Cerpen Mia Ismed: Lapak

09.34 Zian 0 Comments

Di tempat ini tujuh tahun lalu Emakku menjadi pesakitan. Lapak-lapak itu bagaikan kunang-kunang terhempas ke angin-angin musim. Serdadu-serdadu itu terlihat bengis. Lapak yang menjadi  harapan anak-anak menghangatkan tungku, juga berharap memakai pakaian baru di saat kenaikan kelas sudah keburu dihabisi. Zaman memang sudah lama merdeka tapi nasib selalu terancam untuk dimusuhi. Anehnya musuh itu datang dari bangsaku sendiri. Nasib yang dipertaruhkan di atas piring-piring, tungku-tungku, tampah-tampah, trotoar dan roda-roda waktu yang terus bergulir. Mereka hanya dianggap sampah yang mengotori wajah kota, jalan raya, harga diri, juga tanah-tanah yang mereka bersihkan dari amis penggusuran. Lapak-lapak dibumihanguskan karena dianggap korupsi jalan, merusak mental generasi  juga dicurigai tempat cuci uang.
Masih kuat ingatanku, tempat ini dalam sekejap rata dengan tanah. Hanya sisa serakan kayu, seng dan sisa-sisa dagangan. Tampak juga ceceran sayur lodeh nikmat, juga kepala ikan asin yang sudah dipunguti kucing kurap kelaparan.  Wajah perempuan paruh baya itu tampak kaku menatap serakan onggokan. Terdengar pula suara gaduh orang berlarian menyelamatkan dagangannya. Juga di seberang jalan terlihat olehku seorang emak tua renta dengan gemetar memunguti kue-kue basah yang tersusun rapi di atas trotoar. Pemandangan kekacauan  itu tak asing di mataku. Karena memang aku dibesarkan di atas lapak-lapak waktu. Terlihat wajah Emakku sayu setiap kali penertiban. Tampak sekali guratan kesedihannya. Namun semangatnya tak pernah luntur meski harus memindah-mindahkan harapan di atas lapak musiman. Mulutnya bergumam lirih entah apakah yang sedang emak lakukan, berdoa atau meratapi nasib yang sering tak berpihak.
“Aku masih ragu apakah negeri ini memang benar-benar  sudah merdeka. Atau barangkali kami adalah musuh yang selalu mengancam stabilitas republik. Sehingga sayur lodehku disatroni dan  piring-piringku harus diangkut ke mobil aparat.  Atap ini dibumihanguskan. Sayur lodeh yang sudah sedari subuh tadi kumasak dengan penuh perasaan turut menjadi saksi pesaktanku?”
“Aku masih belum tahu apakah aku benar-benar musuh yang perlu diberantas.  Sedangkan yang kukenal hanya lombok, bawang merah, garam, merica, juga nangka muda yang setiap saat kurayu menjadi penikmat lidah. Lantas apa yang mereka khawatirkan tentangku? Apakah sayurku mengandung narkoba sehingga dikawatirkan merusak mental atau sayurku beracun hinga takut menebarkan virus yang mematikan?”
“Aku semakin tak mengerti ketika piring-piring itu turut menjadi persaksian kejahatanku. Lantas apa salah lapakku ini? Apakah ia juga dikhawatirkan menjadi markas dan aku dihakimi seperti layaknya teroris yang meresahkan?” 
“Kucing itu rupanya lebih merdeka memutiki nasib. Begitu nikmatnya ia menyulum kepala ikan asin yang dibuang manusia. Kucing itu tak pernah mengharap iba. Hanya sisa-sisa buangan saja yang dimakannya. Kadang manusia salah tafsir menganggapnya pencuri lauk di meja hingga tak jarang ia dihardik, disiram air panas, juga kadang dikebiri.”
“Sepertinya aku dan kucing itu beda peruntungan saja. Dia bisa hidup di mana saja di kolong-kolong waktu. Lantas aku harus menumpang ke negeri mana lagi membawa lapakku. Begitu kotornya orang-orang seperti aku ini hingga harus dibersihkan di muka bumi. Barangkali orang seperti aku hanya merusak pemandangan kota. Dianggap korupsi jalan raya  juga sumber kekumuhan. Nun jauh di kampung sana harapan anak-anakku menunggu kiriman untuk biaya makan, sekolah, juga pakaian di saat kenaikan kelas atau baju baru saat lebaran tiba.”
“Seandainya mereka tahu, bukan hanya kaum moderat yang berhak menikmati hidup. Makan dengan lauk juga tempat tinggal layak. Kami juga perlu makan dan merayakan hari lebaran. Nasib kita hanya beda batas. Lapak kita hanya beda tempat.” Gumam Emak memunguti rasa yang tercecer.

***

Di kamar tiga kali empat ini memang tak pantas disebut sebagai hunian layak. Maklum tempat ini adalah lapak sekaligus tempat tinggal kami. Lapak itu hanya terdiri dari satu pintu tanpa jendela, secara otomatis ketika siang hari pintu itu terbuka untuk menikmati udara. Waktu itu Ramadhan tahun kedua kami tempati lapak di Jalan Sedayu Jakarta Barat. Pemerintah kota memberlakukan pelarangan berjualan di bawah jam tiga sore saat Ramadhan. Entah berapa kali harus kami jelaskan namun mereka terus menghardik Emak dengan ribuan pertanyaan.  Saat itu Emak sedang meracik sayur lodehnya. Di atas tungku mengepul nasi yang akan diperdagangkan siang menjelang sore nanti. Piring-piring yang sedari tadi kucuci pun sudah berjajar rapi di etalase kayu yang dibuat Bapak dari kampung.
Di ibukota ini hanya aku yang menemani Emak membuka lapak mengadu peruntungan. Si kembar Lena dan Leni, adiku, sekolah di kampung dengan simbah. Bapak hanya buruh kuli bangunan yang sering sakit-sakitan. Dulu semasa Bapak masih kuat, kita bernaung bersama di atap ini. Tubuhnya yang legam terus menyusuri jalan di atas roda becaknya membawa nasib. Satu tahun terakhir asma Bapak sering kambuh, dan tenaganya terkuras habis. Itu sebabnya Emak berharap Bapak istirahat di kampong saja. Sebagai anak sulung aku tak ingin menutup mata dengan kemiskinan keluargaku meski saat itu usiaku baru menginjak dua belas tahun.
Siang itu aku tak kuasa menahan tangis. Emak gemetar dan tampak ketakutan. Penertiban pedagang kaki lima selalu digalakkan setiap saat. Berkali-kali Emak harus pindah tempat karena dianggap mengganggu ketertiban. Tapi inilah hidup, meski beradu nasib, Emak harus tetap berjuang. Ini adalah ibukota, kota yang tak pernah tidur. Pedagang kaki lima seperti benalu yang menumpang hidup di atas trotoar dan tanah-tanah lapang keramaian. Mungkin inilah sebabnya kami dianggap sampah dan pengganggu sehingga harus diusir demi keindahan kota. Bukankah kami juga warga negara yang butuh perlindungan dan hak hidup. Keberadaan  pedagang kaki lima seperti Emakku adalah bukti nyata bahwa kehadiran mereka disebabkan oleh ketidakhadiran negara untuk memberikan lapangan kerja yang layak.
Pedagang kecil dengan modal yang sangat kecil. Sehingga tidak sanggup mengakses pasar-pasar yang mewajibkan pedagang kaki lima untuk membayar biaya sewa tempat. Dengan alasan mengganggu ketertiban, oleh serdadu-serdadu itu manusia gerobak ditangkapi, pemulung ditangkapi, pengemis ditangkapi, gelandangan ditangkapi, tak terkecuali dengan kami pedagang kaki lima juga ditangkapi. Lha, ketertiban siapa yang merasa terganggu itu? Ketertiban orang kaya yang terganggu? Sedang orang miskin dilarang merasa terganggu, gitu? Lha, apa negara ini hanya milik orang-orang kaya saja? Kalau negara ini tidak mau ada kami orang-orang miskin, ya mbok dengan serius disejahterakan, maka dengan sendirinya populasi kami juga akan hilang. Iya kan?
Kesejahteraan bagi kami sejauh ini hanya slogan, sedangkan kemiskinan terus beranak pinak seperti benalu di reranting pohon liar di seluruh pelosok negeri. Atau memang kemiskinan adalah asset Negara yang dipertontonkan di layar-layar kaca dihakimi seperti sandiwara panggung menjadi bahan candaan. Dan membiarkan buruh-buruh wanita gemulai berhijrah mencari peruntungan di negeri antah berantah di luar sana. Sawah-sawah kami mengering, harga padi tak sebanding dengan biaya pupuk, sayur dan buah kami tak laku karena harus bersaing dengan barang impor, dan tenaga kami dihargai sangat murah karena tak berijazah.
Semua masih membekas di hatiku. Aku tak pernah menyesali menjadi anak pedagang kaki lima. Semua manusia juga tak bercita-cita menjadi orang miskin dan hidup yang terancam penggusuran.  Dua bulan lalu kesehatan Bapak semakin tak berpihak dan akhirnya kami harus legowo melepas kepergiannya. Emak juga terlihat sudah ringkih. Mungkin saatnya kami harus mengemas diri di kota ini. Tak banyak harapanku mencoba peruntungan nasib di tanah kelahiranku Wonosari.

***

Setiap kali kuberkunjung di kota ini, hatiku seperti medan magnet saja, ingin berlama-lama memandangi tempat itu. Semua sudah berubah. Sungai-sungai itu seakan sudah raib. Trotoar-trotoar nasib itu kini disulap menjadi taman kota yang indah. Indah sekali. Nun jauh di sana nasib manusia-manusia itu tergerus air mata. Manusia gerobak raib disembunyikan dibalik gedung megah. Gelandangan di eramkan dalam sangkar kebijakan. Dan wajah kota ini terlihat sangat manis tanpa noda. “Menakjubkan sekali”. Senyumku getir menyaksikan semuanya.
Semenjak kukembali di kampung halaman kuakhiri masa lajangku. Seorang lelaki yang berprofesi sebagai pedagang pakaian telah menyuntingku. Mulai saat itulah hidupku berubah warna. Kuberanikan membuka diri membawa lapak nasib di pasar Wonosari. Setiap menjelang Ramadan aku dan Mas Joko, suamiku, tak pernah absen mengunjungi kota ini memungut dagangan di Tanah Abang. Aku bersyukur lapakku kini berdiri kokoh, mendendangkan cita-cita buah hatiku, juga masa tua Emakku.[]

Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/57bfef34f492730d4875fc15/lapak

0 komentar: