Cerpen Mia Ismed: Tak Sehitam Biji Kopi

09.32 Zian 0 Comments

Kota ini tak pernah tidur. Seperti terselubung kafein. Tak ada kata malam kecuali gempita. Dan manusia bagaikan robotic. Mulutku terasa kecut sendiri mamandang jalan yang tak pernah berhenti terjamah. Gerimis yang makin rapat tak mampu menghalau kemacetan kota ini. Di sudut jalan persimpangan terlihat lalu lalang bocah menenteng Koran dan kotak semir sepatu. Sungguh anak-anak itu tak seberuntung nasibku. Siapakah yang perlu dipersalahkan. Takdir atau orang tua yang tak begitu bertanggungjawab. Terlihat sangat aneh. Jika cinta memang sumber kebahagian. Tak sepantasnya anak-anak menjadi beban keegoisan hidup.
Teringat duapuluh tahun lalu. Jakarta bagiku adalah impian. Bagi anak seusiaku kala itu. Selepas sekolah dasar Jakarta-lah tempat pertama cita-cita anak-anak kampungku berharap. Terbayang hidup menjanjikan meskipun tak berbekal pendidikan yang cukup dengan modal di bawa urban oleh tetangga yang kebetulan 'sudah sukses' dikota itu. Ntahlah, sukses dimata penduduk desa kala itu dengan ukuran standar apa. Yang jelas jika sudah kerja di Jakarta anak-anak kampong yang dulu lugu, hitam legam akan terlihat bersih dan berbaju bagus. Yang dulunya hanya tau bahasa daerah dengan logat kental, gaya bicaranya akan terlihat modern dengan 'elu, guehnya'. Kadang-kadang untuk bersapa dengan rekan sebayanya sering lupa dengan bahasa daerahnya. Ntahlah itulah yang membuat aku kagum mati-matian.
Ayahku tergolong orang tua yang sangat disiplin. Didikannya keras. Impianku ke Jakarta seperti rekan sebayaku membuatnya tak kehilangan akal. Setiap kelulusan pendidikan, Ayah selalu berusaha untuk mewujudkan impianku dengan membawaku jalan-jalan ke Jakarta. Kota yang seperti aku lihat. Indah dan memberikan banyak kesenangan.
"Bagaimana Jakarta menurutmu Nduk, apakah seperti yang kamu impikan?" Tanya Ayah sembari membawaku keliling Monas.
"Jakarta sangat indah Yah, banyak tempat wisata dan tempat-tempat bagus. Pantesan kawan-kawan sangat betah disini ya." Jawabku, Anak perempuan polos. Maklum selama di desa yang kulihat hanya petak sawah, kendaraan sapi dengan gerobak yang diusung penduduk untuk menarik rumput. Hiburan paling mewah makan bakso di pasar kecamatan.  Ayah hanya tersenyum. Melihat kepolosanku.
"O iya, sudah dua hari kita jalan-jalan tak pernah kulihat teman-teman, dimana mereka Yah?"
"Kamu rindu teman-temanmu Nduk?" Tanya ayah sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk berharap ayah bercerita banyak tentang mereka. Atau mungkin tau perscis keberadaanya.
"Jakarta itu sibuk Nduk. Semua bergerak seperti mesin. Tak ada yang sempat bertegur sapa jika tak kenal. Apalagi bertemu dengan teman tanpa janjian. Sudahlah temanmu sedang sibuk, sebaiknya kita nikmati saja keindahan kota ini sebelum liburan habis."
Jalan Jakarta lambat laun kutaklukan. Awal tahun 2015 aku mengikuti magang di salah satu perusahaan di Jakarta Selatan. Setelah menamatkan pendidikan D3 akutansi salah satu perguruan tinggi di Solo. Entahlah mengapa Ayah mengirim aku kuliah ke Solo yang sangat jauh dari kampungku di Sumatera. Satu pesan ayah kala itu "Cari bekal dulu Nduk, suatu hari nanti datanglah ke kota impianmu jika kau telah siap."

***

"Waduh kok basah-basahan Mbak. Ntar atit loh. Silakan ada yang dipesan kopinya." Pemuda bertubuh tinggi itu menyambutku di pintu kedai.
Aku tersenyum sambil menerima daftar menu yang bertuliskan "Kedai Kopi Bang Yon's. mataku menelanjangi buku menu yang dominan warna coklat kayu.
"Hmm, saya mau yang ini aja deh Bang." Kutunjuk salah satu deretan menu kopi di kedai itu.
"Siap Mbak, oiya...mau ditemani minum kopinya.?" Candaan pemuda itu yang kuanggap terlalu pede.
Dahiku mengeernyit tanda, aku tak paham arah pembicaraan pemuda itu.
"Maaf maksudnya, teman kopinya apa Mbak hehe. Ada kentang goreng, lumpia ala Semarang juga ada."
"Oh... Itu. Iya deh saya mau lumpia Solo eh Semarang kalau ada. Isi rebung ya Bang."
"Ciee lumpia Solo, jangan-jangan mbaknya kangen sama orang Solo ya." Pemuda itu berlagak sok tau. Menjauh mengambilkan pesananku.
Semenjak pertemuan itu aku jadi sering mampir ke kedai kopi Bang Yon's sepulang kerja atau nongkrong dengan rekan kerjaku. Persahabatanku dengan Bang Yon makin dekat. Tak jarang kita sering ngobrol kerinduan tentang Solo dan Klaten kampong halaman Bang Yon di desa Trucuk.
"Ternyata dunia itu sempit ya Mas, di Jakarta malah ketemu orang Solo. Aduh Gerahnya, macet sekali hari ini." ku teguk air mineral sembari memutar tombol AC yang kuputar penuh di mobil avansa violet itu."
"Ah bisa aja kamu, bukankah Jakarta setiap hari seperti ini, gerah. Ubahlah pikiranmu biar kita bisa menikmati segala kemacetan ini sebagai pemandangan indah."
"Indah, ha ha dari mana saya harus terjemahkan. Ada-ada aja Bang Yon ini."
"Coba kamu lihat sisi positifnya. Jika semua hal kau anggap masalah tak ada sisi positif setiap hal yang kau jumpai di kota ini. Kau tau dari kemacetan ini kita bisa memandang betapa sejahteranya Indonesia. Masyarakat mampu membeli mobil-mobil mewah yang tak sengaja kita temui di aspal panas. Di sisi kanan kiri jalan, gedung pencakar langit menambah keindahan kota ini. Di luar sana mungkin ini yang disebut tempat istimewa yang menjanjikan dengan segala kemewahannya."
"Bisa jadi, semua yang tampak adalah ukuran kesejahteraan masyarakat ya Bang. Di balik kemegahannya Jakarta adalah ibu tiri dari mimpi pendatangnya."
"Jangan salah lo, masyarakat itu termasuk ibuku. Yang punya harapan besar hijrah kesini. Ibuku merantau ketika aku masih remaja. Pamanlah orang pertama yang memberikan angin segar untuk keluargaku. Paman kala itu buruh pikul angkut barang di Tanah Abang. Setiap kali lebarang pasti pulang. Banyak hal yang kami tahu tentang kota ini darinya." 
"Ya ya ya, Jakarta selain ibumu aku juga orang yang sama. Bermimpi memiliki Jakarta."
"Hidup di Jakarta kalau nggak modal nekat susah Reys. Sumpek banyak penduduk. Manusia setiap hari berbondongbondong datang mengejar mimpi-mimpi. Kalau nggak punya keahlian dan koneksi ya harus siap-siap menjadi pengemis,"
"Dulu saya pikir juga demikian Bang. Banyak yang bilang Jakarta itu manis, Jakarta itu candu, Jakarta adalah tempat penangkaran mimpi-mimpi. Bagaimana menurut Abang." Tanyaku ingin tahu banyak.
"Ha ha ha... seperti artis-artis itu ya, upst. Kebanyakan orang di luar sana bermimpi ingin menjemput impiannya ke Jakarta. Dengan berbagai cara tentunya. Termasuk kamu kan, jujur?." Matanya menerobos kepalaku yang sepertinya ingin tahu banyak. aku meringis "Ketahuan deh batinku."
"Mimpi manis hanya impian orangorang nekat dalam tanda kutip. Saya pikir jika hanya bermimpi terus hijrah ke Jakarta malah mati konyol. Bukankah mimpi harus diwujudkan dengan kerja keras dan akal sehat. Seperti kedai ini tak cukup dibangun hanya dengan modal mimpi. Dan bagi aku ibuku adalah bagian dari rencana tuhan atas mimpi-mimpiku. Berawal dari ikut paman buruh pikul kemudian menjual nasi di warung pinggir jalan. Oiya waktu itu ibu ditawari  masak acara kawinan dari pelanggan dan kemudian memutuskan membuka cateringan kecil-kecilan. Itu adalah rangkaian mimpi yang tak mudah dilalui Reys."
"Apa yang membuatmu yakin kau bisa hidup di kota ini Bang, kau bilang tadi hidup di kota besar harus punya keahlian dan relasi."
"Haha maksud kamu saya nggak punya keahlian ya?. Iya memang aku hanya tamatan STM tapi aku yakin karena ada Ibu sebagai relasi. Kau tau alasan lain Reys. Karena  kopi. Aku memilih kopi, karena kopi adalah kehidupan. Dia hidup dimana saja. Di hati masyarakat kita. Di warung-warung kopi sering lahir orang-orang hebat. Percakapan-percakapan harmonis masyarakat kelas bawah ya disaat  menikmati kopi-kopi hitam. Di kampungku kebetulan dekat dengan gardu ronda. Kopi dan asap rokok adalah bagian dari malam. Dan malam bagi masyarakat pedesaan adalah perjamuan disaat lelah seharian membajak sawah. Lebih tepatnnya kopi adalah kehangatan."
Aku makin terkesima dengan lelaki berambut ikal bergaya santai ini. Isi kepalaku makin mengubah pola pikirku tentang keruetan kota tantang pendidikan yang sering digadang-gadang masyarakat pada umumnya sebagai standar kesuksesan. Persaingan hidup tak selamanya dihadapi dengan uang, dan pendidikan yang mumpuni. Tapi kecakapan tentang mengubah polapikir ditengah pergulatan.
"Kamu tau apa yang sebenarnya membuat hidup kita tidak pernah maju?" Mata lelaki itu melirik kearahku. Roda mobil mulai bergerak perlahan. Suara klakson gaduh di luar. pengemudi berdesakan ingin segera melajukan kendaraannya.
"Malas, bisa jadikan. Tak mau mengubah keadaan." Jawabannku terlihat dangkal dan terkesan simpel barangkali hingga membuat gigi lelaki itu makin terlihat jelas.
"Kok malah tertawa, lucu ya jawabanku Bang." Aku merasa terjebak dengan jawabanku.
"Lucu sih nggak, kayaknya kamu malas berpikir aja. BT ya? Jadi orang jangan lekas BT lah. Nggak bagus itu buat kesehatan otakmu, Reysa yang manis." Tangannya sambil mengubah porseneling koplingnya.
"Terus, menurut Abang apa sih yang membuat hidup kita gak bisa maju?."
"Yang pertama kita terbiasa tak bisa move on. Terlalu lelap dengan peristiwa yang menyakitkan. Manja istilahnya. Terbiasa menunggu. Terbiasa mencari lowongan pekerjaan dibanding menciptakan. Suka disuruh ketimbang bergerak mengeskplorasi.  Intinya berpikir positif pada setiap keadaan. Istilahnya kita ditinggal kawin sama pacar legowo saja lah. Memang bukan jodoh kita. Yang ada ini kan tidak. Masyarakat terlalu mendramatisir sesuatu yang memang bukan seharusnya menjadi bagian kita. Percaya saja dengan rencana Tuhan."
"Benar juga ya Bang. Apalagi kita hidup dijaman milenial. Semua serba ngehit. Tapi Abang bikin kedai kopi bukan karena lagi trend ngopi bareng kan?" Gangguku nakal sambil mengecilkan tuts musik di sebelah kendali supir.
"Wah bukan stlyle saya ikut-ikutan dong. Kedai Bang Yon's ini kan konsep lama di klaten. Kedai ini melalui proses panjang, dari warung ibu dipinggiran jalan stasiun Tanah Abang. Bukan tanpa alasan aku bikin kedai Reys. Keluargaku pencinta kopi. Bapak yang memang pencandu kopi, Simbah di Klaten itu punya beberapa pohon kopi untuk konsumsi sendiri. Jadi bukan kebetulan sajalah kedai kopi itu lahir."

***

"Reysa kamu harus tau nduk, bapak ibumu menguliahkan kamu jauh-jauh supaya dapat jodoh juga sederajat dengan kita. Ini malah pacaran sama orang yang ndak sekolah. dimana harga diri bapakmu. Lihat kang masmu itu. Jadi laki-laki ya harus berpendidikan tinggi. Jadi pengacara misalnya. Itu kan jauh terhormat."
"tapi Yah, bang yon itu lain dari laki-laki kbanyakan, diapekerja keras dan sangat menghargai wanita."
"kaya gitu caramu membalas budi u]tuk orang tuamu. Orang tua yang mati-matian ingin kamu menjadi orang terhormat. Dan begini caramu menjawab omongan orang tua demi laki-laki itu. Dia siapa ha? Apa sekarang dia lebih bergarga daripada bapakmu ini!"
Sepanjang jalan ngobrol ngalor ngidul tak terasa sampai di gerbang pintu masuk Bandara Soekarno Hatta. Menjemput orang tuaku dari Sumatera yang akan meresmikan hubunganku dengan Bang Yon di Jakarta .
"Sekarang aku tau jawabnya Bang, mengapa mimpiku menarikku kuat untuk segera ke kota ini." Satu kata mengakhiri perjalanan itu.
"Oya... kok baru cerita?" Lelaki itu menimpaliku sambil mematikan mesin kendali supir.
"Karena ada kopi yang menungguku. Kopi yang rindu kutemui. Dan memudarkan sebagian kekhawatiranku tentang kota ini. Mengubah keterasingan yang kita jumpai sebagai keindahan bukan sebuah belukar masalah."
"Kopi, maksudmu?"
"Iya kopi. Ini kopinya." Tanganku mencubit mesra pipi lelaki itu.  Senyumnya mengembang sambil bergumam kesal.
"Bisa nakal juga ya kamu. Awas ya kugigit-gigit nanti." tangannya balas mencubit kedua pipiku hingga terasa sakit.
Meski  aku tak memiliki Jakarta. Aku akan menjaganya seperti biji kopi yang kau seduh untuk bibir-bibir yang rindu nikmatnya dibalik kepahitan bijinya. Berharap Jakarta segar dan tentram bagi penduduknya. Jakarta tak sehitam biji kopi karena kutemukan manisnya di cangkir pertama saat hujan sore itu. Tangan kami berpegangan erat.  Ada  senyum yang terlintas memandang gate kedatangan Soetta.[]


Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/5d91c167097f366b9014bbc3/tak-sehitam-biji-kopi

0 komentar: