Cerpen Ewel Galih: Maria
Senja, memang selalu memberi warna dalam ingatku.Seperti senja yang sering kita pandangi dahulu, hilir mudik kendaraan dari atas jembatan, air sungai yang sewarna kecokelatan adalah senja yang selalu membawaku pada kenangan.
Kini aku selalu menyempatkan untuk menikmatinya. Di sebuah warung makan yang terletak di bawah jembatan inilah aku kerap menghabiskan waktu bilamana rindu itu datang dan membawaku.
Dulu sekali, kau sering mengajakku ke sini. Melepas penat sepulang kuliah. Kita akan duduk santai di kursi paling pojok menatap keindahan senja, sambil menunggu pelayan mengantar nasi sop kegemaranmu. Kau akan tersenyum, bila mendapati elang yang biasa menari-nari di bawah balutan jingga dan berputar-putar di udara. Aku pun segera mengeluarkan entah sisir atau apa saja dari dalam tasmu, seolah memencetnya seperti remote kontrol yang memainkan kepak elang di atas sana. Kau cekikikan melihat ulahku. Sampai senja semakin luruh, elang itupun menghilang dengan meninggalkan kicau yang samar-samar terdengar.
Kemudian kita akan terpaku, memandang arus Sungai Martapura yang ujungnya tak tertangkap mata, seakan menyatu dalam lambaian senja. Serta lembutnya riak dari kelotok-kelotok yang lewat, membelah permukaan sungai. Ikan-ikan kecil akan tampak berlarian ke permukaan, kau selalu menjatuhkan sisa makanan ke keruh sungai di bawah semburat merah. Tertawa lepas, menyaksikan gerombolan ikan atau kau akan mencelupkan ujung jarimu sambil berpegangan di pundakku. Aku tersenyum. Kini, semua memang hanya sebatas kenangan.
***
“Bagaimana pun nantinya, aku janji tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku hanya ingin kamu tetap denganku!” Saat itu angin begitu lembut menggoyangkan ujung rambutmu, kau rengkuh aku begitu dalam seakan kau tak ingin melepasnya. Aku dapat merasakan ketulusan yang kau beri dalam mencinta. Tak ada tanda-tanda kalau itu adalah rengkuh terakhirmu. Atau tak ada sedikitpun isyarat yang kau tinggalkan sebagai alasan terbaikmu.
Memang, setelah pertemuan kita, di beranda rumahku yang sunyi itu, aku tak punya pikiran untuk tidak menghubungimu. Saat itu kau pulang, dan aku kembali menyibukkan diri dengan buku-buku teori yang kupinjam di perpustakaan kampus, buku acuan menyusun skripsi sebagai tugas akhirku.
Ketika asyik membaca, perhatianku tercuri oleh buku kecil yang tertindih di bawah seprai. Aku mengambilnya. Di pertengahan bagian buku kecil tersebut aku menemukan kartu identitas peserta ujian, milikmu. Aku tersenyum, kau tampak begitu manis, Maria. Jilbab abu-abu tua yang membingkai wajahmu, memberi kesan keindahan nan dalam. Juga sorot mata yang jujur. Kau pasti tampak sangat bahagia ketika melakukan pemotretan tersebut. Di sisi kanan fotomu, tertera jelas nama lengkap, tempat, tanggal dan tahun kelahiranmu. Aku terdiam dan beranjak mendekati kalender yang menempel di dinding dekat jendela.
Nah, semenjak kejadian itulah, aku mulai berencana untuk tidak menghubungimu, dengan cara apapun. Memutuskan untuk tidak saling sms, tidak saling pandang, tidak saling tanya, tidak saling tertawa, serta tidak saling lainnya. Sebelumnya aku pun marah tanpa alas an yang jelas. Hal serupa memang sengaja kulakukan, Maria. Sementara itu, sambil menunggu tanggal yang telah kuberi tanda, aku mengisinya dengan bolak-balik ke warnet mencari bahan untuk skripsiku.
Hingga sampailah pada malam gerimis yang jauh itu. Aku datang dengan membawa kado dari balik jaketku. Di malam pertama pada bulan Mei itulah semua bermula. Awalnya aku mengira, ini akan membuat sedikit kejutan untukmu dan kau akan menyambut bahagia kehadiranku yang tiba-tiba ini. kemudian sesegeranya kau mengusap butir-butir gerimis pada wajahku. Selanjutnya menyeduhkan secangkir teh hangat, sebelum melempar senyum jengkelmu.
Namun beberapa saat aku berdiri di depan rumah kontrakan yang kau sewa. Berkali-kali pula aku mengetuk dengan diiringi panggilan. Tak tampak tanda-tanda pintu akan terbuka. Semua sangat sepi, hanya rintik air yang mengisi ruang dengarku. Akhirnya aku memutuskan untuk menelepon, beberapa kali. Masih tak ada sahutan. Pikiranku segera tumpang tindih, menerka keadaanmu saat itu. Sepersekian menit aku termangu, ponselku bergetar. Aku mematung menyambut suara dari seberang sana.
“Aku tegaskan sekali lagi, aku sudah tidak menganggapmu apa-apa!”
“ Ada apa denganmu?” tanyaku kebingungan. Selanjutnya tak ada dari kita yang mencoba melanjutkan kata. Sementara gerimis semakin mendayu-dayu menjatuhi atap. Ada napas yang memburu terdengar dari dalam ponselku.
“Kau di mana?” sambungku lagi
“Aku sedang tidak di sana, ada baiknya kau tinggalkan tempat itu dan mulai lupakan aku.”
“Maksudmu?”
“Kita putus!” bentakmu nyaris berteriak.
“Maria!“
Tuuutt..Tuutt.. Tuuuttt.. Sambungan telepon itupun terputus begitu saja. Aku masih memikirkannya beberapa saat seraya melangkah dari pelataran kontarakanmu. Membeku di bawah tikaman gerimis malam itu.
***
Terkejut dan nyaris tak percaya.
Begitulah adanya, aku tidak dapat menahan untuk kau tetap bersamaku. Tidak pula mengerti dengan alur pikiran yang ada di kepalamu. Kau seperti bukan Maria yang pertama kutemui ketika masih SD, yang kukenal di bangku SMP, yang pada akhirnya di masa SMA kita saling jatuh cinta.
Itu Maria, artinya lebih dari ribuan hari telah kita lewati bersama. Lalu bagaimana bisa, kau meminta untuk mengakhirinya? Hanya karena satu minggu aku tidak menghubungimu. Tapi aku rasa bukan karena itu! Ada hal lain yang mengusik benakmu, bukan? Hal yang kau tutup-tutupi dariku, yang tidak pernah aku tahu, yang dari waktu ke waktu terus kuburu.
Kebingungan, kegelisahan terus saja menderaku. Seusai smsku tak lagi berbalas, aku mulai menemui sahabat-sahabat terdekatmu. Berharap dari mereka, bisa memulihkan hubungan kita. Tetapi apa? Mereka pun sepertinya sudah sepakat untuk menghindar dari segala tanyaku. Kuputuskan kembali menelponmu, agar bisa bertemu dan membicarakannya secara langsung. Namun lagi-lagi, kau malah memilih untuk mengganti nomor ponselmu begitu mendapati telepon dariku. Ada apa sebenarnya, Maria?
Ini adalah suatu kenyataan yang tidak mampu kuterima. Pada kesempatan lain pun, aku sempatkan untuk menunggumu. Di antara penjual pentol, di bawah pohon ketapang yang berdempetan dengan pangkalan ojek, aku duduk di samping kampusmu. Waktu terseret pada pukul tiga lewat sepersekian menit, debu-debu berhambur terbang dari laju kendaraan melintas di aspal yang belum tuntas dikerjakan. Dari samping kanan, para perempuan berseliweran keluar masuk pagar. Kau yang saat itu mengetahui keberadaanku, bergegas berjalan di tengah gerumunan mahasiswi lainnya. Mungkin kau mengira akan luput dari pandangku, tapi kau salah, Maria. Aku sudah begitu mengenalmu, aku kenal gaya berjalanmu, sorot matamu, manis senyummu, bahkan aroma rambutmu, masih terlalu dini untuk aku lupa semua itu.
Seketika sebuah truk kayu mendadak menginjak pedal remnya, kemudian menyalip motor yang tiba-tiba keluar dari dalam gang. Sigap kuberdiri, dan berjalan cepat untuk menghadang langkahmu. Namun begitu aku akan menghampirimu, seolah tidak mengenal siapa aku, kau berlalu dan menghidupkan mesin motormu.
Hingga seselesai pendidikanku di Banjarmasin, rentangan jarak pun perlahan memperumit ruang gerakku. Kontrakanmu kini telah berganti penghuni, tak ada kabar yang angin bawa kepadaku. Sungguh aku tidak tahu lagi, apakah saat itu kau masih suka telat makan. Apakah penyakit asmamu masih sering kambuh, ataukah kau akan terus menghindar dariku. Begitu cepatnya jejak-jejakmu menghilang, bersama alasan yang tidak pernah terungkap.
Tetapi Maria, ada yang tidak pernah bisa hilang dari sebuah perpisahan. Maria, kita telah melewati banyak cerita, airmata, canda tawa, juga kekonyolan-kekonyolan yang kuyakin kau pun kadang masih terkenang olehnya. Itulah Maria, sebuah kenangan.
***
Tahun demi tahun terlewat, akhirnya aku tidak lagi mengejarmu seperti waktu dahulu, tidak pula membuntuti kemana kamu pergi. Ini aku lakukan bukan karena cintaku telah tenggelam tertelan waktu. Tidak.
Aku masih mencintaimu, Maria. Sama ketika pertama kali aku mengatakannya. Hanya saja, sekarang semua telah kutemukan dalam lembaran sepi yang telah kulalui, juga alasan kepergianmu. Kutemukan cara untuk berdamai dengan perasaanku, dan meniduri segala rindu akan bayangmu. Waktu telah mengintrospeksi semua kekhilafanku. Maafkan aku, Maria. Semoga apa yang aku lakukan saat ini dapat mengerti apa inginnya hatimu.
Kendati demikian, itulah sebabnya kenapa aku kerap berada di warung bawah jembatan, tempat yang pernah kita singgahi dulu. Aku rasa kau tak perlu khawatir, aku ke sini bukan untuk mencarimu. Tidak pula berharap kau masih suka menikmati senja di tempat ini, dan tanpa sengaja kita bertemu dalam satu meja. Tidak pernah ada pikiran semacam itu hinggap di kepalaku. Aku ke sini hanya sekadar menikmati sensasi berbeda dalam mengenangmu, di antara balutan jingga dan kepak elang di atas sana. Aku merasa mampu menuntaskan dahaga rindu akan masa-masa kita dulu, menemukan kamu serta kemanisan kisah kita.
Aku juga masih suka duduk di kursi paling pojok, bersisian dengan pagar yang langsung menghadap sungai. Semua masih seperti dulu, Maria. Tukang parkir, pelayan pengantar makanan, kasir berambut putih, mereka masih orang-orang yang dulu. Warungnya pun masih selalu ramai, mereka selalu disibukkan oleh pelanggan yang seolah tak ada habisnya. Juga air sungai yang sewarna kecokelatan, jembatan yang tak pernah sepi ketika senja mulai luruh, elang yang senantiasa melintasi udara, serta kelotok-kelotok yang membelah permukaan sungai. Bahkan riaknya pun masih selembut dahulu, hanya terkadang aku sedikit terenyuh menatapnya.
Sampai di senja kesekian aku masih berada di sini, membiarkan embus angin menampar-nampar wajahku. Suara-suara pelanggan lain yang berada di sekelilingku berterbangan, aku hanya diam. Merasakan aroma sop kesukaanmu, menyelinap ke dalam rongga-rongga dadaku. Kemudian aku meletakkan kado berpita jingga di meja tempat dudukmu dulu. Kado yang pernah kubawa di malam gerimis itu, sebuah bingkisan kecil hadiah hari lahirmu. Sudah sangat renyuk memang, entah kenapa aku seakan acuh pada benda tersebut. Aku meliriknya, seketika aku merasa ada gejolak untuk melemparnya ke arah sungai.
Namun, tiba-tiba kau muncul dari barisan meja pengunjung yang beranjak pulang. Aku terkesima, kau menatap terkejut. Mungkin kau juga tak menduga, bertahun-tahun setelah kita tak lagi menghabiskan waktu bersama. Senja dan tempat ini kembali mempertemukan kita. Ingin rasanya aku segera menyambarmu dengan pertanyaan-pertanyaan yang berjejer dari dalam batok kepala. Sejak kapan kau di situ? Apakah kau sedang menunggu lelaki lain, yang akan kau kenalkan pada senjamu sebagai kekasih pengganti diriku?
Tidak, itu tidak mungkin. Tampaknya kau juga sendiri datang ke sini. Namun kenapa kau tak menyapa dan duduk di sampingku? Apa kau lupa kursi pojok sebelahku ini merupakan posisi paling tepat untuk menatap senja yang sebentar lagi datang? Dari balik jembatan, polesan jingga akan membentuk keindahan artistik yang berpadu dalam tenangnya arus Sungai Martapura, memanjang sampai ke penjuru ingatan. Jangan-jangan ada senja lain yang lebih menawan, lebih menarik perhatianmu, sehingga kau berpaling duduk di sebelah situ.
Angin berembus lamban. Kau masih menyendiri, duduk di meja kedua di hadapanku. Aku menoleh ke belakang, memastikan senja dari arah dudukmu. Aku pikir tak mungkin, kau melewatkan senja dari celah pepohonan tepi sungai.
“Ransel orang itu sangat mengganggu penglihatanku,” ucapmu suatu waktu. Jarum jam yang menempel di tembok warung, terpojok di angka lima. Kau gelisah, dan mulai merengek-rengek memintaku menegur orang yang duduk membelakangi kita. Saat itu adalah kali pertamanya kau mengajakku ke sini. Aku hanya heran mendengarkan permintaanmu, memangnya seperti apa senja yang kau dambakan itu, bukankah semua senja sama?
“Tidak, ini beda. Kau bisa lihat sendiri, keindahan yang akan menyentuh palung jiwamu,” ucapmu lagi seolah kau mendengar kerisik dari dalam hatiku. Aku hanya terbengong-bengong, setengah mempercayainya.
Kau menggandeng bahuku, lalu berbisik. “ Jadi jangan biarkan ransel orang itu menjadi penghalang akan keindahan yang sebentar lagi datang.”
Akhirnya akupun menurutimu, dengan suara terbata-bata aku meminta orang itu menurunkan ranselnya. Untungnya dia bisa mengerti dan berbalik sejenak ke arahmu. Kau tersenyum riang membalasnya. Lantas, bagaimana sekarang kau bisa duduk memunggunginya, senja yang kita pandangi dulu?
***
Suara kelotok bergemuruh berpacu di angkasa, riak-riak berkejaran menepi lalu pecah. Angin kembali berembus, sangat lembut. Bergelayut di ujung bulu matamu, disusul kepak elang yang datang dari arah selatan. Senja sebentar lagi turun, kau mengangkat kepala. Matamu sejajar dengan mataku. Pertanyaan-pertanyaan tadi pun tetap tersimpan. Aku tidak mungkin membiarkanmu kembali menghindar. Dapat melihatmu dari jarak sedekat ini saja sudah lebih dari apa yang sering aku bayangkan.
Sesaat kita beradu mata, pendar cahaya datang, kau beranjak dan tanpa ragu berjalan ke arahku. Aku hanya terpaku pada gerak langkahmu yang semakin mendekat. Hanya beberapa hasta, kau berbelok dan berdiri di pagar tepi sungai. Aku hanya memperhatikan apa yang akan kau lakukan, terlepas kita bukan lagi menjadi sepasang kekasih.
Sementara elang itu begitu leluasa berputar-putar, kau melemparinya dengan senyum seraya berjongkok. Ujung jarimu tercelup ke permukaan sungai, ikan-ikan kecil sontak mengelilinginya seakan menempelkan mulut ke sekujur jari-jarimu yang tercelup. Kemudian kau mengangkatnya dengan kedua telapak tangan, menjatuhkannya kembali sampai cahaya keemasan menggaris di pelipis kananmu. Kau berdiri, memandang lurus.
“Maria...” Di luar kendali mulutku menyebut namamu, sangat pelan. Kau seperti asyik sendiri, terbuai bermandikan cahaya. Lekuk tubuhmu tercetak jelas di mataku.
“Ternyata kau masih suka berada di sini,” ucapku lebih tenang dan lantang. Bola matamu bergerak menyudut, dengan bibir terkatup tanpa jawab. Sementara itu para pengunjung warung terus berdatangan. Mereka kebanyakan terdiri dari sepasang kekasih yang seolah siap mengabadikan cinta dalam hitungan menit terbenamnya matahari.
“Aku juga begitu, hanya saja kita memiliki tujuan yang beda, bukan?” sambungku lagi sembari menyeruput teh hangat yang sudah mendingin. Kau masih tak menjawab, mungkin kau mengira aku akan menjawab pertanyaanku dengan sendirinya.
“Iya, kau pasti ke sini untuk menemui senjamu. Senja yang kau damba-dambakan seperti waktu dahulu. Sedang aku ke sini hanya sekadar menikmati kenangan yang tertimbun di sini, dalam senjamu.”
Kau masih diam.
Warna merah pada langit membentuk bercak-bercak tipis dengan polesan jingga yang saling tindih. Kau menatap lekat ke sana, menenggelamkan pandangan.
“Apa kau merindukanku?” Kau bertanya dengan mata terpejam. Mungkin kau tak sanggup menangkap letupan luka dari kedua bolamataku.”
“Tentu, kau?”
“Aku?” Kau tersenyum tipis.
“Aku ke sini juga karena rindu. Rindu yang datang dan membawaku.”
“Benarkah?” sambarku, dan bersegera mendekatimu. Aku rasa kau sendiri sudah tidak perlu menghindar seperti waktu dulu. Kita berdiri bersisian menghadap ke arah sungai.
“Apakah rindu itu milikku?” tanyaku penasaran. Kau perlahan membuka mata, disusul senyum yang lebih lebar dari sebelumnya.
“Apa aku harus menjawabnya?”
Selanjutnya angin kembali bergelayut di ujung bulu matamu.
Tusukan cahaya jingga seperti menembus rok panjang dan baju kameja biru muda yang kau kenakan. Aku mengernyitkan dahi, tak kuasa menatap cahaya yang memandikan tubuhmu. Ada gumpalan awan besar berbias merah di tepinya, perlahan semakin menyala. Seperti bongkahan api yang berkobar-kobar di angkasa. Aku mencoba meraih pergelanganmu, namun seketika ada empasan angin yang mencoba menepisnya. Kucoba menyentuh ujung bajumu yang melambai-lambai.
“Astaga!” Aku tersentak. Kau seperti terisap dalam cahaya yang dalam hitungan detik telah mengepungmu. Aku berusaha menerobosnya, seketika tubuhku terpental jauh. Aku langsung bangkit, jatuh dan jatuh lagi. Berkali-kali, tubuhku pun terasa lemas. Setengah berjongkok, aku memanggil-manggil namamu, sedang kau tampak tersenyum ceria. Aku tidak tahu apa yang kau rasakan saat itu.
“Mariaaaaaaaaa…,” teriakku memekik memanggil namamu. Senja mendadak berubah menjadi temaram, dan kau menghilang. Dengan sisa tenaga, aku berdiri di pagar tepi sungai. Bibirku masih mengeja-ngeja namamu, tanpa suara.
Awan gelap mulai datang dan menyelinap dari barisan pepohonan seberang sana. Para pengunjung warung sontak menjadi panik, sebagian masih duduk, sebagian lagi setengah berdiri. Mereka berteriak-teriak dan serentak berlarian menghambur, memenuhi pagar.
“Tolong… tolong… Ada yang tercebur…”
“Senja memang selalu memberi warna dalam ingatku, seperti senja yang sering kita pandangi dulu. Air sungai yang sewarna kecokelatan adalah senja yang membawaku kembali menemukanmu.”
Perlahan mataku terkatup rapat, badanku terhanyut ke dasar-dasar. Kau begitu nyata, terlihat sangat dekat, begitu dekat. Dan memang, kau selalu terlihat cantik, Maria.[]
Sumber:
Budhi, A.S. dkk. 2014. Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin Tahun 2014. Yogyakarta: Writing Revolution
Radar Banjarmasin, Minggu
ceritanya bagus banget. :)
BalasHapusboleh aku bilang klo detik ini aku merindukanmu lagi?.kau harus tau kalo detik ini aku tersenyum.