Cerpen Aliman Syahrani: Mujahid-Mujahid Cinta
Dalam hati manusia, melepaskan kepergian seseorang memiliki arti tersendiri, ada sesuatu yang terasa runtuh, ada semacam rasa haru. Kehilangan, ditinggalkan, berpisah, atau bahkan penemuan diri, berbaur jadi satu. Dan, rasa nelangsa yang manusia itu mampu mengeliminasi kejantanan dan kelugasan sikap manusia yang telah dibentuk oleh kemajuan peradaban sekalipun. Anehnya lagi, perasaan itu tidak mengenal batas pemisah antara laki-laki dan perempuan, ras, suku, agama, bahkan antarbangsa.Setidak-tidaknya hal itulah yang dirasakan Ayang saat ini, saat ia melepaskan keberangkatan Ipung yang pergi hendak berjihad ke Bumi Isra dan Mi’raj, Palestina.
Sebagai wanita yang mempunyai sifat lemah dan sensitif, Ayang tentu tidak bisa membendung rasa gebalau yang kini tengah menggerumiti perasaannya. Ayang tidak merasa malu dengan orang-orang dan sanak saudara serta teman-teman yang juga ikut mengantarkan keberangkatan Ipung. Ia pikir semua orang juga akan bersikap dan berperasaan seperti dirinya. Bagaimana tidak? Ditinggalkan oleh orang yang dicintai ke tempat yang jauh untuk mempertaruhkan nyawa demi membela agama Allah yang suci, tentu akan membekaskan sebentuk rasa gebalau yang saling tindih.
Ayang tak dapat menghalangi niat suci Ipung itu. Ia memahami sepenuhnya akan kewajiban yang dijalankan Ipung. Suatu kewajiban yang sebenarnya terbeban di pundak setiap orang Islam untuk turut serta membela saudara seiman dan seagama yang tertindas, terbelenggu, terjajah dan teraniaya, di manapun dan kapan pun di belahan bumi milik Allah ini. Baik dengan harta, tenaga, pikiran, bahkan jiwa sekalipun. Suatu pembelaan yang tidak sedikit memerlukan perjuangan dan pengorbanan. Puncak dari perjuangan dan pengorbanan itu adalah jihad fi sabililLah. Jihad fi sabililLah dalam rangka menegakkan Dien Allah, baik dengan mereduksi cara berpikir suatu masyarakat yang masih jahiliyah menjadi masyarakat yang Islami; mengubah masyarakat yang masih terkebelakang menjadi masyarakat yang maju; memberantas tahayul, bid’ah dan khurafat; mengentaskan kemiskinan; menghapuskan kejumudan dan taqlid buta; menanggulangi krisis moral muda-mudi, bahkan dengan angkat senjata ke medan laga sekalipun!
Perpisahan dengan kekasih tercinta tanpa jabat tangan, tanpa pelukan dan kecupan, sungguh punya arti dan nuansa tersendiri.
Hubungan Ayang dengan Ipung selama ini sebenarnya biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa. Hanya saling pandang, tersenyum, dan berbincang-bincang seperlunya. Dengan mencuri-curi. Begitulah percintaan ala aktivis Islam. Rasa-rasanya sungguh tabu kalau membicarakan percintaan di kalangan aktivis Islam. Karena batas hubungan antara ikhwan dan akhwat amatlah ketat.
Namun hubungan Ayang dan Ipung punya dalih lain. Ipung sudah datang kepada kedua orangtua Ayang. Ia sudah mengajukan khitbah (lamaran); menyampaikan komitmen dan mengutarakan niatnya untuk menikahi Ayang dalam waktu dekat, meskipun ia belum menentukan waktunya secara tepat. Ipung juga pernah mengatakan kepada Ayang, “Yang, aku memilihmu untuk menjadi istri melalui jalur istikharah. Aku mencintaimu bukan karena dorongan nafsu berahi semata. Aku menginginkan, sekiranya Allah memberikan umur yang cukup buat kita, mengakhiri hubungan kita ini dengan pernikahan suci. Aku berharap kita akan mempunyai keturunan yang baik, yang akan membawa bobot di muka bumi dengan kalimat la ila ha illallah, yang selama ini dilupakan para orangtua. Mereka menikahkan anaknya cenderung seenaknya saja. Pokoknya asal punya status material atau sosial. Harta dan kedudukan menjadi taruhan para orangtua sekarang dalam menikahkan anaknya. Sangat sedikit sekali para orangtua yang melihat dari sudut agama dan pendidikan. Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi pada diri kita, Yang.”
Ketika itu Ayang hanya diam. Ia tidak berani menyanggahnya, karena yang dikatakan Ipung memang benar. Ipung melanjutkan, “Yang, aku ingin cinta itu lahir dari hati nurani kita sendiri yang dilandasi dengan ketulusan dan tetap dalam batasan-batasan syar’i. Karena bagiku, cinta bukannya sesuatu yang harus dipelajari; melainkan sebagai karunia Allah, dan berasal dari kasih sayangNya. Cinta adalah sesuatu yang paling luhur yang dikaruniakan Allah kepada manusia sehingga kita tidak hidup memperturutkan naluri belaka. Karena itu harus senantiasa kita ingat, bahwa cinta tidak sama dengan hasrat untuk bersatu jasmaniah semata. Cinta bukan berarti selalu harus memiliki. Cinta adalah hubungan hati dengan hati yang melahirkan kesediaan berkorban demi keutuhan cinta. Cinta adalah naluri Ilahi dari jiwa yang kemudian mendorongnya untuk menjadi sifat dan tujuan.”
Ayang masih terbenam dalam renungan, mencoba meresapi kata-kata Ipung di depannya. Sesaat ia melemparkan tatapannya ke pucuk-pucuk daun kalangkala di kejauhan yang menembakkan sinar matahari dan membentuk kerucut-kerucut tajam yang merembes di sela-sela rimbunan daunnya.
Mendapati Ayang dalam kebisuan tanpa memberi jawaban, Ipung merasa perlu untuk melanjutkan. “Yang,” bisiknya, “agama yang kita peluk dengan sepenuh keyakinan adalah mustika hidup tak ternilai. Tidak sesuatu pun di dunia ini yang cukup berharga untuk ditukarkan dengan agama. Persahabatan, cinta, bahkan nyawa sekali pun. Islam tidak menghalangi cinta di antara laki-laki dan perempuan yang saling mengasihi selama cinta itu masih tidak bercampur pamrih. Tetapi kalau cinta mesti diterjemahkan dengan perkawinan atau hubungan badan, maka lslam, sebagaimana kau ketauhi juga, Yang, telah mengatur tata cara dan hukum-hukumnya. Nah, Yang, cintailah aku sebagaimana aku mencintaimu. Tapi, kuharap cintamu itu tulus tanpa mengharapkan hubungan badan atau perkawinan dengan cara tidak benar, sepanjang kau dan aku meyakini kebenaran agama kita. Kita jangan sampai terbawa arus pemikiran dan kebiasaan dalam masyarakat yang mengidentikkan pernikahan selalu dikaitkan dengan kebersamaan fisik, kekuatan materi dan sahnya kehidupan seksual semata. Kita harus ingat bahwa sebuah pernikahan adalah ibadah. Pernikahan adalah ikrar untuk secara bersama mengemban tugas sebagai manusia hamba Allah. Bukan sekadar kebersamaan fisik dan kesempurnaan materi yang lebih diutamakan, tetapi niat ibadahnya itu. Kuutarakan semua ini kepadamu untuk memberikan kesadaran terhadap diriku juga, Yang.”
Lagi-lagi Ayang hanya membungkam selaksa aksara.
Hingga suatu saat Ipung mengutarakan niatnya untuk ikut berjihad ke Palestina bersama sejumlah aktivis Islam lainnya dari berbagai daerah di penjuru tanah air. Pada awalnya Ayang memang merasa keberatan. Bagaimanapun, ia tidak tega dan tidak mampu melepaskan Ipung sebagai calon suaminya yang juga sangat dicintainya pergi ke belahan bumi entah pada bagian mana, dan mempertaruhkan nyawa pula. Bagaimana kalau nantinya Ipung tidak kembali, atau pulang dalam kondisi cacat fisik, atau bahkan Ipung…. Ayang tidak berani mengatakan pikirannya!
Namun setelah Ipung memberikan penjelasan panjang lebar, dengan argumentasi yang valid berdasarkan ketentuan al-Qur’an dan al-Hadits, meskipun dengan terpaksa, sangat terpaksa, barulah Ayang mengerti, setidaknya mencoba untuk mengerti.
Pada detik-detik terakhir keberangkatan Ipung siang itu, Ayang, gadis berjilbab asal Tibung Raya itu bergayut memegangi lengan baju Ipung di trotoar Dermaga Trisakti, memohon sambil berusaha membendung genangan air mata yang mulai luruh menggerabak di wajahnya; agar Ipung kembali mempertimbangkan niatnya.
“Apa Kakak tidak kasihan sama Ayang,” rintih Ayang pilu. “Apa Kakak tidak serius dengan komitmen kita untuk hidup bersama? Untuk membina sebuah keluarga islami? Apakah mewujudkan sebuah keluarga di atas nilai-nilai syari’at bukan merupakan sebuah jihad fi sabilillah?” rintih Ayang lagi setengah menuntut. Ipung diam saja, ia tak punya cukup kata-kata untuk menjelaskan. Ayang melanjutkan, “Kalau Kakak serius, Kakak mestinya mempertimbangan kepergian Kakak kali ini. Kak, Ayang tak mau menghalangi Kakak, tapi cobalah pertimbangkan sekali lagi. Ayang sayang Kakak, Ayang cinta Kakak, Ayang ingin jadi istri Kakak!” Air mata Ayang luruh membulir membanjiri wajahnya. Ipung merasa serba salah.
“Marilah kita sisihkan dulu kepentingan kita untuk sementara,” kata Ipung meneduhkan. “Percayalah, aku serius. Kakak juga sayang sama Ayang, kakak mencintai Ayang, dan hanya Ayang yang akan kakak jadikan istri,” Ipung dengan sungguh-sungguh meyakinkan. Ia melanjutkan, “Membina sebuah keluarga di atas nilai-nila syari’at, sebagaimana kita tahu dan yakini, itu juga adalah merupakan sebuah jihad fi sabilillah. Tapi, itu lain, Yang. Maksudku, jihad membina keluarga islami dan jihad membela dien Allah dengan jiwa di Palestina mempunyai nilai dan derajat yang berbeda dalam tinjauan syari’at. Jadi, ijinkan kakak berjihad ke sana, Yang.”
Ayang lebih keras lagi menarik lengan baju Ipung dan bergayut seperti anak-anak. “Lepaskan bajuku,” sergah Ipung bernada membentak.
“Tidak, aku tidak mau! Kakak bohong.”
“Kapan aku membohongimu?”
“Di depan keluarga Ayang semalam. Waktu Kakak berjanji akan nikahin Ayang secepatnya!”
“Itu semalam, Yang. Sebenarnya waktu itu aku lagi bingung, tapi tak bisa menjelaskan. Dan lagi, itu bukan mauku, tapi kau yang memaksa. Waktu itu kau tak mau melepaskanku sebelum aku berjanji. Aku tak ada pilihan lain jadi aku iyakan saja.”
“Tidak! Tidak! Tidak! Tidak benar yang Kakak katakan itu. Kakak telah berbohong lagi kalau begitu,” lolong Ayang bercampur tangis. Ia memepet tubuh Ipung ke sisi ruang tunggu pelabuhan.
“Lepaskan! Orang-orang memandangi kita!”
“Biar saja! Apa peduliku!”
“Aku peduli!”
Ipung ingin bicara logis dan mengemukakan sejumlah alasan, tapi tangis dan air mata Ayang yang menggelegak menggagalkannya.
Ipung tahu bahwa Ayang merindukan kasih sayang dalam porsi lebih dan demikian ia dambakan dari orang yang dikasihinya, dari dirinya. Dan Ipung demikian menghargainya. Tapi tenggorakannya bagai dipalang tiang listrik, lidahnya kelu, Ipung tak dapat menjelaskan segalanya.
“Lepaskan!” kata Ipung lagi. “Aku tak pernah membentak seorang wanita, tapi aku tak pernah bersumpah untuk itu,” ancam Ipung meredakan. “Ini siang bolong dan orang-orang memandangi kita. Apa kamu tidak malu jadi tontonan orang banyak seperti ini?”
Ayang melepaskan lengan baju Ipung dan jatuh terduduk tersedu-sedu ke tepi ruangan. Kerudungnya yang panjang tergerai menutup tubuhnya.
Ipung berlutut dan menyibakkan sisi kerudung yang menutup sebagian wajah gadis itu dengan jemari tangannya yang bergemeletar. Kemudian ia hunjamkan tatapannya ke mata gadis itu. “Aku mengerti perasaanmu, Yang,” kata Ipung menenangkan.
“Tidak!” geretap Ayang bercampur tangis. “Kakak tidak mengerti perasaanku. Tak siapapun mengerti!”
“Jangan menangis, Yang.”
“Bagaimana aku tidak menangis?” protes Ayang.
“Kalau begitu teruslah menangis.”
“Tapi air mataku sudah habis!”
“Yang,” bisik Ipung lembut, hampir-hampir untuk dirinya sendiri. “Coba dengarkan penjelasanku yang satu ini, penjelasanku sebagai seorang teman.”
“Aku bukan temanmu!”
“Yang,” bisik Ipung lagi, “Gadis seperti dirimu akan bisa mendapatkan pria macam apapun di dunia ini yang kau sukai. Tapi aku akan sangat berbahagia sekali kalau kau memilih diriku. Dan itulah yang kudapati saat ini. Sungguh aku menghargai keterus-terangan dan kejujuranmu. Itu membuktikan bahwa cintamu tulus dan suci, hatimu putih. Dan demi ketulusan cinta kita itulah, ijinkan kakak pergi berjihad kali ini.”
“Pergilah,” kata Ayang merajuk. “Dan jangan kembali lagi. Sampai mati!”
“Lebih baik aku pergi sampai mati daripada kembali dan melihatmu seperti ini.”
“Seperti ini bagaimana?”
“Kekanak-kananakkan!”
“Ayang sudah 18 tahun, apakah itu masih kekanak-kanakkan?”
“Masih kekanak-kanakkan untuk merajuk.”
“Apa peduliku!”
“Aku peduli padamu.”
“Kak,” suara Ayang lebih lembut, “Ayang takut terjadi kenapa-kenapa dengan Kakak di sana,” rengek Ayang cemas dan manja. “Kakak harus nihakin Ayang sepulang Kakak nanti!”
Ayang menjadi tuli terhadap semua alasan.
“Yang,” kata Ipung, “saat ini bukan hanya hubungan pribadi kita yang menjadi persoalan. Lihat situasi Palestina dan nasib saudara-saudara seiman kita di negeri itu sekarang, makin kacau dan sengsara. Bukan hanya karena situasi perang yang kian camuh; sanksi embargo selama puluhan tahun lebih; kekurangan bahan makanan dan obat-obatan; penggusuran rumah-rumah penduduk dan perampasan tanah oleh orang-orang Israel, atau anak-anak intifada yang melawan tank-tank tentara Israel hanya dengan lemparan batu dan ketapel. Tapi lebih dari itu, negeri itu akan terkoyak-koyak, rakyat Palestina akan dibantai habis jika perang tidak segera dihentikan. Sementara berita-berita yang disuguhkan sebagian besar media di seluruh dunia, tak terkecuali di negeri kita, sungguh tak berimbang. Media-media internasional hanya mendewa-dewakan tentara Israel sebagai pahlawan-pahlawan pembela perdamaian kemanusiaan! Padahal, mereka setiap saat mengudapaksa! Mereka juga menembaki wanita dan anak-anak, menghanguskan rumah sakit, perumahan rakyat sipil, bahkan mereka juga merubuhkan masjid!”
“Jadi?”
Menghadapi jalan buntu ketika ia merasa tak ada lagi pintu keluar seperti itu, Ipung merintih, “Yang, sekiranya cintaku sarat dengan jeruji nafsu, sudah kupenjarakan engkau dalam pelukanku. Seandainya cintaku adalah gelegak birahi, akan kutawas kolam rindumu dengan tuba kejantananku. Jika saja cintaku tidak bersumber dari hati yang jernih, telah kurajam engkau dengan cemeti kelelakianku. Tetapi cintaku adalah lentera, yang senantiasa menyuluh gulita, yang akan memberi nyala pada semua tanpa harus membakar diri sendiri. Cintaku adalah demi kebahagiaanmu. Demi kebahagiaan kita. Dari itu, untuk yang terakhir kali, ijinkan kakak pergi menunaikan titah Ilahi…”
“Apakah itu artinya Kakak hendak meninggalkan Ayang?” cicit Ayang galau.
“Tidak. Kakak ingin Ayang yang meninggalkan kakak.”
“Apa bedanya, jika deritanya sama?” gugat Ayang.
“Jelas berbeda. Ayang masih muda, masih bisa meraih masa depan yang cerah. Masih bisa melabuhkan harapan dan menambatkan serumpun cita-cita. Masih bisa merengkuh tepian impian di tonggak dermaga kebahagian. Sedang kakak… tak lama lagi, barangkali, akan dijemputNya untuk syahid dan menanti Ayang di gerbang surga.”
“Kalau Ayang hanya bisa berbahagia dengan Kakak?”
Ipung terperenyak. Dengan bibir bergemeletar dan pelupuk mata yang membendung telaga ia menaut janji, “Apabila Ayang tak berbahagia kecuali dengan kakak, tabahkanlah hati dan diri Ayang, akan kakak minta kepadaNya agar kakak dikarunia hidup lebih lama lagi, sehingga kita dapat hidup dan mati bersama.”
Tiba-tiba sunyi menyergap. Angin yang berkelahi dengan debu luruh menyentuh tonggak dermaga. Angin kemarau pelabuhan Trisakti yang gerah, keruh dan tak bersahabat. Selembar kabut ingsut menerpa tonggak dermaga, mengecupkan lambaian perpisahan dari bibir kehidupan. Gemuruh laut dan gaung langit bercampur dan berubah menjadi rintihan pilu ombak yang berkejaran memburu pantai, meratapi ketidakabadian dunia ini. Ayang berusaha sekuat tenaga menjadikan dirinya kehampaan yang tanpa pribadi, bebas dari khayal, dan tanpa dukacita.
Ipung sendiri sebenarnya digerumiti bayangan tentang kematian. Begitu banyak hal yang masih ingin ia lakukan. Ia tidak takut mati, tapi tujuannya memang mutlak, bukan sekadar hidup di dunia yang fana ini, dan ia mencoba membangun keyakinan untuk berbuat demikian. Biarlah orang lain gugur secara heroik, kalau itu cocok buat mereka. Tapi Ipung hanya mau membereskan setiap pertempuran dalam hidup ini dengan kemenangan heroik!
Begitu banyak janji mati muda demi membela agama di Palestina. Beragam konflik yang mengancam kepada penghacuran Islam di negeri itu telah mengobarkan api jihad dalam diri Ipung. Dan mati sebagai syuhada adalah merupakan dambaan seorang muslim sejati. Seorang muslim yang menempuh jalan mujahid selamanya berada dalam bahaya dibunuh. Kalau ia lolos dari satu bencana maut dalam sebuah “Perang Suci”, menanti kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan mengemban tugas sebagai mujahid seorang muslim menyongsong maut demi maut atau menciptakan “musuh-musuh” baru. Maut merupakan batu gerinda yang dipakai seorang mujahid untuk mengasah semangat jihadnya. Musuh adalah guru yang menyamar. Belajar waspada terhadap musuh meskipun sedang tidur, menyongsong maut dan siap mati setiap saat; menggunakan senjata sebagai alat untuk membela agama dan menyelamatkan orang lain; berperang dengan menguasai emosi; mengendalikan dendam dan nafsu; mencapai pencerahan; berbagi kegembiraan hidup dengan orang lain – semuanya itu tak terpisahkan dari jalan seorang mujahid.
Angin kemarau bersiul ngilu memperdengarkan lagu kematian, suatu ratapan atas kefanaan dan kesia-siaan hidup. Ipung melemparkan pandangannya ke arah laut. Di tengah samudera malaikat pencabut nyawa bagai menarik-nariknya dari tepian hidup. Di bibir gelembung buih ia seolah melihat arwah para syuhada yang syahid di Palestina melambai-lambai seperti purnama pucat di langit penuh badai. Ia merasakan dekatnya maut, tapi bukan itu yang ditakutkannya, ia pusatkan pikiran pada satu-satunya bayangan dalam batinnya: Ayang. Ia masih bertekad untuk hidup guna merajutkan cintanya bersama gadis itu. Cintanya kepada Ayang telah menyalakan berjuta-juta bintang gemerlap di dalam hatinya yang kerontang. Ia menghitung berbentuk harapan dan sejumlah rencana yang dicita-citakannya bagi masa depan mereka seakan di alam mimpi.
“Sesaat lagi, Yang,” sayup-sayup suara Ipung hinggap di telinga Ayang. “Aku tidak akan melihat pohon-pohon akasia, batu karang yang kukuh memeluk bumi, dermaga Trisakti, dan matahari yang lindap membakar pelabuhan. Akan kutinggalkan sebuah tempat penuh dendam kenangan, demi untuk melakukan tugas suci membela dien Allah.”
Ayang tak mampu mengeluarkan sebatik aksara pun untuk menanggapi kata-kata Ipung. Ia merasa mulutnya penuh duri. Matanya redup menatap ke arah laut. Ombak berdesau memukul pantai. Angin berdesir. Sebuah kapal jenis Serayu sudah merapat ke dermaga. Para awak kapal, penumpang dan pengantar, petugas keamanan dan pegawai bea cukai, penjaja makanan, serta buruh-buruh pelabuhan, kelihatan ramai dengan kesibukan masing-masing.
angin akan berhenti pada daun
dan burung-burung kehilangan nyanyian
seperti itu kepergianmu
tanpa peduli kuterpaku
seperti putaran waktu
berkeping bagai abu
apakah untuk begini cinta dilahirkan?
apakah untuk begini kita dipertemukan?
jawabnya adalah misteri
dan kembali sendiri
seperti lilin tanpa api
tanpa sisa buat cinta menyala
Ayang tak merasakan lagi terik matahari yang garang membakar dermaga. Terik matahari yang memanggang pelabuhan Trisakti siang itu membuat mata Ayang terasa berkunang-kunang begitu pandangan ia lemparkan ke dermaga. Kemarau bulan Juli seakan memanggang pohon akasia, perahu, perumahan penduduk, bentangan pantai, debu jalanan, dan gedung-gedung tua yang merupakan ilustrasi alam kota Banjarmasin: pasrah tapi tidak menyerah, merunduk namun menyimpan beribu harapan.
Dan, bumi tempat Ayang berpijak serasa makin bergemeletar hebat ketika sirine tanda bekerangkatan berbunyi. Para penumpang terlihat berdesakan menaiki tangga kapal.
“Selamat berjuang, sayang…!” rintih Ayang pahit. Kalimat itu bagai seraup duri yang keluar dari kerongkongan Ayang dan memberangus mulutnya. “Berangkatlah dalam bahagia, Kak. Biar kumati, dalam menanti.” Tenggorokan Ayang serasa makin parau dan tercekak.
Lama Ayang menghunjamkan tatapannya kepada Ipung. Matanya menyambar gundah. Bibirnya yang kelu bergerak-gerak seolah ingin mengecupkan lambaian perpisahan. Tapi tak satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Gumpalan haru yang bergayut di kedua palung mata Ayang pun luruh menggerabak, berkaca-kaca. Ada gelembung keputusasaan menyembul dan melukai segenap harapan yang tersisa di ceruk ngarai hatinya.
Kedua mata resah Ayang masih lekat menyambar Ipung. Dalam hati Ayang berbisik lirih: “Ya Allah, pertemukanlah kami kembali dalam kebahagiaan, genggam erat kedua hati kami dalam satu kesatuan prinsip dan pengertian, hingga kami dapat mewujudkan segala rencana dan cita-cita bersama dalam kehidupan yang teramat manis, dalam satu rajutan pernikahan suci. Amien!”
Ipung bergegas menaiki tangga kapal. “Kutitipkan agama Allah dan cinta kita padamu. Jagalah keduanya tanpa mesti ada yang harus dikorbankan.” Ayang hanya mampu memahat pinta dalam hatinya. “Tinggallah dalam bahagia, Yang,” kata Ipung, “Aku pamit, menuju syahid!” Suara itu sesayup hinggap di telinga Ayang, dan mengiris sisi hatinya yang terdalam. “Dalam cinta ada kesetiaan,” kata Ipung lagi, “Nantikan aku! Assalamu’alaikum...” Ipung masih melambaikan tangan sebelum ditelan kerumunan penumpang.
Sauh diangkat. Deru mesin kapal kian meninggi. Perlahan KM Serayu itu bergerak. Di balik pagar sebagian penumpang masih saja melambaikan tangan. Kemudian kapal mesin itu bergeak semakin jauh meninggalkan dermaga. Menjauh. Terus menjauh. Menuju samudera.
Mata Ayang basah ketika “ikan besi” itu lenyap ditelan laut. Ada yang tiba-tiba runtuh dalam dadanya. Ada yang tiba-tiba lepas.
Ada yang terasa hilang dari sudut-sudut hatinya.
Kembali hati Ayang berbisik: “Kak Ipung, kini Ayang adalah seraup bunga-bunga mekar dengan warna-warni ceria. Kini Ayang adalah putik mawar merah jambu yang telah mekar merekah dengan uar harum semerbak. Kini Ayang selembut dan seputih bunga melati, yang senantiasa jadi lambang suci dalam cinta. Kini Ayang adalah kakak, dan kakak adalah Ayang!”
Ombak terus berdesau memburu pantai, hingga senja pun luruh mengeliminasi kabut. Kawanan burung camar pulang menuju sarang. Tinggallah pilar-pilar dermaga Trisakti yang menggigil di kabut senja.
Mata Ayang kembali berlinang.[]
Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution
0 komentar: