang mengangkat tangan. Sang dosen kembali marah-marah.
“Ini berarti kalian tidak memperhatikan dan tidak memahami penjelasan saya. Kalau kalian konsentrasi, pasti dapat mengerti dan menemukan banyak hal yang perlu ditanyakan. Sebab saya hanya menjelaskan secara global…,” omelnya panjang lebar dengan nada emosi, hingga akhirnya terhenti setelah Fadil mengangkat telunjuk kanannya.
“Silakan!” katanya setelah menarik napas.
“Begini, Pak! Dalam perhitungan korelasi antara variabel x dan y dengan menggunakan rumus Product Moment, sering terjadi perbedaan hasil antara satu rumus dengan formula lainnya, dan perbedaan value antara cara penafsiran sederhana dengan cara berkonsultasi dengan r tabel. Dalam kasus seperti ini, di mana letak kesalahannya, dan bagaimana menentukan rumus yang tepat, padahal product momet itu mempunyai beberapa rumus?”
Pak Asmi tidak segera menjawab, padahal selama ini, belum selesai pertanyaan mahasiswa, sudah dijawabnya dengan tuntas, seolah-olah sangat menguasai seluruh materi statistik dengan semua rumusnya. Ia menarik napas panjang. Tangannya sibuk membuka lembar demi lembar buku Statistik Pendidikan yang tebalnya mencapai 300 halaman, karangan seorang profesor. Sekitar dua menit ia membolak-balik setiap halaman buku itu, namun tampaknya ia belum menemukan jawabannya.
Akhirnya ia berdiri. “Tunggu jawabannya minggu depan! Tapi kamu jangan telat lagi, ya!” katanya ramah disertai senyum, sehingga tampak sisa cabe merah di sela-sela giginya.
Baru sekitar lima langkah dosen itu keluar, meledaklah mahasiswa dalam tawa yang selama perkuliahan tadi mereka tahan.[]


Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution
Radar Banjarmasin,

0 komentar: