Cerpen Mia Ismed: Diary Ibu

09.57 Zian 0 Comments

“Apa Dok!, ibuku terkena HIV AIDS? Gak mungkin dok, barangkali dokter salah deteksi. Ibu seorang wanita bermartabat mana mungkin menderita penyakit serendah itu! Katakan dok itu semua tidak benar!” Aku sangat syok mendengar indikasi dokter. Dokter hanya diam mematung sambil menggelengkan kepala beberapa kali.
Jadi selama ini ibu menderita penyakit itu, lalu mengapa menyembunyikan semuanya dari aku. Aku sungguh tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam keluargaku. Setahuku keluargaku sangat bahagia. Ayahku seorang yang bermartabat dan ibu? Dia seorang wanita mulia yang memegang teguh kesetiaan terhadap agama dan keluarganya. Bagaimanamungkin penyakit itu bersarang di tubuh ibu. Ntahlah aku harus tahu dibalik semua ini. Kutatap wajah ibu dipembaringan yang penuh dengan selang infuse.
“Mayang.. ibumu belum sadar juga?. Suara paman mengagetkan lamunanku.
“Iya paman…belum ada tanda-tanda ibu akan sadar. “
Kutatap lekat-lekat keadaan ibu, ia sangat lemah sudah lima hari terbaring kaku di ICU. Wajahnya semakin menciut tubuhnya menyusut hingga tersisa kulit  dan  tulang,  rambutnya gundul, jarinya biru, mulutnya pun tak mampu lagi berbicara. Berbaring saja susah. Ibu koma, hanya sebuah doa yang dapat kulakukan saat ini. Ibu benar-benar sudah tidak bisa diajak komuikasi.
“Paman bolehkah Mayang bertanya suatu hal? Apa yang sebenarnya terjadi dengan ibuku paman?”
“Ceritanya panjang Mayang, kelak kau akan tahu Nak!”
Belum selesai paman menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Terdengar suara ayah yang datang dari balik pintu.
“Mayang… gimana keadaan ibumu?” Ayah datang dari tempat kerjanya lengkap dengan tas yang masih bergantung manis ditangannya.
“Ya begitulah ayah belum ada tanda-tanda ibu akan sadar.”
Selang beberapa menit suara pendeteksi jantung elektrokardiogram ibu berbunyi keadaan semakin kritis. Aku bergegas menemui dokter jaga. Semua terjadi sangat cepat. Detak jantung ibu berhenti. Ibu dinyatakan meninggal.
“Dokter berbuatlah sesuatu untuk istriku! Salamah…salamah bangun istriku!”
“Kami tidak bisa berbuat banyak pak, Allah berkehendak lain. Istri Bapak sudah meninggal.
“Apa dok ibu meninggal? Ibu…!.” Suaraku tercekik ada keraguan yang menikung pikiranku.

***

Diki Wijaya Subrata semakin menyesali keadaan ini. Salamah yang dulu dia tinggalkan adalah wanita manis, sederhana, tangguh dan baik.
“Dia ibu yang hebat bagi anak dan suaminya. Ya, dia wanita hebat melahirkan anak-anak hebat. Tapi kenapa aku menyia-nyiakannya hanya karena nafsuku belaka?”
Tak henti-hentinya Diki Wijaya Subrata memaki dan menyesali perbuatannya. dihadapan batu nisan itu mulutnya tak berhenti-berhenti minta maaf.
“Salamah, Maafkan aku, Salamah!” Diki Wijaya Subrata meraung-raungdisebelah nisan yang bertuliskan nama perempuan ayu itu.
“Sayangnya waktu tak akan pernah kembali, Ayah. Di mana ayah ketika ibu sedang sakit! Apa yang ayah lakukan hingga ibu menderita penyakit senista ini?” bentakku  sambil menangis.
“Ibu kini telah pergi. Tenang dialam kedamaaian. Dia sudah menemukan kebahagiaan. Barangkali di sana ia akan menemukan jodohnya yang setia.” Kutinggalkan tubuh ayah sendirian dipemakaman itu.
Sepulang dari pemakaman pikiranku berkecamuk hebat. Segudang pertanyaan berjejal dibilik-bilik otakku. Kusegerakan menuju kamar ibu. Tak ada yang aneh semua tampak seperti dulu. Barangkali ditumpukan buku-buku islami yang sering ibu baca ada sesuatu yang dapat membuka kunci dari semua masalah ini. Pandanganku tertuju pada buku hitam semacam diary yang terselip diantara buku-buku kesayangan ibu. Kubuka dengan hati-hati lembaran-lembaran itu. “Catatan diary?” bisikku dalam hati.

10 agustus 2000, Hari ini aku bahagia sekali. Seorang gadis desa yang dipersunting pemuda tampan yang bermartabat. Terimakasih ya Allah, mungkin ini jawaban dari doa dan pengorbananku selama ini.
19 september 2001 Aku sangat bahagia. Tuhan memberikan sebuah cinderamatanya untuk rumah tanggaku. Seorang gadis mungil yang keluar dari rahimku. Gadis itu cucu semata wayang keluarga Subrata. Mayang Kinaryosih Subrata, nama yang disematkan suamiku. .
Februari 2002 Aku tak yakin suamiku akan segila itu. Aku masih mempercayainya seperti dua tahun yang lalu. Dia laki-laki setia dan sangat menyayangi keluarganya. Apakah yang dikatakan orang-orang itu benar? Atau karena memang suamiku seorang lelaki yang mapan sehingga banyak yang iri dengannya? Sudahlah aku akan mengubur semua prasangka burukku.
Mei 2002 Ini yang aku takutkan selama ini. Kau menikung dari kisah yang sudah kita sepakati dua tahun silam dihadapan tuhan suamiku. Kini kau jauh berubah, kau sering marah-marah dan mulai enggan duduk sebentar saja berbagi kisah. Aku ingin selalu melihatmu dengan senyum cerah menimang buah hatimu yang sedang lucu-lucunya. Tapi senyummu itu kini ntah kemana. Dan kau gadaikan untuk siapa?
Juni 2002 Suamiku, ntah aku egois atau ingin menguasai waktu dan ragamu. Jujur aku sangat kesepian. Kini kau sering pergi kedaerah-daerah demi bisnismu. Aku disini sangat merindumu pulang seperti tahun-tahun lalu. Kini aku mengandung janinmu yang kedua aku berharap kau ada setiap detiknya. Tapi aku harus kuat tak boleh manja.
Desember 2002 Putri kedua kita lahir meski harus menghiru udara beberapa jam dan akhirnya yang kuasa lebih saying dan memanggilnya, ayu kinanthi Subrata. Semoga kau menjadi bidadari-bidadari disyurganya nak
Februari 2003 Aku sadar mungkin raga ini terlalu naïf mencintai seorang priyayi dari kayangan. Sebaik apapun diriku rasanya tak pantas bersanding denganmu suamiku. Terlalu bnyak yang cenburu dan buatmu malu. Fitnah itu mungkin tak membuatku sakit hati, tapi yang kukalutkan kau terlalu percaya dengan orang diluar saa ketimbang istrimu sendiri saying.
Juni 2003 Suamiku kau semakin tak kukenal. Kau habiskan waktumu hingga  larut malam.   Apakah benar yang dikatakan orang-orang di luar sana  berselingkuh dengan seorang perempuan yang sudah bersuami?. Dan yang membuat hati ini hancur perselingkuhannya itu membuahkan anak.
September 2003 Hari ini aku tertampar sengatan halilintar yang membumi hanguskan hatiku yang subur tentangmu. Ternyata d iluar sana kau sangat liar suamiku. Kau bagi-bagikan cintamu untuk perempuan-perempuan itu. Disini aku hanya sebilah lidi yang tak mampu berbuat apa-apa. Aku tetap perempuan sederhana yang mengagungkan cinta. Meski kau sudah luluhlantakan hatiku hingga menjadi butiran-butiran debu. Aku tetap bertahan.
Desember 2003 Kubuka kiosku yang tetap kurawat subur dagangan disana. Juga senyum yang selalu kusuguhkan disetiap pengunjung yang selalu setia menanti menu istimewa sajian kiosku. Meski hatiku tak lagi utuh aku terus memberikan yang terbaik untuk pelanggan setiaku. Ntah mata ini tak sengaja tertegun melihat seorang perempuan dengan perut membuncit bertandang dikios kueku. Menurut pengakuannya ia sedang mengandung anak Subrata. Wajahnya tak asing dimataku tiga bulan yang lalu wajah itu mampir ditelepon genggam suamiku. Menurut pengakuan suamiku dia klien di perusahaannya. Tapi hari ini semua terbukti bahwa mereka menjalin hubungan lebih dari sekedar rekan kerja. Hatiku berkecamuk hebat. Aku tak tahu harus berbuat apa. Bagaimanapun dia perempuan seperti aku. Dia tak pernah bersalah. Suamikulah yang menggantungkan hati setiap wanita yang dijumpainya.
13 Januari 2004, menjadi catatan nadir yang mengungkap secarik hati. Hati yang terbuat dari baja atau apalah sampai aku tak tahu mengatakannya. Bagi sebagian orang mungkin ini terlalu dramatis. Tapi itulah kehidupan yang sulit ditebak. Perjalanan itu amat curam hingga aku harus mencari celah untuk selamat dari jurang-jurang yang siap menelanku mentah-mentah.
Catatan takdir akan selalu kurekam apik dikalender nadiku. Kunikmati setiap getirnya. Waktu menjadi persaksian bisu tapi aku tetap setia dengan kisah yang sudah tergaris.
Aku sakit dan penyakit ganas telah bersarang ditubuhku HIV. Sakit yang buat orang memicingkan mata dan hatinya. Entahlah tuhan sedang mengujiku. Aku tetap wanita setia yang melayani suamiku apa adanya. Inikah balasan dari keluguan dan kesetiaanku. Ntahlah aku hanya sebilah lidi yang siap retak ketika sang pemilik mematah-matahkannya
08 september 2004 Anakku kutak ingin kau tahu banyak tentang sakit ibumu juga terlebih kelakuan ayahmu. aku ingin kau tumbuh menjadi anak manis yang berpendidikan. Aku ingin ayahmu tetap menjadi ayah istimewa dan ibumu wanita yang mulia.

Kubaca catatan-catatan itu dengan linangan air mata. Kutekuni kisah ibuku. Ibu maafkan aku jadi selama ini kau sangat perkasa menyimpan rahasia-rahasia ini dibalik senyummu yang manis menggembang?. Kutemui paman yang sedari tadi mengepulkan asap rokoknya diruang tamu. Ayah. Ya ayah masih mematung di atas batu nisan ibu. Tak kupedulikan keadaannya. Ntahlah dari pengakuan dokter tentang penyakit ibu, aku sudah menaruh gelagat tidak baik terhadap ayahku. Yang terpenting saat ini adalah menemui paman Sunaryo yang setia menjadi asisten toko kue ibu yang kebetulan masih kerabat dari ibu.
“Paman.”suaraku mengagetkan lamunannya.
“Iya Mayang, kenapa kau menangis?”
“Paman Tadi malam belum bercerita tentang ibu. Tadi tak sengaja kutemukan diary ibu ditumpukan buku-buku itu. Begitu banyak rahasia yang tak kuketahui selama ini paman.” Tangisku pecah
“Yah, baiklah paman akan menceritakan keadaan yang sebenarnya Mayang. Tapi paman berharap kau tetap menghargai ayahmu. bagaimanapun dia adalah orang tuamu. Bertahun-tahun ibumu menderita. Banyak sekali aral melintang yang seakan tak mau pergi dari kehidupannya. Mulai dari Salamah kecil sampai ia menikah dan mempunyai anak.
Salamah anak yang tangguh, lahir sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara  dengan  kehidupan  yang  papa.  Di kampung  halamannya, Gunung Kidul,  kebiasaan berladang  sudah menjadi mata pencaharian sehari-hari.  Ayahnya  seorang  buruh sawah milik pambakal yang dibayarkan tiga perempat persen dari hasil tanam. Meski kehidupan yang serba kekurangan Salamah kecil dengan setia membantu menopang perekonomian orang tuanya. Sejak kelas tiga SD dia sudah memutuskan masa depannya demi membantu ayahnya. Salamah kecil tak pernah mengeluh. Ia jajakan keripik belalang di warung-warung, pasar dan emperan toko. Upah recehan persenan dari pemilik panganan itu ia kumpulkan untuk biaya adik-adiknya sekolah yang sebagiannya lagi ditabungnya dalam bambu. Tak berhenti di situ,  Salamah pun harus mencari rumput untuk ternak sapi tetangga yang diimpu ayahnya.
Kerja keras Salamah untuk menebus hidup dan pendidikan adik-adiknya tak pernah surut. Hingga pada suatu hari dia mendapatkan modal dari hasil kerja kerasnya. Ia belajar berdagang jajanan pasardi pasar tradisional wonosari.
Suatu hari ada seorang pemuda yang diam-diam memperhatikan keuletan dan kecantikan Salamah. Diki Wijaya Subrata, seorang pengusaha yang bergerak dibidang property. Demikian nama pemuda itu, berniat untuk meminangnya. Akhirnya pinangan itu diterima dengan sukacita.
Setahun pernikahannya, Salamah dikarunia seorang gadis cantik. Rumah besar itu kian ramai dengan suara tangisan bocah manis yang keluar dari rahim Salamah. Berita kelahiran cucu keluarga Diki Wijaya Subrata sempat menggemparkan warga. Mengingat keluarga Subrata adalah keluarga terpandang di kampungnya. Ke manapun Salamah kecil akan diperlakukan istimewa oleh penduduk setempat.
Delapan tahun kemudian putri keduanya lahir. Namun sayang gadis keduanya tak berumur panjang. Gadis mungil itu sangat cepat pergi dipelukan sang Khalik. Belum kering darah yang keluar dari rahimnya, Salamah pun harus menelan rasa pahit tatkala ia mendengar kabar kegilaan suaminya rupanya tak hanya membagikan cintanya untuk perempuan-perempuan di luar sana. Suaminya semakin liar dengan dunia malam yang serba gemerlap dan bebas. Maklum Subrata adalah lelaki mapan juga rupawan, siapa saja yang melihat juga akan nempel dibuatnya.
Pada suatu pagi  kutemui ibumu tergeletak tak sadarkan diri dimuka toilet toko. Dengan hati kalut kubawa ibumu ke rumah sakit di Yogyakarta. Menurut pemeriksaan dokter di daerah vital dan mulutnya tumbuh jamur dan bercak diseluruh tubuh disertai demam yang cukup tinggi. Kondisinya terus melemah berdasarkan tes kesehatan dia positif terjangkit virus yang mematikan HIV. Ia semakin gusar tak karuan. Namun paman mencoba meredam hati ibumu.
Opname yang kedua kalinya dilalui tanpa seorang suami dan anak. Itu tak membuatnya rapuh. Paman dan Herjenah selalu ada untuknya. Herjenah, meski kehidupannya juga bernasib sama ditinggalkan suaminya lantaran tidak dikaruniai keturunan. Salamah selalu berpesan untuk merahasiakan penyakitnya terhadap anak dan sanak saudaranya.
Salamah terbaring lemah di atas pembaringan yang tak lagi hangat karena berjuta-juta sel  liar menguasai tubuhnya. Rambutnya menipis, matanya cekung tak berair, bibirnya kelu tak semekar dulu. Hatinya dingin  menahan rindu. Entah pada siapa rindu itu dia tumpahkan. Menemui kekasih sejati, atau rindu dengan dunianya yang terampas. Entahlah, dia bingung dibuatnya. Ia ceritakan semuanya kepada sahabatnya herjenah. Suara itu terekam kuat ditelinga paman.
“Bagiku memeluk hujan itu lebih hangat, merindu bergelayut di pohon cabai. Bercengkrama dengan petai, ikan asin dengan nasi akingnya, sungguh nikmat,” seloroh Salamah pada Herjenah. Kawan sepermainan yang sama-sama dipanggil Tuhan tempo lalu. “Tuhan sedang bercanda memberiku cubitan kecil yang sakit dan menggelikan. Akupun tersipu merasakan kelucuan ini,” selorohnya dengan mata nanar. Herjenahpun tersadar. Sahabatnya tak lagi kuat seperti dulu, berdamai dengan mimpi yang dirajutnya di malam-malam bisu. “Tadi malam Tuhan mencubitku. Barangkali nanti malam Tuhan menggelitikku sampai sekarat,” ucap Salamah.
“Kadang cubitan itu perlu Amah, untuk menyadarkan lamunan kita yang melampaui batas,”  Herjenah menimpalinya dengan senyuman kecut.
Mata keduanya nanar, menyisakan tangis yang memekat. Kidung sunyi mengisyaratkan mereka untuk bangkit. Tetapi keadaan yang membelenggunya terdiam. Beberapa tahun kemudian, Diki Wijaya Subrata pun akhirnya pulang setelah harta yang ia miliki makin habis karena anak tirinya yang terlibat kriminal. Diki Wijaya Subrata menyesali keadaannya. Ia berjanji tidak akan meninggalkan Salamah lagi. Namun semua sudah terlambat. Salamah koma beberapa hari di rumah sakit.
Begitulah ceritanya Mayang, sudahlah sekarang ibumu sudah tenang. Barangkali disana ibumu sudah mendapatkan jodohnya yang terbaik. Lelaki impian yang setia menemani dialam keabadian.
Penjelasan paman juga diary yang kutemukan sudah cukup menjadi jawaban. Ibuku seorang wanita yang tegar dan mulia. Dalam perjalanan deritanya, dia hanya selalu tersenyum. Menyimpan rahasia luka hidupnya. Dia tidak pernah bersalah. Ibu hanyalah korban kegilaan ayahku. Aku yakin tuhan memberikan tempat terindah untuk wanita mulia itu. Ibu maafkan anakmu, barang kali diujung usiamu ini. Kutemukan sosokmu yang sebenarnya. Selama ini betapa kau disudutkan dari keluarga juga gunjingan para tetangga. Bagiku kau perempuan hebat dan suci. Ayah, apapun dirimu dulu, engkau adalah ayahku. Dalam ragaku mengalir deras darahmu. Terkadang rasa berontak itu ada menyudutkan hatiku, ayah harus merangkai kenangan itu. Masa tua ayah bergelimang sunyi berpeluk kepiluan yang menghantui. Menjadi sebuah catatan hati yang tak terlupakan. Ibu Salamah, bersabarlah karena lelakimu kini sudah berubah. Biarkanlah dia senantiasa memandang senyummu yang kekal meski hanya lewat mimpi.[]

Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/5775ce4cc223bda804962001/diary-ibu

0 komentar: