Cerpen Lis Maulina: Tears in Heaven

09.58 Zian 0 Comments

UNTUK ketiga kalinya bel berbunyi nyaring. Di siang yang garing dan sepi seperti ini, seakan memekakkan telinga. Dengan sangat terpaksa mata Sarah yang sudah tertutup kembali dibuka. Ditepiskannya rasa kantuk yang membebani kelopak matanya.
Sarah bangkit sambil mengomel panjang pendek. Dia ke luar kamar. Lorong tampak lengang. Semua pintu kamar tertutup rapat. Selalu begitu. Kalau lagi tidak diharapkan, bunyi bel pasti dicuekin. Penghuni kos mendadak tuli semua. Tapi kalo malam Minggu, denger suara motor saja, semua berebut menuju pintu. Berharap sang arjuna masing-masing yang datang.
Lagian ni orang iseng banget, gerutu Sarah dalam hati. Panas-panas begini sempat-sempatnya bertamu. Nggak tahu orang lagi butuh istirahat.
Sarah memutar kunci. Pintu dikuakkannya lebar-lebar. Sesosok tubuh jangkung berdiri di ambang pintu.
Sarah mendongak, mencoba mengenali wajah sosok itu dengan pandangan penuh kantuk. Pertama yang ditangkapnya adalah tubuh yang tinggi tegap, atletis. Kulit coklat muda dan bersih. Rahang kokoh dengan dagu belah. Bibirnya merah muda tipis mengukir senyum manis. Hidungnya tinggi, pangkalnya agak berkerut. Matanya coklat agak kehijauan dengan sorot tajam tapi juga lembut, menyejukkan. Alisnya hitam tebal, nyaris bertautan. Rambutnya kecoklatan, berombak jatuh ke bahu...
"Hallo, Sarah! Kau lupa padaku?"
Astaga! Sarah terkesiap. Suara bariton agak serak itu... Aksennya yang khas itu...
Buru-buru Sarah mempertajam pandangannya. Kantuknya hilang seketika.
"Rudolf?" desisnya tak percaya.
Senyum itu pecah menjadi tawa. Lepas berderai. Benar, itulah ciri khas tawa Rudolf! Rudolf Kretchmer!
"Kau..." Sarah langsung menyerbu cowok itu dengan gemas. Tinju kecilnya terayun.
Tawa Rudolf makin lebar. Dengan tenang dia menangkap tangan Sarah, lalu menariknya. Tubuh mungil Sarah jatuh dalam rangkulannya, tenggelam di balik lengan kukuh itu.
Sarah langsung berontak. "Dolf, apa-apaan kamu?" serunya dengan bibir maju lima senti dan pipi bersemu.
Rudolf mengacak-acak rambutnya. "I miss you, Sarah!"
"Dari dulu gombalmu belum hilang-hilang juga."
"I swear!"
"Siapa yang percaya sumpahmu? Buktinya sampe berbulan-bulan, nyaris setahun, kamu lenyap bagai ditelan bumi. Padahal janjinya mo rajin nulis surat. Sibuk sama cewek-cewekmu, ya?"
Rudolf terdiam. Dia menarik napas dalam-dalam. Lalu tersenyum kecut. "Lalu sekarang untuk siapa aku datang? Baru landing, langsung menemuimu di sini."
Sarah membelalak. Dia memandang Rudolf dari atas ke bawah. Matanya tertumbuk pada tas travel berukuran sedang yang teronggok di sisi kakinya. Lalu kembali pada tampang Rudolf yang kelihatan sedikit kusut.
"Kamu datang langsung ke sini?"
Rudolf menggeleng.
"Belum ke losmen? Belum istirahat?"
Kembali menggeleng.
"Edan! Apa perlu kuantar?"
Rudolf tertawa. "Tidak, terimakasih. Kulihat kau pun tampak kelelahan. Istirahatlah! Aku bisa ke losmen sendiri. Aku masih hapal tempatnya. Nanti sore aku ke sini, kau harus sudah siap menemaniku jalan-jalan keliling kota, oke?"
Tanpa menunggu persetujuan Sarah, Rudolf berbalik sambil menenteng tasnya. Kemudian mencegat becak.
Sarah terpaku sampai becak hilang di tikungan. Dia baru sadar ketika teman-teman kosnya muncul dan bertanya, "Andy Garcia, Sa?"

***

MERAPI berdiri kokoh. Sebagian tubuhnya diselimuti kabut tipis. Puncaknya membentuk maar, membuatnya keliatan garang dan sangar.
Sarah memperbaiki posisinya. Dari tebing ini, wajah Merapi terlihat begitu menakjubkan. Sangat sayang bila dilewatkan begitu saja.
Beberapa detik sebelum Sarah menekan tombol kameranya, tubuhnya didorong dari belakang. Sarah kaget. Keseimbangannya tak terkendali. Untung tangannya masih sempat meraih batang pohon dan memeluknya erat-erat. Kalau tidak, tubuhnya sudah sama nasibnya dengan kameranya yang jatuh terhempas ke dasar jurang. Hancur berkeping.
Sarah membalikkan badan. Matanya menatap sangar pada seseorang cowok yang berdiri dengan wajah pucat pasi. Agaknya dialah penyebab insiden tadi. Terbukti dari rasa bersalah yang tergambar jelas di wajahnya.
"I'm sorry. I didn't mean to..." ucap cowok itu gugup.
Sarah mendengus. Dia melangkah lebar dengan amarah.
"Wait a minute, please! Nona..." Cowok itu berhasil menangkap lengan Sarah. Ternyata dia jauh lebih sigap dan cekatan. Tapi melihat mimik wajah Sarah, dia kembali tergagap. "Maafkan saya, Nona! Saya... sungguh tak sengaja. Karena Nona akan saya ganti."
Cowok itu menyodorkan kameranya. Walaupun mungil, tapi jelas lebih mahal dari kepunyaan Sarah yang cuma sebuah kamera tua. Model terbaru keluaran luar, hasil teknologi modern.
"Nona..."
"Kamu kira aku mau menerimanya? Walau punyamu jelas lebih bagus dan lebih mahal, aku tetap tak sudi!" sembur Sarah. "Kameraku sudah mengabadikan moment-moment indah yang belum tentu ada di kameramu. Belum lagi rasa kagetku yang amat sangat karena kecelakaan itu nyaris pula membahayakan diriku. Itu tidak bisa dibayar dengan uang sebanyak apapun."
Wajah cowok yang agak kebule-bulean itu makin pias. Rasa berdosa dan sesal tergambar makin jelas.
"Lalu saya mesti bagaimana, Nona? Saya sungguh menyesal dan..."
"Lupakan saja!"
Sarah meninggalkan cowok yang masih kebingungan itu. Sebenarnya dia kasihan juga, tapi rasa marah dan kesal mengalahkan rasa ibanya. Karena ingin cepat meninggalkan tempat itu, Sarah memilih memotong jalan dengan memanjat tebing rendah. Sialnya, tanaman tempatnya bergantung masih muda dan tidak kuat menahan tubuhnya.
Sarah terjatuh.
"Anda tidak apa-apa, Nona?" Cowok bule itu berlari mendapatkan Sarah yang terduduk. "Are you hurt? Oh!"
Cowok itu membantu Sarah berdiri dan memapahnya ke tempat aman, di bawah pohon besar yang terlindung. Tak ada pilihan lain bagi Sarah selain menurut. Sikunya yang terasa perih, dan kakinya yang sakit. Mungkin keseleo. Membuatnya tak bisa menolak pertolongan itu.
Cowok itu membuka tas pinggangnya. Mengeluarkan segumpal kapas, alcohol, dan obat luka. Siku Sarah yang berdarah karena tergores ranting dan tergesek batu tebing dibersihkannya dengan alkohol.
"Sakit?" tanya cowok itu ketika Sarah meringis. "Tahan sedikit, oke?"
Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa perih. Apalagi ketika obat luka itu dioleskan.
"Emang sedikit perih. Tapi obat ini akan cepat mengeringkan." Cowok itu tersenyum. "Siapa namamu, Nona?"
Sarah terpana. Rasa sakitnya tiba-tiba lenyap. Entah karena obat yang bereaksi, atau karena senyum cowok itu. Begitu manis. Ketulusan yang tersirat dalam senyum itulah yang membuatnya manis. Ah, kenapa aku tidak memperhatikannya sedari tadi, sesal hati Sarah.
"Nona?"
"Eh, saya... Sarah." Sarah mengutuki ketololannya. Wajahnya bersemu. "You?"
"Rudolf. Rudolf Kretchmer."
"Where are you came from?"
"Coba kamu tebak!" Rudolf tersenyum lagi.
Sarah mengamati wajah Rudolf sebentar, lalu mengangkat bahu. "Entahlah! Kamu seperti oang barat, tapi aku melihat garis Asia di wajahmu."
"You're right. Kata teman-teman, aku produk campuran. Aku mendapat darah India, Australia, dan Spanyol dari Ibuku. Sedang Bapakku menurunkan darah Jerman, Cina, dan Suriah padaku. Tapi aku tinggal dan berkewarganegaraan Jerman."
"Kayak gado-gado saja." Sarah tertawa.
Rudolf tersenyum. "Ternyata kamu bisa juga tertawa, Nona Sarah. Kukira kamu gadis galak."
"Maafkan sikapku tadi!" ucap Sarah menahan malu.
"Never mind..."
Sebuah tepukan di bahu menggulung layer kenangan di benak Sarah. Di sebelahnya Rudolf menatapnya serius.
"Apa yang kau pikirkan?"
"Ah, tidak!" Sarah menggeleng. "Menatap Merapi dari tempat ini membuatku ingat saat pertama kali kita bertemu."
Rudolf tertawa. "Kalau begitu sama. Tempat ini tidak banyak berubah. Aku ingat benar, kamu kelihatan sangat marah waktu itu. Aku jadi gugup dan bingung. Dan tebing itulah yang kau daki untuk mencapai jalan setapak di atas, tapi kau jatuh."
Sarah tersipu, ingat kekonyolannya saat itu.
"Jangan ketawa! Kamu membuatku malu!"
Rudolf tidak menghentikan tawanya.
Sarah cemberut. "Kalau begitu, tebing itu kudaki lagi!"
"Sarah, jangan!" Suara Rudolf tersekat. Sia-sia saja. Sarah sudah berlari dan mencoba mendaki lagi.
Malang, kali ini pijakan kakinya yang tidak kuat. Tanahnya gembur karena hujan yang kerap turun. Jadi mudah longsor. Untuk kedua kalinya tubuh Sarah melorot jatuh.
Rudolf berlari menghampiri Sarah yang meringis menahan pedih di sikunya yang luka.
Rudolf menggelengkan kepala. "Ternyata kamu masih juga keras kepala, Sa. Tapi anehnya, justru itu yang kusuka."
Rudolf memapah Sarah ke bawah sebuah pohon dan mengobati luka di sikunya. Sarah diam. Rasa sakit tak lagi dirasakannya. Perasaan galau karena kalimat yang diucapkan Rudolf mampu mengalahkannya. Sampai mereka turun ke Kaliurang dan pulang.

***

SANG surya mulai jatuh, mendekati kaki langit. Sinarnya tak lagi terik dan menyilaukan, tapi lembut dan hangat. Perca jingganya menyebarnya ke mana-mana. Membuat kilau buih laut lebih cemerlang.
Pengunjung Pantai Parangtritis malah bertambah. Rupanya semua sengaja menunggu saat senja tiba. Sama-sama ingin menikmati sunset. Mereka menyebar di bibir pantai dengan kegiatan masing-masing. Turis-turis bule lebih senang bercanda dengan ombak, lalu berjemur di bawah hangat mentari senja. Sedang turis-turis domestik lebih suka duduk-duduk di warung sambil menghirup es degan langsung dari batoknya.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
Sarah menghentikan kegiatannya mengisap air kelapa yang seakan tidak pernah habis dari tadi.
"Kuperhatikan selama ini kamu sering melamun, Sarah. Kenapa? Kau tak suka menemaniku?" tanya Rudolf lagi.
Sarah masih belum bergeming. Matanya terus menatap kosong ke depan. Tidak kusuka? Oh, sungguh munafik bila kujawab iya! Bahkan kalau mau jujur, aku malah sangat bahagia. Bukankah saat seperti ini yang selalu kuinginkan? Bu...
"Atau kamu takut cowokmu cemburu dan marah?"
Cowok? Sarah tersenyum kecut. Siapa cowokku? Ady yang pergi ke Irian karena penolakkanku? Ataukah Guntur yang bersikap memusuhi karena kebekuanku? Sarah menggeleng pelan. Malam Minggunya selalu dihabiskan untuk melamun di depan mesin tik.
Terdengar suara heraan napas Rudolf. Lama dia tak lagi mengusik.
"Selama inii bila berada di pantai, dalam benakku Cuma ada satu," gumam Rudolf tiba-tiba. "Saat kita berada di sini. Setahun yang lalu. Apakah kamu masih mengingatnya, Sarah?"
Wajah Sarah pias seketika. Tuhan, inilah yang aku takutkan! Ternyata benar, akhirnya dia akan kembali bergema di rongga telinganya.
Sarah terkesiap waktu itu. Dia sama sekali tak menduga. Sambil menepiskan perasaannya sendiri, Sarah berusaha bersikap wajar. Dia tertawa kecil.
"Oya?" Cuma itu yang keluar dari bibirnya.
"Aku tahu, mungkin kau anggap ini gila. Tapi itulah kenyataannya, Sarah," ucap Rudolf yang sedikit kesal karena kalimat seriusnya dilecehkan. "Aku menyukaimu. Bahkan lebih dari itu, aku menyayangimu!"
Sarah terbelalak. Dia tak bisa lagi berlagak pilon. "Kau? Ah, tidak mungkin, Dolf! That's crazy. Kita baru dua minggu berkenalan."
"Benar. Tapi aku merasa seperti mengenalmu sejak lahir."
"Impossible! Kau belum tahu banyak tentang diriku. Kau belum mengenalku sepenuhnya, kekuranganku, kelebihanku, kejelekan adatku, semua."
"Apapun katamu, aku tetap menyukaimu."
"Kau keras kepala!" Sarah putus asa.
Rudolf tersenyum manis. Dia merangkul bahu Sarah dan berbisik. "Aku ingin dengar bagaimana perasaanmu sendiri padaku, sebelum kepulanganku kembali besok lusa. Kau tinggal jawab ya atau tidak. Supaya aku tahu, di sini, di Indonesia, aku memiliki sekeping cinta."
Wajah Sarah makin pucat. Dia terpojok. Apa yang harus dikatakannya? Berdusta? Mengatakan bahwa dia cuma menganggap Rudolf teman biasa, padahal jauh di lubuk hatinya pun telah tumbuh benih-benih cinta? Dua minggu menemani cowok itu keliling obyek wisata di Yogya dan Jawa Tengah, sanggup menabur rasa suka yang teramat sangat. Tatapan matanya yang teduh, sikapnya yang melindungi, perhatiannya, kemuliaan hatinya, bahkan kesopanannya yang mungkin melebihi cowok pribumi sendiri.
"Sarah!" Rudolf menyibak rambutnya.
"Jangan desak aku, Dolf! Please!" Sarah mengangkat wajah dan menatap cowok itu penuh harap.
Rudolf tertegun. "Maksudmu?"
"Beri aku waktu untuk memikirkannya, ya? Aku tak bisa menjawabnya sekarang."
Rudolf diam. Sarah putua asa. Air matanya merebak saking bingungnya. Suaranya mulai serak.
"Oke, Sarah! Jangan menangis, please! Aku tak tega melihat airmatamu." Rudolf memeluknya. "Aku akan kasih kau waktu untuk memikirkan."
Sarah menghela napas. Berat.
Setelah itu Rudolf pun pulang kembali ke Jerman, meninggalkan kenangan yang teramat manis untuk dilupakan. Sarah sama sekali tak mengira, ucapannya dulu malah jadi boomerang. Tadinya dia mengira dengan kepergian Rudolf, jarak dan waktu yang merintangi mereka akan sanggup menjadi hama wereng yang sedikit demi sedikit membunuh benih-benih kasih di dadanya. Tapi kenyataannya malah sebaliknya.
Hanya sekali Rudolf kirim surat. Waktu mengabarkan dia tiba dengan selamat, dan kembali disibukkan dengan aktivitasnya. Setelah itu lenyap sama sekali.
Entah mengapa Sarah merasa ada bagian dirinya yang hilang. Dia sedih. Apakah Rudolf telah melupakannya? Apakah kisah yang mereka jalin bersama tidak berarti baginya? Sarah kangen. Pada tawanya yang lepas berderai. Pada gaya bicaranya yang khas. Pada tatapannya yang teduh. Pada sikapnya yang lembut. Pada segalanya.
Sarah resah. Kenangan dengan Rudolf mengurungnya dalam kebekuan. Cowok kebule-bulean itu seakan telah mengunci pintu hatinya dan membawa anak kuncinya itu terbang bersamanya, sehingga Sarah tak bisa membuka hatinya untuk cowok lain.
Sedang Rudolf sendiri? Barangkali asyik bersama cewek-cewek bule yang cakep dan lebih agresif. Barangkali dia... Tuhan! Aku cemburu? Sarah mendekap dadanya sendiri. Apakah aku mencintainya?
Sarah menangis ketika menyadarinya. Mengapa aku harus merangkai mimpi yang sangat mustahil ini, Tuhan?
"Sarah," Rudolf menyentuh bahunya lembut. "Kamu ingat apa yang pernah kau ucapkan dulu? Sekarang aku menagih janjimu!"
Sarah menggigit bibir. Tentu saja aku ingat, bisik hatinya. Karena janji itulah, maka aku tidak bisa menikmati kebahagiaan bersamamu seutuhnya. Karena aku yakin, jawabanku akan melukaimu, bahkan melukaipu pula.
"Setelah pulang, aku merenungi kata-katamu. Mungkin kau benar, keputusanku waktu itu terlalu tergesa-gesa. Lalu kuputuskan untuk tidak menghubungimu. Aku coba melupakanmu. Setahun lebih, Sa. Itu bukan waktu yang pendek. Dan selama itu pula aku tersiksa kerinduan yang kian mencekam. Sampai akhirnya aku yakin, aku benar-benar mengasihimu. Ketika libur kusempatkan pergi ke sini. Aku ingin memastikan, apakah hatimu pun untukku, ataukah tidak sama sekali."
Tuhan, Sarah mengeluh. Matanya berkaca-kaca. Ribuan jarum halus mulai menusuki hatinya. Nyeri! Kuatkan hatiku! Pintanya lirih.
"Maafkan aku, Dolf!" Suara serak Sarah penuh getaran. "Aku tak bisa. Ada tirai di antara kita yang sulit untuk tertembuskan."
Tangis Sarah pecah. Rudolf diam mematung. Dia sibuk menenangkan hatinya yang bergolak.
Rudolf meraih kepala Sarah, dan mendekapnya.
"Tak apa, Sa. Kuhargai keputusanmu, walau aku belum bisa mengerti. Jangan menangis!" bisiknya kemudian. Lirih.

***

HIRUK-PIKUK Bandara 'Adisucipto' seakan mengurung mereka dalam kebisuan. Keduanya tenggelam dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Mencoba menghayati arti perpisahan kali ini.
"Ridho!"
Panggilan itu mampu menggugah Rudolf. Sedikit terperanjat dan hampir tak percaya pada pendengarannya. Ketika seorang cowok hitam manis menghampiri, baru dia yakin.
Cowok itu meninju bahu Rudolf pelan. "Kamu ada di sini juga, To? Mau balik ke Jerman? Ngapain kamu di sini?" cecarnya membuat Rudolf bingung untuk menjawab.
Cowok itu melirik Sarah yang terbengong-bengong di samping Rudolf. Dia kemudian tersenyum. "Oh, iya. Kamu dulu pernah cerita tentang seorang bidadarimu yang ada di Yogya. Ini to orangnya? Saya Anton, teman kuliah Ridho di Jerman."
Sarah masih kebingungan. Tapi cowok bernama Anton itu sudah menggenggam tangannya. Sedang Rudolf Cuma bisa mendelik.
Tiba-tiba seorang gadis manis menghampiri. Sarah mengenalnya, Yuri teman sekampus, lain fakultas. Mereka sering bertemu di rapat Sema PT.
"Kalo ini bidadariku!" kata Anton memperkenalkannya. "Yuri, kamu masih ingat mahasiswa berdarah gado-gado yang paling suka kumpul sama mahasiswa Indonesia? Nah, ini dia orangnya Ridho alias Rudolf Krecthmer. Kukira dia sibuk rapat di mesjid bersama teman lainnya, ngurus soal Bosnia. Dan ini bidadarinya."
Yuri tersenyum. "Dia teman sekampusku, Sarah."
"Oya! Kebetulan sekali. Mari kita ambil barangku! Kita gabung di sini. Begitu kan, Dho?"
Rudolf mengangguk bodoh. Keduanya kemudian hilang, mengambil barang.
Rudolf melirik Sarah. Gadis itu tertunduk dalam.
"Sarah!" penggilnya sambil mengangkat dagu Sarah. "Kenapa?"
"Ridho?"
"Oh, itu nama pemberian teman-teman setelah aku pulang menyusuri asal-usulku sampai ke Suriah. Ridho Allah, lengkapnya mereka menyebutku setelah memutuskan memeluk Agama Islam. Aku menyukai nama itu. Tapi aku malu untuk mengatakannya padamu. Nama itu terlalu agung untukku."
Air mengalir, menetes di pipi Sarah. "Tuhan, kalau begitu tirai pemisah di antara kita sebenarnya tak ada. Tak pernah ada jurang antara kita!"
"Maksudmu?" Rudolf mengernyitkan kening. Dia berpikir keras. "Jadi kamu mengira kita berbeda hingga ka..."
Sarah mengangguk. Airmatanya makin deras. "Meski aku harus mengingkari kata hatiku sendiri, karena sesungguhnya akupun menyayangimu."
Rudolf memeluk tubuh Sarah erat. "My God!"

***

SARAH baru saja memasang lagu Eric Clapton ke dalam mini componya. Itu kaset Rudolf yang ketinggalan. Cowok itu ngefans sama lagunya dewa gitar itu, maka diputarnya untuk mengusir kangen pada Rudolf.
Yuri masuk. Wajahnya yang suram membuat hati Sarah bertanya-tanya. Sejak kejadian di bandara, keduanya jadi sahabat dekat.
Setelah memencet tombol play dan memutar volume sedang, dia menghampiri Yuri yang sedang duduk di bibir dipan. Mata sahabatnya itu berair. Ada apa gerangan?
"Kenapa, Yur? Wajahmu kok kusut?" tanyanya lembut.
Yuri diam. Dia menatap Sarah tajam. Lalu mendesah. Berat.
Dengan ragu Yuri menyerahkan lembaran Koran Jawa Pos. Dia mengikuti telunjuk Yuri di halaman depan pojok bawah. Tergesa Sarah membaca berita. Tak ada yang istimewa. Cuma tentang seorang pahlawan perjuangan ketika Bandung Selatan menjadi lautan api. Dan seorang pemuda dengan nama yang sama, seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di Jerman, sahid di Bosnia bersama beberapa temannya. Beberapa pemuda yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar itu bermaksud melakukan penyelidikan di Bosnia-Herzegovina. Mereka diberondong peluru oleh milisi Serbia.
Dada Sarah tiba-tiba berdebar kencang. Dibacanya satu-satu nama pemuda yang menjadi korban penembakan tersebut. Jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika menemukan kalimat... serta seorang mahasiswa Jerman keturunan campuran, Rudolf 'Ridho' Kretchmer...
Tubuh Sarah lemas seketika. Dia Cuma bisa merasakan rangkulan Yuri yang begitu erat. "Tadinya aku belum percaya, Sa. Tapi setelah menerima surat Anton, ternyata kabar itu benar..."
Oh! Pandangan Sarah gelap. Dia melihat sosok Rudolf beriringan bersama teman-temannya. Dia menjerit memanggil. Tapi cowok itu cuma menoleh sebentar dan tersenyum, lalu jalan lagi. Sarah lari mengejar. Tapi langkahnya tercegat ketika Rudolf dan kawan-kawannya memasuki sebuah istana yang sangat indah dan megah.
Could you know my name... if I saw you in heaven...
Suara Eric Clapton yang serak penuh haru terdengar lamat-lamat. Sarah menjerit. Bayangan itu lenyap. Yang ada hanya kegelapan yang pekat.[]


Catatan:
Dimuat di Anita Cemerlang Vol. 457 tgl. 11-21 Nopember 1993

Sumber:
https://www.wattpad.com/story/133401489-tears-in-heaven-tamat

0 komentar: