Cerpen Moch. Gozali: Lagu Ombak

05.45 Zian 0 Comments

“Semestinya kau pulang dulu, Nak, walau sebentar. Hari Nusantara yang dijatuhkan ke Kotabaru Desember depan bukan sekadar acara seromonial belaka, tapi mengandung makna sakral,”  begitu SMS pembuka yang dikirim mamanya.
Sakralitas seperti apa yang dimaksud Mama Rizal tak akan ada yang dapat memastikan secara jitu. Apakah Hari Nusantara itu lahir dari pergolakan politik di antara anak bangsa sendiri? Apakah Hari Nusantara ini telah memakan korban jiwa yang banyak? Atau Hari Nusantara ini sebagai manifes pembelaan kedaulatan bangsa yang sering diinjak-injak negeri sebelah?
Rizal seakan tak percaya membaca SMS sang Mama. Ia pikir ada berita gaib dari perjalanan suci mamanya setelah satu bulan di Tanah Haram, sebab setiap jemaah punya cerita yang kadang unik dan misterius. Ritualiatas haji menurut keimanan Rizal adalah puncak sakralitas dari sisi kehidupan manapun yang tak ada kembarannya. Namun, ramalan Rizal jauh meleset.

“Kau mesti tahu dan memaknai kandungan Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957 yang dibacakan Perdana Menteri H. Djuanda di Jakarta kala itu,” sambungan SMS berikut.
Akal Rizal dibenturkan pada dinding kebodohan membaca SMS mamanya. Sebab selama ini ia lupa satu peristiwa sejarah perjuangan bangsanya. Ia terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Jiwa mudanya telah menghijabi pandangan pada kenyataan peristiwa masa lalu.
Dijelajahinya Google, dilumatnya Deklarasi Djuanda dengan penuh syahwat. Di sanalah Rizal berma’rifat dengan sakralitas yang dimaksud dalam SMS sang Mama bahwa Hari Nusantara merupakan hasil perjuangan keras para pendahulu dalam memancangkan salah satu tiang pondasi kebangsaan. Djuanda telah menyeret kesadaran anak bangsa ini untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Maritim yang kuat yang mensejahterakan bangsanya. Hari Nusantara sebenarnya jauh berbeda dengan ‘hari pariwisata’ yang lebih berorientasi pada pemasaran produk-produk wisata guna mengundang banyak pelancong datang berkunjung.
Sayangnya keinginan suci H. Djuanda itu sampai detik ini  belum berdaya menumbuhkan jiwa kelautan kepada generasi kini.  Laut masih dipandang sebelah mata. Mereka lebih bernafsu berprofesi di darat. Sarjana kelautan dan perikanan sendiri banyak yang enggan terjun ke laut, para investor jauh lebih tertarik menanamkan saham di sektor darat, jumlah aparatur kelautan amat sangat minim dibanding wilayah samudera Indonesia yang amat luas, belum lagi prasarana dan sarana seperti  kapal dan persenjataan yang sangat memprihatinkan. Tak ayal bila kekayaan laut yang amat melimpah banyak dinikmati bangsa lain dengan menghalalkan segala cara sampai-sampai beberapa pulau milik kita jatuh ke Negeri Jiran. Kita terkulai bagai anak burung jatuh dari sarang. Padahal, kedaulatan bangsa wajib dibela ‘waja sampai kaputing.’ Di mana letak harkat dan martabat bangsa ini? Andai Soekarno hidup, beliau pasti membangunkan keberanian sehingga Indonesia akan kembali menjadi “Macan Asia.” Kita merindukan pemimpin seberani Bung Karno.
Dada Rizal berdebar kencang melihat kehancuran wibawa bangsanya di mata dunia. Ia teriakkan pembelaan kepada anak-anak negeri tetapi tak ada satupun yang mendengar apalagi bertindak. Haruskah pulau-pulau lain terlepas lagi?
“Hanya Patih Gajah Mada dan dedemit lain yang datang dari Saranjana atau Mandiangin atau Gunung Maratus bahkan dari Alas Purba dan atau Laut Pantai Selatan yang mau mendengar dan siaga membantu kapan makhluk nyata ini mau melakukan perlawanan. NKRI terus berada dalam ancaman. Bangsa kita yang katanya besar ini ternyata amat kerdil,” geramnya. Tapi Rizal tak memiliki kuasa apapun selain berdoa demi kewibawaan dan kemakmuran tapi berkeadilan.

***

Tidak kepalang tanggung, desahnya, ketua Hari Nusantara sendiri adalah Presiden dengan wakil Menteri Kelautan dan Perikanan. Anggotanya 11 menteri mulai Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, dan menteri terkait dengan melibatkan pula Kapolri, Kepala Staf Angkatan Laut serta tim pakar dan akademisi. Entah berapa besar dana peringatan Harnus ini hanya panitialah yang tahu pasti.
Apakah Kotabaru ditunjuk sebagai tuan rumah Harnus hanya karena memiliki garis pantai sepanjang 81.290 km2 atau 18% dari panjang garis pantai dunia? Atau dari sisi kelautannya, potensi Kotabaru sangat kaya dengan ikan yang melimpah, di dalamnya juga terdapat terumbu karang yang beraneka indah, rumput laut, dan kerangnya? Atau Kotabaru karena memiliki dua pulau besar yang terdiri dari wilayah kepulauan dan daratan dengan pulau sebanyak 190 buah walau sebagian besar pulau-pulau tersebut masih ada yang belum berpenghuni?
Sepasukan pertanyaan datang bertubi-tubi menghiasi malam-malamnya di perantauan. Rasa rindu pada keluarga bertekuk pada rasa penasaran tentang Hari Nusantara yang sudah 13 tahun dicanangkan pemerintah melalui Keppres No. 126 Tahun 2001. Di alam pikir Rizal muncul tulisan besar ‘‘Sejauh mana pencapaian target Harnus?’’
Sepanjang bangsa ini masih enggan berprofesi di laut; selagi bidang kelautan belum menjadi arus utama pembangunan nasional; dan sejauh negara ini belum terwujud sebagai Negara Maritim dan disegani dunia, maka Rizal tidak melihat adanya perubahan yang signifikan dari kegiatan tersebut.
Ingin sekali diledakkan kepada mamanya sebagai bentuk jawaban, tetapi keberanian Rizal seketika mengerucut. Ibu baginya adalah surga. Ia jaga betul-betul agar hati sang Mama tidak tercederai. Sedih menyelimuti batinnya walau senyum selalu ia lemparkan pada teman-teman kostnya. Ia sadar melempar senyum kepada siapapun merupakan ibadah yang tak terasa dan sangat murah.

***

Ada yang menancap kuat setiap sore menjelang senja, waktu itu ia bersama teman-teman masa kecilnya berlarian di bibir pantai, bermain mayat-mayatan dengan menggali pasir sebesar badannya. Di sekujur tubuh Rizal ditimbuni pasir dan di atasnya diletakkan lagi pasir bulat 3-5 buah. Rupanya simbol itu telah menanamkan keberanian pada anak-anak pesisir terhadap kematian.
Ayahnya menyelempangkan sarung di badan. Perbekalan untuk makan malam digendongnya. Asap rokok cap jagung mengepul. Di belahnya riak menuju perahu yang akan memberangkatkan ke bagan. Dari kejauhan istrinya berdiri melepas ikhlas berharap besok dapat tangkapan yang cukup untuk kehidupan keluarga.
"Kamu rajin-rajinlah belajar supaya besar nanti tidak seperti ayah, Zal. Jangan pernah menyerah dengan kondisi apapun. Sebab ikan di laut tak pernah tawar walau hidup di air yang asin,’’ pesan sang Ayah setiap akan membagan.
Ayahnya melarang Rizal menjadi nelayan tradisi tentu punya alasan. Di saat musim utara tiba angin kencang dan ‘arus sorong’ adalah suatu kondisi yang paling menantang bagi pembagan. Tidak banyak nelayan yang mau ke laut pada saat musim itu datang. Ayah Rizal harus berangkat bagaimanapun kondisinya. Kalau tidak 5 kepala tidak akan makan. Di saat tengah malam tiba, bulan memancar, ia terpental ke laut akibat tali pemutar jaring putus. Beruntung hanya tangan kirinya yang patah daripada nyawa ditelan gelombang. Pengalaman itulah menjadi pelajaran pahit sehingga 3 anaknya diarahkan agar menjadi nelayan yang andal seperti Jepang.
Deru ombak dan gemuruh angin menampar-nampar wajah Rizal. Ia berdiri gagah di bibir Pantai Perenduan. Malam adalah bagian penting melatih diri mengungkap suatu misteri. Di pandangnya langit kelam, terbayanglah bagan-bagan apung nelayan di sana. Amat berbeda dengan bagan di sepanjang pesisir Kotabaru. Seketika bayang mamanya hadir menjemur ikan teri, cumi, kerong, dan ikan-ikan kecil lainnya hasil kerja keras sang Ayah.

***

"Bagaimana, Zal, liburan nanti jadi pulang? Aku mau ikut sekalian melihat kemeriahan pesta Hari Nusantara di kotamu,” tanya Alif antusias.
“Semoga kita masih panjang umur bisa menikmati hidup. Niscaya Tuhan tak akan berutang untuk mewujudkan niat hamba-Nya, Lif,” jawab Rizal diplomatif.
Hawa kemarau panjang tahun ini begitu terasa. Bila malam tiba udara dingin menelusup ke lapisan daging terdalam. Selimut tebal Barcelonanya sedikit mengurangi rasa dingin tapi rasa kantuk yang mendera tak mampu mengantarkan tidurnya. Bunyi buah ketapang “ceddar-cedder-ceddor” di atap rumahnya selalu mendengung di telinga Rizal. Tentu mamanya akan bangkit dari tidurnya memanah bayang pada anak-anaknya jauh di rantau.
“Mama…. maafkan anakmu andai Desember nanti tidak berlibur di rumah. Apalah arti kedatangan anakmu ini bila wajah anak-anak pantai di Sarang Tiung, di Teluk Aru, di Tanjung Lalak, di Marabatuan dan di kepulauan lain masih penuh dengan lara yang entah kapan tamatnya? Sementara itu di kota, kita akan diseret ke dalam pesta sorak sorai anggur merah! Kita semakin hanyut dan terlena dengan ketidakpedulian,” tulis Rizal ditempel ke dinding jiwanya.
Setiap akan menuliskan kalimat itu, selalu muncul kegamangan. Rizal hanya sanggup menyairkan dengan irama sesuka-sukanya untuk mengiringi lagu ombak Sarang Tiung yang nantinya akan dijadikan tempat acara Harnus. Potensi Samber Gelap yang kaya dengan Tukik dan Penyu langkanya tampak terbayang. Terumbu karang yang eksotik di Samber Gelap dan Teluk Tamiang sebagai karunia-Nya terkhayalkan untuk dijadikan syarat utama pensejahteraan warga sekitar. Hasil rumput laut yang melimpah mengapa tidak bisa diproses menjadi produk andalan kelautan Kotabaru? Mengapa ikan-ikan bergizi tinggi diekspor ke luar negeri sedangkan warganya seperti kekurangan nutrisi? Bagan sebagai warisan leluhur merekapun nasibnya berada di ujung tanduk, nyaris dimusnahkan karena dianggap mengganggu arus lalu lintas laut yang membawa hasil tambang dan mineral. Padahal, inilah satu-satunya harapan hidup nelayan tradisi Kotabaru.
Masih terlalu banyak potensi yang terpendam di Tanjung Pemancingan, di Tanjung Dewa, di Tanjung Ayun, dan tanjung-tanjung lain di Kotabaru ini yang belum digali untuk kesejahteraan, kemakmuran yang adil bagi masyarakat setempat. Sayangnya upaya ke arah sana masih sebatas seminar dan bentuk-bentuk suluh lainnya. Mereka lebih berharap pada laku nyata yang inovatif yang benar-benar dirasakan manfaatnya.
“Sementara itu Mama, pada Pesta Harnus nanti kita akan disuguhi rangkaian acara seperti mamanda, wayang kulit, band remaja, kesenian multietnis, dangdut Sa-ijaan. Kita juga disuguhi Tari Kolosal, Festival Tari Melayu, Pemilihan Putra-Putri Bahari (yang hidupnya amat jauh dari laut), Demo Terjun Payung, seminar-seminar dan acara seremoni lain yang kurang bersinggungan dengan dunia maritim,” lanjut Rizal walau tetap tak kuasa dikirimkan ke sang Mama.
“Beruntung juga nanti kita masih bisa menikmati Lomba Menyusun Bagan, Lomba Perahu Katir,  Lomba Renang dan Titi Tali, Lomba Dayung, Penanaman Terumbu Karang, Pelatihan Layar, Pelatihan Selam, dan Tenda Terapung. Semoga masyarakat pesisirlah yang mendapat bagian itu sebab bila berharap pada Jet Ski, Para Motor, Fun Diving, Water Ski, Fin Swimming dan kegiatan yang berbau modern (baca: perlu biaya), maka ‘jauh api dari panggang’ akan terjadi pada anak-anak pesisir, Ma,” sambungnya.
Mencermati promosi Rizal, Alif dan kawan-kawan kostnya semakin terpikat hatinya untuk bisa menikmati gelaran akbar di Kotabaru. Rizal sangat membaca keinginan mereka karena selama ini belum pernah merasakan pesona alam dan laut Bumi Sa-ijaan, Tanah Borneo yang tak kalah indahnya dengan tanah lain di nusantara.
Persoalannya, batin Rizal akan terus menjerit bila pesta telah usai, nasib anak-anak pantai tetap tak berubah. Batinnya tak pernah berhenti bergolak antara melepas rindu keluarga sambil memenuhi keinginan kawannya dengan rasa keprihatinan yang membuncah menatap nasib para nelayan yang setiap hari setiap malam berbantal ombak berselimut angin. Hanya perjalanan harilah yang nanti akan menjawab apakah Rizal pulang kampung atau tidak? Ia hanya pasti akan mendengar Lagu Ombak dan Pesta Harnus.[]


Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution

0 komentar: