Cerpen Mia Ismed: Jejak Kopimu

09.17 Zian 1 Comments

Malam sepekat kopi. Akan kuseduh mesra untukmu. Bukankah kopi yang sudah mempertemukan kita? Di kedai kopi dalam rinai rimis malumalu. Mata kita saling bertukar dalam diam. Tubuh kopi makin semerbak seakan mengamini hati kita yang saling mengagumi. Harihari berikutnya sering kucuri pandang dibalik jendela kedai itu. Kau selalu disana. Sendiri. Ntah siapakah yang kau tunggu.  Apakah kau coba dengar? Kopikopi itu gaduh menyuarakan hatiku yang sepi.
Selamanya kau tetap bayangan kopi. Hitam bersanding dengan cangkir. Di bawah lampu teplok bergantung sepi. Angin mempermainkan asap hitam. Kau pun ikuti lenggoknya. Sampai malam benar-benar pekat dan lampu seperti mata. Sendiri tanpa tidur semalam suntuk. Bayanganmu mengekor sampai pagi.
Malam ini aku akan meminta tidur di matamu. Bukankah kopi sudah merayumu? Mengusir kantuk yang membuatnya cemburu. Aku akan menikmati pupilmu yang mengecil. Dan aku berharap menjadi bintang yang kerlip bersanding dengan bayangan kopi. Aku dan kopi adalah satu wadah. Ingin kau rindui setiap pagi dan menjelang malam. Berharap kantukmu adalah aku. Dan kopi akan sangat bahagia menyaksikan aku pulas di matamu.
Kueja bibirmu di warung-warung kopi. Barangkali bibir kita pernah satu cangkir. Mengatup lama menghirup rindu pada sebuah warna. Hitam adalah pilihan ketika ada pembading putih pada susu. Aku datang ke kotamu hanya untuk menelusuri bibirmu yang tercecer di sendok dan cangkir. Ah ..., aku sungguh cemburu. Sedekat itukah kalian? Sedangkan kita tak.
Aku terus berselancar di gelap malam dengan harapan kau duduk manis di salah satu kedai kopi langganan kita. Hujan pun berhenti sedangkan kopiku masih separuh. Kau bilang ini tanggung. "Ah, kamu!." Kubiarkan kopimu menguasai pikiranku. Hujan sudah mewakili. Menjengukku hari ini.

*** 

Kopi hitam manis ini layaknya senyummu yang terus meneror rindu di cangkir keramikku.Top of Form
Aku semakin menggilaimu seperti kopi. Ingin rasanya kukemasi racunmu. Tanpa jejak. Cukup sajalah menjadi air tawar tanpa hitam. Kopi sudah menjadi karbon yang beku. Tak perlu lagi aku ingat tentang warna krem kopi susu nikmat. Air tawar adalah senyummu tanpa rasa. Sepertinya rasa itu jejak, dan kita tak perlu mencari tapak kaki kita yang hilang. Cukup bumi yang tahu. Merekam jejak kita termasuk cangkir yang pernah singgah di bibir manusia. Bukankah rasa itu hanya soal asumsi? Bahwa garam itu asin, gula itu manis dan asam itu kecut. Pernahkah kita berpikir rasa pahit kopi akan manis ketika bertemu dengan gula? Akan bertambah nikmat ketika bercampur krimer atau susu. Diminum pakai es atau panas. Pakai cangkir atau gelas. Makannya di warung atau saat lesehan di atas tikar. Bersama pacar atau sendirian. Ditemani pisang goreng atau telo godog. Saat hujan atau cuaca gerah. Ah ..., lagi-lagi aku mengkhayal tentangmu.
Pernah suatu hari kau bilang, "Kopi buatan kedai ini hambar dan tak menarik lidah." Lalu kubilang, "Cobalah kau tambah sedikit garam, sayang. Bukankah garam dipercaya sebagai penguat rasa?"
Garam? Aku teringat kata-kataku sendiri. Dan kopiku kali ini benar-benar hambar tak menarik sama sekali seperti kopimu saat itu. Aku baru merasakan rasa itu juga layaknya kopi kadang hambar karena duduk dengan bangku kosong tanpa teman.

***

Di hari kesepuluh aku tetap memikirkan, ke mana lagi aku harus menelusuri jejakmu di kota ini. Menemui bibirmu barangkali masih terlukis jelas di cangkir-cangkir itu. Berharap tetap ada tanpa sentuhan pembersih piring atau disentuh dengan bibir yang lain. Ah..., aku semakin cemas saja. Pada malam, di bawah teriakan lampu kota yang seakan menjerit-jerit agar aku tak menyerah. Mengejar jejak yang belum terbaca sampai kini. Kubalikkan arah ke Jalan Babarsari, ada beberapa tempat ngopi yang sering kita kunjungi di sana.
Di Gang Amandit dekat Wartel Mayzen, tepatnya di angkringan Pak Soleh. Hatiku mulai sumringah. Mengapa baru kuingat tempat itu. Aku teringat tawa Pak Soleh yang renyah menambah tempat itu kian hangat. Sesekali kelakarnya membuat aku malu.
"Ndin, kalau perlu kehangatan jangan lupa datangi Pak Soleh. Akan kubuatkan kopi jahe rasa rindu," katanya melirikku yang lagi menikmati ceker bakar dengan nasi kucing.
Dengan sigap lelaki kopi yang kugandrungi akan menjawab, "Ah, Pak Soleh... Bukankah aku satu-satunya kopi yang bisa memberinya kehangatan?"
Tawa kami pun pecah.
Ya, ya, Pak Soleh. Aku akan segera ke sana.
Angkringan itu tetap sama seperti dulu. Yang membuatnya agak sedikit berbeda, di samping kanan dibuat lesehan memakai plastik baliho bekas pemilukada tahun lalu. Juga terlihat lelaki berperawakan sedang tengah meracik kopi jahe. Apakah itu asisten Pak Soleh? Bartender baru di angkringan itu. Langkahku semakin dekat.
"Kopi jahe rasa rindunya ada, Pak?" tanyaku tanpa basa-basi. Lelaki itu pun heran menatapku. Bukankah kopi rasa rindu dua tahun lalu hanya Andin dan Rico pemiliknya? Mungkin begitu pikirnya.
"Maksud, Mbak, kopi apa ya? Kok saya sedikit kurang paham?"
"Iya, Pak. Saya minta dibuatkan kopi jahe rasa rindu, khusus bikinan Pak Soleh," jawabku lantang dengan sedikit melotot.
"Andien? Ya, apakah ini Andien?" tanya Pak Soleh berulang-ulang meyakinkan matanya.
"Masak lupa sih, Pak. Ini Andien. Aku sangat rindu kopi angkringan ini yang tidak dimiliki kedai manapun."
Tawa kami berderai. Angkringan itu makin riuh saja dengan pembicaraan kita. Sedangkan mereka yang menikmati hidangan angkringan seakan angin lalu. Kursi panjang itu sudah kukuasai. Ceker dan teman-temannya juga khusyuk mendengarkan perbincangan kami.

***

Malam-malam berikutnya langkahku tak pernah berhenti mengunjungi angkringan Pak Soleh. Tinggal dua malam saja aku bisa menikmati kopi kenangan. Dengan orang-orang yang menjadi saksi kenangan itu. Jejak kopi itu rupanya sudah menemukan cangkir terakhirnya.
"Jadi ..., kalian ndak pernah saling ketemu semenjak wisuda itu ya, Ndin?"
"Begitulah, Pak. Waktu itu komunikasi kami terputus. Hapeku hilang di perjalanan pulang menuju Bogor."
"Apa tidak menghubungi alamat rumahnya, maksudku mengirim surat?"
"Alamatnya pun aku tak tahu, Pak."
"Kok lucu lo, pacaran sudah lama ndak tahu alamat rumah. Wes... wes..."
"Perlu tahu ya, Pak?"
"Ya, iya lah, Ndien. Kalau sudah begini kamu mau nyari di mana? Hayo. Lak repot."
Pak Soleh memang tak pernah berubah. Gaya bahasanya yang medok. Tangannya terampil membakar kepala ayam dan ceker pesanan pelanggan. Ah ..., paling tidak kerinduanku sedikit terobati. Pak Soleh sudah menghadirkan kenangan itu di mataku malam ini.
"Kamu di Jogja lama po, Ndin?"
"Nggak, Pak. Besok malam saya pulang."
"Lho, kok cepet balik to? Ndak nyari hyangmu dulu sampai ketemu, to?"
"Barangkali dia sudah menemukan cangkirnya, Pak."
"Ceritanya kamu pasrah to wesan?"
"Entahlah, sampaikan salamku saja padanya ya, Pak. Siapa tahu dia datang ke angkringan ini. Aku masih ingin kopinya yang dulu. Hangat melebihi kopi jahe Pak Soleh. Sudah gitu ajah."

***

Pukul tujuh belas nol-nol kereta jurusan Jogja-Jakarta sudah menanti. Kulangkahkan kaki yang sepertinya enggan menginjak gerbong itu. Kaki kiriku seakan berbisik, "Yakinkah kau tak lagi ingin mencari jejak kopimu yang hilang itu? Apakah kau sudah menyerah? Dan kembali pulang dengan pikiran kosong? Atau memang kau sudah ikhlaskan semuanya? Tentang kenangan? Tentang kehangatan yang tak pernah kau dapatkan di kedai kopi manapun? Kau lemah! Kau kalah! Kau hanya pecundang!" Teriak kaki seakan memakiku dengan lantang.
Sedangkan kaki kananku juga tak kalah menimpali, "Kau harus pulang, Andien. Masih ada hari esok atau lusa kau jemput kopimu. Bukankah rindu itu tak perlu kau bayar tuntas sekarang? Kau bisa mencicilnya dengan waktu. Abaikan sepimu, abaikan dinginmu. Kau sudah kirimkan salam di angkringan itu. Kelak kopimu akan menjemputmu di gerbong-gerbong senja bersama malam yang indah."
Senja itu menenggelamkan gerbongku. Di jendela yang terlihat hanya gambarku membias di kaca. Di luar terlalu gelap. Bintang terlihat samar beradu dengan angin yang ditebas-tebas gerbong.
"Mau kopi,  Mbak?" sebuah tanya mengagetkan lamunanku. Pemuda berjaket kulit menawarkan kopi botol ke arahku.
"Terimakasih." Kutolak tawarannya dengan senyum dingin. Aku tak akan pernah menggantikan kopinya dengan kopi siapapun saat ini dan entah sampai kapan.[]

Sumber:
Ismed, Mia. 2017. Jejak Kopimu. Banjarmasin: Tahura Media
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/5d9368d6097f366e74422123/jejak-kopimu

1 komentar: