Cerpen Lis Maulina: Balada Cinta Citra

09.48 Zian 0 Comments

HARIZ kehilangan kemampuan, keahlian, dan kehebatannya di lapangan. Smes keras dan tajam yang biasanya jadi senjata mematikan lawan, jarang terlotar. Kalaupun sesekali dilakukan, kesannya memaksakan diri. Hasilnya bila tidak terlalu jauh atau terlalu lebar, pasti nyangkut net dan jatuh di daerah permainan sendiri.
Pengamatan bolanya yang biasanya akurat, juga sering ngawur. Bola yang melaju kencang dan sudah bisa dipastikan keluar, dipukulnya kembali. Sementara yang jelas-jelas masuk, dibiarkannya jatuh.
Penonton bersorak mencemooh. Mereka kecewa dengan penampilan buruk Hariz. Padahal biasanya, mereka begitu memujanya. Bukan saja karena permainannya yang bagus dan mantap, tapi juga karena penampilan fisiknya yang menarik. Yah, Hariz memang cakep. Tidak heran bila dia punya banyak fans yang rata-rata cewek ABG.
Aku menatap Hariz. Dia berubah hanya dalam jangka waktu sehari. Mata kelamnya tersaput kabut kesedihan. Sama sekali tidak terisa binar semangat. Wajahnya tak lagi menggambarkan ketegaran dan kegagahan seorang atlit, tapi kemurungan cowok yang tengah dirundung duka.
Padahal di perempat final kemarin, Hariz begitu bersemangat. Bahkan dia yang membangkitkan kepercayaan diriku ketika kehilangan pola permainan akibat terus-terusan dicecar lawan. Dia mengingatkanku pada tekat kami untuk menjuarai kompetisi kali ini. Alasannya jelas, karena kejuaraan ini dihadiri beberapa tokoh perbulutangkisan nasionak yang ingin menjaring bibit-bibit baru daerah.
Hariz berhasil membangkitkan semangatku. Aku menemukan pola permainanku. Kami pun bahu-membahu meraih kemenangan. Sebab kami punya satu tujuan dan cita-cita; ingin menjadi atlit bulutangkis nasional yang membawa nama bangsa di kancah internasional. Jadi, kesempatan kali ini harus kami manfaatkan sebaik-baiknya.
Tapi sekarang, justru Hariz yang lupa pada tekat kami. Aku tahu penyebabnya. Hariz sendiri yang cerita ketika dia datang dengan wajah murung dan langkah lesu.
"Nabila," bisiknya lirih. Pandangannya menerawang. "Dia tak pernah mencintaiku."
Aku terkesiap. Nabila adalah cewek Hariz. Baru tiga mereka resmi pacaran. Selain bermain sebagai pasangan ganda campuran di lapangan, aku dan Hariz bersahabat cukup akrab di luar lapangan.
Kami saling terbuka dan sering tukar cerita. Jadi, tidak mengherankan bila aku mengetahui kisah cinta mereka, dari awal perkenalan, pendekatan, dan akhirnya jadian. Pengetahuanku yang justru ditertawakan Andre, teman satu klub.
"Citra, kenapa kamu harus menyiksa hatimu sendiri dengan mendengarkan kisah cinta mereka?" Begitu katanya selalu.
Aku tersenyum getir. Aku dan Hariz memang saling terbuka. Namun ada satu hal yang masih kusembunyikan; perasaanku yang sesungguhnya kepadanya. Andre tahu, karena dia pernah mengungkapkan cintanya padaku. Aku tak punya alasan lain untuk menolak kecuali berterus terang aku sudah mencintai cowok lain. Dan cowok itu adalah Hariz, pasanganku di lapangan badminton. Untungnya, Andre berjiwa besar. Dia menerima keputasan dengan lapang dada.
"Nabila menerimaku hanya untuk membalas Rudy yang pernah mengecewakannya. Dia ingin buktikan, dia mampu mendapatkan cowok yang melebihi Rudy dalam segala hal. Cowok itu adalah aku." Hariz menjelaskan ketakmengertianku dengan nada pedih. Hati bagai ikut teriris mendengarnya.
Pak Monang, manajer klub, dan Mas Johan, pelatih kami melangkah ke arah kami. Dari wajah mereka, aku bisa menebak apa yang ingin mereka lakukan. Aku bangkit, menghadang langkah mereka. Kubujuk mereka agar tidak menumpahkan kemarahan dan kekecewaan pada Hariz sekarang. Aku takut, dia akan semakin tenggelam dalam keputusasaan dan ketakberdayaan.
Aku maklum bila Pak Monang dan Mas Johan kecewa. Tinggal kami satu-satunya harapan klub meraih gelar juara. Teman-teman yang lain sudah kalah sebelum babak semifinal.
Meski ganda campuran bukan partai bergengsi, namun bagi klub kami cukup berarti untuk mempertahankan dana sponsor agar tidak berpindah ke klub lain.
Kuyakinkan Pak Monang dan Mas Johan. Aku berjanji akan memenangkan pertanding, dengan syarat mereka mau menyerahkan persoalan Hariz kepadaku. Untungnya, akhirnya mereka setuju.
"Ayo, Riz!" kataku saat wasit memberi isyarat memulai set kedua. "Kamu pasti bisa! Kalah atau menang, tidak masalah. Yang penting, kita berusaha maksimal!"
Hariz mengangguk ragu. Namun aku bertekat memenuhi janjiku pada Pak Monang dan Mas Johan. Aku harus memenangkan pertandingan. Dengan atau tanpa Hariz. Itulah satu-satunya jalan kami bisa berlaga di final.

***

MALAM final tiba. Sebelumnya, aku sempat menemui Nabila. Bermaksud membantu memperbaiki hubungannya dengan Hariz. Bila mereka rukun, Hariz pasti bisa memusatkan konsentrasinya menghadapi pertandingan final malam ini. Tapi yang kudapat malah kabar yang amat mengejutkan.
"Kamu terlambat, Cit!" bisik Ila lirih. "Kami telah putus. Hariz yang memutuskan."
Aku tertegun. Hampir tak percaya dengan pendengaranku. Bagaimana mungkin? Aku tahu pasti Hariz sangat mencintainya.
Ila menunduk.
"Aku yang salah, Cit. Hariz sebenarnya cowok baik. Terlalu baik malah. Tapi aku mengecewakannya. Dia tahu, aku masih mencintai Rudy. Makanya dia rela melepasku untuk kembali pada Rudy. Katanya, dia hanya ingin aku bahagia. Meskipun harus melukai hatinya sendiri.
Aku tertegun lagi. Ada keharuan menyusup hatiku. Betapa tulusnya kasih Hariz pada Ila. Seandainya kasih setulus itu bisa kumiliki. Ah, alangkah bahagianya!
Lamunanku buyar ketika terdengar suara panitia memanggil nama kami lewat pengeras suara. Aku melirik Hariz. Keadaannya lebih buruk dibanding malam semifinal lalu. Kabut yang menyaput matanya lebih tebal. Garis-garis wajahnya semakin jelas menggambarkan kedukaan.
"Aku dan Ila putus, Cit," katanya sebelum aku bertanya. "Maaf, bila permainanku malam ini pun juga mengecewakan!"
Aku hanya menghela nafas. Aku tak bisa menyalahkannya. Dia baru saja melepas cewek yang dikasihinya untuk dimiliki orang lain. Itu bukan pekerjaan mudah. Seandainya aku berada di posisinya, mungkin keadaanku jauh lebih parah. Yang kusesalkan, mengapa cobaan ini harus terjadi saat kami berjuang meraih impian yang selama ini kami dambakan.
Kami lolos babak semifinal adalah sebuah mukjizat. Meski Hariz bermain buruk, aku tetap berusaha sekuat tenaga mengumpulkan angka demi angka. Untungnya, penampilan lawan juga tidak seprima biasanya. Kami menang rubberset dengan selisih angka yang sangat tipis. Namun, tak urung tenaga dan staminaku nyaris habis terkuras.
Mustahil bila malam ini juga mengharapkan mukjizat. Lawan yang kami hadapi jauh lebih tangguh. Staminaku belum sepenuhnya pulih. Tapi menyerah begitu saja bukanlah sifatku. Apalagi langkah kami sampai bisa tampil di final cukup berat. Mungkinkah aku melepaskan kemenangan yang tinggal selangkah lagi begitu saja?
Tidak! Aku menggeleng tegas. Kupejamkan mata sambil berdoa dalam hati. Mohon kekuatan Tuhan. Bila kami harus kalah, aku ingin kalah secara terhormat, bukan kalahnya pecundang. Aku ingin melangkah keluar lapangan dengan kepala tetap tegak. Setelah membulatkan tekat dan niat, aku memasuki lapangan dengan hati mantap.
Seperti yang kuduga, perjuanganku kali ini jauh lebih berat dari yang kualami di semifinal. Lawan benar-benar tangguh. Hanya dalam beberapa menit saja mereka dengan mudah menyelesaikan set pertama. Arah bola yang mereka pukul masih teramat susah untuk kutebak. Aku keteteran dicecar smes-smes keras dan bola-bola tajam.
Di set kedua aku memperlambat tempo permainan. Aku barusaha keras menahan laju angka mereka sambil terus menganalisa. Usahaku tidak sia-sia. Perlahan aku mulai mengenali pola permainan mereka dan menemukan kelemahannya. Beberapa kali aku mencuri angka dengan memanfaatkan kelemahan mereka. Permainan mereka mulai kacau. Stamina mereka menurun karena memaksakan kemenangan di set pertama. Pukulan dan pengamatan bola mereka mulai ngawur. Meski dengan selisih tipis, kami berhasil mencuri kemenangan di set kedua.
Set ketiga aku mendapat dukungan penonton yang bersimpati dengan perjuanganku. Namun aku lengah. Aku tergelincir ketika ngotot mengejar bola yang jatuh jauh di depan net, otot paha kananku tertarik. Aku menjerit dan jatuh terguling.
Hariz bergegas menghampiriku. Juga Pak Monang dan Mas Johan yang menonton di pinggir lapangan. Dengan izin wasit mereka memapahku ke tepi lapangan. Mas Johan coba menyembuhkan pahaku dengan pijat dan urut. Namun rasa nyeri itu tak kunjung reda.
Wasit memberikan dua pilihan; meneruskan pertandingan atau memberikan kemenangan WO kepada lawan. Airmataku mengalir. Bukan karena nyeri di paha kananku. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang atlit selain harus menyerahkan kemenangan kepada lawan sebelum pertandingan benar-benar berakhir. Tapi agaknya aku tak punya pilihan lain.
"Maafkan aku, Cit!" Hariz yang semula lebih banyak diam tiba-tiba buka suara. "Aku tahu ini salahku. Seandainya aku tidak membiarkan kamu berusaha sendiri, kamu tak mungkin cidera. Jadi, kalau boleh aku meminta, beri aku kesempatan memperbaiki kesalahan ini! Aku janji takkan mengecewakanmu."
Aku tertegun menatapnya. Aku menemukan kesungguhan di wajahnya. Mata kelam itu kembali menyiratkan tekat baja seorang atlet tangguh yang pernah kukenal.
"Baik, kita teruskan pertandingan!" putusku tanpa sedikitpun rasa ragu.

***

"SELAMAT, Riz!" ucapku tulus ketika Hariz datang menengokku di rumah sakit.
Hariz kaget. "Kamu sudah tahu, Cit?"
Aku tersenyum. Tadi pagi Mas Johan mampir mengabarkan berita gembira padaku. Hariz ditawari bergabung dengan sebuah klub besar di Pulau Jawa yang banyak melahirkan atlet-atlet bulutangkis nasional.
Terbayang lagi di mataku pertandingan final tadi malam. Setelah kuputuskan untuk tetap melanjutkan pertandingan meski paha kananku cedera. Hariz menepati janjinya. Dia bagai bangkit dari mimpi buruk yang panjang. Kecemerlangan permainannya mengejutkan lawan yang semula sudah merasa yakih kami akan memutuskan menyerah WO.
Tepuk tangan bergemuruh menyambut kembalinya Hariz dengan smes-smes tajam dan dropshot-dropshot cantiknya. Membuat lawan sama sekali tidak berkutik. Bahkan semangatku yang hampir redup bagai tersiram bensin, menyala-nyala.
Nyeri di betis kananku seolah tak terasa saat bahu-membahu dengannya di lapangan. Mengumpulkan poin demi poin sampai akhirnya memetik kemenangan. Setelah itu, baru terasa kaki kananku bagai copot. Aku segera dilarikan ke rumah sakit.
"Sungguh, kemenangan yang manis!" Aku tersenyum. "Aku tidak menyesal meski harus menginap di rumah sakit. Apalagi kamu dapat kesempatan emas bergabung dengan sebuah klub terkenal pencetak pemain nasional. Aku yakin, sebentar lagi Indonesia akan memiliki satu lagi atlet bulutangkis tangguh."
Hariz memandangku. "Benarkah kamu senang, Cit? Bukankah itu berarti kita tidak akan bisa bermain bersama lagi?"
Aku tertegun. Kenapa Hariz mengingatkanku? Kalau mau jujur, sesungguhnya sudut hatiku yang terdalam merasa amat sedih. Bermain berpasangan dengannya adalah satu-satunya kebahagiaan yang bisa kuraih. Karena tidak mungkin aku mengharap lebih. Sekarang satu-satunya kebahagiaan itupun harus kulepas. Tapi aku rela. Sungguh! Karena tak ada yang lebih membahagiakanku selain melihatnya maju dan sukses.
"Ternyata Andre benar. Selama ini aku buta. Ada cewek yang tulus mengasihiku. Tapi aku malah mengejar-ngejar cewek yang hanya ingin menjadikanku pelarian."
Aku terkesiap kaget. Wajahku pias. "Ap... apa katamu, Riz? Andre bilang apa padamu? Dia cerita apa tentang aku?"
"Banyak. Terutama tentang perasaan yang selama ini kamu sembunyikan dariku. Tuhan, kenapa aku begitu buta? Kukira, cintaku pada Ila paling tulus. Tapi ternyata tak ada apa-apanya dibanding cintamu. Begitu banyak yang telah kamu berikan padaku tanpa sedikitpun mengharap balasan. Bahkan kata Ila, sebelum malam final, kamu datang padanya. Bermaksud memperbaiki hubungan kamu. Kenapa, Cit? Bukankah seharusnya kamu senang hubungan kami berantakan?"
"Aku ingin kamu bahagia, Riz. Supaya bisa berkonsentrasi pada pertandingan. Dan Ila adalah kebahagiaanmu," bisikku lirih sambil menunduk. Dia sudah tahu. Jadi tak ada gunanya aku terus menyembunyikannya.
Kudengar Hariz menghela nafas panjang. Aku tak berani mengangkat wajah sedikitpun. Aku bahkan tak tahu, setelah ini apakah aku sanggup bertemu dengannya.
"Aku sudah memutuskan, Cit. Kukatakan pada orang yang mewakili klub itu, aku akan bergabung bila kamu juga ikut. Jawabnya sungguh menggembirakan. Tidak masalah, katanya. Sebenarnya mereka juga ingin mengajakmu. Tapi karena kamu cedera, tawaran itu mereka tunda. Namun mereka setuju bila aku menunggumu sembuh sehingga kita bisa berangkat bersama."
"Kita? Apa maksudmu, Riz?" Aku mendongak kaget. Kutatap wajahnya dengan mata nanar. Hatiku teriris pedih. "Demi Tuhan, Riz! Cinta tak bersambut bagiku tak masalah. Karena aku masih bisa bahagia melihatmu bahagia. Tapi, jangan kasihani aku dengan cara seperti ini!"
"Aku tidak sedang mengasihanimu, Citra. Untuk apa? Kamu sudah membuktikan, kamu tidak perlu dikasihani. Kamu tegar." Hariz memegang bahuku sambil menatap lekat. "Tapi, salahkah bila baru sekarang kusadari, jauh di lubuk hatiku sebenarnya menyimpan benih kasih untukmu? Tadi malam, ketika kamu berjuang teramat keras untuk meraih kemenangan sampai cedera, baru aku merasakan. Sesungguhnya, aku menyayangimu lebih dari yang kukira. Aku merasa sangat menyesal telah membuatmu terluka. Aku takut kamu akan mudur dari pertandingan dan takkan pernah mau berpasangan denganku lagi. Aku baru sadar, sesungguhnya aku membutuhkanmu lebih dari yang kusangka. Itu sebabnya, aku bisa bengkit dari mimpi burukku dan menemukan kembali diriku yang sesungguhnya. Itu semua demi kamu, karena kamu, dan untuk kamu, Citra. Kamu harus percaya itu!"
Aku tertegun. Bagaimana mungkin aku bisa tidak percaya bila mata kelam itu menatapku lekat seperti ketika dia memintaku untuk meneruskan pertandingan di malam final? Tatapan yang mampu meyakinkanku, sehingga kubuat keputusan tanpa sedikitpun ragu.[]


Sumber:
https://www.wattpad.com/story/98230812-balada-cinta-citra-tamat

0 komentar: