Cerpen Mia Ismed: Surga itu Dekat

09.47 Zian 0 Comments

“Hei anak pemulung, jangan dekat-dekat bau tau haha, coba lihat sepatunya bekas dimakan ulat berlubang-lubang “ ledek segerombolan teman-temanku saat aku melintasi mereka yang sedang duduk di bawah pohon perdu ketika istirahat.
Ingin rasanya aku lari dan marah dengan Ibuku. Aku sangat malu lahir dari seorang anak pemulung yang miskin dan kumuh. Seragam putih merahku pun tak secemerlang anak-anak yang lain. Sudah dua tahun sejak kelas tiga baju dan celanaku belum berganti. Apalagi sepatuku tampak lubang kesana-sini. Sering Ibuku mendapatkan hasil memulung sepatu bekas yang sudah dibuang pemiliknyadi tong sampah. Juga tas bergambar kartun yang sudah mulai kabur warnanya dipungutnya sisa-sisa sampah orang kompleks.
Hidup di ibu kota ini sangat keras. Mencari makan sesuap nasipun Ibuku harus mengais rejeki di tempat-tempat yang bagi orang-orang pada umumnya menjijikan. Dipungutnya sampah-sampah plastik bekas minuman anak-anak sekolah. Juga botol-botol bekas sampah rumah tangga yang ada di kompleks perumahan yang tak jauh dari tempat tinggalku. Saat ini aku sudah kelas empat SD Sari Mulia. Meski aku anak pemulung tapi Ibu tetap ingin aku sekolah. Bapakku sakit-sakitan. Bapak hanya mampu memulung sesekali saja. Asmanya selalu kambuh, itu sebabnya Ibu tak mengijinkan Bapakku bekerja terlalu capek. Ibuku tak pernah meninggalkan solat lima waktu. Setiap Ibu keliling mencari plastik bekas minuman dengan membawa gerobak dorong. Tak pernah tertinggal bungkusan plastik hitam berisi mukena.
Entah mengapa semakin hari teman-temanku semakin berani mencaciku. Bahkan mereka tak segan melempariku dengan bekas makanan di kantin. Aku hanya diam dan berlalu. Tak ada yang mau berteman denganku. Semua tampak jijik dan malu mempunyai teman seperti aku. Hingga suatu hari Ibuku melewati sekolahku dengan gerobak dorongnya waktu istirahat ke dua. Ibu melihatku dari kejauhan. Hari itu aku harus menebus seragam olahraga. Ibu berjanji hari ini akan memberiku uang. Karena tadi pagi Ibu belum menjual plastik-plastik itu ditempat juragan plastik. Terpaksa Ibu harus menunggu juragan datang. Ibu pun menghampiriku dengan wajah penuh peluh. Ia seka dengan jilbab kaus yang sudah kelihatan lecek karena usang. Beberapa lembaran uang ribuan tergulung karet gelang, Ibu menyodorkan uang itu.
“Ini Nak uangnya, cepat kamu bayarkan untuk membeli kaus seragam sekolahmu”. “Jangan lupa jika ada sisa uangnya ditabung ya” suaranya lembut dengan tatapan sayang.
Ntah kenapa aku tak ingin Ibuku berlama-lama berada disini. Aku takut teman-temanku melihatnya. Belum selesai kuberkecamuk dalam pikiran antara was-was takut ketahuan. Suara teman-temanku sudah menghardikku dari kejauhan.
“Oii lihat pemulung itu mau masuk ke sekolah kita hahah”.”Ih pasti uangnya itu sangat kotor” suara itu semakin menghujam keras hati dan pikiranku.
“Cepat pergi Bu, aku gak mau melihat Ibu disini. Aku malu Bu!” seketika kubentak Ibuku dengan suara keras-keras.
Ibu pun melangkah pergi. Tampak diraut mukanya rasa kecewa dan sedih. Tapi tak kuhiraukan. Aku lebih sedih setiap saat dihina teman-temanku.

***

Malam itu sangat gelap, kulihat dikejauhan sana bintang-bintang kecil berkerlip menghiasi langit di atas atap seng tua yang berdindingkan kardus dan spanduk bekas. Di bawah lampu minyak Ibu senantisa melantunkan suara merdu alquran dengan mushaf yang sudah kuning tak bersampul. Bapak terbaring disebelahnya. Sedangkan aku duduk membaca buku-buku sekolah sesekali memandang bintang-bintang itu.
“Rizky kamu malu punya Ibu pemulung Nak” Tanya Ibuku seusai menyelesaikan bacaannya yang terakhir. Kulihat sekilas Ibu duduk disampingku masih mengenakan mukena yang sudah agak kuning melekat diwajahnya.
Aku hanya diam, sebagai tanda protes dilahirkan dari keluarga miskin.
“Anakku, apakah kamu tahu dari tumpukan sampah-sampah itu Ibu dan bapakmu membesarkanmu Nak”. “ dari sampah-sampah itulah Ibu merajut mimpi-mimpimu agar tetap hidup dan kamu menjadi anak yang berguna”
“Tapi Bu aku malu dihina teman-teman terus”
“Jangan pernah kau hinakan sampah-sampah itu Nak, kelak dari sanalah kau akan bermartabat”
Kata-kata Ibu tak bisa menghilangkan rasa maluku di sekolah. Kadang aku berpikir lari dari rumah dan mencari orang tua asuh. Pernah suatu hari kulihat teman-temanku melewati perkampungan kumuh tempat tinggalku. Mereka sangat mengenali gerobak Ibuku. Mereka tak segan-segan menendang gerobak itu hingga terjungkal. Saat itu Ibuku sedang ke puskesmas membawa Bapak berobat. Aku hanya membisu menyaksikan ejekan-ejekan itu.
Hari ini aku akan pergi. Aku akan berhenti sekolah. Aku akan ke stasiun pasar senen. Aku akan mengamen di atas kereta. Aku ingin hidup bebas dari ejekan dan cacian teman-teman. Kulangkahkan kakiku dengan cepat membawa dua lembar pakaian kutenteng diplastik hitam. 
Sepanjang jalan tak banyak yang kupikirkan. Waktu itu bapak sedang tidak enak badan Ibu pun bergegas membawanya ke puskesmas. Aku tak menghiraukan semunya. Aku hanya ingin lari dan pergi menjauh dari mereka. Ntah mengapa tiba-tiba langkahku terhenti. Ada seseorang menepuk pundakku. Seorang pemuda yang tidak pernah kukenal sebelumnya.
“Maaf kalo boleh tau musola di daerah sini dimana ya Dek?”
“Tidak jauh dari sini Bang, ayo saya antar”  jawabku kemudian.
Laki-laki itu mengikutiku dengan berjalan kaki.
“Oya kamu mau kemana, siang-siang begini?”
“Aku mau ke stasiun Bang”
“Stasiun? Mau pergi kemana?
“Mau cari uang Bang, Aku bosan diejek teman-teman terus”
Dengan tersenyum pemuda itu mengajakku duduk di teras musola itu.
“Kamu mau cari uang betul? Apa yang kamu bisa?”tanyanya penuh selidik.
“Dimana orang tuamu Dek?”
“Orang tuaku miskin, Ibu pemulung. Bapakku sakit-sakitan. Aku selalu diejek teman-teman sekolahku. Mereka tak ada yang mau berteman denganku Bang” aku malu. Makanya aku ingin pergi saja”
“Oya siapa namamu? Perkenalkan nama Abang Jaya. Abang tinggal di daerah blok M. kebetulan Abang bekerja di Yayasan Darul Mutaqin. Kamu mau gak ikut Om?
“Namaku Risky. maksudnya bekerja di tempat Om?
“Tidak Risky. Kamu tidak bekerja tapi sekolah. Om akan menjadi orang tua angkatmu”
“Tapi..Bang?
“Iya.. tapi kamu harus pulang menemui bapak dan Ibumu. Kita berpamitan meminta do’a restunya gimana?
“Ok” aku pun menganggukan kepala meski di pikiranku masih ragu dengan jawabanku mengiyakan ajakan Bang Jaya.
Seusai sholat zuhur Bang Jaya mengajaku kembali ke rumahku. Saat itu perasaan ini berkecamuk pulang atau pergi saja tanpa memberitahu orang tuaku. Seratus meter lagi kakiku samapai di gubuk mungil itu. Dari kejauhan sesekali kulihat penghuni permukiman kumuh itu datang menuju gubukku. Ntah apa yang mereka lakukan dirumahku. Langkahku kian dekat kulihat peti keranda terlihat tak jauh dari rumahku. Siapa gerangan yang meninggal. Rasanya beberapa jam yang lalu tempat ini sunyi sepi tak ada peristiwa apapun.
Perlahan kudekati rumahku, Ibu kulihat Ibuku mengaji di depan manusia yang terlentang terbungkus kain tapih. Bapak ternyata tubuh yang terbalut kain itu adalah bapakku. Yang tadi ke puskesmas dibawa Ibu berobat ternyata menghembuskan nafasnya yang terakhir.

***

Sepeninggalan bapakku, aku hanya tinggal bersama Ibuku. Keinginan ikut dengan Bang Jaya kuurungkan beberapa hari. Aku tak tega meninggalkan Ibuku seorang diri. Pagi itu Bang Jaya singgah ke rumahku. Sejak kepergianku dihari Bapakku meninggal. Kuputuskan untuk tidak masuk sekolah lagi.
“Assalamu alaikum Risky”
“Waalaikum salam Bang Jaya”
“Sendirian ya, Ibu dimana?
“Ibu pergi memulung Bang”
“Bagaimana Risky kamu masih marah dengan Ibumu? Kamu masih ingin meninggalkan orang yang bekerja tak pernah lelah untuk hidupmu?”
“Surga itu sangat dekat Risky. Dekat sekali sedekat darah yang mengalir di bawah kulitmu. Dipompa jantung dan menggerakkan urat nadimu. Nafasnya sangat dekat. Yang terhirup hidung kemudian menuju paru-paru. Kamu tahu itu siapa. Surga itu di bawah telapak kaki Ibumu. Pengorbanan Ibumu sangat nyata. Matanya senantiasa terjaga dimalam-malam sepi. Senyunya terurai meski kau sering menyakitinya. Do’anya tulus tak pernah mengiba apa yang dia terima.
Aku hanya terdiam. Bang Jaya terus menasehatiku. Dalam hatiku yang sangat dalam. Aku takpernah menampik. Aku sangat sayang Ibuku. Keegoisankulah yang menguburkan rasa cintaku yang dalam itu. Hatiku teracuni ocehan teman-teman yang mengkerdilkan orang tuaku. Kini aku kehilangan bapak. Dan aku tak ingin kehilangan Ibu lagi.
“Risky saat Ibumu pulang nanti, kita akan pergi bersama-sama ikut Abang. Kamu sekolah dan Ibu tetap bekerja bukan menjadi pemulung, tapi membantu Abang kerja di rumah. Memasak dan merawat kamu. Orang tua Abang sudah lama meninggal. Abang berharap Ibumu dan kamu menjadi bagian dari keluarga Abang.
Siang itu serasa sebuah keajaiban mengubah semua jalan hidupku. Ibu dengan senang hati menerima ajakan Bang Jaya. Kita pergi menuju rumah Bang Jaya di blok M. ini adalah jawaban doa-doa Ibuku atas kerja keras dan kesabarannya. Maafkan aku Ibu. Siapapun dirimu dan apapun keadaanmu aku tak akan meninggalkanmu untuk kedua kalinya. Karena di kakimulah surgaku berada dan ditelapak tanganmu namaku senantiasa kau sebut dalam setiap harapan doa-doamu.[]


Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/57767a48e122bdf3174f1c79/surga-itu-dekat

0 komentar: