Cerpen Mia Ismed: Sumini

10.01 Zian 0 Comments

Hujan malam ini senandungkan lagu riang katak yang sebentar lagi beranak pinak. Juga nyamuk yang sedang naik daun menjadi bahan perbincangan manusia. Bagaimana dengan kopimu sayang? apa kau juga turut trauma menyeruputnya di malam dingin memanja, karena Si Anida yang diam-diam menyelinap atau karena Sarinah yang seksi menyembulkan nafsunya. Ini bagian dari dendangku memagut rindu dirinai hujan yang mulai menggigilkan deru rindu.
Lagi-lagi rindu itu sangat kurang ajar, meski sudah kututup rapat setiap rongga kamarku. Dia datang tanpa permisi. Menyelinap masuk mengisi cangkir kopiku malam ini. Mengharap kau teguk dalam-dalam sampai ampas penghabisan. Sesekali kulihat senyummu hadir di cangkir itu. Ntah itu sebuah pertanda kau tak lagi manis seperti tegukan pertama. Apakah mungkin kau sudah gantikan cawanmu dengan melati putih di teh manismu? mengakhiri seluruh memory tentang hujan yang semalam kita ciptakan.
Hujan itu air yang sama seperti kemarin. Gaungan guntur lah yang sepertinya membuat hujan kali ini berbeda. Ada sedikit kegalauan yang terekam sangat apik. Dan aku berharap kau di sana tau pesan yang terbaca dari gemuruh itu. Itulah hatiku Raden. Meski gemuruh hujan melunturkan jejakmu di pelataran ini. Namun rindu itu tetap membekas sampai engkau benar-benar kembali. Kalender nadi tetap mencatatmu sebagai tamu istimewa.
Ingin rasanya kuceritakan pada hujan. Ada ribuan bulir rindu yang menggenang. Menyublim diantara mentari yang tak kunjung tiba. Rona keemasannya mengisyaratkan luka yang terpendam. Memendam rindu yang tak berkesudahan. Hadirmu gaib meski semua diluar kewajaran. Masih ingin berteriak pada hujan malam ini, harapan terhampar meski harus melawan keterluntaan. Digaris waktu tak pernah menemu titik jemu. Tentang jawabmu yang tersapu sayup bayu. Dalam rinai hujan pun kupeluk bayangmu yang membiru. Rindu tempias menghujani mata yang mulai basah. Ada sedikit cawan yang kau sembunyikan di antara senyumu yang tak biasa.
Inikah jawaban atas deru rindu tak bermuka sayang? Ataukah kau coba gantungkan bayangan itu diantara semak yang semakin belukar?. Bagaimana harus kukatakan rindu ini pada hujan kekasihku, sementara dingin yang menggigilkan jiwa menagih rindu untuk kau peluk. juga gemeretuk gigi yang saling berhimpit ingin menelan saja rasa yang semakin membuncah hebat dikegelapan malamnya. Di sudut kelambu raga ini terus meringkuk, menerjemahkan kata yang terus mendesak.
Kau bagian dari hujan itu. Setiap bulirnya masuk mengisi pori-pori rasaku. Desauan angin ingin tahu saja isi kamarku yang menyenandungkan rindu bertalu-talu. Aku sampai lupa menaruh rinduku dimana? pada kerlip lampu kutanya pun tak berucap. Di dinding kamar pun seakan memekat, atau kau bersembunyi di balik bantal lusuh itu?dan menemuiku dimimpi malam? sampai pukul satu dini hari kujemput namamu tak jua datang. Sampai mentari datang menyeruak dengan sesahutan nuri. o, rindu aku benar-benar lupa jejakmu ntah kemana.
Aku benar-benar ingin membakar rindu itu seperti kayu menjadi abu, menyatu. Seandainya ragamu bisa kumasukkan dalam diriku menjadi satu. Pesonamu itu seperti degup yang tak berkesudahan di jantungku meski semua tidak rasional. Bagaimana caranya menghapus parasmu di hatiku. Sedangkan dirimu sudah menyatu dalam aliran darah disekujur tubuhku.
Cinta tak pernah bersalah, dia hinggap ditaman-taman hati manusia meski sampai saat ini tak pernah tau siapa yang menanam dan dari mana benih itu. Juga jangan kau pertanyakan warnanya sekalipun dari jenis apa. Ketika jarak adalah ukuran pandang kau tetap melekat kuat tak berjarak. Mana mungkin kau kulupakan sedangkan dirimu menyatu dalam aliran darahku sampai detik ini. Ini titipan Tuhan bukan sebuah kegilaan. 
Degup jantung itu berpacu meski kadang roda-roda itu kini menua dan rantainya sering loss karena karat yang mendaki. Binar matamu mengisyaratkan rindu yang mengalir air dengan derasnya. Entah bendungan aksara itu mampu menampung atau menjadi kawah candra di muka. Lagi-lagi parit hati sudah terisi penuh nama yang berjejal di bilik-biliknya.
‘Raden Mas’. Iya kusebut Raden Mas. Nama yang sangat indah. Karena di kampung Semanu ini menjadi seorang anak pejabat yang berpendidikan tinggi sudah sepantasnya disebut priyayi dengan segala title yang disematkan di perguruan tinggi. Orang yang tahu segala hal termasuk soal cinta. Mungkin semua itu terlampau kurang ajar bagi seorang gadis seperti aku, Sumini. Gadis kampung yang jauh dari pendidikan mengharapkan secawan cinta dari anak priyayi.
Kemarau yang panjang tahun lalu menjadi saksi. Daratan pegunungan kampung ini mengering dan makin beku saja dalam persidangan musim. Kau datang menghapus rindu anak-anak kampong bermandi cerita. Kau adalah hujan itu Raden. Pertemuan kita di pancuran tendon air itu seakan menyibak tirai hatiku yang tak pernah terjamah dari lelaki manapun. Tak kupedulikan siapa kamu dan statusmu apa. Semua tampak sempurna.
Sudahlah, barangkali cinta itu semacam udara yang adil dan legowo memberikan nafas panjang untuk siapa saja. Termasuk hinggap di pori-poriku yang legam ini. Kampung hatiku benar-benar terisi teka-teki tentang tiki taka cinta yang halus dan bening. Apakah rasa itu terus kugembalakan di perladangan? Atau kusauhkan di pesisir di antara jejal batu karang? Sebab jika kukubur saja takut akan menjadi zombie. Jika kupadamkan takut mematikanku dan jika kubantai takut menjadi hantu yang terus menghantui lelap tidurku.
Biarlah rasa itu kubiarkan mengembara, menjadi domba-domba menyelimuti jiwa-jiwa yang sepi dan mendingin. Karena musim kadang memacu desaunya menyublim hingga minus derajat. Kau hadir menghidupkan bara yang telah lama terkubur sebelumnya. Biarkan rasa itu menjadi puisi tentang rinai embun dalam batok kepala dan menjadi kran dalam jantungku yang senantiasa berdegup.
Kran yang tetap mengalirkan rindu. Meski gemerciknya tak selalu di tengah. Kadang menepi atau sekedar menempel di sarung solatmu. Hingga mengering dan menjadi noda suci. Karena suatu saat nanti ketika tubuh ini benar-benar kusyuk tanpa busana di hadapanNya, noda itu menjadi persaksian yang tak lagi bisa dihapus.
Atau biarlah raga itu sekedar menjadi padasan yang tak pernah mengharap upah. Meski setiap saat menampung rindu yang ia tumpahkan sederas butiran hujan dari tiris atap. Tempat itu tak lekang oleh debit rindu kecuali sang pemilik memecahkan tempayan itu benar-benar hancur berkeping.
Cinta itu mungkin terlalu kedodoran untuk kumiliki Raden Mas. Kadang kuberkaca hati ini terlalu sesak menampung  ribuan nyawa yang berjejal. Satu persatu ingin mencuil saja hati yang kian menghitam warnanya. Aku hanyalah Sumini yang selamanya tetap Sumini. Gadis kampung anak Pak Marwoto penjual burung pelatuk di kampung Semanu.
Terlalu naïf kita nikmati perjamuan cinta ini, bersanding di antara gemeretak ranjang yang sedari tadi ingin menjerit saja. Beban itu terlalu berat hingga semua bermaklumat, pun lampu itu sedari tadi meredupkan matanya. Seperti gelap ataukah kalap. Dalam hatiku berkecamuk inikah cinta yang kalian bangun dari pakaian yang serba kedodoran. Hingga terlihat riak-riak kegilaan. Compang camping tak bermuka.
Raden Mas, cinta itu telah membutakan akal kita. Nun jauh di sana seorang perempuan berpangku tangan menyandarkan dagu menunggumu di malam-malam biru. Biru memekat seperti dalamnya laut yang menenggelamkan wanita-wanitamu ke angan yang melangit. Gemintang kadang berkerlip mengisyaratkan mata yang memandang kita dari kejauhan.
Rembulan pun ingin tahu banyak menyelinap di dedaunan, ranting dan tanah tempat kita berpijak. Aku sangat payah menanggung kegundahan rindu yang melindu sepanjang waktu. Angin laut juga sepertinya ingin saja membedah hati kita, menyapunya habis yang kemudian menghembuskan ke liang telinga wanita yang kau nikahi lima tahun silam.
Aku berharap rindu itu mempertemukan kita seperti pertemuan bulan dan matahari, meski harus menunggu berpuluh tahun dalam rona gerhana. Takdirlah yang menyatukan keduanya meski hanya beberapa saat.
Iya, Sumini namaku anak Marwoto! Di mana letak keperawananmu? Apakah kau taruh di atas dinding kamar Bapakmu? Atau kau sudah gadaikan bersama burung-burung pelatuk dagangan Bapakmu? Yang kemudian kau meronta mencari di sela-sela kelambu. Apakah lelaki itu sudah membuat kelaminmu benar-benar menghilang? Lalu perjamuan macam apa yang kalian lakukan di kamar itu? Sumini, mereka tetap memanggilku tanpa koma, marga juga title.   
Raden Mas, di suluh janjimu kukuatkan temali gadisku. Biarkan hubungan ini kita rekatkan di antara kaki langit menjulang tinggi ke awan. Setiap saat kau bisa mengambilnya di perjamuan siang bersama mentari saat engkau singgah di kampung ini. Karena ketika malam tiba kau harus pulang membawa rembulan untuk wanita berkalung rindu buah hatimu.
Sumini tetap namaku utuh tak terpenggal, menjadi simpanan rindu abadi. Di tampah-tampah ibuku hati kupertaruhkan. Di atas jemuran kerupuk legendar dari sisa-sisa nasi yang sedikit ditambah boraks akan lebih afdol sebagai pemanis cinta biar tahan lama. Begitu perjamuan-perjamuan selanjutnya sedikit-sedikit kutambahkan boraks dan pewarna tekstil sebagai pengganti darah keperawanan di atas dipan-dipan yang mulai rapuh.
Raden Mas aku tetap setia diperapian cintamu. Cinta yang tak pernah padam. Meski hujan terlalu deras mempermainkan api dan tungku hatiku. Barangkali saat ini hanya dapat kutemui namamu di gemuruh udara. Signal pegunungan ini terlalu mahal untuk menjumpai namamu. Barangkali ada angin jahat yang cemburu membelokan rindu ini kebelantara hutan. Dan akhirnya mempermainkan jantungku yang memompa rindu yang memanas.
Ada apa denganmu Raden? Malam ini nada itu berdering kembali, sebuah misteri yang buatku ragu. Adakah yang kau takutkan?. Beberapa pekan kau raib dan kini kau membisu cukupkah deringan itu sebagai nada rindu atau teror yang mematikannya. Kubuka ponselku perlahan sebuah kata mencambuk rinduku “Sayang mungkin kita sementara padamkan permainan ini. Ada sebilah hati yang mulai mengintai perjamuan kita. Aku berharap kau tampung rindumu beberapa waktu. Ku harap kau mengerti keadaanku” Raden.
Sebait kata yang tak buat gentar sama sekali tuk cumbui cintaku padamu Raden. Ini adalah pilihanku, bermain api dalam tungku istana yang sudah kau bangun. Ingin memilikimu tanpa batas meski tembok itu batas yang kokoh. Memenjarakanmu dan buat kita bagaikan di dalam jeruji. Terlalu sulit untuk kuuraikan tentang rasa ini. Mencintai seorang lelaki yang sudah beristri. Bukanlah alasan aku tak laku lantas menjadi perawan tua yang tak bisa memilih seorang perjaka muda. Tapi hatiku sudah terlanjur mencintaimu. 
Tiga purnama kita lewati Raden. Meski hanya tegur sapa lewat udara merangkai cerita yang tercecer kutekuni setiap nafasnya. Karena rinduku tak berupa menjelma aksara mati yang menyelubungi. Biarkan ku merindumu dalam diam memelukmu dengan tangan rembulan. Kadang keramaian buatmu lupa akanku dan rindu itu singgah diranjang yang ia suka.
Kubuka lembaran-lembaran  media sosialmu barangkali kutemukan rinduku yang bergumpal di sana. Di bawah tuts keyboard putih yang kau tinggalkan. Bait-bait tersenyum dengan mesra membelai hatiku penuh gairah.

Untuk Suminiku
Tiap Huruf Kutulis dengan hati berdebar
Takutku akan pergimu
Kuakui kau memberiku banyak arti
Tapi aku belum siapa-siapa
Belum mampu berikau ini itu yang bermakna
Tapi sungguh, bahagiamu adalah bagian terpenting dari pemenuhan cintaku
Kukan bayar lunas sayangku dengan terbaikku untukmu
Hanya untukmu, tak peduli waktu
Tidak cukupkah hati dan jiwaku dalam helaan nafasmu?
Apa kau tak rasa kalauku tiap waktu menekunimu
Dalam hatimu adaku
Tiada kata lain aku teramat mencintamu tanpa batas waktu
Tidak ada yang perludikhawatirkan
Bukankah memberi semangat adalah bagian terkecil dari cinta?
Bukankah memberi tanpa harap menerima adalah kata lain cinta?
Bukankah hatimu telah jujur akanmu?
Tanpamu kubukan apa apa
Harapku tidak mengada-ada
Ijinkan aku mencintaimu secara sederhana
Seperti juga kayu yang abu karena api
Seperti angin yang hilir pada musim
Dan keputusan adalah kata sepakat
Harapku di kedalaman hatimu bisa mencerna
Seberapa besar cintaku untukmu
Mungkin cukup untuk sekedar sisakan ruang tunggu tanpa jemu
Sebab hariku adalah dirimu

Raden mas, Februari 2016

Bait-bait itu menguatkanku seperti nyawa yang selalu menghidupkan cerita rinduku entahlah.
Bapak, maafkan aku, setiap lelaki yang datang meminangku hati ini seakan mati. Ada rasa yang berkecamuk hebat. Dan aku sangat membenci semua ini. Karena aku tak mampu memberikan kebahagiaan untuk Bapak.
Apakah aku benar-benar terkena racun berbisa? Racun itu menjalar menyelubungi setiap lubang pori dan entah dari mana datangnya. Bayangan itu selalu menerorku. Bayangan yang buat nalarku ini tidak rasional. Lelaki berjambang dengan senyuman api. Aku makin terbakar saja di perapian cinta yang sulit kupadamkan. Rindu yang mengkristal di lelangit kamar karena sampai detik ini aku bukan siapa-siapa.
Raden Mas, aku tetap menunggumu dalam rinai hujan hingga musim kemarau tiba. Berharap cinta kita terus bersemi bersama rumput halaman pekarangan ini. Sampai waktu benar-benar tak lagi cemburu. Karena semesta begitu siri memandang kita dengan mata rembulan. Entah di ujung purnama keberapa wajah kita benar-benar utuh menyinari bumi hatiku yang tak pernah rapuh.
Aku Suminimu tetap setia menjadi wanita eraman dalam sangkar. Entah sampai kapan, kita nikmati saja perjamuan cinta di bawah kolong melepas waktu yang terus bergulir di antara siang dan malam. Menabuh cinta dan kerinduan yang selalu menyala dalam sekam dan abu.[]


Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/57750c4eaf7e618721955d19/sumini

0 komentar: