Cerpen Nailiya Nikmah JKF: Episode Durian

21.41 Zian 1 Comments

Musim hujan telah tiba. Setelah sekian lama udara panas bercokol di kota Banjarmasin, kini hawa dingin mulai menyapa. Aku merapatkan jaket. Sebuah gerak spontan ketika tiba-tiba aku merasa dingin mulai menyusup ke tulang. Aku mengayuh sepeda agak cepat. Beberapa pasang mata menatapku, tepatnya menatap sepeda bututku. Aku punya alasan sendiri kenapa di era serba canggih ini aku masih setia bersepeda. Tak ada yang tahu alasan itu selain aku. Sudahlah, tak perlu membicarakan perihal sepeda ini.
Aku membaui aspal yang dibelai hujan sore ini. Ah, tak murni baunya. Ada bau lain yang mengusik. Bau harum dengan aroma khas yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Otakku langsung menampilkan format buah dengan banyak duri dan muncullah kata durian. Ya, durian! Sekarang sudah musim durian lagi. Aku mengayuh sepeda sambil bersenandung lirih,

aku yang lemah tanpamu
aku yang rentan karena
cinta yang tlah hilang darimu
yang mampu menyanjungku...[1]



Durian...aku bergumam dalam hati. Durian membuatku teringat pada Iwar. Buah berdaging lembut dan manis itu nyaris membuatku menceraikan Iwar, istriku yang putih bersayap. Aku menyebutnya putih bersayap karena ia seperti bidadari. Sejak pertama melihatnya di resepsi perkawinan sepupuku, aku sudah jatuh cinta pada Iwar. Tangannya begitu terampil meracik ketupat. Waktu itu ia kebagian menjaga stand ketupat tumis. Senyum tulusnya terpamer indah ketika aku minta diambilkan sepiring penuh ketupat tumis buatan ibunya itu. Kata Indah, adikku, semua makanan yang ditata prasmanan itu dibuat oleh Acil Imah, ibunya Iwar. Aku yakin di makanan itu ada jejak jari putih Iwar yang selalu turun tangan membantu pegawai ibunya.
Rupanya Iwar pun sudah terkena panah asmara ketika kami berkenalan di acara itu. Aku masih ingat Iwar dengan malu-malu menangkupkan kedua tangannya di depan dada ketika aku akan menjabat tangannya. “Namaku Wardani, Kak. Semua orang memanggilku Iwar,” ucapnya bersahabat.
Nama yang singkat tetapi indah di telingaku. Entahlah, mungkin karena si empunya berwajah indah. Tidak seperti adikku, bernama Indah tapi orangnya tidak indah. Astaghfirullah, kok jadi menjelekkan adik sendiri? Inilah cinta. Kalau sudah mata ketutupan cinta, ya begini ini. Adik sendiri malah jadi tidak jelas keberadaannya. Kupikir tidak hanya aku yang jadi kacau begini kalau lagi jatuh cinta.
Aku pun dengan lantang menyebut namaku. “Namaku Gusti Hermansyah, ortu sih ngasihnya itu, tapi teman-teman memanggilku Aman...,” candaku. Kulihat ia tersenyum dan subhanallah ada lekuk kecil di kedua pipinya.
Kata Indah itu namanya lesung pipit. Aku tak peduli apa namanya. Tapi yang jelas aku selalu ingin melihat lekuk kecil di kedua pipinya itu.

darimu kutemukan hidupku...[2]

Sejak itu semua menjadi aneh. Di kamarku kulihat ada Iwar. Di meja makan, di ruang tamu, bahkan di kamar mandiku! Di mana-mana ada Iwar. Bahkan dalam tidurku aku melihat Iwar dengan lekuk kecil pipinya melambai ke arahku. Ia berbaju pengantin warna putih dan bersayap! Esoknya aku seperti anak kecil merengek minta dibelikan mainan baru kepada ibunya. Aku ingin bidadari bersayap itu. Aku ingin memiliki Iwar. Tidak main-main, aku ingin menikahinya. Maka seisi rumah kalang-kabut menanggapi permintaanku.
“Kamu jangan mengada-ada, Man. Baru dua semester kuliah sudah minta kawin,” komentar Abah.
“Iya, Man. Lagian kenapa juga harus Iwar bungas[3] itu yang kau pilih? Mama tak tahu berapa nanti jujuran[4] yang diminta keluarganya. Untuk ukuran Iwar dan keluarganya pastilah di atas harga pasaran, Man,” sahut Mama.
“Harga pasaran apa sih, Ma? Memangnya Aman mau beli barang?” Aku melotot.
“Eh, si Kakak, dikasih tahu nggak mau mendengarkan. Si Iwar tuh banyak kelebihannya. Ibarat mangga tuh kada bapira, kada masam, kada pangar[5], pokoknya sip,” sahut Indah. “Dia anak orang kaya, cantik, sholehah, pintar lagi,” sambungnya.
“Oya? Tambah semangat nih,” tukasku.
Semua kepala menggeleng.
“Man, jangan menyupanakan[6] keluarga. Kalau kita ditolak, mau ditaruh di mana muka kita?” usik Mama.
“Ma, apa salahnya kita usaha dulu. Lagipula Aman pikir kita tidak terlalu miskin kalau memang kekayaan yang jadi ukuran mereka. Coba Mama perhatikan Aman. Aman gagah, penampilan menarik, otak encer, keturunan baik-baik, punya bisnis kecil-kecilan, pokoknya ngaak memalukan deh...,” promosiku disambut timpukan tisu oleh Indah.
“Ada satu yang belum kamu miliki, Man...,” lirih Mama.
“O,ya? Apa itu?” sahutku heran karena merasa aku sudah terlalu sempurna untuk sekadar nelamar Iwar.
“Iwar itu masih keturunan almarhum Haji Rusdi. Ulama berpengaruh di Hulu Sungai. Tidak ada keturunan Haji Rusdi yang tidak alim. Semua pintar ngaji, soleh dan sholehah. Iwar tidak pantas denganmu, Man. Terlalu jauh...,” jawab Mama.
“Aman juga bisa ngaji kok, Ma! Ya...memang sih tartilnya masih belum sempurna. Tapi Aman janji akan belajar ngaji lagi supaya bacaannya sebagus Iwar,” harapku.
“Man...Abah dan Mama tidak melarang kamu berteman dengan Iwar. Tapi tolong...untuk yang lebih dari itu nanti dulu...kita belum siap,” Abah menengahi.
Aku tidak puas dengan jawaban Abah. Hari itu aku bolos kuliah. Aku mencari info sebanyak-banyaknya tentang Iwar. Ternyata selama SD sampai SMA Iwar hidup bersama neneknya di Amuntai. Lulus SMA baru ia tinggal bersama orangtuanya yang kaya raya itu. Iwar kuliah di IAIN. Konon suara Iwar sangat merdu bila sedang mengundangkan ayat-ayat suci.
Aku tak peduli dengan semua itu. Aku hanya peduli pada satu hal, bahwa Iwar adalah bidadari putih bersayap yang turun ke bumi untukku. Aku harus segera melamar Iwar. Bukan apa-apa, sejak dulu aku sudah bertekad tidak akan pacaran dan apabila tertarik atau jatuh hati dengan seseorang, maka akan langsung kulamar. Aku tidak main-main. Begini-begini aku sudah sering ikut seminar tentang menikah dini dan bahayanya pacaran. Buku-buku bertema pernikahan pun sudah pernah kubaca. Tapi aku tidak menyangka juga akan bertemu dengan soulmate secepat itu.
Aku tidak berani menemui Iwar. Bukan karena aku merasa tidak pantas dengannya, bukan pula karena takut dengan ibunya atau ayahnya. Aku hanya tak sanggup melihat senyum bulannya yang selalu terbit setiap waktu. Aku ingin memiliki senyum itu. Ingin meletakkannya di kamarku, menyelipkannya di sakuku, memformatnya jadi wallpaper di hpku, ah tidak...aku ingin menempatkannya di hatiku agar tidak ada orang lain yang turut menikmatinya.
Hampir sebulan aku seperti orang sakit. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, biasa...gejala penyakit kasmaran pada umumnya. Tapi baru pada saat itu aku benar-benar paham bagaimana rasanya merindu. Aku pun mendadak puitis. Berlembar surat cinta untuk Iwar teronggok di laci meja belajar, sebagian di tempat sampah. Bahkan aku pernah kehilangan sebuah surat yang lupa kusimpan di laci.
Anehnya suatu hari aku mendapat titipan surat dari Iwar melalui Indah. Isinya benar-benar mengagetkanku. Singkat, jelas, padat, menarik dan perlu!
Bila yakin dan percaya pada ketetapan-Nya, maka bismillah tawakal dan bangunlah dari mimpi panjang...demikian tulis Iwar. Aku yakin, yakin sekali Iwar akan menerimaku. Tapi eit...tunggu dulu, sebelum berlonjak kegirangan aku menyadari satu hal. Dari mana Iwar tahu aku sedang bermimpi?
Indah seakan bisa membaca isi hatiku. Sambil tersenyum jahil ia melesat pergi mencari perlindungan Mama. Pasti, pasti Indah yang mencuri suratku dan menyerahkannya pada Iwar. Aku ingin menarik rambut panjangnya dengan gemas atau mencubit lengannya kuat-kuat.
Tapi tidak, aku tidak jadi melakukannya. Seharusnya aku berterima kasih pada Indah. Adikku yang perhatian.
Maka Abah, Mama, aku dan Indah mendatangi rumah Iwar. Prosesnya begitu mudah. Tak ada jujuran yang mahal-mahal, tak ada tawar-menawar, tak ada persyaratan ini itu. Yang ada hanya cinta. Cinta di mana-mana. Jadilah Iwar bidadariku. Hak milik pribadi. Iwar istri yang sempurna. Pandai membagi waktu antara kuliah dan keluarga. Hari-hari bersama Iwar menjadi episode indah yang penuh kejutan dan cinta.

Bagiku...Kaulah cinta sejati[7]
         
Sampai tragedi itu terjadi...Baru empat bulan pascapernikahan. Waktu itu musim durian seperti sekarang. Berlatar senja dan gerimis. Aku baru pulang dari mengantar orderan spanduk anak Hukum. Bisnis cetak dan sablon yang kukelola amatiran dapat untung yang lebih dari biasanya. Aku memutuskan membeli durian tiga biji.
Kubayangkan Iwar akan tersenyum senang melihatku membawa buah mahal itu. Ya...setidaknya setelah menikah semua jadi barang mewah dan mahal bagi kami. Tak apa menyenangkan istri sekali-sekali.
Lagipula aku sudah kangen ingin makan durian. Durian adalah adalah buah favoritku. Kelelahanku langsung pamit setelah kelebat sayap putih Iwar melambai di khayalku.
“Assalamu’alaikum, War...Iwar, lihat aku bawa apa nih untukmu...,” teriakku tak sabar menanti sambutan hangatnya.
“Alaikumsalam...Kak, bawa apa?” Kulihat Iwar melakukan gerak penajaman penciuman. Durian tak dapat disembunyikan. Baunya pasti akan menyapa lebih dulu. “Kak Aman bawa...du...rian...?” tanyanya. Kulihat senyum bulannya yang selalu terbit tiba-tiba enggan hadir. Mukanya memucat.
“Ada apa, War? Kamu sakit? Kita ke dokter?” Aku cemas sekali. Tak pernah terlintas bagaimana jadinya kalau bidadariku terkulai lemas tak bertenaga.
Iwar menggeleng. Gugup ia menjawab, “Ah, tidak,  Iwar tidak sakit. Kecapekan saja barangkali.”
“Ya sudah, kamu istirahat. Tapi sekarang kita makan durian dulu, ya?” sahutku lega.
“Maaf, Kak, Iwar ke kamar dulu. Ada yang mau dikerjakan,” pamitnya buru-buru.
“War! Tolong duriannya dibukakan, ya! Aku mau mandi!” Aku bergegas mengambil handuk. Rasanya segar sekali. Iwar menyiapkan air hangat untukku mandi. Aku jadi merasa tersanjung. Keluar dari kamar mandi aku tidak tak mendapati Iwar di dapur. Padahal aku sudah tak sabar ingin mencomot durian dan melumatnya. Durianku masih utuh.
“War! Iwar!” agak kesal aku mencarinya.
Di kamar tidak ada, di ruang belajarnya juga tidak ada. Penasaran aku lari ke depan. Kulihat Iwar duduk di kursi pelataran[8] kami. “Kamu ngapain ke sini?” selidikku.
“Maaf, Kak. Tadi Iwar agak pusing. Mau nyari angin segar.”
Jawaban Iwar bagai tamparan keras di pipiku. Entah setan apa yang membisikiku. Bagiku Iwar menjawab, “Maaf, Kak. Iwar sudah bosan di rumah terus. Iwar ingin beraktivitas di luar.”
“Durian, kenapa belum dibuka juga?” kucoba menyimpan kekesalan.
“Maaf, Kak, Iwar tidak bisa membukakan duriannya....” Agak takut ia menjawab.
“Nanti kuajari. Ayo, ke dapur. Kamu harus bisa, durian buah kesukaanku. Ayo!”
“Tapi...Iwar tidak suka durian...” Kalimat itu seperti bantahan bagiku.
“Kalau kamu tidak terlalu suka, tak apa mencicipi saja. Asyik dong, aku bisa puas makan duriannya,” godaku.
“Tapi Iwar benar-benar tidak suka,” ucapnya lagi.
“Ya, sudah, kamu tidak usah ikut makan. Kamu membukakannya, lalu menemani aku makan durian di dapur,” aku nyaris kehilangan makna sabar.
“Iwar tidak bisa...maaf...,” matanya berkaca-kaca. Mungkin ia sudah menangkap kemarahanku.
“Mau kamu apa sih?! Sudah berani membantah? Aku sudah capek-capek kerja, kupikir kamu senang dibelikan durian. Oke! Kamu mungkin sudah bosan makan durian! Di rumahmu tiga biji durian ini tidak ada harganya, kan! Tapi tolong hargai aku. Suamimu ini baru kali ini bisa membelikanmu sesuatu. Maaf, War, aku baru bisa membelikanmu durian,  bukan permata. Maaf,” teriakku lantang.
“Iwar tidak bermaksud seperti itu, Kak...” Ia menangis. Sesungguhnya aku gugup juga melihat butiran kristal meleleh di pipinya. Aku ingin merengkuhnya. Tapi egoku sedang berdiri pongah. “Sejak kecil Iwar tidak suka makan durian...Iwar...”
“Sejak kecil, sejak kecil! Itu masa lalu! Sekarang kamu hidup denganku. Aku suka durian, kamu istriku, seharusnya kamu juga suka durian. Banyak hal bisa diubah!” potongku.
“Iwar tidak tahan mencium baunya...,” ucapnya sesegukan.
“O,ya? Jadi seumur hidup aku tidak boleh lagi makan durian karena kamu tidak tahan mencium baunya?!” Aku melotot seperti kucing jantan siap menerkam kucing jantan lainnya saat berebut ikan.
Iwar menunduk. Kulihat ia berulang kali menyeka airmatanya. Pasti besok mata indahnya jadi sembab dan tak bagus. Peduli adul! Aku lagi marah. Marah pada Iwar. Aku memohon ampun pada-Nya karena saat ini aku merasa menyesal telah menikah dan memilih hidup bersama Iwar.
Bidadariku ternyata memiliki cela. Ia memiliki sifat pembenci. Celakanya ia membenci sesuatu yang paling aku suka. Durianku, cintaku. Seumur hidup belum pernah ada yang melarangku makan durian. Selamanya akan tetap begitu. Tak ada yang akan bisa mengubahnya, termasuk Iwar. Iwar yang baru hitungan bulan mendampingiku.
Hidup, durian!
Kulihat para durian bertepuk tangan menyambut pidatoku. Apakah ini pertanda aku dan Iwar tidak cocok? Apa aku harus berpisah saja dengannya? Aku bergidik ngeri sambil buru-buru men-delete pikiran buruk itu. Iblis, pasti iblis sedang terkikik kegirangan. Aku tidak sadar sedang melakukan hal yang kontras dengan apa yang baru saja kuucapkan. Aku tak ingin Iwar mengubah kesenanganku, tapi aku justru memaksa Iwar mengikuti kesenanganku.
Iwar melesat ke dapur. Aku umpama suara guntur yang menguntit di belakang kilat. Iwar-lah kilatnya.
Ia mengambil pisau tajam di rak piring. Aku kaget. Kutepis prasangka buruk sambil menghimpun kekuatan. Iwar dengan tangkas membelah sebiji durian, mencomot isinya dan memasukkannya ke mulut. Aku ternganga.
Tiba-tiba Iwar berlari lagi. Langkah seribunya hampir menabrakku. Ia ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Aku menggedor-gedor pintu. Kudengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi. Iwar muntah-muntah!
Aku panik, seperti Jerry tokoh tikus dalam kartun favorit Indah yang sedang mencari jalan keluar dari kejaran Tom si kucing. Tapi aku tak secerdik dan selincah Jerry. Aku mematung sekian menit sampai pintu kamar mandi terbuka.
Iwar kuyu. Ia pasti sudah mengeluarkan separuh isi perutnya. Pasti menyakitkan. Aku merasa bersalah. Tak ada sepotong kata pun yang keluar dari mulutnya. Iwar ke kamar. Lagi-lagi aku mengekor. Untuk ke sekian kalinya aku terperangah, Iwar mengganti dasternya dengan gamis coklat dan memadukannya dengan kerudung putih tulang.
“Mau ke mana, War?” tanyaku lebih mirip memelas.
Dia tetap bisu. Di depan pintu ia mengambil tangan kananku dan menciumnya. “Selamat makan durian, Kak. Maaf, Iwar pergi dulu.”
Aku tak dapat mencegahnya. Mukaku tak cukup tebal untuk sekadar menanyakan kemana tujuannya. Aku yakin, Iwar masih bidadari yang manis. Supra Fit merah melaju bersama pemiliknya, meninggalkan aku dengan sejuta rasa bersalah.
Setelah Isya aku mendapat telpon dari Iwar. Aku lega. Setidaknya kini aku tahu posisi Iwar. “Kak, Iwar nginap di rumah Mama dulu, ya? Kebetulan Abah dan Indah lagi ke Jakarta. Iwar menemani Mama. Kak Aman jaga rumah kita aja. Makan malam sudah ada di meja. Besok pagi-pagi sekali ada yang ngantar nasi kuning buat sarapan.”
Itulah Iwar. Ia tak seperti perempuan pada umumnya. Kalau ngambek sama suami ngadu ke orang tua. Iwar malah pulang ke mertua. Tidak mengadu. Tapi sekadar menyembunyikan diri dan menyepikan kerumitan yang baru saja terjadi. Aku menarik napas lega.
Malam seperti penjara tanpa Iwar. Ke pelataran, sepi. Ke dapur, sunyi. Ke kamar, nyeri. Aku tak berselera lagi makan durian. Durian tragedi, siapa yang mau makan? Aku keluar bersepeda menyusuri jalan bercahaya setelah memberikan durian-durian tragedi ke tetangga sebelah. Jalan-jalan berhias petromaks memaksaku mampir.
“Durian, Mas?” tanya pedagang durian.
“Ya,” aku malas menawar. Aku memakannya sambil lesehan di samping anak penjualnya. Bocah laki-laki kurus tujuh tahunan itu menatapku tak berkedip.
“Mau?” Aku tak yakin ia sudah pernah makan durian dagangan ayahnya. Buktinya ia mengangguk dan cepat mencomot durianku.
“Bapak baik sekali. Pasti senang jadi anak Bapak,” ucapnya.
“Ah, kamu bisa aja. Saya belum punya anak.” Aku agak tak biasa dipanggil Bapak.
“Kalau begitu, pasti istri Bapak bahagia punya suami sebaik Bapak,” ralatnya. Istri...bahagia...? Aku tersedak. Segera kusudahi pesta durianku dengan bocah kurus itu.
“Mau ke mana, Pak?” tahannya.
“Pulang! Sisanya kamu habiskan saja!” Aku segera mengayuh pedal Phoniex bututku melaju membelah malam yang mulai semakin kelam. Aku ingin tidur dan bermimpi tentang Iwar.

***

Sepulang kuliah hari itu aku tak kemana-mana. Tidak ada niat ke rumah Mama. Nanti suasana malah kacau. Di pelataran kudapati sebiji durian besar menggiurkan. Sepucuk surat sengaja diletakkan di bawahnya. Tergesa kubaca,
Kak, maafkan semua kesalahan Iwar. Durian ini sebagai tanda perdamaian dari Iwar. Dimakan, ya! Kalau sudah selesai makannya jangan lupa gosok gigi dan tolong jemput Iwar di rumah Mama. Nanti malam kita bicarakan baik-baik soal perbedaan selera kita. Tadi Iwar naik angkot, kunci Supra Fit Iwar titip di tetangga depan.
Ah, Iwar, tak ada yang perlu dimaafkan. Akulah yang meniup di atas bara. Iwar masih bidadariku. Bidadari putih bersayap dengan lekuk kecil di pipi dan senyum bulan yang selalu terbit.
Mengingat senyum Iwar membuat aku mempercepat laju sepedaku. Aku tak takut pada langit yang mulai gerimis lagi. Aku ingin segera sampai di rumah. Membuka lembaran album kenangan saat terindah bersama Iwar. Iwar sekarang pasti sedang tersenyum di atas sana.
Besok Mama mengadakan acara haulan. Setahun kepergian Iwar. Angkot yang ia naiki dikemudikan sopir mabuk. Entah bagaimana kejadian persisnya, yang jelas aku sudah mendapati Iwar sudah tak bernyawa di Rumah Sakit Islam.
Maafkan aku, durian...Sejak kepergian Iwar aku tak tahan mencium bau durian lagi. Selain itu aku juga tak sanggup memakai Supra Fit atau sepeda motor apa pun lagi karena semua itu hanya mengingatkanku pada Iwar menjelang kepergiannya. Iwar dengan Supra Fit merah adalah gambaran terakhir yang terekam dengan jelas di memoriku.
Aku semakin mempercepat laju sepeda. Kepalaku pusing, aku tidak tahan lagi, aku ingin muntah...

Bila yang tertulis untukku adalah
yang terbaik untukmu
Kan kujadikan kau kenangan yang
terindah dalam hidupku
Namun takkan mudah bagiku
meninggalkan jejak hidupmu
Yang tlah terukir abadi sebagai
kenangan yang terindah...[9]
 
Keterangan:      

[1]  lirik lagu Kenangan Terindah/Samsons.
[2]  ibid
[3]  cantik
[4]  mahar
[5]  tidak ada keburukan/cacat
[6]  mempermalukan
[7]  ibid
[8]  teras
[9]  ibid

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 18 Februari 2007
Alfianti, Dewi, dkk. 2008. Nyanyian Tanpa Nyanyian: Kumpulan Cerita Pendek Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Tahura Media
Nikmah, Nailiya. 2010. Rindu Rumpun Ilalang. Banjarmasin: Tahura Media

1 komentar: