Cerpen Lis Maulina: Yang Luruh Satu-satu

10.19 Zian 0 Comments

SUNYI mencekam keduanya. Sudah hampir limabelas menit, tak seorang pun buka suara. Seakan enggan untuk menggerakkan bibir. Desau angin sore semakin mencekam suasana. Hening, bagai berada di kompleks pemakaman.
Miko melirik gadis yang duduk di sampingnya. Dengan sudut matanya, ditelitinya wajah itu secara seksama. Dicobanya mengartikan garis-garis yang ada di sana.
Merasa diperhatikan, Rinda mengangkat wajahnya. Mata mereka beradu, lama. Tapi, ah! Miko masih belum menemukan makna yang pasti dalam tatapan bola bening itu. Sorot mata yang lembut menutupi emosi yang tersirat di dalamnya.
Miko mendesah. Di mana kau sembunyikan gejolak perasaanmu, Manis? Ataukah kau memang tidak mempunyainya?
Gantian Miko yang menunduk. Digigitnya bibir, menutupi resah. Diremasnya jemari. Napas yang tertahan dihembuskannya kuat-kuat. Beban terasa berkurang, walau sedikit.
"Rin," paggil Miko akhirnya.
"Hem."
Hanya itu saja suara yang keluar dari bibir tipisnya. Tak ada reaksi lain, apalagi yang berlebihan. Kembali Miko harus kecewa.
"Kau sudah mengerti apa yang kukatakan?"
Sedetik setelah pertanyaan itu selesai, Miko menyesali diri. Pertanyaan bodoh, makinya sendiri dalam hati.
"Yah."
"Kau tidak kecewa?"
Rinda tersenyum pahit. Kau tidak kecewa? Astaga, pertanyaan apa pula itu? Cewek mana yang tidak kecewa, cowok tersayang ternyata tidak bisa hadir pada hari bersejarahnya? Cewek mana yang tidak kecewa merayakan pesta ulangtahunnya tanpa didampingi cowoknya? Cewek mana yang tidak kecewa membayangkan betapa bingungnya dia nanti memilih, kepada siapa potongan kue yang pertama harus diberikan? Cewek mana?
Rinda menelan ludah. Getir. Kalau saja Miko tahu, betapa payahnya dia menahan perasaan yang berontak. Betapa sulitnya mengatasi protes-protes beruntun. Betapa lelahnya menabur hiburan untuk menyelimuti kekecewaan yang menebal. Kalau saja kau tahu, Miko, tentu pertanyaan konyol seperti itu tidak akan kau lontarkan.
Tadinya Rinda berharap, lusa adalah ulangtahun yang paling istimewa. Dia didampingi cowok yang paling dikasihinya. Dia sudah membayangkan betapa bahagianya nanti.
Mendapat hadiah istimewa dari Miko, lalu ditemani meniup lilin, dan memberikan potongan kue pertama padanya. Lalu Miko akan diperkenalkan kepada seluruh keluarga.
Ah, betapa bahagiakan!
Tapi kabar yang dibawa Miko beberapa puluh menit lalu, membuyarkan semua angan-angannya. Hantaman kekecewaan mengguncang dadanya, bergetar sampai ke seluruh persendian. Segala daya dicobanya untuk bertahan. Perasaannya yang mendidih disiramnya dengan air sejuk. Dan dia berhasil. Sampai keadaannya kembali normal.
Pengertian yang amat dalamlah yang meredakan segalanya. Kasih sayangnya pada cowok itu membentengi emosinya. Hingga dia tampak tegar, tak goyah walau sedikitpun.
Rinda mengerti, Miko harus pergi. Sekolah memerlukannya memperkuat tim basket guna menghadapi tim sekolah yang akan dikunjungi dalam pertandingan persahabatan.
Sebenarnya sudah lama Rinda tahu, sekolahnya akan mengadakan kunjungan ke sekolah lain di luar kota. Dia tahu, dalam kunjungan itu akan dilaksanakan pertandingan-pertandingan olahraga. Dan itu berarti Miko harus ikut. Karena dia adalah tulang punggung tim basket sekolah.
Tapi Rinda sama sekali tidak menduga kunjungan itu akan dilaksanakan besok. Padahal rencana semula bulan depan. Entah mengapa jadi dipercepat. Namun yang membuatnya benar-benar kecewa karena waktu keberangkatan bertepatan dengan rencana perayaan hari ulangtahunnya.
Padahal tadinya Rinda berencana ikut menemani Miko. Sekedar menjadi suporter. Tapi kini, jangankan untuk ikut, kunjungan itu malah mengacak-acak seluruh rencana yang disusunnya. Kunjungan itu merampas Miko dari sisinya, lusa.
"Rin." Sentuhan di jemari membuatnya agak tersentak.
"Kau melamun?"
Lagi-lagi Rinda hanya tersenyum pahit.
"Kau dengar pertanyaanku tadi , kan?"
Rinda mengangguk. "Dan kurasa kau sudah tahu jawabnya."
"Kau jangan membuat aku bingung, Rin!"
Rinda tidak menjawab. Sorot matanya yang lembut tapi menusuk membuat Miko gelagapan. Namun dia sempat menangkap getar-getar aneh di mata itu.
Yah, beberapa rontaan kecil tersimpan di balik ketenangan tatapannya. Makin lama Miko menatapnya, makin besar dan banyak rontaan-rontaan itu, sampai akhirnya menjadi riak-riak bening. Di sana tergambar jelas butir-butir kekecewaan yang dilapisi oleh lembaran kasih yang tulus.
"Maafkan aku, Rin! Maafkan!" desahnya penuh sesal.
"Aku..."
"Aku tahu," potong Rinda cepat. "Dan aku mengerti. Pergilah!"
"Rin?" Mata Miko terbelalak.
"Aku tak mungkin membiarkan tim basket kita menelan kekalahan. Kau sangat mereka butuhkan. Walau kuakui, aku juga membutuhkanmu. Tapi ini demi kepentingan kita bersama, demi sekolah kita, maka pergilah!"
Ingin rasanya Miko langsung memeluk gadisnya yang berhati malaikat ini. Betapa bangganya dia mempunyai gadis searif ini.
Diraihnya jemari Rinda.
"Aku berjanji Rin, secepatnya aku akan kembali. Setelah pertandingan selesai, aku akan langsung pulang."
"Jangan terlalu dipaksakan!"
"Tidak, Rin! Ini adalah kesempatan terakhir bagiku untuk membahagiakanmu sekaligus mengharumkan nama sekolah kita. Dan aku tidak mau kehilangan keduanya."
Walau dengan agak heran mendengar kalimat yang meluncur penuh semangat itu, Rinda mengangguk juga.
"Itu terserah padamu. Pokoknya, aku titip nama sekolah kita."
"Beres."

***

ORANG yang seharusnya menikmati kebahagiaan ini justru lebih banyak diam menjadi penonton. Kadang-kadang saja dia ikut tersenyum melihat tingkah polah tamu yang berbagai macam. Namun dia lebih sering kedapatan melamun, menatap kue ulangtahunnya dengan pandangan kosong.
Sebenarnya Rinda sudah berusaha membaur kebahagiaan dengan tamu-tamunya. Menghambur tawa dan canda. Bukankah hari ini perayaan ulangtahunnya? Mestinya dia yang lebih bergembira. Tapi walau sudah diusahakannya, sebentar saja ia dapat menarik senyum, setelah itu kembali pada rasa hampa.
Akhirnya Rinda bosan sendiri. Dibiarkannya para tamu menikmati kegembiraan. Sedangkan dia diam-diam menyingkir ke pojok ruangan dan melamun. Menghayati arti kesunyian hatinya.
Kalau ada Miko, tentu tidak begini keadaannya. Dia pandai membuat suasana menjadi ceria. Dia yang paling ahli memancing tawa Rinda. Tiba-tiba saja Rinda menjadi rindu pada cowok itu. Sedang apa dia, ya?
Tanpa sadar Rinda melirik sepotong kue yang terletak di samping kue tart besar. Itu adalah kue potongan pertama yang disimpannya untuk Miko.
Sementara di luar angin berhembus cukup kencang. Terbukti bayangan pepohonan yang terlihat dari jendela, meliuk-liuk bagai menari. Mungkin hujan akan turun. Malam ini jauh dari cerah, sama seperti suasana hati Rinda. Tapi keadaan cuaca di luar tidak mempengaruhi kemeriahan pesta.
"Rinda!" Sayup-sayup suara panggilan itu singgah di telinga Rinda.
Rinda tidak bereaksi. Hanya telinganya yang sedikit kaget karena menangkap getaran suara itu. Getaran suara itu mamang terlalu lemah untuk dipedulikan. Lebih sering dianggap hanya sebagai gema hati sendiri.
"Rinda!" Kali ini panggilan itu terdengar jelas.
Kini Rinda mulai beraksi. Mula-mula hanya mata Rinda yang sedikit mendelik. Lalu lehernya mengikut arah dari mana suara itu tadi terdengar. Rinda terkesiap ketika seraut wajah di balik kaca jendela.
Cepat Rinda bangkit dari tempat duduknya. Bergegas ke luar menuju taman. Wajahnya tiba-tiba menjadi cerah.
"Miko!" serunya tertahan ketika matanya tertumbuk pada sosok tubuh kumal di hadapannya.
"Kau benar-benar nekat rupanya."
Miko tertawa renyah. Dikeluarkannya sebuah kotak mungil dari balik punggungnya.
"Aku tidak mau menunggu besok, kan sudah bukan tanggal 14. Hampir saja aku tak bisa menemuimu lagi. Untung aku masih diberi izin."
Rinda tersenyum bahagia. Akhirnya Miko datang juga.
"Syukurlah kalau begitu. Ayo masuk!" Akan kuperkenalkan kau kepada tamu-tamuku," kata Rinda sambil menarik tangan Miko.
Miko bergeming dari tempatnya. Rinda jadi heran karenanya.
"Jangan, Rin! Malu kan, aku kucel begini?"
"Ah, peduli apa? Itu kan cuma luarnya saja. Aku tidak malu, kok."
"Iya, kau tidak, tapi aku yang malu. Masak aku yang kucel begini mendampingimu yang terlihat seperti bidadari. Kau cantik sekali, Rin."
Warna merah memenuhi wajah Rinda. Tatapan lembut Miko membuatnya agak jengah.
"Tunggu sebentar, ya! Aku ambil kue dulu. Aku sengaja menyimpannya untukmu." Rinda menghilang ke dalam tanpa bisa dicegah. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan serba salahnya karena pujian Miko.
Sebentar kemudian gadis itu sudah kembali berada di taman. Disodorkannya potongan kue itu pada Miko. Anehnya, Miko malah menggeleng.
"Kenapa?" tanya Rinda kecewa.
Miko diam tak menjawab.
"Baiklah, kalau kau tidak mau memakan kue ini, aku juga tidak mau menerima hadiahmu," ucapnya sedikit ketus.
Miko tertawa.
"Baiklah, kau main ancam segala, sih! Hadiah itu aku beli langsung dari Martapura dan kubawa khusus buatmu. Masak tidak kamu terima? Sia-sia dong perjalananku..."
Miko mengambil potongan kue itu dan memakannya sedikit. Sedang Rinda mengambil bingkisan yang disodorkan Miko.
"Rin."
"Ya."
"Boleh nggak aku mencium pipimu sebagai ucapan selamat?"
Rinda tersentak. Dipandanginya Miko dengan heran. Permintaan itu terasa ganjil di telinganya. Selama ini, tak pernah sekalipun Miko mengajukan permintaan yang aneh-aneh. Tapi demi melihat mata yang penuh harap itu, Rinda mengangguk juga. Sekali-sekali toh tidak ada salahnya, pikirnya kemudian.
Dengan dada berdebar aneh Rinda membiarkan bibir Miko mulai mendekati pipinya. Makin dekat, kian kencang juga debar itu. Dan napasnya hampir berhenti ketika bibir itu tinggal beberapa senti lagi akan menyentuh pipinya. Tapi...
"Rinda!"
Teriakan melengking yang dapat Rinda tebak adalah suara mamanya itu, mengacaukan segalanya. Ada apa kok mama pakai teriak-teriak segala? Kayak ada perampokan saja. Mama yang lembut dan anggun itu, apakah sedang berlatih jadi Tarzan?
Miko cepat menutup mulut Rinda ketika dia ingin balas berteriak menjawab panggilan itu.
"Jangan berteriak begitu!" larangnya agak galak. "Kamu kan sudah dewasa sekarang."
Rinda menurut, dia berdiri hendak memenuhi panggilan itu. Tapi Miko juga melarangnya.
"Jangan sekarang!"
"Kenapa, sih?" tanya Rinda penasaran.
"Penuhi dulu janjimu!"
"Huh, nggak sabaran banget! Mulai nakal ya sekarang?" rajuk Rinda.
"Kamu kan sudah janji."
"Baiklah."
Akhirnya Rinda mengalah. Disodorkannya pipinya, memejamkan matanya. Tiga kali Miko mengecupnya lembut, membuatnya terasa terbang di awang-awang.
"Udah, kan? Aku nemui Mama dulu, ya!"
Miko mengangguk, Rinda pun bangkit. Tapi sebelum sampai di ambang pintu, Miko memanggilnya lagi.
"Ada apa lagi?" tanya Rinda sedikit sewot.
"Aku sayang kamu."
Ah, kalimat lembut itu sempat membuat Rinda terpana. Suara Miko itu bagai bergaung di rongga dada dan kepalanya. Dan senyum itu bagai mmenebarkan kesejukan kasih sayang tulus ke seuluruh jiwa raganya.
"Aku juga sayang kamu," kata Rinda. Balas tersenyum tak kalah lembutnya.
Kemudian Rinda berbalik, memasuki ruangan pesta yang tiba-tiba saja menjadi sunyi mencekam. Musik yang tadi gegap gempita, kini hening. Para tamu juga berdiri mematung, mengikuti kebisuan suasana. Wajah-wajah mereka pun tidak seceria tadi. Berlawanan sekali dengan wajah Rinda yang berseri-seri. Melihat Rinda muncul, Mama langsung merangkulnya. Rinda tentu saja heran setengah mati. Apalagi melihat mata Mama yang memerah dan wajah Papa yang keruh.
"Ada apa, Ma?" tanya Rinda tak bisa menyembunyikan keheranannya.
Mama tidak menjawab, malah terisak-isak. Rinda jadi tambah bingung. Dia celingak-celinguk, minta penjelasan pada orang-orang di sekitarnya. Tapi mereka juga hanya diam. Ada yang sengaja menghindar dengan menundukkan kepala atau pura-pura menoleh ke arah lain.
Papa mendekat. Dirangkulnya Mama sebentar, kemudian ganti merangkul Rinda. Diusapnya rambut Rinda dengan penuh kasih. Walau bingung, perlakuan itu tetap diterimanya. Dirasakannya tangan Papa gemetar.
"Kau anak Papa yang tabah kan, Rin? Kau kuat kan, Nak?"
Suara yang tersendat itu mengiris hati semua yang mendengarnya.
"Jangan membuat Rinda mati kebingungan, Pa! Katakan saja apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Rinda tak sabar lagi.
Papa menghela napas, mengumpulkan kekuatan.
"Miko, anakku! Dia ..."
"Kenapa Miko, Pa? Dia baik-baik saja, kok. Dia tadi ke sini menemui Rinda. Katanya, dia tidak bisa menunggu besok untuk mengucapkan selamat. Dia juga memberikan hadiah. Tadi Rinda baru datang menemuinya di taman. Katanya dia malu masuk, karena kucel dan kumal sehabis menempuh perjalanan jauh."
Semua terpana mendengar penuturan Rinda. Mama bertambah keras tangisnya. Papa memeluknya.
"Rinda, setelah pertandingan, Miko minta izin pulang duluan, karena ingin menghadiri pesta ulangtahunmu. Tentu saja kami izinkan. Kami tidak ingin dia kecewa, sebab dia sudah memberikan kemenangan pada sekolah kita." Tiba-tiba datang penjelasan dari arah belakang.
Ternyata Mas Puji, pelatih dan pembimbing tim basket sekolahnya. Rinda menunggu lanjutan dari kalimat-kalimatnya yang patah-patah.
"Tapi setelah dua jam, kami mendengar berita, mobil yang ditumpangi Miko mengalami kecelakaan, tabrakan. Semua penumpang meninggal, termasuk... Miko."
Bagai kejatuhan batu berton-ton beratnya, Rinda merasa kepalanya menjadi teramat berat. Bumi tempatnya berpijak bagai retak.
"Tidak!" katanya sambil menggeleng kuat-kuat. "Tadi dia ada di sini! Dia mengucapkan selamat padaku, memberikan hadiah, dan aku memberikan sepotong kue untuknya. Betul! Dia masih ada. Dia selamat, tak kurang suatu apa. Kalian jangan mempermainkan aku! Kalau tidak percaya, kalian boleh melihatnya di taman."
"Tidak ada siapa-siapa di sana, Rin!"
Seseorang masuk, Rangga, sepupunya. Rupanya dia disuruh Papa memeriksa taman. Tangannya membawa piring kecil berisi sepotong kue yang sudutnya sudah tidak utuh lagi.
"Aku hanya menemukan kue ini," katanya sambil meletakkan piring itu di atas meja.Rinda cepat menyerobotnya.
"Nah, betul, kan? Dia memang ada. Ini buktinya. Dia yang tadi memakannya sedikit. Mulanya dia tidak mau, tapi kupaksa. Nah, dia benar-benar ada, kan? Dia pasti bersembunyi. Dia pasti ingin menggodaku. Kalian pasti mempermainkanku."
Rinda berlari menuju pintu. "Miko, Miko! Ini aku, Miko. Ayo keluar! Kau masih ada kan, Miko? Kau tidak mati seperti yang mereka katakan, kan? Miko! Kembali Miko! Jangan tinggalkan aku! Miiikkkkoooo!"
Tubuh Rinda yang bersandar di sisi pintu. Tiba-tiba saja melorot turun, seiring dengan melemahnya jeritannya. Secepat kilat orang-orang menghambur menolongnya.

***

AKHIRNYA toh Rinda harus mempercayainya. Akhirnya ia harus menerima kenyataan yang ada. Walau semula ia bersikeras untuk tidak percaya. Ia berkeras mengatakan Miko masih hidup. Tapi kemarin, semua kekerasannya luluh, ketika melihat sosok tubuh yang terbaring tenang.
Sosok itu memang milik Miko. Namun Rinda masih belum percaya. Dicarinya suatu tanda pada sosok itu yang mungkin bukan milik Miko. Dicarinya perbedaan antara sosok itu dengan Miko.
Rinda belum putus asa. Walau semua orang berusaha meyakinkannya, Rinda belum percaya. Tapi tahi lalat itulah yang akhirnya memaksa Rinda untuk percaya. Tahi lalat yang dipunyai Miko, di sela jari manis sebelah kirinya, ternyata juga dipunyai sosok beku di hadapannya. Barulah dia sadar, senyum kedamaian yang terukir di bibir sosok itu, sama dengan senyum Miko yang terakhir kali dilihatnya.
Yah, sama persis.
Tuhan, misteri apa yang Kau perlihatkan kepadaku? Kau hadirkan dia ke hadapanku, Tuhan! Kau sempatkan dia utuk mengucapkan selamat padaku, meninggalkan sebuah bingkisan terakhirnya padaku. Tuhan, Kau perlihatkan sebagian kekuasaanMu padaku, hingga akalku tidak bisa menjangkaunya.
Rinda menarik napas panjang. Teringat dia dengan sikap Miko yang agak aneh sebelum kepergiannya. Teringat dia ketika Miko mendatanginya untuk terakhir kalinya.
Teringat dia dengan keganjilan peristiwa itu. Lalu teringat dia dengan kecupan sayang Miko yang pertama sekaligus yang terakhir untuknya. Ah, bagai mimpi saja rasanya. Kecupan itu masih terasa hangatnya sampai sekarang.
Rinda memandangi nisan yang berukir nama Miko iti tajam-tajam. Lalu dipandangnya daun-daun yang berguguran karena sengatan kemarau.
Kau lihat daun-daun itu, Miko? Kau lihat? Mungkin seperti itulah aku sekarang ini. Kering, lalu luruh satu-satu. Menunggu musim hujan berikutnya, baru akan tumbuh lagi. Tapi aku tak yakin, aku akan seperti itu, tumbuh pada musim hujan berikutnya. Mungkin malah akan terus luruh satu-satu, sampai habis sama sekali.
Tapi jangan takut, Miko! Aku akan berusaha menumbuhkannya lagi. Aku akan berusaha untuk membangkitkan menara harapanku yang telah rubuh. Aku akan berusaha menyusun lagi keeping-keping hati yang hancur. Sesuai pesanmu yang terakhir.
Rinda berdiri dan mengajak batu nisan di hadapannya untuk tersenyum. Selamat jalan, Miko! Damailah kau di sana bersama Illahi yang bijaksana.
Lambat tapi pasti, Rinda melangkah pergi. Meninggalkan pemakaman itu. Meninggalkan nisan Miko. Meninggalkan daun-daunan yang terus luruh satu-satu.
Selamat jalan, Miko![]


Catatan:
Dimuat di Anita Cemerlang Vol. 330 tgl. 19-28 Maret 1990

Sumber:
https://www.wattpad.com/story/92514579-yang-luruh-satu-satu-tamat

0 komentar: