Cerpen Mia Ismed: Pesantren Tahfidz Impian

09.45 Zian 0 Comments

Semilirnya pepohonan karet mengibaskan dedaunan kering membelai sela-sela rambutku. Hari ini aku sudah seminggu bekerja di kebun ini. Capek, berat, jauh dari keramaian. Tak lagi ada senda gurau teman, tak ada lagi tegur sapa guru-guru.  Seragam putih biru yang bisanya melekat di  tubuh ini. Kini tergantikan baju kebun yang lusuh penuh getah dan sedikit apek. Sepatu hitam yang dulu senantiasa disemir berganti sandal jepit lusuh tak berupa. Dengan penutup kepala kaus bekas yang terikat erat di belakang kepalaku ini mungkin tak seorang pun mengenaliku. Karena yang terlihat hanya mata. Tangan pun terbungkus kaus tangan  usang milik Ayah.
Semenjak peristiwa naas menimpa Ayahku, kuabdikan jiwa ragaku menggantikan posisi Ayah di perusahaan perkebunan karet ini. Tak banyak harapan. Aku hanya ingin Ayahku istirahat, dan dapur tetap mengepul. Kakakku tetap sekolah. Meski harapanku meneruskan sekolah ke pesantren tahfidz sementara kukubur dalam-dalam. Entah sampai kapan aku harus menjalani profesi ini. Tapi tak apa, aku ikhlas selagi keluarga tetap tersenyum. Gaji Ayah tetap mengalir untuk membeli beras dan kebutuhan sehari-hari.
Liburku hari Jumat dan Minggu. Hari Minggu yang seharusnya liburan anak-anak seusiaku, kuhabiskan  untuk bekerja di kolam pemancingan chek dam yang ada di daerahku. Aku menjadi buruh cuci piring dan bersih-bersih. Tenagaku sehari dihargai sebesar lima puluh ribu rupiah. Lumayan buat uang saku, karena uang gaji menorah karet semua kuserahkan sepenuhnya untuk keluargaku.

***

Hari minggu senang sekali rasanya, menghirup udara segar, melihat kolam-kolam yang penuh ikan beraneka macam. Tak  hanya  itu  aku pun  bisa melihat riangnya pengunjung lesehan itu. Beraneka jenis mobil dan kalangan datang ke sini. Mereka bersukaria, bercengkrama dengan keluarganya menikmati hidangan istimewa di atas meja.  Sambil menunggu menu yang mereka pesan, mereka bisa  memancing ikan yang ada di bawahnya. Betapa menyenangkan tempat ini bagi mereka. Melepas kepenatan  pekerjaan, rekreasi di tengah kolam yang dikelilingi pepohonan yang lebat.
Terselip rasa iri melihatnya tapi ya sudahlah. Aku yakin semua pasti akan berlalu. Aku harus kuat.  Kudatangi salah satu meja pengunjung yang sedari tadi menunggu giliran untuk memesan menu lesehan ini. Tanpa kusadari ternyata itu adalah rombongan keluarga salah satu guru SMPku dulu. Ibu Risna namanya. Dia adalah salah satu guru kesayangannku. Orangnya sederhana dan penuh simpati. Aku sering bermalam di rumah beliau. Aku sangat senang dengan segala nasihat dan figure beliau.
Dia tak pernah lelah mengasah bakatku. Kebetulan aku adalah siswa berbakat dibidang seni. Sederet seni kuikuti mulai dari rebana, teater sampai kesenian daerah. Tanpa henti aku belajar dari Bu Risna. Hingga mengikuti beberapa festival seni tingkat sekolah maupun kabupaten. Dengan kegigihanku Bu Risna menunjukku sebagai ketua sanggar seni di sekolahku. Alhamdulillah aku berhasil menyabet beberapa tropi di berbagai event. Bu Risna tak pernah mengenal lelah. Beliau tak pernah tanggung-tanggung membagikan ilmunya dengan mengundangku dan beberapa teman berlatih di rumahnya. Tak jarang kami bermalam beberapa hari sebelum hari ‘H’ kompetesi dimulai.

***

Bangunan sekolah beratap biru itu seakan bercerita. Banyak sekali di bawah atap itu kisah yang mungkin tak selesai diceritakan dalam sehari. Bayangan teman-teman seangkatan selalu menggariskan berjuta kisah. Mungkin saat ini mereka sudah menemukan sekolah favorit yang mereka idam-idamkan. Sedangkan aku bertamu ke sekolah ini sebagai apa?. Meski ragu antara malu dan tak mau dicibir dinding-dinding putih itu. Langkahku terus melaju. Kutatap sekelililngku tampak banyak perubahan. Mushola yang dulu menjadi rumahku di kala istirahat untuk bermanja dengan Sang Khalik menumpahkan rasa lelah dengan menunaikan sholat dhuha. Kini bangunan itu makin cantik saja. Halamannya diplester sangat luas. Sekelilingnya ditanami pohon ketapang yang membuat halaman itu kian rindang dan sejuk. Di sisi kiri bangunan terdapat lajuran tempat berwudhu yang dilengkapi tong air. Hmm, betapa rindu tempat itu. Di halaman mushola pula biasanya aku dan teman-teman ekstrakurikuler rebana senantiasa menabuhkan bunyinya dengan lantunan solawat nabi.
Sambil menunggu waktu istirahat tiba, kutunggu Bu Risna keluar dari ruang kelas. Aku duduk di bawah pohon ketapang di sebelah parkiran sekolah. Kupandangi sepeda berjajar rapi milik siswa SMP ini. Juga di sebelahnya terlihat deretan motor, dan mobil dewan guru. Banyak sekali perubahan sekolah ini. Semua tertata rapi. Di sudut sekolah tampak bangunan baru yang ketika itu belum ada. Terlihat  pula laboratorium bahasa. Waw, keren sekali sekolahku kini. Seandainya dulu aku bisa menikmati semua fasilitas ini mungkin tidak terlalu kuper sekali.
“Teng…,teng...,teng…! suara bel istirahat berbunyi, mengusik perdebatan pikiranku. Kulihat jam tangan yang sudah sedikit buram menunjukan jam sepuluh. Meski sudah buruk jam ini kudapatkan dari hasil susah payahku. Ketika itu aku mengikuti lomba monolog yang diadakan badan kearsipan daerah. Alhamdulilah aku mendapatkan juara kedua, selain tropi uang pembinaan pun kuperoleh sebesar satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Jam inilah sebagai kenangan sisa beli kambing yang kurawat sampai sekarang.
Kulihat anak-anak sudah berhamburan keluar kelas. Bergegas kutemui Ibu Risna di kantornya. “Permisi Bu mau bertemu dengan Ibu Risna” sapaku pada salah satu guru yang ada di kantor itu.
“O iya tunggu ajak Nak, ini si Said kan? Sekolah dimana sekarang? Tanya guru yang lain saling bersahutan. Kutemui mereka satu persatu dengan mengulurkan tangan tanda baktiku. Mereka menatapku dengan penuh selidik. Melihat pakainku tanpa seragam. Aku hanya mengenakan kaus ekstrakurikuler drama dan memakai sandal jepit. Malu sebenarnya menghadapi mereka semua. Kini aku bukanlah siapa-siapa. Tak ada yang bisa dibanggakan. Tanpa seragam sekolah pun status soasial.
Kududuk tepat di depan meja Bu Risna, kupandangi seisi ruangan kantor itu. Awalnya aku kaget karna kantor yang semula bercat putih kini dinding itu hampir tak terlihat. Penataan ruangan serta fasilitas kantor semakin lengkap. Terlihat loker guru dan multi media terpampang di dinding kantor. Tak tertinggal pula sederetan tulisan motivasi dan lemari piala tersusun rapi. Deretan poto kepala sekolah dari awal berdirinya sampai sekarang tersusun. Tampaknya ada poto baru yang belum kukenal sebelumnya. Ya kepala sekolah yang dulu semasa aku sekolah seorang laki-laki tergantikan Ibu yang menjadi nomor satu di sekolah ini sekarang.
Tak lama kemudian muncul Ibu Risna membawa setumpuk buku tugas para siswa. Beliau kelihatan kepayahan. Kusambut buku-buku itu yang kemudian kususun di atas mejanya. 
“Sudah lama Nak? Sapanya dengan seksama memandang ke arahku.
“Lumayan Bu” Kubungkukan tubuhku di hadapan meja Bu Risna.
“Ayo kita ngobrol dimana enaknya. Di kantin apa ke mushola” Ajak Bu Risna sambil membawa bungkusan plastic kresek hitam.
Dengan hati senang kuikuti langkah guruku itu. Tak ada yang berubah dari penampilan maupun perhatiannya. Rupanya langkah Ibu Risna menuju ke mushola. Itu yang membuat hatiku tenang. Sebab di kantin tidaklah nyaman untuk membicarakan masalahku ini, takut terdengar siswa lain  angkatan dibawahku tentu masih mengenaliku.
Di emperan mushola yang bisaanya diguNakan anak-anak untuk berlatih rebana ini akhirnya aku bisa mencurahkan keluh kesahku selama ini.
“Ayo Nak dimakan snack dan minumannya Ibu sudah siapkan buat kamu. Gimana kabarnya Nak” Bu Risna membuka pembicaraan dengan duduk bersimpuh sambil membenahi jilbab yang senantiasa berkibar di kepala sampai dadanya. Anggun sekali.
“Alhamdulilah baik Bu, cuman saya belum bisa menunaikan keinginan saya untuk menuntut ilmu di pesantren yang pernah saya cita-citakan dulu” Dengan sedikit lesu kujawab pertanyaan Bu Risna.
“Apa masalahnya Nak, coba kamu cerita sama Ibu”
“Kejadiannya ketika saya ujian nasional hari kedua Bu. Sewaktu saya pulang ke rumah. Ibu saya kala itu menangis sambil memeluk saya. Dengan hati bingung kutanyakan perihal dia menangis. Ibu menceritakan kalau Ayah kecelakaan. Beliau jatuh dari pohon karet, kaki Ayah patah. Dan saat itu oleh salah seorang teman kerjanya di bawanya ke tukang urut untuk disangkar putung (atau sambung tulang) tanpa dokter. Seketika itulah hati ini menangis. Sejak itu Bu saya putuskan untuk menggantikan posisi Ayahku sebagai buruh menorah karet tempat Ayah bekerja selama ini dan mengubur dalam cita-citaku. Sepulang sekolah aku selalu mengerjakan pekerjaan ayah di kebun”.
“Terus kakak kamu gimana Nak, masih tetap sekolah?”
“Iya kakak harus tetap sekolah. Saat ini kakak perempuan saya sudah kelas tiga SMK. Saya tak ingin harapan kakakku kelak menamatkan pendidikannya terganggu Bu. Biarkan saja saya bekerja untuk keluarga”.
Dengan menarik nafas panjang, kulihat butiran-butiran hangat menetes di pipinya yang licin dan bercahaya karena air wudhu yang membekas. Tak banyak yang dikatakan selain belaian lembut ditanganku.
“Said kamu anak baik, kalo boleh Ibu minta. Mau nggak kamu tinggal sama Ibu. Ibu akan sekolahkan kamu Nak” Pintanya penuh harap.
“Tidak Bu, saya tidak mungkin meninggalkan Ayah, Ibu dan kakakku. Mereka butuh saya. Kalau saya tidak bekerja mereka tidak bisa beli beras dan kakak pasti akan putus sekolah”.
“Sekarang gimana kondisi Ayahmu Nak?”
“Ayah sudah lumayan sehat akan tetapi berjalan harus ditopang dengan menggunakan tongkat di kedua lengannya”.
Dengan menarik nafas panjang bu Risna mengeluarkan sebuah bungkusan di tas plastik yang sedari tadi aku tak tahu isinya.
“Ini Nak Ibu berharap kamu baca setiap saat. Alquran inilah sebagai penerang hatimu yang sedang diuji. Tidak ada satupun kebaikan di dunia ini terlepas dari balasan Allah Nak. Ibu yakin Allah mempersiapkan masa depanmu lebih baik. Rencananya sangat indah. Allah maha kaya, Maha baik.  Kasih sayangnya maha luas, jangankan bumi dan langit beserta isinya. Syurga pun Allah kasih bagi hambanya yang dikehendaki”. Allah berfirman dalam surah Al-Insyirah ayat enam dan delapan bahwa  sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, dan hanya kepada tuhanmulah engkau berharap”  Bu Risna meyakinkan aku akan janji Allah itu pasti.
“Ibu bangga Nak, kamu selain pintar juga sholih. Betapa beruntungnya orang tuamu Nak. Risky manusia tidak hanya dapat diukur dari banyaknya harta kekayaan. Akan tetapi kesehatan, kebahagian keluarga, teman dan lingkungan yang baik serta anak solih seperti kamu adalah risky yang tak terhingga nilainya”.
Aku hanya menunduk, dengan penuh syukur. Bu Risna tidak pernah berubah. Seandainya kondisi Ayahku tidak seperti ini. Dengan senang hati kuterima ajakan Bu Risna mengangkatku sebagai anaknya.
“Terimakasih Bu atas motivasinya, suatu hari nanti ketika Allah menghendaki memberiku kesempatan untuk menuntut ilmu di pesantren. Ibu adalah orang pertama yang akan saya beri kabar”.
“Oya Nak, jangan lupa kalo kamu ada kesulitan jangan segan-segan menghubungi Ibu. Sering-seringlah ke rumah atau ke sekolah kalo kamu ada waktu. Ibu akan selalu ada buat kamu”.

***

Sore itu selepas seharian bekerja di kebun, bisanya aku bercengkrama dengan anak-anak kebun di mushola yang tak jauh dari rumahku. Wak Basuni adalah ustadz mengaji di mushola itu. Setiap harinya Wak Basuni mengajari anak-anak kebun mengaji. Aku pun tak pernah absen dari tempat itu sebagai muazin. Di sinilah aku banyak belajar dari Wak Basuni dan Haji Dahlan sebagai imam mushola Nurul Yakin.
Di tempat inilah kudengar cerita teman-teman seangkatanku bersekolah dengan segala kegiatannya yang baru. Tak ada rasa iri maupun kecewa. Hati ini turut senang. Suatu hari nanti aku pasti bisa masuk pesantren tahfidz.. Saat ini keluargaku lebih penting. Ya Allah, limpahkanlah kesehatan untuk Ayah dan Ibuku. Luaskanlah rizkiku. Lapangkanlah hidupku. Amin! Doaku senantiasa kupanjatkan setelah menunaikan sholat lima waktu.
Pepohonan karet ini sekarang bukanlah tempat asing lagi bagiku. Aku akan tetap di sini untuk sementara waktu. Menjadi anak-anak kebun yang tidak serakah dengan sesuatu yang mungkin belum pantas Allah karuniakan untukku. Di sinilah pesantren kehidupan yang senantiasa mengajariku arti bersabar, berbagi, dan melawan keegoisan diri.

***

Setahun berlalu kelulusan kakak mengibarkan semangatku. Dia  masuk tiga besar lulusan terbaik. SMK Budi Luhur bekerja sama dengan beberapa kantor swasta memfasilitasi siswa berprestasi direkomendasikan bekerja ke kantor-kantor mereka.
Saat ini kakak bekerja dishow room kendaraan buatan china. Keadaan ini membuat orang tuaku menjadi lega. Ayah pun berangsur sembuh seperti sedia kala.
Pagi itu minggu terakhir dibulan Juni. Mentari memancarkan wajahnya indah sekali. Aku  bergegas menuju tambak ikan pemancingan menunaikan pekerjaan selingan. Baru setapak kulangkahkan kaki ini kearah pintu, dari kejauhan terlihat sebuah sedan silver menembus kebun menuju ke gubukku. Dengan penasaran kuamati dengan seksama.
Tampak senyuman tersungging yang tak pernah kulupakan itu. Ibu Risna beserta suami datang menjengukku. Ntah mimpi apa aku semalam, sampai angin segar mengantarkan guruku bertandang kerumah ini.
Kusambut kedatangannya dengan suka cita. Ayah dan ibuku merasa terhotmat dengan kedatangan beliau. Beliau memberiku sebuah amplop berkop warna hijau.
“Bukalah, Nak! Itu tiket dari Allah yang di kirimkan-Nya lewat Ibu.” Ibu Risna menyodorkannya ke arahku.
Kubuka perlahan amplop itu. Kubaca penuh teliti. Sebuah formulir pesantren favorit di negeri ini. Darul Qur’an milik Ustadz Yusuf Mansur yang berada di Bogor. Benar-benar mengagumkan aku hari ini bisa memegang formulir pendaftaran pesantren tahfidz impian.
“Ibu berharap kamu terima tawaran Ibu untuk melanjutkan ke pesantren impianmu, Nak!”. Suaranya menjawab teka-teki di balik selebaran itu.
Dengan penuh syukur berlinang air mata ini, menumpahkah rasa ketidak percayaan ini. Terimakasih ya, Allah. Kau dengar dan kabulkan doa-doaku melebihi yang aku minta.
Kudatangi kedua orang tuaku, dan dengan erat kupeluk mereka. Memohon restu ayah dan ibuku. Kuikuti Ibu Risna pergi ke pesantren impianku hari itu juga menuju ke Bogor.

***

Lima tahun lamanya aku menimba ilmu di pesantren tercinta ini. Banyak hal yang dapat kupelajari di tempat ini. Tak hanya ilmu agama berbagai keterampilan pun diajarkan di sini. Dari wirausaha sampai menejemen. Hari ini adalah penyematan almamaterku di pesantren ini. Aku diwisuda. Ayah ibuku datang beserta Ibu Risna. Aku akan pulang membawa mimpi-mimpiku, mengajarkan anak-anak kebun belajar menegakkan Al Quran. Mengumandangkan ayat-ayat Allah dan mengamalkannya. Mendirikan rumah tahfizd di komplek perkebunanku.
Ayahku kini pensiun dari pekerjaannya. Alhamdulilah rumah tahfiz yang kudirikan di atas tanah milik ayah kini sudah dipenuhi anak-anak. Kusemai bibit-bibit baru tahfiz-tahfiz Al Quran muda kebun ini. Usahaku mendapatkan respon baik dari pihak perusahaan. Perusahaan menawarkan sebuah proyek mendirikan yayasan pendidikan Islam berbasis Al Quran. Dengan senang hati kuterima tawaran itu. Mulai saat itu kuabdikan hidupku sebagai pengajar di yayasan Islam perusahaan karet, bukan sebagai buruh toreh tetapi sebagai penyemai generasi robbani. Barakallahu Robbi![]

Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/5776d5311593733d0dd6f608/pesantren-tahfidz-impian

0 komentar: