Cerpen Lis Maulina: Kabut di Lontontour

10.10 Zian 0 Comments

DEWI malam masih menebar kelam ke permukaan Tanah Borneo, sementara sang bagaskara terlelap dalam selimut harizon. Kegelapan semakin pekat karena berbaur dengan kabut embun hasil uap air yang terhisap dari ribuan sungai dan anak sungai yang tertoreh di Bumi Kalimantan.
Kabut yang melingkupi Sungai Teweh, salah satu sungai yang mengalir di pedalaman Kalimantan Tengah mendadak tersibak pendar cahaya terang benderang. Sungai Teweh terbelah. Sebuah kapal perang besar dan megah meluncur gagah, mengusir kegelapan di sepanjang sungai.
Sontak, keheningan terkuak. Seolah ikut terkejut, seluruh binatang penghuni sekitar Sungai Teweh terjaga. Nyaris bersamaan, mereka bersuara, seakan mengungkapkan kekaguman pada benda asing yang berenang menyusuri sungai.
'Onrust', nama itu terukir indah di badan kapal yang tampak sangat kokoh. Bendera merah putih biru berkibar gagah di puncak layarnya. Sementara di geladak, berbaris deretan meriam yang siap menyalak, dijaga puluhan prajurit berkulit putih berseragam serdadu. Mereka mengawasi pemandangan sepanjang Sungai Teweh dengan tatapan waspada.
Dalam kabin kapal yang mewah, berkumpul beberapa prajurit berpangkat tinggi. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja bundar, sedang serius berdiskusi. Mereka adalah Komandan Van der Velde, Letnan I Bangert, Van Perstel, dan Van der Kop yang ditugaskan memimpin ekspedisi ke Sungai Teweh guna menemui Temenggung Surapati untuk sebuah misi penting.
"Letnan yakin, Temenggung Surapati mau membantu kita mengatasi Pangeran Antasari?" tanya Van der Kop yang bertubuh tinggi kurus, berhidung bengkok, dan bermata setajam elang.
"Saya optimis," ujar serdadu berpangkat letnan menyahut mantap. Dia bertubuh lebih gempal. Berusia sekitar 40-an. Namun kumis dan jenggotnya yang tidak beraturan membuatnya kelihatan jauh lebih tua dari usianya yang sebenarnya.
"Benarkah Letnan pernah menjalin hubungan persahabatan dengan Temenggung Surapati?" Kali ini Van Perstel yang bertanya. Dia adalah yang paling muda di antara mereka.
"Itulah yang membuat saya yakin. Dua tahun lalu, Temenggung Surapati dan kita pernah menjalin persahabatan melalui hubungan dagang. Bahkan saya dan Komandan Militer Marabahan Stuurman JJ Meyer pernah dijamu olehnya."
"Berarti Letnan sudah sangat mengenal Temunggung Surapati. Bagaimana menurut pendapat Letnan orang itu?" tanya Van der Velde, sangat ingin tahu.
"Selain seorang pemimpin, Temunggung Surapati seorang pengusaha dan saudagar. Bila kita memberikan tawaran yang menguntungkan, saya yakin, dia tidak akan keberatan membantu kita. Selain kita tawarkan hadiah, sebaiknya kita juga memberinya gelar kebangsawanan--- Pangeran, misalnya. Pastinya dia semakin tidak bisa menolak," tutur Letnan Bangert bersemangat.
Komandan Van de Velde mengangguk-angguk sambil mengelus-elus kumisnya yang berwarna kepirang-pirangan.
"Baik. Sekarang, kita diskusikan isi surat untuk Temenggung Surapati agar dia tertarik dan mau membantu kita!"
"Sebaiknya memang begitu."
Kemudian mereka kembali terlibat dalam diskusi serius. Sementara Kapal Onrust terus melaju, mendekati Desa Lontontour, sebuah kampung yang terletak di antara Muara Teweh dan Buntok.

***

"ABAH mana, Ma?" Diang Azizah mendekati Ibunya yang sedang sibuk menghidupi dua tungku di dapur.
Gadis remaja berambut panjang dan ikal mayang ini dari tadi mengitari rumah mereka yang berarsitektur Rumah Banjar Baanjung 1), mencari Abahnya. Namun, dia tidak menemukan lelaki gagah yang menjadi panutannya itu. Dia hanya menjumpai Uma 2)nya sedang sibuk di dapur.
"Ke rumah Temenggung Surapati," jawab Umanya tanpa menoleh.
"Bukannya tadi malam sudah pulang?"
"Benar. Tapi subuh berangkat lagi. Katanya, dia akan ikut menemani Temenggung Surapati bersama beberapa pemuka lainnya menjumpai Pangeran Antasari di Guriyu."
"Apakah mereka bermaksud merundingkan masalah kedatangan Tentara Belanda dengan Kapal Onrust beberapa waktu lalu di kampung ini?"
"Tampaknya begitu."
Diang Azizah mengangguk mengerti. Abahnya, Haji Ibrahim adalah orang kepercayaan Temunggung Surapati, orang Dayak Siang yang dipercaya memimpin di daerah di Sepanjang Sungai Teweh. Abahnya sendiri sebenarnya berdarah Banjar, namun sewaktu muda merantau dan bertemu jodoh gadis Bakumpai yang sekarang jadi ibunya. Akhirnya mereka sekeluarga menetap di Lontontour. Di sinilah Haji Ibrahim mengenal Temenggung Surapati, kemudian memutuskan untuk mengabdi setelah tokoh Dayak Siang itu bertekad membantu perjuangan Pangeran Antasari melawan penjajahan kolonial Belanda..
Diang Azizah punya empat kakak laki-laki. Namun, sejak Perang Banjar dikobarkan tanggal 28 April 1859 dengan diserangnya Benteng dan Tambang Batubara Belanda di Pengaron oleh Pangeran Antasari dan ksatria Banjar lainnya, tak ada cita-cita lain di hati para pemuda Banjar dan Dayak, selain mengusir Belanda yang sudah begitu banyak menumpahkan darah saudara-saudara mereka. Demikian juga halnya dengan keempat kakak lelaki Diang Azizah.
Ketika Temunggung Surapati yang menikahkan putranya, Temunggung Jidan dengan salah seorang cucu Pangeran Antasari, Haji Ibrahim membawa keempat putranya menghadap mereka untuk bergabung dengan pejuang lainnya di bawah pimpinan Pangeran Antasari.
Sekarang, menurut kabar, Kakak tertuanya, Abdul Latif dan kakak bungsunya, Ahmad Basit, bergabung dengan Pasukan Temenggung Jalil yang memimpin perlawanan di daerah Banua Lima. Sementara kakak kedua dan ketiganya, Abu Hanifah dan Ali Hamzah, berjuang dibawah pimpinan Demang Lehman di sekitar Martapura dan Tanah Laut.
Diang Azizah sangat bangga pada kakak-kakaknya. Bahkan dia sendiri sebenarnya juga berniat ikut berjuang, bergabung dengan pasukan wanita yang dipimpin Ratu Zaleha, cucu Pangeran Antasari. Tapi Umanya masih keberatan, dan Abahnya belum mengizinkan. Padahal, Diang Azizah rajin berlatih olah keprajuritan. Abah sendiri yang melatihnya. Hanya saja, menurut Abah, ilmunya masih belum cukup untuk dibawa terjun ke medan perang. Apa boleh buat. Terpaksa dia harus sabar menunggu.
"Katanya, orang-orang Belanda itu berusaha membujuk Temenggung Surapati untuk mengkhianati Pangeran Antasari. Benar begitu, Ma?"
"Iya."
"Apa Temenggung mau?"
"Jangan bodoh! Bila Temenggung Surapati serendah itu, mengapa dia berusaha menghindari bertemu mereka? Saat utusan Belanda menjemputnya, yang datang menemui hanya menantunya. Sementara Temenggung menghindar dengan alasan sakit kaki. Itu saja sudah mengungkapkan sikap Temenggung."
"Benar juga, ya!" Diang Azizah mengangguk. Abah begitu menghormati dan mengagumi Temenggung Surapati. Melalui cerita Abahnya, Azizah ketularan hormat dan kagum. Jadi, tidak mungkin Temenggung Surapati menjadi seorang pengkhianat, apalagi terhadap Pangeran Antasari, sahabat sekaligus besannya.
"Sudahlah! Jangan ikut-ikutan berpikir masalah itu! Sekarang, kamu bantu Uma mencuci. Pakaian kotor kita sudah bertumpuk."
Azizah langsung manyun. Selalu begitu. Uma selalu tidak suka dia ikut campur dalam persoalan perjuangan Abah bersama Temenggung Surapati. Pasti karena dia takut Azizah ikut terjun ke medan perang. Soalnya, hanya dia satu-satunya yang masih tertinggal di rumah.
Meski demikian, Azizah melangkah juga, mendekati bakul berisi pakaian kotor. Dia mengangkatnya ke pinggang berikut sebuah ember dan peralatan cuci lainnya. Dia keluar lewat pintu dapur, menuju Sungai Teweh untuk mencuci.
Bagaimanapun, Azizah bisa memaklumi perasaan Umanya. Kehilangan empat anak untuk berperang pastilah tidak mudah. Apalagi bila harus ditambah lagi dengan putri satu-satunya yang masih tertinggal. Dia sangat mengerti bila Umanya keberatan.

***

"DING! Ading 3) Diang!"
Diang Azizah berhenti melangkah. Dia menoleh, mencari asal suara. Dia menemukan seseorang di balik pohon sawo yang tumbuh di pinggir jalan. Dadanya berdebar seketika. Meski dia sudah mengetahui siapa yang memanggilnya - karena suara itu belakangan sangat akrab di telinganya, tak urung, hatinya berdesir juga.
"Ading mau ke mana?"
"Ke batang, mencuci," sahut Diang Azizah agak tersipu.
"Jangan ke batang sebelah sana, terlalu banyak orang! Ke batang di sebelah ilir saja, lebih nyaman!" ujar lelaki gagah bersaung4) kain sasirangan bermotif daun sirih itu. Tangan kanannya memegang tombak balilit 5) yang terselip di pinggang, membuatnya semakin terlihat perkasa.
"Sendirian?" Diang Azizah melebarkan matanya.
Bukannya dia takut. Batang sebelah ilir memang letaknya agak terpencil, di pinggir kampung sehingga lebih sepi, jarang digunakan penduduk. Tapi Diang bukan gadis penakut. Dia hanya tidak suka mencuci sendiri. Bagusnya mencuci sambil ngobrol sehingga tidak terasa capek, pekerjaan sudah sudah selesai.
"Abang temani!"
Diang Azizah kembali tersipu. Tapi kemudian dia mengangguk. Dia kemudian memutar langkahnya, mengikuti Dayan--- Abang Dayan, begitu Diang Azizah biasa memanggilnya. Meski belum lama kenal, namun mereka sudah lumayan dekat.
Masih lekat di ingatan Diang Azizah ketika pertama kali bertemu Dayan di perbatasan Desa Lontontour. Lelaki itu tampak kebingungan. Ternyata, dia sedang mencari rumah salah seorang kerabatnya yang kebetulan tinggal sedesa dengan Diang Azizah. Makanya, dengan senang hati Azizah membantu mengantarnya.
Dayan mengatakan, dia dari desa Benangin. Dia juga bergabung dengan pasukan perlawanan rakyat yang dipimpin Pangeran Antasari di sepanjang hulu Sungai Barito. Hanya saja, karena dia asli orang Benangin, pimpinannya bukan Temenggung Surapati, melainkan Temunggung Aria Patty, tokoh setempat yang juga merupakan kepercayaan Pangeran Antasari.
Sejak perkenalan itu, dia dan Dayan semakin sering bertemu. Hanya berdua. Dayan memintanya menyembunyikan perkenalan mereka. Katanya, demi menjaga kerahasiaan misi yang diemban Dayan sebagai orang Temenggung Aria Patty. Dia seringkali menyamar untuk mendapatkan berbagai informasi penting demi perjuangan yang dipimpin Pangeran Antasari.
Diang Azizah suka sekali mendengar cerita Dayan. Terutama cerita tentang pengalamannya berperang melawan Belanda. Seru kedengarannya. Karena Dayan bercerita sekaligus dengan gayanya. Bahkan, Diang Azizah sering ditunjukkan kesaktian Dayan. Terutama tentang keampuhan senjata rahasianya.
Terkadang, Dayan mempersenjatai dirinya dengan Tombak Carang Suka Laras Hati 6) yang bermata besi dan tangkainya bambu kira-kira sepanjang 127 cm. Namun dia lebih sering membawa tombak balilit yang ukurannya lebih kecil, sehingga mudah diselipkan di pinggang. Dayan juga pernah memperlihatkan peluru pitunang 7) peluru besi yang bisa mencari sasaran sendiri. Dayan pun bercerita tentang sejarah baju berajah 8) yang dipakainya. Pakaian itu membuatnya kebal senjata tajam maupun senjata api.
"Abah pergi lagi, Ding?" tanya Dayan, menggugah lamunan Diang Azizah tentang pemuda itu.
"Abang tahu?" Diang Azizah balik bertanya sambil sedikit melirik melalui sudut matanya.
Entah kenapa, memandang lelaki berkulit kuning, bermata sipit, beralis tebal, berahang kokoh, dan berhidung tinggi itu selalu saja membuat wajahnya bersemu. Makanya, dia hanya berani mencuri pandang ketimbang menatap langsung.
"Iya, karena Temenggung Aria Patty juga pergi. Kalau tidak salah, selain Temunggung Surapati dan Aria Patty, Temunggung Maas Anom dan Temenggung Kartapatty juga ikut berangkat menemui Pangeran Antasari," ujar Dayan.
"Tentu saja, mengingat pentingnya masalah yang akan mereka bicarakan. Memang sebaiknya, seluruh pimpinan rakyat ikut berunding mencari penyelesaian," kata Diang. "Abang tidak ikut menemani Temenggung Aria Patty?"
Dayan menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Abang kebagian tugas berjaga-jaga. Makanya, Abang sekarang ke desa ini, untuk melihat-lihat, apakah Kapal Onrust sudah kembali. Bila sudah mendapatkan informasi, supaya secepatnya dilaporkan kepada Temenggung."
Diang Azizah mengangguk mengerti.
"Menurut Abang, apa kapal itu benar-benar akan kembali lagi?" tanyanya ingin tahu.
"Rasanya begitu. Mereka takkan berhenti sebelum keinginan mereka terlaksana. Mereka ingin berunding dengan Temenggung Surapati. Karena saat kedatangan pertama mereka tidak sempat bertemu, pasti mereka akan kembali lagi."
"Padahal, akan sia-sia saja membujuk Temenggung."
"Belum tentu."
Diang Azizah terperangah kaget mendengar jawaban Dayan. "Apa maksud Abang?"
"Eh... maksudku..." Dayan agak tergagap ditodong pertanyaan serupa itu. "Maksudku, mungkin saja tidak demikian pendapat petinggi Belanda di Onrust. Mungkin mereka punya taktik sendiri, misalnya memberikan tawaran menggiurkan yang takkan mungkin bisa ditolak."
"Maksud Abang, kesetiaan Temenggung Surapati bisa ditukar dengan tumpukan harta dan gelar kebangsawanan? Abang meragukan Temenggung?"
"Bu... bukan begitu maksudku." Dayan terdiam sesaat, mencari kalimat yang tepat. Pasalnya, wajah cantik Diang Azizah mulai menggambarkan ketidaksenangan. Maklum, siapa yang senang bila kesetiaan pahlawannya diragukan?
"Lalu?"
"Begini, Ding, Belanda tidak akan bertindak bodoh bila tidak melihat peluang ke arah itu. Mungkin saja, Temenggung Surapati memberikan kesan baik sehingga dianggap peluang untuk mereka. Kabarnya, dua tahun lalu Temenggung Surapati memang sempat bersahabat dengan Belanda, bahkan pernah makan bersama dengan Letnan Bangert, salah satu pimpinan ekspedisi di Kapal Onrust," papar Dayan.
Diang Azizah terdiam. Uraian Dayan cukup masuk akal. Meski demikian, dia tetap tak percaya. Temenggung Surapati mau bekerjasama dengan Belanda. Terlebih setelah melihat kekejaman mereka membantai rakyat yang tidak berdosa demi memaksakan kepentingan mereka. Diang tahu benar, meski tampak keras dan garang, sesungguh Temenggung Surapati adalah pemimpin yang berhati welas asih terhadap rakyatnya.
"Aku tetap tak percaya." Diang Azizah menggeleng tegas.
"Terserah!" Dayan mengangkat bahu. "Kita lihat saja perkembangannya nanti. Bila Kapal Onrust kembali dengan membawa setumpuk harta dan kemewahan, apa yang akan dilakukan Temenggung Surapati."

***

CUACA sore itu di Lontontour cerah. Langit tampak biru berhias sapuan putih awan tipis. Tak ada mendung setitikpun. Angin pun bertiup sepoi-sepoi, seakan mengajak dedaunan yang merimbuni kampung kecil yang dikeliling hutan tropis itu menari gembira. Burung-burung yang baru kembali ke sarang setelah seharian mencari makan ikut bernyanyi riang.
Secerah itu pula wajah Diang Azizah ketika melangkah meninggalkan rumahnya. Dia mengenakan baju kurung basisit 9) warna merah jambu. Rambutnya yang ikal mayang, rapi dikepang. Wajahnya yang bersih tampak semakin langsat disapu pupur tipis. Bibirnya yang tipis selalu mengulum senyum. Bahkan sesekali menggumamkan dundang 10) bernada riang.
"Ding! Ading Diang!"
Langkah Diang Azizah terhenti. Dia menatap sosok yang tiba-tiba muncul di balik rimbunnya semak dengan pandangan heran.
"Bang Dayan, bukannya kita berjanji bertemu di batang Ilir?"
"Maaf, aku tidak sabar, makanya menunggu di sini," ucap pemuda itu sambil mengembangkan senyum. "Aku sudah dandaman 11)."
Pipi kuning Diang Azizah bersemu merah. Mereka kemudian melangkah bersama menuju Batang Ilir, tempat mereka biasa bertemu.
"Bagaimana kabarmu beberapa hari ini? Baik? Bagaimana Uma? Ohya, Abahmu sudah pulang, kan? Bagaimana kabarnya?" cecar Dayan bertanya.
"Abang, bertanya seperti menembak Belanda saja, beruntun! Mana yang harus Diang jawab duluan?" Diang Azizah setengah merajuk.
Dayan tertawa. Dia mencubit pipi Diang dengan gemas. Diang yang tak sempat mengelak lagi-lagi tersipu. Malu tapi senang.
"Maaf! Terserah Ading mana yang ingin dijawab duluan," kata Dayan.
"Meski pertanyaannya banyak, jawabannya singkat. Semua baik-baik saja," ujar Diang Azizah setelah perasaan yang melayang kembali normal. "Abah sudah datang, baru pagi tadi."
"Oya? Bagaimana hasilnya? Maksud Abang, hasil pembicaraan pimpinan kita dengan Pangeran Antasari?"
"Abang pasti sudah mendengar dari Temenggung Aria Patty. Beliau juga sudah kembali, kan?"
Dayan mengangkat bahu. "Benar. Tapi aku belum sempat bertanya. Sejak pulang, kelihatannya sibuk terus mengurus segala sesuatu. Aku penasaran. Soalnya, kita kan sempat berdebat tentang masalah ini? Makanya, aku ingin tahu, apakah keyakinanmu atau firasatku yang benar."
"Tentu saja keyakinan Diang," cetus Diang bersemangat. Wajahnya tampak sumringah. "Sejak mula Diang sudah katakan, meski tumpukan harta dan gelar ditawarkan, tidak mungkin Temenggung Surapati mau mengkhianati Pangeran Antasari."
"Benarkah? Kudengar justru sebaliknya. Temenggung Surapati bersiap untuk menemui Letnan Bangert dan kawan-kawannya di 'Onrust'. Kebetulan, kabar terakhir yang kudengar, kapal itu memang sedang menuju kembali ke sini."
"Yee, Abang! Memang, Temenggung Surapati berencana menemui mereka, namun bukan untuk bekerja sama, malah sebaliknya, memasang perangkap untuk menjebak mereka!" tandas Diang Azizah.
Dayan terperangah kaget. "Perangkap?"
"Benar!" Diang Azizah mengangguk mantap. Dia senang, bisa mengetahui informasi yang tidak diketahui Dayan. "Diang sempat mencuri dengar dari pembicaraan Abah dan orang-orang Temenggung yang menemuinya tadi."
"Begitu?" Dayan manggut-manggut. "Pantas, Temenggung Aria Patty pun tampak sibuk. Kelihatannya sedang mempersiapkan perlawanan besar-besaran."
"Mungkin untuk membantu Temenggung Surapati."
"Kalau begitu, Abang harus kembali."
"Kenapa buru-buru, Bang? Bukannya kita baru bertemu?"
"Abang pikir, mungkin Temenggung Aria Patty memerlukan bantuan di situasi seperti saat ini. Pasti banyak yang harus dipersiapkan."
Wajah Diang Azizah mendadak tersaput mendung.
"Sekarang, Ading pulang dulu. Sudah sore. Bukannya masih banyak waktu untuk kita bertemu? Bukankah perjuangan mengusir penjajah di Jalan Allah di atas segalanya?" ucap Dayan membujuk lembut.
Ucapan ini membuat Diang Azizah mau tak mau mengangguk.

***

TUBUH Diang Azizah mematung. Darahnya berdesir, kemudian mendidih, dan akhirnya bergolak hebat. Jemarinya menggenggam erat, menahan perasaan yang mengaduk-aduk sanubarinya. Wajahnya merah padam menahan amarah. Sementara matanya berlapis baluran air kesedihan. Dan sudut hatinya, seakan ditusuk-tusuk ribuan jarum beracun, yang perlahan tapi pasti menebar rasa perih ke seluruh jiwa dan raganya.
"Bangsat! Dasar orang Dayak Siang bodoh! Mau dikasih enak, malah berniat menggigit. Tak tahu diuntung!" Seseorang menggeram marah.
Diang Azizah menggigit bibir.
"Sudahlah! Kamu mengumpatnya nanti saja! Sekarang, cepat kamu laporkan ke 'Onrust'. Cegat mereka di muara sungai, jangan sampai terlambat!" Suara Dayan tegas.
Diang Azizah semakin keras menggigit bibirnya, sampai dia merasa bibirnya pedih dan mengeluarkan cairan asin. Dia mengerjap, menahan gelombang air yang berontak di kelopak matanya.
Dayan, pemuda yang dipujanya itu ternyata bukan seorang pejuang panutan sebagaimana dugaannya semula. Sebaliknya, dia adalah mata-mata Belanda yang dikirim untuk mengorek informasi rahasia. Malangnya, dia mendapatkannya dari Diang Azizah dengan cara menebar pesona cinta. Sekarang, dia bersiap mengabarkan berita itu demi menggagalkan perangkap yang dipasang Temenggung Surapati. Diang Azizah merasa, dirinya gadis paling bodoh di dunia.
Seandainya dia tidak kembali, dia takkan pernah mengetahui kebenarannya. Seandainya dia tidak teringat, dia lupa memperlihatkan sesuatu pada Dayan sebagaimana yang direncanakannya semula. Sebuah benda pemberian Abah, oleh-oleh sekembalinya mengunjungi Pangeran Antasari. Sebuah sumpit dari bambu kuning, khas Suku Dayak, berikut sepuluh pelurunya yang terbuat dari buluh yang ditajamkan dan dibubuhi bisa mematikan.
Diang Azizah mengeraskan hati. Sesaat kemudian, dia sudah melompat, keluar dari rimbunnya ilalang tempatnya bersembunyi.
"Tunggu!" Teriakan Diang Azizah yang menggelegar bagai memantul di batang-batang pohon besar yang mengelilingi mereka. "Tidak ada yang boleh beranjak dari tempat ini!"
Kedua lelaki itu kaget setengah mati, terutama Dayan. Lelaki seorang lagi seusia dengannya, hanya memakai cawat, khas pakaian Dayak pedalaman. Namun tubuhnya terlihat bersih dan terpelihara, tidak terlihat seperti pemuda Dayak pedalaman yang kesehariannya bergelut dengan alam hutan tropis. Berarti, pakaian itu hanya salah satu cara penyamarannya.
"Ading! Ading belum..."
"Jangan sebut namaku dengan mulut kotormu! Bodoh sekali aku, sempat terbuai kata-kata manis penuh bisa yang telah engkau lontarkan. Sekarang aku tahu, kamu ternyata tak lebih dari seorang pengkhianat, budak penjajah yang menjual harga diri bangsanya!" semprot Diang Azizah dengan kemarahan.
"Ding, jangan sekasar itu! Sesungguhnya..."
"Diam kataku! Atau aku akan..." Diang Azizah perlahan mengambil sumpit yang terselip di balik baju kurungnya. Sebelum berangkat, dia sudah mengisi pelurunya, karena bermaksud memamerkan keampuhan di depan Dayan.
"Apa itu...?" Tiba-tiba Dayan tertawa terbahak-bahak. "Sumpit? Kamu akan membunuh kami dengan sumpit murahan itu?"
Lelaki di samping Dayan ikut tertawa. "Tampaknya, pacarmu ini sudah gila! Cepat urus dia! Aku harus bergegas mencegat 'Onrust'."
Dayan mengangguk. Lelaki itu bergerak cepat. Dengan gesit dia melompat, menaiki jukung yang tertambat di batang. Kemudian mulai mengayuhnya menuju muara.
"Tunggu, jangan bergerak! Atau..." Diang Azizah berusaha mencegah.
Tawa Dayan kembali bergema. "Tidak usah repot, Ding! Sumpit itu takkan bisa melukainya. Kalau tidak percaya, coba sumpit aku!"
Diang Azizah menatap Dayan dengan geram, sementara hatinya terasa tercabik-cabik. Bagaimanapun, dia pernah jatuh cinta pada pemuda itu.
"Kenapa diam? Tidak sanggup?" Dayan kembali tertawa pongah. Dia menatap Diang Azizah dengan pandangan meremehkan. "Bila meniup sumpit ke arahku saja tidak mampu, bagaimana pelurunya bisa menembus baju rajahku?"
Darah Diang Azizah bergolak makin hebat. Dia ingat ucapan Abah saat menyerahkan sumpit ini. Katanya, sumpit itu titipan kakaknya Abu Hanifah yang dihadiahi Demang Lehman melalui Pangeran Antasari. Sekilas sumpit itu memang seperti sumpit biasa.
"Namun dengan keikhlasan niat untuk fii sabilillah, sumpit ini akan menjadi senjata luar biasa," ujar Abah menirukan ucapan Pangeran Antasari.
Maka dengan tekat membaja, Diang Azizah mengangkat sumpitnya ke mulut. Dia menarik nafas dalam-dalam sambil mengucap 'Laa haula wa laa quwwata illaa billaah'--- tiada daya dan upaya selain dengan Allah SWT--, dia hembuskan udara yang terkumpul di dadanya sekuat tenaga.
Beberapa detik kemudian, sosok pemuda tampan dan gagah yang semula sangat dipujanya, roboh menimpa semak di tepi Sungai Teweh. Diang bergegas memeriksa sambil tetap waspada. Namun, Dayan benar-benar tak bergerak. Baju rajah kebanggaannya masih utuh. Namun peluru buluh berbisa menembus lehernya, menebar warna biru di sekitarnya.
Allahu Akbar...! Diang mengucap takbir. Meski dijaga beribu jimat dan rajah, bila Yang Maha Perkasa menghendaki, tak satu makhluk pun bisa menghindari.
Air menetes di pipinya. Seketika dia tersadar, tugasnya belum selesai. Bergegas dia berlari menyusuri tepian sungai, menuju arah jukung yang baru saja dikayuh menjauh.
Lima belas menit kemudian, sebuah jukung melaju tanpa kendali dan tersangkut di sebuah batang pohon yang agak menjorok ke sungai, di perbatasan Desa Lontontour. Di dalamnya ada sesosok lelaki berpakaian Dayak tersungkur tak bernyawa. Di beberapa bagian tubuhnya ditemukan peluru buluh yang merajah luka. Hanya lubang-lubang kecil, tapi membuat kulit disekitarnya berubah biru, dan dari lukanya mengeluarkan nanah yang menyebarkan bau busuk menyengat.

***

SEBUAH jukung perang merapat di Kapal 'Onrust'. Para serdadu Belanda menunggu di geladak. Saat penumpang yang berjumlah 15 orang satu per satu turun, Letnan Bangert bergegas menyambut. Dia langsung menghampiri seorang lelaki setengah baya berperawakan tegap berpakaian kebesaran yang didampingi anak dan menantunya.
Rombongan disambut hangat. Mereka dibawa ke kabin kapal yang ditata bergaya modern dan mewah. Mereka dijamu laksana tamu agung. Dihibur bak tamu kehormatan. Letnan Bangert dan kawan-kawannya berusaha keras meyakinkan Temenggung Surapati betapa menguntungkannya tawaran yang mereka ajukan. Temenggung Surapati mendengarkan dengan antusias.
Komandan Van der Velde membawa rombongan berkeliling. Dengan sombong dan bangga, petinggi VOC ini memperlihatkan betapa modern persenjataan yang mereka miliki di kapal itu. Jajaran meriam yang bisa menjangkau puluhan meter berikut gudang pelurunya. Kemudian berpeti-peti bedil dan senjata api lainnya. Belum lagi pedang, senjata andalan ketika peluru mereka habis, serta senjata tajam lainnya.
Sementara itu, di luar kapal, nyaris tanpa suara, puluhan jukung perang mendekat dan merapat. Kegembiraan yang melingkupi kapal membuat mereka lengah dan terlena.
Sebuah jukung yang membawa Gusti Lias yang pertama kali merapat. Dengan isyarat, jukung-jukung lainnya mengepung. Suara berbagai binatang hutan sepanjang sungai tiba-tiba terdengar bersahutan. Sampai suatu ketika, sebuah lengkingan terdengar menyentak. Ibon, putra Temenggung Surapati yang selalu mendampingi di sisi sang ayah menyahut dengan teriakan dahsyat. Bersamaan itu pula, mandau yang terselip di pinggangnya terhunus.
Teriakan Ibon merupakan isyarat bagi orang-orang Temenggung Surapati yang di dalam maupun di luar kapal untuk serentak menyerang. Perang pun tak dapat dihindarkan. Tentara Belanda kalang kabut. Mereka sama sekali tidak mengira akan mendapat serangan mendadak. Maka, sebelum sempat mengacungkan bedil, sabetan mandau sudah menjemput nyawa mereka, atau mata tombak sudah menancak di dada mereka. Mereka panik dan kocar-kacir.
Sekitar 50-an tentara Belanda yang ada di 'Onrust', termasuk Letnan Bangert, dan Van der Velde, tewas. Satu dua orang yang selamat hanyalah para pesuruh yang sengaja dilepaskan untuk memberi laporan yang menampar pemerintah Belanda. Seluruh persenjataan di kapal tersebut diangkut untuk membantu perjuangan Pangeran Antasari. Sementara Kapal 'Onrust' di tenggelamkan.
Kekalahan ini sangat memalukan Belanda. Mereka membalas dengan membumihanguskan kampung-kampung sepanjang Sungai Teweh, termasuk Desa Lontontour. Namun rakyat sudah mengantisipasi datangnya serangan balasan. Sebagian besar penduduk sudah diungsikan ketika Belanda menyerbu dan mengobrak-abriknya.
Haji Ibrahim dan keluarganya mengungsi, mengikuti pergerakan Temenggung Surapati dalam mendukung perjuangan Pangeran Antasari. Diang Azizah akhirnya diizinkan bergabung dengan pasukan wanita yang dipimpin Ratu Zaleha. Dia dikenal sebagai pejuang wanita bersenjatakan sumpit beracun, senjata yang mengingatkannya pada kenangan tentang kabut di Lontontour.[]


(Terinspirasi sejarah tenggelamnya kapal 'Onrust' yang bangkainya masih terkubur di dasar Sungai Barito)

Keterangan:
1) Rumah Banjar Baanjung : Rumah adat Banjar yang punya anjung di bagian kiri dan kanan sehingga menyerupai sayap.
2) Uma : Ibu
3) Ading : Adik
4) Laung ; ikat kepala
5) Tombak balilit : Tombak pendek bermata besi bertangkai kayu ulin.
6) Tombak Carang Laras Hati : Tombak panjang bermata besi bertangkai bambu.
7) Peluru pitunang : peluru yang bisa mencari sasaran sendiri seperti bumerang
8) Baju berajah : baju perang diberi rajah mantera sehingga memiliki kekuatan magis.
9) Baju kurung basisit : baju atas tanpa kancing dengan kerutan di leher, pakaian khas untuk gadis remaja.
10) Dundang : lagu/kidung
11) Dandaman : kangen/rindu

Catatan:
Dimuat di Annida No.17/XIV/16-30 Juni 2005

Sumber:
https://www.wattpad.com/story/135697708-kabut-di-lontontour

0 komentar: