Cerpen Agung Setiawan: Pongo

05.49 Zian 0 Comments

Di suatu sore yang mendung. Di akhir musim kemarau, di tengah hutan belantara Kerangas Pulau Kalimantan, seekor orangutan jantan dewasa sedang melamun. Ia duduk di dahan kanopi pohon besar yang telah tua. Kedua tangannya menggamit erat ranting kecil di atas kepalanya seraya memaju mundurkan seperti bermain main. Tatapan matanya kosong. Ia bahkan tidak menyadari rintik hujan mulai jatuh mengenai tubuhnya.
Seekor Pongo Pygmaeus itu baru saja menyelesaikan sebuah sarang di dekat situ. Sarang yang berasal dari cabang pohon terkuat. Ia begitu senang di kala harus menguji – dengan bergelantungan –kekuatan cabang untuk dijadikan pondasi sarang. Lalu cabang itu ia bengkokkan dan lilitkan ke beberapa cabang yang lain. Kekuatan ototnya luar biasa.

Setelah kerangka dasar sarang dari cabang pohon itu sudah berbentuk oval, maka di tengah tengahnya ia isi dengan ranting ranting kayu tebaik yang ia pilah pilih. Dengan sabar ranting ranting itu ia lapis lapis sehingga mampu menahan bobot tubuhnya. Terasa nyaman. Kemudian tiap ujung sarang ia tajak beberapa tongkat kayu dengan maksud membuat atapnya. Ia berpikir sejenak, ia harus menjadikan atapnya bukan saja melindungi dari hujan dan panas, tapi juga terlihat estetis.
Ada pula ia menambahkan tempat penampungan air hujan untuk minum di samping sarang. Dan ternyata sarang itu cukup untuk menampung dua ekor orangutan. Nampaknya ia sengaja membuatnya seperti itu. Dan menurutnya, ini adalah sarang terbaik yang pernah ia ciptakan. Indah dan megah.
Orangutan satu ini terasa berbeda dari kebanyakan spesiesnya. Manusia sekitar yang melewati daerah itu mengamati orangutan ini dengan rasa takjub sekaligus takut. Benar saja, fisiknya yang besar setinggi manusia dewasa. Manusia mana yang tidak menyegani selayaknya ia seorang raja. Kadang ada yang membawakannya puluhan sisir pisang atau buah buahan segar lainnya. Orangutan ini dikenali sebagai penguasa daerah ini. Ia selalu soliter, kecuali hendak kawin.
Gelambir lebar pipinya serta bahunya yang besar sudah semestinya menarik betina betina lain. Terlebih ia pandai merayu. Yaitu menyatakan keinginan melalui insting. Pernah beberapa kali ia bertindak romantis dengan menyediakan madu untuk betina paling cantik. Pernah pula suatu kali ia memetik daun pisang terbesar yang biasanya sulit dijangkau orangutan lain. Daun itu dipakaikan sebagai payung untuk dirinya dan pacar betinanya begitu hujan turun. Lalu dilanjutkan dengan bercinta di rerimbunan pohon.
Kini, sambil membiarkan rinai hujan membasahi bulu cokelatnya, ia tetap melamun. Seolah olah hidup segan, mati tak mau. Lalu ada dua manusia meliriknya dari bawah. Sudah hampir seminggu ia begitu. Manusia satunya memberitahu seakan ia memahami betul orangutan ini. Eskavator dan alat berat lainnya yang membikin raja hutan ini galau. Lingkungan memang perlahan berubah. Bagaimana pun cerdasnya orangutan, tak akan mampu melawan perilaku setan.
Hujan semakin menderas saja. Dua manusia tadi berlalu cepat cepat. Sore hampir menjemput senja. Di barat, nampak cakrawala memendarkan jingga kemerah merahan. Awan di arah sana pun terpercik warna itu. Warna kenestapaan. Sementara di bagian lain langit diselimuti kelabu. Warna tanpa asa.
Selintas dari pepohonan lain muncul sesuatu. Bergerak gerak menandakan makhluk hidup. Tetapi bukan kemunculan peri kecil penyelamat orangutan. Yang seperti dongeng klasik bangsa manusia. Tapi ini adalah kenyataan yang tentu menampikkan mitos mitos bikinan manusia. Maka, titik hujan berbaur dengan sesuatu itu seperti rona pelangi. Seekor orangutan lain mendekat.
Bukan seekor. Tapi dua ekor. Orangutan jantan tadi memicingkan mata ingin melihat dengan jelas siapa dua ekor orangutan itu. Apakah benar penglihatannya atau ia sedang bermimpi. Bisa saja. Atau itu dua jenis robot mirip orangutan buatan manusia? Ingin meracuniku?
Tetapi kenyataan kadang membuat kejutan yang tak pernah disangka sangka. Dua ekor itu adalah betina. Orangutan orangutan cantik. Benarkah itu bukan robot?
Setelah dua betina tepat berada di satu dahan dengan si jantan, mereka bertiga saling lempar tatap. Dengan menggunakan bahasa orangutan, si jantan mencoba menyapa sewibawa mungkin. “Ada yang bisa aku bantu?”
“Kami sedang berduka,” bersamaan dua betina menjawab.
“Ya aku tahu,” kata jantan.
“Bagaimana kau tahu?” tanya betina pertama.
Jantan tersenyum. “Dari bahasa wajah kalian.”
Sang jantan melupakan kerundungannya selama seminggu dan fokus mendengarkan cerita cerita dari dua ekor betina itu. Ia tahu harus bagaimana bersikap di depan betina. Dan kisah betina betina itu memilukan. Sebagian berisi fakta tentang pasangan pasangan mereka mati terbunuh jerat dan peluru. Penderitaan kalian melebihiku. Anak anak mereka hilang tak tahu rimbanya sesaat jilatan api merobohkan pohon pohon mereka. Mereka tak mampu makan bukan karena tak ada makanan, tapi lebih pada kesedihan itu. Sekilas jantan memerhatikan tubuh kedua betina itu, terlihat kurus.
”Lalu, mau ke mana kalian?” jantan bertanya dengan perasaan duka mendalam. Ia memang jantan dengan segala insting kejantanan hewani. Tapi ada perasaan yang juga bisa bergetar mendengar kisah duka. Dan perasaan itu menimbulkan setitik kecil air dari mata. Mereka tak dapat berbuat apa apa. Karena mereka tak memiliki akal sesempurna manusia.
Betina pertama mengatakan bahwa mereka akan hijrah ke tempat yang aman, bukan di tempat rehabilitasi orangutan, meski di sana sangat nyaman dirawat oleh manusia kulit putih. Jika berhijrah, mereka akan memulai kehidupan lebih baik, dan tentu juga akan menemukan jantan lain demi melanjutkan keturunan. Di sini, menurut betina kedua, sudah tak bebas dari tindakan setan. Golongan orangutan mengganggap manusia perusak hutan dengan panggilan setan. Mengapa? Karena bagi mereka sangat menakutkan. Meneror sumber kehidupan mereka.
Ketiga orangutan itu mulai berhenti bercerita ketika gulita merambat bumi. Bebunyian hewan malam dan serangga mulai mengusik malam. Sama seperti kesedihan yang mengusik ketiga orangutan. Barangkali orangutan orangutan lain pun merasakan hal yang sama pula. Demikian pasti meskipun primata ini saling berjauhan jaraknya karena populasi mereka semakin menyusut.
Si jantan mempersilakan dua betina menginap semalam di sarangnya. Dan ia sendiri membuat sarang lagi seadanya, sebagai sandaran tubuhnya melepas dingin bekas hujan. Malam pun semakin pekat tanpa bulan dan bintang yang tertutup awan.
Entah di mana, suara mesin lamat lamat merasuki telinga ketiga orangutan. Barangkali mereka tahu itu adalah sekelompok manusia. Namun, mereka tidak bisa menebak nebak jaraknya. Jauh atau dekat. Lalu suara mesin berganti suara dengungan kecil mirip puluhan manusia sedang bercengkrama. Mungkinkah manusia manusia yang seringkali lewat sini nanti tak akan lagi menghormatiku? Tak akan lagi lari jika berpapasan denganku di tanah? Bukankah aku dijuluki raja hutan? Atau mereka akan menembakkan benda kecil itu demi mematikanku nanti? Atau memaksaku memasuki jeruji besi di belakang rumah mereka?
Tapi si jantan tak mampu berkomunikasi dengan manusia. Dan juga ia tak bisa secara jelas membedakan mana manusia baik dan manusia jahat (setan), mana masyarakat adat dan mana penduduk penjarah hutan. Ia hanya termenung, memikirkan betinanya yang seminggu lalu mati, digilas alat berat.[]


Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution

0 komentar: