Cerpen Mia Ismed: Mainan Baru

09.53 Zian 0 Comments

Sang bagaskara menunjukan dewi siangnya yang sudah lumayan terik. Burung tak lagi berkicau pun kokok ayam mulai hilang. Jam dinding sekolah SD Muhammadiyah 3 Wonosari telah menunjukan pukul 10.58 WIB. Kurang lebih dua menit lagi Maksum meninggalkan kelas ini. Tidak seberapa lama bel pun berbunyi.
“Teng…, teng…,teng…!”  Tanda seluruh siswa harus mengosongkan tempat duduknya.
“Assalamu alaikum,” suara Maksum memasuki rumah joglo tua beralaskan tanah. Sejak kecil Maksum diasuh neneknya. Ayah dan ibunya sudah lama pergi meninggalkannya. Meninggalkan bukan karena melepas tanggungjawab akan tetapi kereta naas yang ditumpangi ketika mudik dari ibu kota terguling. Ayah dan ibunya mengadu nasib di ibu kota sebagai pedagang warung kopi.
Semenjak kepergiannya, Nenek Saodahlah yang mengurusi Maksum.
“Waalaikum salam!” jawab nenek tanpa menoleh ke arah Maksum. “Sudah pulang Maksum?” .
“Iya, Nek,” jawab Maksum sambil menaruh barang-barang sekolahnya di lemari tua di sudut ruangan.
“Nenek, hmm Maksum boleh nggak minta mainan?” Sambil menatap ragu dan penuh was-was Maksum membuka mulutnya sembari menuju ke arah nenek.
“Maksum…, Maksum…! Kalau mau beli mainan, ya … harus menabung dulu,”” sahut nenek sambil tersenyum. Sesekali tangannya tak mau diam menampi beras.
“Maksum mau beli mainan mobil-mobilan seperti punya si Ikhsan dan Fathan. Harganya empat belas ribu rupiah, Nek,” jelas Maksum dengan nada mengharap.
“Iya, tapi harus nabung, Le. Kan Maksum setiap hari nenek beri uang saku seribu rupiah. Ya, sisakan uang sakunya jangan dihabiskan, Le,” tukas nenek Saodah sambil menatap erat cucunya.
Dengan lesu Maksum pergi ke meja makan. Dibukanya tudung nasi tanpa selera. Sayur nangka, ikan asin pun tak lagi nikmat dipandang mata. Maksum terdiam mengayunkan sendok makan seakan berat yang kemudian mengatupkan mulutnya rapat.
Nenek Saodah diam-diam memperhatikan cucunya yang sedang bersungut-sungut. Dengan senyuman tipis Nenek Saodah menggeleng-gelengkan kepala.

***

Seminggu sudah berlalu. Hari ini adalah Jumat pertama Maksum menabung. Hitungan hari ketujuh ia memasukan koin-koin sisa uang sakunya. Setiap hari Maksum menyisihkan uang sakunya sebesar seratus rupian yang kemudian dimasukan ke dalam celengan bambu yang dibuatnya sendiri. Sepulang sekolah Maksum dengan riang bergegas menuju lemari. Rupanya dia menaruh celengan bambu itu di bawah kolong lemari yang berlantaikan tanah keras. Maklum rumah joglo tua Nenek Saodah belum tersentuh semen sedikit pun. Tetapi keteguhan keluarga Saudah membangun agama Allah sangat diperhitungkan. Setiap Jumat Nenek Saodah tak pernah absen memberikan makanan bagi jamaah sholat Jumat. Nenek Saodah setiap hari berjualan lontong sayur di pasar Wonosari. Hari liburnya adalah hari Jumat. Sebagai penghormatan beliau untuk memberikan hidangan cuma-cuma bagi jamaah.
Kakek Abdullah suami Ibu Saodah adalah seorang ustadz di kampung itu. Di masa hidupnya kakek mendirikan masjid tepat di muka rumahnya. Kakek Abdullah adalah seorang imam masjid sekaligus guru mengaji di kampung itu. Sepeninggalan Kakek Abdullah, Nenek Saodah istiqomah memberikan sedekah dan menjaga masjid yang dibangun suaminya itu. 
“Maksum…, Maksum…! Pulang sekolah kok nyelonong aja. Sini bantu Nenek di dapur, Le!” tegur Nenek.
“Iya, sebentar, Nek. Tanggung,” sahut Maksum memberesi uang recehan yang sedari tadi dihitungnya. Tak banyak hanya terkumpul tujuh ratus rupiah.
“Maksum, gimana? Jadi menabung? Berapa sudah tabungan yang sudah kau kumpulkan, Le?’ Tanya Nenek lagi. “Ayo, bawa sini celenganmu!”
Tanpa berpikir panjang Maksum pun dengan riang mengambil celengannya, berharap nenek memberikan uang tambahannya. Dengan tersenyum riang dan lari-lari kecil Maksum memperlihatkan recehan-recehan itu.
“Ini, Nek, baru tujuh ratus rupiah,” Maksum membuka lebar-lebar jarinya yang menyembulkan beberapa recehan.
“Lumayan,” ucap Nenek Saodah.
“Nenek minta tolong ya, Le, belikan lombok sama tomat di warung. Sebentar lagi jamaah datang. Nenek belum bikin sambal. Oh ya, pake uang yang tujuh ratus yang dicelengan itu ya, Maksum.”
Dalam hati Maksum berdegup. ‘Apa uang celenganku buat beli lombok sama tomat. Nggak salah ni nenek!’
“Tapi, Nek?” penuh heran Maksum mengernyitkan dahinya yang berkeringat
“Sudah. Belikan saja cepat,” jawab Nenek tanpa melepaskan pandagannya ke arah kayu bakar.
Dengan muka kusam sepanjang jalan ia memikirkan tabungannya yang baru seberapa itu.

***

“Maksum, besok hari Minggu ke rumahku, ya! Kita mainan bareng. Fathan, Ali, sama Lana. Gimana kamu sudah beli tamiya belum?”
“Aku belum punya, San.”
“Minta dong sama Nenek kamu.”
“Iya. Aku lagi nabung, San.”
“Ok. Aku tunggu, ya!”
Ikhsan meninggalkan Maksum berlari ke rumahnya. Kembali di kepalanya terpikirkan tentang mainan.
Maksum duduk termenung di teras masjid. Dari kejauhan Lek Jarwo, muazin masjid Assholihin itu mendekati Maksum.
“Assalamualaikum, Maksum!”
“Waalaikumsalam, Lek.”
“Kok sendirian? Kenapa nggak main sama Fathan? Biasanya jam segini kalian main bersama-sama.”
“Malas, Lek Jarwo.”
“Kok, malas. Kalian bertengkar, Maksum?”
Hanya dengan gelengan kepala Maksum membalas pertanyaan Lek Jarwo yang bertubi-tubi.
“Cerita sama, Lek. Apa yang buat kamu nggak mau mainan lagi?”
“Aku nggak punya mobil-mobilan, Lek. Sedangkan mereka semua punya tamiya. Kemaren Nenek menyuruhku menabung, tapi baru seminggu dapat tujuh ratus rupiah diminta Nenek untuk dibelikan lombok sama tomat di warung.Kapan cukupnya tabungan, Maksum, Lek?”
Sambil geleng-geleng kepala Lek Jarwo pun mengerti. Ternyata itu  yang membuat Maksum nggak mau mainan lagi. “Gini, Maksum. Nenek beli tomat sama lombok kan buat dijadikan sambal. Sambalnya untuk makan Nenek atau untuk jualan?”
“Untuk pelengkap hidangan di masjid, Lek.”
“Nah, itu, Maksum. Maksum tahu tidak, ketika kita membelanjakan harta kita di jalan Allah, maka Allah akan melipatgandakan harta kita sepuluh kali lipat nantinya.  Dan nilai tujuh ratus itu lebih mulia dan lebih mahal di mata Allah dibading mainan teman-teman kamu itu. Hari jumat adalah hari istimewa, untuk itu perbanyaklah beribadah dan bersedekah”
“Tapi, Lek…!?”
“Maksum anak baik, Nenek pasti memberikan pelajaran ini supaya Maksum tahu belajar keiklasan. Nenek pasti mendidik Maksum bagaimana artinya berbagi. Karena sedekah ketika dalam keadaan lapang itu sudah sewajarnya, Maksum. Akan tetapi dalam keadaan sempit pun ketika kita menafkahkan harta kita di jalan Allah, maka Allah akan melipat gandakan dengan rizki yang tidak terduga-duga nantinya.”
Dengan seksama Maksum memperhatikan penjelasan Lek Jarwo. Maksum pun akhirnya mengerti makna sedekah untuk kehidupan sehari-hari.
“Makasih, Lek. Maksum pulang dulu.”
“Oya, Maksum. Kebetulan Lek barusan panen lombok. Nih,  Lek Jarwo tambahi uangmu buat beli tamiya.”
Dengan hati riang Maksum pun menerima pemberian Lek Jarwo sebesar sepuluh ribu rupiah. Lek Jarwo hanya tersenyum penuh haru melihat kepergian Maksum dengan senyum tersungging di wajahnya yang sedari tadi kusut tak karuan.
“Assalamualaikum, Nek! Maksum pulang.”
“Waalaikumsalam, Maksum. Kok tumben, Le, seneng banget. Gimana celeganmu sudah genap?”
Maksum tak lantas menjawab. Dengan hati was-was antara jujur atau tidak. Sebab nanti kalau aku jujur pasti uangku diminta nenek lagi. Huff…!
“Kok diam? Pasti kamu marah ya sama Nenek dengan uang yang Nenek pinjam tempo hari?”
“Loh, kok Nenek tahu aku masih kecewa!”  bisiknya dalam hati.
“Sini, Le! Nenek tidak bermaksud membuat Maksum kecewa. Apalagi Maksum merasa dirugikan dengan tindakan Nenek. Maafkan Nenek, ya!”
“Iya, Nek. Sekarang Maksum tahu maksud Nenek. Lek Jarwo sudah banyak memberikan nasihat sama Maksum. Maksum ikhlas kok, Nek. Alhamdulillah hari ini uang Maksum sudah terkumpul lagi lebih banyak. Tadi Lek Jarwo memberi Maksum uang sepuluh ribu.”
“Alhamdulillah, akhirnya Maksum tahu artinya berbagi. Nih, Nenek tambahi lagi uangnya tujuh ribu. Sudah lebih kan uangnya buat beli mainan?”
Dengan hati berbunga-bunga Maksum pun langsung memeluk Nenek. “Terimakasih, Nek! Maksum akan belikan mainan. Sisanya Maksum tabung.”
“Yee…,  akhirnya aku bisa beli mainan!” teriaknya girang.

***

Hari Minggu yang cerah setelah memberikan makan kambing dan ayam-ayam di kandang belakang rumah, Maksum bersemangat untuk menuju pasar Wonosari yang tak jauh dari kediaman Neneknya. Ia segera membeli mainan baru yang diidamkan selama ini.  Sebuah mobil-mobilan tamiya berwarna orange lengkap dengan baterainya.
Dengan riang gembira Maksum pun menepati undangan bermain di rumah Fathan. Ia melangkah dengan penuh percaya diri. “Terimakasih ya, Allah, atas rezeki-Mu. Tamiya yang seharusnya aku beli dengan menabung selama seratus hari, ternyata dalam waktu dua minggu aku bisa mendapatkan mainan baru dan uang lebih untuk terus ditabung.”
“Hai, Fathan ! Assalamualaikum!” sapa Maksum dari jauh dengan semangat.
“Maksum? Waalaikumsalam. Wow, keren banget mobil-mobilanmu. Baru ya, Maksum?” sambil memegang dan memandangi secara teliti.
“Iya, nih. Baru aja aku beli.”
“Mana Ikhsan sama Ali? Kok belum muncul-muncul,” tanya Maksum sambil menatap sekelilingnya.
“Haha…, Maksum…, Maksum! Lihat, sekarang jam berapa? Baru pukul delapan tiga puluh. Kita janjian kan jam sembilan. Semangat amat!” jawab Fathan menimpali.
Mereka tertawa bersama-sama dengan riangnya. Cerahnya sang mentari menyambut keceriaan Maksum dengan hati yang syukur dan bahagia.[]


Catatan:
Lek: sebutan laki-laki dewasa yang berarti paman
Le: sebutan anak laki laki
Rumah joglo: rumah jawa kuno

Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/57776575537b61330581e03f/mainan-baru

0 komentar: