Cerpen Mia Ismed: Gerobak Cinta

09.49 Zian 0 Comments

Terkadang cinta hadir hanya untuk dikenang dan selamanya hanya dalam mimpi. Cinta sering tak berpihak karena manusia yang menciptakan kelas-kelas. Padahal Tuhan menciptakan perbedaan untuk saling mengenal  dan menyayangi, bukan untuk saling memisahkan diri. Biarlah nomor 212 yang selamanya tetap angka mati yang tak pernah kembali.
“Bukanlah jabatan yang membuatku jatuh cinta untuk ke sekian kali, Wir!”
Aku tahu di gerobakmu cintaku akan selalu ada buatmu. Gerobak ini adalah kejujuranmu menjawab pergulatan hidup. Meski roda-roda yang menopangnya sering bocor karena batu-batu runcing, juga paku yang disebarkan orang-orang yang serakah mengais harta. Kau tetap berjalan membawa gerobakmu. Memanjakan lidah penikmatnya di sepanjang jalan sampai ke lorong perkampungan.
Ah, tak kupedulikan semua itu. Tangan-tangan kekarmu adalah murni bukan karena kau sering berolahraga pun menjadi binaragawan. Langkah tegapmu tak ada yang mengajarimu seperti tentara-tentara militer itu. Senyum manismu senantiasa terurai kepada setiap orang yang menjumpaimu.  Aku semakin terpesona. Aku berfikir manusialah yang membuat kelas-kelas yang akhirnya kita disisihkan. Kelas-kelas di mana orang menjustifikasi pekerjaan dengan derajat dan status sosial. Semua itu pada dasarnya satu tujuan supaya dapur tetap mengepul, dan bisa bernaung dari panas dan hujan.
Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Berhak memiliki cinta dari pasangannya. Berkewajiban menunaikan segala perintah-Nya. Bukan menuruti kehendak manusia yang menciptakan kelas-kelas sosial sehingga ia terpuruk dan akhirnya pasrah meninggalkan cintanya. Entahlah, Wir! Aku semakin tak mengerti mengapa semua menganggap kita berbeda.
Saat ini aku benar-benar harus memilih bukan lantaran aku mengkerdilkan keberadaanmu, pun menampik semaian cinta yang ada. Namun waktulah yang belum tepat untuk utarakan semuanya. Malam ini aku harus pergi meninggalkan kampung ini. Entah untuk berapa tahun lamanya. Masa depan kita masih panjang dan aku harus mengubah keadaan keluargaku, Wir. Sekali lagi, maafkan aku. Aku harap suatu hari nanti kita mungkin akan dipertemukan dalam keadaan yang berbeda. Entahlah, berdoa sajalah, ketika takdir kita digariskan untuk bersama aku akan kembali hanya untukmu.
Sepanjang perjalanan ini bayangmu selalu hadir di setiap hembusan angin yang memporak-porandakan pemandangan di luar jendela. Kau tetap tersenyum dengan gerobak manis yang setegar pemiliknya. Rinduku tetap terjaga di pelupuk mata. Meski hatiku sudah tempias lantaran rindu ditelan masa. Masa yang tak pernah kembali seperti saat kita di kampong itu.
Pergulatan batinku selalu ada. Tak ada handpone pun warta berita. Aku serasa terpenjara. Orang tuaku benar-benar memisahkan kita nun jauh di pulau yang tak pernah sebelumnya kujamah. Inikah hukuman atau sebagian takdir karena cinta yang tak pernah mendapatkan wibawa. Ah, sudahlah! Biarlah kisah kita terjalin lewat doa.
Kampus biru ini adalah kekasihku yang kedua. Aku akan belajar mengenalnya, menikung sejenak dari pergulatanmu. Setahun, dua tahun lamanya, kabarmu kian kabur. Kudengar di seberang sana kau sudah mulai belajar melupakanku. Entah itu dari hatimu atau memang kau sengaja mencurangi hatimu. Seperti janjimu dulu, kau akan pergi menjauh dari aku untuk selamanya ketika aku bukanlah jodohmu. Apakah ini janjimu, Wir! ketika kau putus asa dan menjauh sejauh-jauhnya dari aku? Lima tahun bukanlah waktu yang pendek ku jaga tali kasih yang entah dibilang buta atau pura-pura tak tahu akan keadaanmu. Aku tetap menjaga sedekat air dan matamu yang tak pernah berucap meski hati terus menyimpan lara. Mataku ini juga takan pernah percaya kalau kau akan mendua sampai melihatmu benar-benar sudah bahagia.

***

Pakaian kebesaran yang kukenakan ini kupersembahkan untuk keluargaku. Yah, ini mungkin yang menjadi kebanggaan mereka. Memiliki seorang anak yang berpendidikan tinggi, yang meneror nurani manusia memiliki martabat lebih tinggi. Sudahlah, aku tak pedulikan semua itu. Yang jelas hatiku benar-benar sunyi. Seharusnya kau ada di sini menemani aku di tengah-tengah keluargaku. Terdengar gelak tawa rekan-rekanku bersama kekasih dan keluarganya sungguh pemandangan yang menyakitkan. Yah, mungkin kasta mereka sama sehingga diterima di tengah-tengah kebahagiaan anaknya. Sedangkan aku, kamu tak pernah mendapatkan posisi itu, Wir.
Terdengar kabar yang menyakitkan tatkala kupulang ke kampung halaman itu. Kau benar-benar sudah melepaskan janjimu itu, Wir! Tak ada yang dapat kutemuai karena kau sudah jauh pergi meninggalkan kampung ini. Kini kau sudah bahagia dengan kekasih pilihanmu, Wir?. Kupandangi foto pengantin yang bergantung pilu di dinding rumahmu. Tak banyak yang dapat diceritakan ibumu. Hanya guratan-guratan sedu mata beradu.
Saat ini benar-benar kupendam rasa yang mereka sebut cinta. Barang kali hati ini telah mati dan aku akan mengubur semua rasa yang hadir bersamamu.
Terimakasih, Wir, telah memberikan rasa sakit, karena sakit itulah aku bisa merasakan arti sebuah pengabdian. Pengabdian sepenuhnya untuk Tuhan Yang Maha memiliki kehidupan bukan mengabdi cinta semu kepada makhluk yang sering berhianat. Entah apakah kata hianat juga pantas untuk kusematkan padamu. Atau barangkali akulah yang sebenarnya penghianat itu. Lebih memilih keluargaku daripada cinta kita. Mungkin aku harus menutup jauh-jauh dengan makhluk yang bernama cinta bernafas rindu. Cinta yang mereka sanjungkan di atas segala-galanya. Juga cinta yang berdalih rupiah. Barang kali sahabat terbaikku adalah sepi meski mereka katakan itu uang. Uang bagiku selingan yang tak harus ada.
Senja di batas kota inilah kuhabiskan waktuku memeluk rindu sebesar gunung uhud. Rindu yang berkepanjangan dengan ruh kesunyian. Kucoba memeluk waktu dengan aktivitasku sebagai karyawan swasta di perusahaan ternama di bumi ruwai jurai. Bergulat dengan kertas dan kebisingan-kebisingan rupiah yang bergolak seperti hati manusia yang tak pernah puas.

***

Jangan kalian tanyakan lagi aku harus mengakhiri masa lajangku ini sampai kapan. Karena barangkali jodohku adalah kematian. Yah, gadis mana sih yang tak ingin segera menikah, merasakan anugerah cinta yang mereka gadang-gadang sampai akhir hayat. Apalagi aku sudah punya segalanya, pekerjaan, rumah, tabungan, pendidikan tinggi semua sudah kudapatkan. Apa karena alasan itu aku juga harus punya cinta yang mereka anggap kebahagiaanku belum sempurna. Bukankah kebahagiaan itu sudah mereka rampas dan hakimi sejak dulu?   Entahlah, jika kebahagian kita juga mereka yang turut campur menakarnya. Begitu egoisnya manusia.
Di sudut hatiku yang paling dalam sering kudapati kelucuan-kelucun air mata yang terus mengalir. Lagi-lagi semua orang mempersoalkan akan kesendirianku. Terlebih ibuku. Barangkali memiliki anak gadis yang lambat menikah itu sebuah aib yang memalukan sehingga aku selalu disudutkan.
Lagi-lagi hari ini aku dipertemukan dengan waktu yang terus menerorku. Seorang pemuda kota yang mereka anggap mapan karena takaran harta, terus membujuk ibuku. Dengan modal kaya lantas dia mengikrarkan dirinya mapan?  Rupanya nilai kemapanan takaran manusia adalah kepemilikan jabatan atau harta kekayaan. Bukan kedewasaan mengenal diri. Sehingga dengan bangga ketika ia bertandang ke rumah gadis yang mereka juga anggap mapan pasti diterima atau paling tidak mendapat simpati. Luar biasa hebatnya!.
Lima belas tahun lamanya kukubur rasa itu. Meski kabar yang kudengar di seberang sana kau cukup menderita, Wir! Belasan tahun tak jua kau dapatkan. Kau merindukan buah cinta. Barangkali buah cintamu masih bersemayam dalam pelukan bidadari-bidadari di surga seperti kesucian cinta kita yang tetap terjaga di alam nirwana.
Di rumahNya inilah kudapatkan kebahagiaan yang sempurna. Memeluknya erat dengan lantunan ayat-ayat suci. Aku yakin tiada tempat yang indah bergantung yang dapat dipercaya menumpahkan segala kesunyian jiwa. Hanya Sang pemilik bahagialah kuserahkan segala duka ini. Bukan menyalahkan takdir pun kenangan itu. Biarkan kasih  sayang Allah sebagai penawar dan penghapus luka. Karena kasih manusia sering bermusim dan tak pernah abadi.
Ayah, ibu, maafkan anakmu. Jangan kawatirkan kebahagiaanku. Karena aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku saat ini. Jangan jadikan kesendirianku sebuah aib yang terus menerormu setiap waktu. Juga jangan kau dengarkan teror mulut-mulut manusia yang bermuka kecut dengan serangan kata-kata yang buatmu semakin terluka. Aku sudah cukup bahagia dipelukanmu. gerobak cintaku akan kukubur habis sebagai kenangan manis. semanis bidadari yang bersemayam dalam hatiku.[]


Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/57765b8562afbdda2c8d79bf/gerobak-cinta

0 komentar: