Cerpen Ratih Ayuningrum: Dongeng Kesetiaan

21.46 Zian 0 Comments

Ternyata memelihara kesetiaan adalah luka. Luka itu kini menganga. Sakit. Luka itu menggurat perjalanan malam yang selalu mengantar kita dengan dongeng indahnya. Sementara, kita tahu bahwa semuanya absurd. Kita selalu menimang bermil-mil jarak yang dipisahkan oleh lautan tanpa tepi. Namun, kita pun selalu membangun impian tentang kastil dan taman hijau yang luas. Setelah itu, kita pun terlelap dengan lagu nina bobo yang selalu kita bisikkan masing-masing di heningnya malam. Mata kita mengancing terkatup setelah seharian lelah mengumbar rayu dan puja yang abstrak.
Kesetiaan itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibangun, walau teramat agung kita letakkan. Ia terlalu manis meski selalu mencipta ribuan anak sungai di tengah sepi yang menjerat ruang kita masing-masing.

***



“Aku ingin melamarmu...”
Suara bas di seberang sana mengalir manis lewat ponsel mungil yang berada di genggamanku. Bulan separuh. Ini adalah musim pertama perjalanan tentang janji kesetiaan.
Aku tergelak sembari berusaha menyembunyikan bahagia yang perlahan mengalir menyusupi sanubari.
“Oya? Ini mimpi, ya? Sebentar..., sebentar..., aku cubit tanganku dulu. Auw! Sakit. Wah, ternyata aku tidak berkhayal.”
“Sedang apa kamu, Non?” Selalu saja dia memanggilku dengan sebutan Nona. Sebutan yang menerbangkan keakuanku sebagai seorang perempuan.
“Sedang tes kesadaran,” ucapku setengah manja. “Ternyata aku tidak bermimpi.”
Sekarang gantian dia yang tergelak mendengar ucapanku. Aku mengulum senyum mendengar tawa khas miliknya yang berderai di telingaku. Terasa sosoknya saat ini tengah tergelak di sampingku meski sekarang kami dipisahkan oleh ribuan jarak dan samudera yang luas.
“Kamu lucu, Non. Benar-benar lucu. Membuatku geregetan. Aku jadi ingin benar-benar melamarmu.”
“Kapan? Dengan apa?”
“Dengan sebuah senja.”
“Gombal!”
Dia pun kembali tergelak.
“Non, adat di sana seperti apa, sih? Apa pihak laki-laki perlu memberi sesuatu kepada pihak perempuan sebelum pernikahan dilangsungkan?”
“Kalau di sana adatnya seperti apa?”
“Si Nona kok balik bertanya, sih?”
“Hehehe, di sini sebelum pernikahan biasanya diadakan acara meantar jujuran.”
“Meantar... apa?”
“Jujuran. Pihak laki-laki biasanya memberikan sejumlah nominal uang kepada pihak perempuan sebelum pernikahan. Uang itu yang nantinya akan digunakan sebagai biaya pernikahan.”
“Biasanya besar uang itu berapa, Non?”
“Tergantung, Mas. Tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Misalnya pihak laki-laki mengajukan angka sepuluh juta rupiah dan pihak perempuan menyetujuinya, maka dicapailah kesepakatan jumlah yang akan diberikan.”
“Hah! Sepuluh juta, Non?! Mahal sekali. Aduh, bilang sama orangtua kamu jangan mahal-mahal ‘menaruh harga’ kamu.”
“Ya, itu kan cuma contoh, Mas. Lagipula kalau menggunakan adat Banjar, jumlah sebesar itu masih sedikit karena murni hanya uang jujuran itu yang digunakan untuk biaya pernikahan. Pihak laki-laki tidak perlu menambah biaya untuk penyelenggaraan pernikahan karena uang jujuran itulah yang dipakai. Jadi, seandainya ada kekurangan biaya, pihak perempuan yang akan menambah kekurangan itu.”
Terdengar nada “oooo” panjang dari ponsel di seberang.
“Kalau begitu pakai adat aku saja. Kalau adat Jawa kan semua biaya pernikahan ditanggung oleh pihak laki-laki. Kamu tinggal terima beresnya saja.”
“Ya terserahlah, Mas. Memang kita nikahnya mau besok, ya? Kok jadi ngomongin masalah pernikahan.”
Dia terkekeh.
“Ya setidaknya kita kan punya niat untuk membicarakan hal itu. Aku kan perlu tahu dulu kebiasaan masyarakat sana seperti apa. Eh, ternyata begitu tho’ kalau mau menikahi gadis Banjar. Harus memberi uang dulu. Tapi, Non, kesannya seperti orangtua kamu mau ‘jual’ anak gadisnya sama aku dengan menaruh harga yang terlalu tinggi.”
“Hust, memangnya aku apaan?”
“Ya, sudah. Tuh penjaga malam sudah memukul loncengnya duabelas kali, di sini sih baru sebelas. Tidur sana. Nanti besok tidak bisa bangun buat kerja.”
Klik. Telepon pun dimatikan setelah janji kesetiaan dirangkai. Serta dongeng dibingkis dan dikemas dengan teknik penceritaan narator ulung. Setelah itu kembali sepi beradu dengan suara jangkrik yang membelah malam.

***

“Email-mu sudah kubaca tadi siang...”
Malam hening. Terdengar suara setengah berbisik mencoba memecah kebekuan malam. Mengalir lewat benda mungil bernama ponsel. Langit cerah. Jutaan bintang berpendar di sana, seperti pendar yang berbinar pada lukisan jiwa.
“Oya? Lalu?”
“Suka bunga lily? Gambar yang dikirim bagus, tapi kenapa harus lily?”
“Karena aku menyukai orang yang kupanggil lily.”
Aku tersenyum. Sewaktu-waktu dia memang suka memanggilku dengan berbagai macam sebutan. Hari ini Nona, besok Gadis, besok Dinda, dan terkadang juga Lily. Sebuah nama yang diambil dari nama bunga bakung kecil yang indah, lily. Semuanya mencipta sebuah romansa yang terlalu sulit untuk dijabarkan.
“Mas, di sana sedang musim apa? Kalau di sini tiap hari hujan, jadi susah kalau keluar rumah. Tapi, aku suka memandangi hujan-hujan itu. Bagiku hujan yang luruh dari langit adalah sebuah nuansa yang sangat indah dan romantis.”
“Di sini sedang musim apel.”
“Yah... di sana kan memang gudangnya apel. Mas ini bagaimana sih?”
Wajahku berkerut mendengar jawaban asal yang meluncur dari mulutnya. Cemberut. Sebuah ekspresi yang tak mungkin tercatat dalam benaknya karena kini kami hanya bisa saling beradu suara. Mengalir melalui udara yang berembus. Selebihnya, kesunyian terlalu cepat menyergap. Selebihnya lagi imajinasi lebih berperan menciptakan adegan-adegan khayal yang penuh rekayasa.
“Aku senang ngusilin kamu. Kamu pasti akan lebih cerewet kalau digoda seperti itu. Aku senang mendengar ucapan yang keluar dari mulut kamu. Seperti boneka yang baterainya masih baru. Oya, kapan mau online lagi? Besok, ya. Sudah lama nggak chatting sama kamu.”
Aku mengangguk, namun kesadaran cepat menyergap. Tak ada gerak fisik yang bisa saling kami pahami. Percintaan ini bukanlah percintaan rupa. Segera kujawab iya.
“Bunyi apa itu, Ly?”
Sebuah bunyi panjang menyelinap pada udara yang menghantarkan  suara kami. Itu bunyi tanda kapal baru saja berangkat.
“Bunyi kapal mau berangkat.”
“Kapal? Rumah kamu dekat pelabuhan? Kok ada bunyi kapal?”
Aku tersenyum. Sebuah isyarat yang hanya bisa ditangkap oleh ekor mataku pada bayangan yang terpantul di cermin tepat di depan tempat tidurku.
“Bukan. Rumah aku dekat laut. Jadi, seandainya ada kapal yang lewat dan mengeluarkan bunyi, maka angin membawa membawa bunyi itu serta hingga ke tempatku. Walaupun tidak terlalu dekat, tapi bunyi itu diterbangkan angin.”
“Wah, asyik ya, Ly,” ujarnya seperti anak kecil. Aku membayangkan binar sorot matanya saat berkata seperti itu. Sebuah momen yang sudah lama sekali ingin kunikmati.
“Iya. Rumahku dekat dengan hutan bakau. Kalau pagi hari di sini banyak burung yang berkicau. Suasananya selalu membuat hati rindu untuk kembali lagi.”
“Sepertinya tempat kamu itu indah sekali. Di mana sih tepatnya tempat tinggal kamu, Non?”
“Di Kotabaru. Salah satu kabupaten yang ada di Kalimantan Selatan. Kotabaru sebuah kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dan juga pegunungan. Indah sekali daerahnya. Kamu pasti betah kalau tinggal di sini.”
“Wah, kamu promosi, ya? Supaya aku cepat-cepat datang dan menjemput kamu.”
“Tidak juga. Tapi, kalau kamu berniat seperti itu, ya tentu aku akan senang sekali.”
“Li, malam semakin merambat naik. Kamu pasti capek. Sekarang istirahat, ya.”
Aku menuruti kata-katanya. Malam ini kembali dongeng dilafalkan. Kesetiaan yang diagungkan. Absurd.

***

Semuanya berawal dari suatu kebetulan yang tak pernah tertulis pada skenario manapun.
Hari itu, aku berniat mengirimkan tulisan kepada seorang teman lewat email. Sembari menunggu proses loading, ku-klik menu enter pada chat room. Hanya iseng.
Tiba-tiba muncul di layar sebuah id yang belum pernah kukenal sebelumnya. Sedikit basa-basi mengisi kekosongan waktu, kujawab saja setiap pertanyaan yang terlontar dari “orang asing” tadi.
“Asl pls.”
“Bjm f 21, u?”
“Mlg m 21.”
Bla...bla...bla..., perbincangan pun berlanjut dengan saling menukar nomor ponsel dan bertukar foto. Sebuah hal yang lazim kulakukan dengan teman alam mayaku yang lain. Dan setelah itu aku hanya menganggap semuanya angin lalu semata.

***

“Bulan kita sama, Nona. Memiliki harapan dengan terangnya. Menyiram pekatnya malam agar memiliki keindahan. Bulan di kotamu sesempurna wujud bulan di kotaku dan kini kupandang bulan itu di bayang wajahmu...”
Aku tersenyum. Sebuah email darinya hari ini. Selalu, setiap hari ada saja email darinya yang masuk inbox-ku.
“Samudera kita terlalu luas untuk ditapaki dengan jejak langkah kita. Namun, tak ada yang tak nyata pada jarak kita karena semuanya telah lebur menjadi satu. Aku, kamu, sebuah kesatuan yang agung dalam janji dan kepercayaan yang dalam...”
Ku-klik item send. Balasan email untuknya. “Kapan kita bisa bertemu?” Hal itulah yang selalu mengusik relungku. Sebuah pertanyaan yang selalu saja dijawab dengan berjuta alasan abstrak. “Aku capek dengan hubungan seperti ini. Aku ingin mewujudkan mimpi yang selalu saja menjadi bunga tidurku....”
Semusim telah berlalu. Janji kesetiaan itu tetap utuh tanpa cela. Walau absurd. Janji untuk saling percaya meski hanya dunia maya yang menjadi jembatan bagi kami. Namun, entah kekuatan bernama apa yang sanggup membuat aku bertahan dengan   hubungan penuh keserbatidakjelasan seperti ini. Percintaan ini mungkin bukan percintaan rupa, namun jiwa yang lebih memanggil untuk mengikatnya pada janji kesetiaan.
“Entahlah...,” terdengar nafas dihela, berat. “Sabar ya, Non. Aku belum bisa menjemputmu sekarang. Maafkan aku atas ketidakmampuanku membuatmu bahagia. Waktu mungkin bisa menghancurkan semuanya. Namun aku berharap perasaan kita tidak akan pernah hancur hanya karena waktu.”
Sekarang gantian aku yang menghela nafas berat. Selalu seperti ini ketika aku menagih janjinya untuk menjemputku. Janji itu selalu dimentahkan oleh alasan-alasan klise yang terkadang di luar nalarku dan tak dapat kucerna. Namun, entah kenapa aku selalu saja berhasil dibuat percaya. Mungkin saja aku telah mabuk oleh biusan kata-kata manis yang dia bisikkan melalui ponsel mungilku. Entahlah.

***

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, bahkan hingga purnama keenam tidak pernah ada lagi email yang masuk ke inbox-ku. Semenjak pertanyaanku silam, nada dering hp-ku pun seolah enggan berbunyi. Tak ada telepon, tak ada sms. Semua nomor yang dia miliki selalu dijawab oleh suara dari operator. Nomor yang Anda tuju sedang di luar jangkauan... atau telepon yang Anda tuju sedang tidak aktif... Upf! Aku kesal. Menghilang kemana dia? Kubanting ponsel-ku ke sudut kamar. Untunglah benda mungil itu cukup kuat menerima perlakuanku sehingga masih tetap utuh dengan jasadnya.
Tak ada hal yang bisa kulakukan. Menangis mungkin bukan pilihan tepat. Namun, hati wanita terlampau tipis hingga mudah mengeluarkan airmata. Ada rindu yang memuncak dan ingin kulabuhkan segera. Rindu ini tak mampu berdamai dengan jiwaku yang merintih perih. Apakah rindu selalu sembilu seperti ini?
Kuputuskan untuk mengarungi perjalanan ini. Perjalanan panjang menemukan jejak rindu dan kesetiaan yang terlampau diagungkan. Pagi masih basah oleh embun, bermodalkan keberanian kutinggalkan jejak kotaku untuk menemukan jejaknya di Kota Apel yang dingin. Perjalanan ini benar-benar kurasakan sangat lama. Delapan jam waktu kuhabiskan dari kotaku menuju Bandara Syamsuddin Noor di Landasan Ulin Banjarbaru.
Kemudian, pesawat yang membawaku terbang ke Surabaya kurasakan bergerak sangat lambat. Waktu empat puluh lima menit bagiku berputar terlalu lambat. Tiba di Surabaya, Kota Pahlawan tersebut, aku pun menumpang bis menuju tempat labuhan rinduku di Kota Apel. Aku tak punya apa-apa. Aku hanya punya rindu yang teramat dalam ingin bertemu dengan separuh jiwanya yang lain.
Perjalanan dua jam dari Surabaya kulalui dengan hati yang berdebar. Tak sabar rasanya aku ingin segera menjejakkan kaki di kota yang selama ini hanya bisa kami angankan menjadi rumah bagi kami kelak.
Sesampainya di Terminal Arjosari, Malang, aku dijemput oleh Sha, teman SMAku dulu yang sekarang kuliah di Kota Apel tersebut. Kuhirup bau kota ini dalam. Akh, sekarang aku telah berada di kota ini dan akan segera menelusuri perjalanan rinduku akan janji kesetiaan.
“Daerah mana, Na?”
“Mergosono,  Kedung Kandang...,” jawabku singkat.
“Nanti aku temani kamu ke sana, tapi sekarang kita ke kostku dulu. Kamu harus istirahat dulu. Perjalanan yang kamu tempuh sangat jauh. Pasti kamu kelelahan.”
“Sha, aku sudah tidak sabar lagi. Kamu tahu kan bagaimana perasaanku?”
“Aku mengerti, Na. Kamu ikuti saranku saja. Kamu punya alamatnya, kan? Nanti aku akan bantu kamu mencarinya.”
“Ada. Alamatnya masih kusimpan ketika dia dulu memberikannya saat aku mengirimkan paket ulang tahun padanya.”

***

Petang di Kota Apel. Udara menggigit ruas kulit. Kurapatkan jaketku. Aku tidak terbiasa dengan udara sedingin ini. Di kotaku matahari kadang bersinar terlalu garang.
Kutelusuri lekuk kota ini dengan asa yang menggunung. Harapan untuk menautkan asa yang selama ini telah berani menyusup di jiwa.
Perjalanan ini memang melelahkan. Namun, aku tidak ingin membiarkan jiwaku lelah lebih dulu menggantungkan rindu itu di kotaku.
Hatiku semakin berdegup kencang ketika langkah kaki kami menemukan rumah yang dimaksud. Pasti aku tidak salah. Nomor rumah mungil di depanku ini persis dengan alamat yang diberikannya. Kuberanikan untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Hatiku semakin berdegup bagai irama drumband yang biasa aku lihat pas perayaan hari kemerdekaan.
Terdengar suara langkah mendekat. Seraut wajah muncul di balik daun pintu. Mulutku terbuka ingin menyapa dan memberinya kejutan. Tapi, aku tercekat. Keadaan berbalik seolah menampar kesadaranku ke sebuah ruang hitam. Sosok di depanku, seorang sosok laki-laki yang kukenal, tapi, ah, tidak! Dia tidak pantas kusebut laki-laki, tapi tidak pantas juga kusebut sebagai seorang perempuan.
“Non...,” desisnya dengan suara tertahan. Suara itu, suara yang selama ini kurindukan. Ternyata dia? Pantas saja dia selalu menghindar setiap kali aku meminta dia memenuhi janji kesetiaannya. Jadi, ini alasannya kenapa dia selalu mengelak dengan menciptakan bermacam alasan. Ternyata dia memiliki sisi feminin yang sama denganku. Apakah ini lelucon?
Aku berbalik. Ingin berlari meninggalkannya. Namun, tangannya terlalu kokoh menahanku. Tak ada guna aku meronta karena bagaimanapun juga tenaganya jauh lebih kuat dariku.
“Dengarkan penjelasanku dulu!”
Aku tak mampu mengeluarkan suara. Tenggorokanku rasanya tercekik. Lidahku kaku. Aku tidak percaya kenyataan yang tengah kuhadapi.
“Non, maafkan aku. Aku berbohong padamu. Tapi, inilah aku. Jiwaku sakit. Semuanya menolakku. Lingkungan menolakku. Aku merasa terbuang dengan keadaan seperti ini. Aku tahu ini salah, aku sudah berusaha untuk berubah. Aku tidak betah dengan jiwaku yang sakit. Terperangkap dalam tubuh yang kau pun tidak ingin hal ini terjadi padamu.”
“Kenapa tidak kau jelaskan dari awal?”
“Memilikimu adalah suatu keindahan. Mengenalmu aku merasakan sebuah penerimaan yang tulus. Aku terlalu takut kehilanganmu walau aku tahu suatu hari hal itu pasti terjadi. Maafkan aku, Non. Mungkin aku telah menipumu. Kamu berhak pergi dariku. Belajar mencintaimu adalah hal paling indah yang pernah terjadi di hidupku meski aku tahu itu sulit....”
Senja itu airmata luruh di tengah sobekan-sobekan janji kesetiaan yang tak berwujud lagi.

***

Pesawat terakhir yang membawaku baru saja berangkat. Kutinggalkan luka dan janji kesetiaan. Di Kota Apel yang dingin kutinggalkan jejakku. Kubawa senyumku serta. Sebait doa kukutip agar jiwanya yang sakit dapat menemukan sebuah rumah teduh yang di sana semuanya menerimanya. Bila saat itu tiba, tentu dia telah menemukan jiwa dan dirinya yang sesungguhnya.
Kupejamkan mata sembari menahan airmata yang berebut ingin luruh. Janji kesetiaan itu absurd. Kesetiaan itu adalah luka. Luka itu menganga. Sakit.
Semuanya kuleburkan bersama deru roda pesawat yang perlahan naik membumbung ke angkasa. Abunya kutabur di batas jarak samudera yang kembali memisahkan ruang kami, kini perpisahan yang nyata. Dongeng tentang janji kesetiaan berakhir sudah.


Banjarmasin, Juni 2006

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 18 Juni 2006
Alfianti, Dewi, dkk. 2008. Nyanyian Tanpa Nyanyian: Kumpulan Cerita Pendek Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Tahura Media
Ayuningrum, Ratih. 2008. Dongeng Kesetiaan. Kotabaru: Pemerintah Kabupaten Kotabaru dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru

0 komentar: