Cerpen Ratih Ayuningrum: Senja di Pulau Sembilan

12.12 Zian 0 Comments

Cerpen Ratih Ayuningrum: Senja di Pulau Sembilan


SEPERTI aku, hujan adalah hal yang paling ditunggu olehnya. Hujan yang menyisakan lelehan air di jendela dan berubah menjadi embun yang mengaburkan pandangan. Hujan yang selalu menaburkan jutaan harapan pada daun, bunga, biji dan, pada kehidupan. Hujan yang menjelma dia, sejuta makna menyirami hatiku.

Hujan pagi itu. Kami selalu menanti hujan yang turun dari langit. Berbaur dengannya. Menari-nari di antara hujan yang menderu. Mengekspresikan banyak kegembiraan. Bagi kami hujan adalah kehidupan yang ranum. Menikmatinya sembari menyesap aroma teh yang mengepul-ngepul di udara. Khusus untuk kegemaran minum teh, kami memiliki perbedaan. Bagiku teh hijau dengan sedikit gula sangat nikmat dinikmati saat hujan turun. Mengalirkan hangat melalui tenggorokan dan ke selumh tubuh. Sementara dia, dia lebih menyukai teh melati yang sebenamya sangat tidak kusukai. Tapi, sudahlah ini hanya soal selera. Setidaknya selama dia tidak memaksaku untuk menyukai seleranya secara berlebihan, itu tidak masalah. Kalau hanya sekedar menyesap baunya saja aku masih bisa tahan.
Dan hujan pagi itu. Kami memilih untuk memandangnya di jendela. Tidak ikut menari-nari di dalamnya seperti yang sering kami lakukan. Kami, sepertinya aku perlu sebuah jeda untuk berbicara. Ruang yang hanya dipahami oleh kami berdua. Ruang yang seharusnya sejak lama harus kuciptakan. Akh, tapi entah. Aku tak jua kunjung bicara. Hujan kali ini hujan yang kelu, bagiku.
"Asila sekarang sudah tambah cerewet. Aku benar-benar kewalahan terus-menerus diberondong pertanyaan olehnya." Ujarku sembari membenahi riasanku. Hujan yang semakin lebat. Seharusnya saat ini kami telah berada di antara para pecinta hujan. Menerobos tanpa peduli akan gigil yang kemudian. Namun, ruang ini benar-benar perlu untuk kami hadirkan, karena kami pun sebenarnya tidak pernah punya banyak kesempatan.
"Bukankah dia tumbuh menjadi anak yang sangat cerdas. Aku yakin kecerdasan itu berasal darimu."
Aku tersenyum. Selalu begitu. Dia selalu punya ucapan yang mampu membuat segala rasa hati terbang ke angkasa. Dan itu yang kusukai darinya. Entah ada berapa hal yang benar-benar kusukai darinya. Tak mampu kujelaskan. Tapi, setiap dengannya aku merasa nyaman. Dan itu luar biasa. Tidak ada yang sesempurna ini. Segala perasaan nyaman tentu tidak dapat diciptakan begitu saja oleh rupa materi dan benda. Dia datang menyelimuti hati dan perasaan.
"Tadi siang ada pasien yang datang untuk berobat. Benar-benar pasien yang lucu."
"Oh ya? Yang mana?"
"Kamu tidak memperhatikan?"
Dia menggeleng, pelan. Matanya menatap titik hujan yang berubah menjadi gerimis.
Kuseruput kembali teh hijauku. Sudah mulai mendingin. Aku meletakkannya kembali, tak berselera.
"Tidak biasanya pada pertemuan kita kamu bersikap acuh seperti ini. Apalagi jika membahas tentang Asilla, putriku. Kamu sangat begitu antusias. Bukankah kamu sangat menyukai anak perempuan?"
"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku."
"Istrimu?"
Dia tidak menjawab. Hanya memenuhi sejenak rongga dadanya dengan beberapa hembus udara.
"Dia memutuskan untuk pindah. Membawa anak-anak kami. Pergi ke suatu pulau. Pulau yang pernah menjadi bagian dari cerita kami."
"Kamu mencintainya? Maksudku, kamu masih mencintai mereka?"
"Entahlah. Tapi, aku menyayangi anak-anakku."
Aku melempar pandang keluar. Menyaksikan rinai gerimis yang kembali menebal memenuhi jalan.

***

Kami bertemu empat tahun yang lalu. Ditempatkan di salah satu puskesmas yang sama di kota ini. Kesukaan kami pada hujan sering menjadikan topik tersebut sangat menarik untuk dibicarakan. Terlebih ada banyak waktu kosong sehabis bekerja yang kami manfaatkan untuk minum teh bersama.
Aku adalah seorang dokter di salah satu puskesmas di kota kecil ini dan dia adalah seorang perawat laki-laki. Sejak pertama bertemu dengannya, ada sebuah kenyamanan yang menyelimuti hatiku. Entah, dengannya selalu nyaman. Tatap matanya, caranya memuji dan semua yang dilakukannya begitu sempurna di mataku. Mungkinkah aku jatuh cinta?
Berbulan-bulan awal pertemuan kami aku hampir mampu memastikan bahwa aku hanya simpatik padanya. Tubuhnya yang atletis dan sorot matanya yang tajam memang dapat dijadikan modal utama membius lawan jenis. Tetapi, aku hanya simpatik padanya. Mungkin simpatik. Entahlah, aku pun ragu.
Setelah pertemuan demi pertemuan. Beberapa kali janji temu untuk minum teh bersama, aku tidak mampu menyangkal lagi bahwa ini bukan hanya sekadar simpatik saja. Aku benar-benar jatuh cinta.
"Aku menyukai anakmu. Aku selalu menginginkan anak perempuan. Anakku keduanya laki-laki. Istriku baru saja keguguran setelah mengandung anak ketiga. Padahal aku sangat berharap bahwa anak ketiga kami perempuan."
"Bukankah biasanya laki-laki teramat menginginkan anak laki-laki juga."
Dia tersenyum. Gelas teh terangkat dan dia pun menyesap pelan. Aku mencuri pandang.
"Anak perempuan itu lucu. Aku sangat senang melihat pernak-perniknya yang unik dan lucu. Lihatlah anakmu, Assila. Dia sangat lucu dan juga manis. Terlebih dia cerdas, sama sepertimu. Aku sangat mengagumi perempuan dengan kecerdasan tingkat tinggi. Bagiku perempuan seperti itu sangat menarik."
"Apakah istrimu tidak mewakili ekpektasimu tentang hal itu?"
Dia kembali tersenyum.
"Istriku sempuma. Hanya saja sepertinya aku jatuh cinta dengan orang lain."
Senja itu aku dan dia kemudian membuat kesepakatan untuk lebih sering bertemu. Kami jatuh cinta, walau aku tahu akan ada suamiku yang terluka dan istrinya juga. Namun, perasaan ini terlalu rumit untuk kami tutupi. Dia selalu membuatku merasa nyaman. Entah kenapa.

***

Senja di tempat ini adalah senja yang pernah kami bicarakan bersama. Senja yang begitu manis. Senja yang sedianya akan kami nikmati berempat. Aku, suamiku, dan juga dua anak lelaki kami.
Kuambil beberapa foto. Senja di tempat ini benar-benar menghipnotis. Seolah pada bagian ini senja adalah cinta kesekian yang tidak pernah akan tenggelam. Senja pada bibir pantai. Senja yang memantul keemasan pada air laut yang sesekali tepiannya memecah berubah menjadi buih berserakan. Senja ini, adalah senja yang seharusnya milik kami berempat. Namun, mungkin senja kali ini adalah senja yang harus rela kunikmati sendiri.
"Mama!"
Sebuah teriakan membuatku berpaling. Sejenak memberikan jeda antara aku dan senja yang mulai perlahan tergelincir.
Anak keduaku Deni, yang baru berumur tujuh tahun berlari menujuku. Aku tersenyum. Semakin besar wajah Deni sangat mirip dengan ayahnya. Matanya, serta gaya bicaranya yang lugas sangat mirip dengan ayahnya. Berbeda dengan kakaknya Surya, yang sekarang sudah berumur dua belas tahun. Secara fisik Surya memang mirip ayahnya, namun dia jauh lebih pendiam. Akh, kulempar ingatan. Bukankah seharusnya aku tak tenggelam dalam kenangan karena kenangan selalu membuatku mundur menengok ke belakang.
Langkah kaki kecil Deni sampai di ujung jembatan.
"Sini, Mama ambil fotomu. Coba lihat senja itu. Indah bukan?"
Deni mengangguk. Wajah kecilnya begitu ceria. Aku ikut tersenyum. Anak seusia Deni tentu tidak pernah mengerti tentang arti kepindahan ini. Baginya kepindahan kami ke pulau terujung Kotabaru ini adalah sebuah kesenangan. Sebuah petualangan. Berada di sebuah tempat di mana laut adalah hamparan biru yang terbentang luas. Berair jernih sehingga kadang terumbu karang pun terlihat dari atas permukaan air laut. Sejak kecil, Deni sangat menyukai laut, hutan dan segudang aktivitas fisik yang melibatkan alam. Persis ayahnya. Lagi-lagi kenangan itu menyeruak di ingatan.
"Kamu tahu, senja di pulau sembilan itu sangat indah. Apabila senja, kamu tidak akan pernah beranjak dan berharap setiap hari hanyalah senja."
"Masa?"
"Kalau kamu tidak percaya, suatu saat kalian akan kuajak ke sana. Kita menikmati senja setiap hari sampai kalian bosan."
Percakapan itu adalah setahun yang lalu dengan suamiku. Tepat setahun sebelum akhirnya aku mencium gelagat yang menghempaskan semua asa yang kami bangun bertahun-tahun. Aku hanya tahu bahwa suamiku sangat menyukai ritual minum teh selepas bekerja dengan teman-temannya. Namun, yang tidak kuketahui adalah bahwa ternyata ritual itu tidak dia nikmati dengan teman-temannya, melainkan hanya dengan seorang teman saja. Seorang dokter cantik di puskesmas tempatnya bekerja. Ada masa-masa menjenuhkan dalam rumahtangga yang memang pernah kami lewati. Namun, aku yakin bahwa cinta kami yang besar mampu mengatasi kejenuhan itu. Namun, ternyata titik jenuh itu membawa sebuah kesimpulan baru dalam rumahtangga kami. Suamiku memilih untuk jatuh cinta dengan orang lain dan jelas itu sangat menyakitkan.
Aku mengembuskan napas. Dan sekarang kami ada di pulau ini, kami bertiga, tanpa suamiku. Aku mengajukan pindah bekerja di pulau ini. Mengabdi pada sebuah sekolah menengah atas. Pulau sembilan. Sebuah pulau terujung dari kabupaten Kotabaru. Untuk mencapai ke sini dari Kotabaru alat transportasi satu-satunya yang tersedia hanyalah kapal Perintis milik pemerintah.
Di sini senja memang selalu indah. Aku selalu saja mengirimkan foto-foto senja itu kepada seorang kawan di kabupaten Kotabaru yang sangat tergila-gila dengan senja. Dia selalu saja antusias ketika foto-foto senja itu terkirim di ponselnya. Kuharap suatu hari, dia pun dapat menikmati senja di tempat ini, bersama kami bertiga.
Senja perlahan menggenapkan sinarnya. Aku menggandeng Deni yang berjalan ceria di sisiku. Pelan, aku menyembunyikan cairan bening yang perlahan luruh di sudut mata.

***

Berhari-hari dia melamun. Kudapati di meja kerjanya, matanya lebih banyak kosong. Beragam cerita yang kubawa tidak ada satu pun yang menarik perhatiannya.
"Nanti sore kita minum teh, yuk. Di rumahku. Assila sangat ingin bertemu denganmu. Dia sering menanyakanmu."
Dia menoleh. Sejurus kemudian menggeleng lemah. Aku mengerutkan kening. Biasanya ideku untuk membawanya bertemu dengan Asilla adalah jurus jitu memenangkan hatinya. Asilla adalah sosok kegemarannya dan sebaliknya, Asilla pun sangat menyukainya. Dia seolah menemukan figur seorang ayah pada diri lelakiku setelah setahun yang lalu aku dan suamiku bercerai. Suamiku mengendus kecuranganku di belakangnya.
Tentu saja egonya sebagai suami dan lelaki terusik. Namun, dia tidak ingin menceraikanku. Dia sebenarnya tidak sepenuhnya menyayangiku. Keputusannya untuk bertahan adalah hanya karena Asilla. Bukan karena dia mencintaiku sepenuhnya. Tentu bertahan dengan ketidaknyamanan seperti itu membuatku merasa hidup sangat menjemukan. Aku meminta berpisah. Tokh, kebersamaan yang tidak nyaman bukan alasan yang tepat untuk dipertahankan. Suamiku adalah seorang yang kaku dan tidak pandai membaca perasaan seorang perempuan. Sangat menjemukan. Bertahan dengan penuh konflik dan rasa enggan tentu akan membunuh psikologisku sebagai seorang manusia normal. Lagipula konflik kami berdua sangat tidak baik untuk perkembangan psikologis Asilla.
Terlebih dari semua itu, aku menemukan kenyamanan yang berbeda dari seseorang.
"Kamu kenapa?" Aku memelankan suaraku. Takut ada yang menangkap keganjilan yang kami ciptakan. Ruangan kerja lelakiku ini kebetulan tengah kosong. Dua rekannya yang bertempat di ruangan ini tengah berada di ruang lain, berbagi cerita. Puskesmas telah tampak sepi. Tidak ada pasien lagi. Ini memang sudah jam tutup pemeriksaan. Hanya saja pegawai puskesmas harus bertahan hingga batas jam pulang yang telah ditentukan.
"Tidak kenapa-napa," sahutnya singkat.
"Tidak biasanya kamu seperti ini."
"Aku hanya merindukan anak-anakku. Sudah berapa lama mereka pindah mengikuti istriku dan belum memberi kabar. Aku mengkhawatirkan keadaan mereka."
"Mereka?" tanyaku penuh selidik.
"Maksudmu?"
"Apakah kamu hanya merindukan anak-anakmu?" Dia membuang pandang.
"Nanti sore kita minum teh bersama. Tapi, tidak di rumahmu. Di tempat biasa saja. Ada yang ingin kubicarakan," tukasnya.

***

Ada banyak senja yang pernah kami nikmati. Namun, selalu saja kuceritakan kepada istriku bahwa senja di pulau sembilan sangat berbeda. Dia dibuat dari rindu dan juga kepingan cinta. Senja itu selalu memanggil-manggil untuk kembali.
"Senja itu melebihi cantiknya senja seorang kekasih yang dipersembahkannya untuk Alina?*"
"Dari mana kamu bisa memastikan hal itu? Bukankah senja untuk Alina adalah senja yang paling indah? Senja yang menginspirasi banyak orang untuk jauh menjadi lebih romantis."
"Bukankah sedari kecil senja itu yang menemanimu? Pantulan cahayanya pada bibir pantai di depan rumahmu, adalah lukisan tercantik yang pernah dipahat oleh waktu."
Istriku memang dibesarkan di pulau itu. Sebuah pulau yang masih menyimpan keaslian alam dan laut yang memukau. Tentu saja, senja yang tak tertandingi indahnya. Senja yang pernah menawanku pada senyum seorang gadis pulau itu. Gadis yang kemudian kubawa meninggalkan senja miliknya untuk bersama berjanji denganku mengarungi hidup. Kini, dia memilih kembali ke pulau itu. Setelah banyak senja hanya mampu untuk kuceritakan dan kemudian kunikmati bersama orang lain.
Senja itu dibuat dari rindu dan kini aku merindukannya. Tidak, aku tidak hanya merindukan senja pada pulau itu. Namun, ternyata aku jauh merindukan sinar senja yang dipahat di wajah istri dan kedua anakku. Ada keteduhan yang tidak kutemukan pada senja manapun. Sebuah sinar keemasan yang dipintal oleh kesabaran dan banyak cerita kehidupan. Akh, betapa naifnya ketika aku terperangkap pada senja yang lain.
"Kupikir selama ini kamu benar-benar mencintaiku."
"Entahlah, kupikir aku telah benar-benar jatuh cinta denganmu. Namun, ternyata setelah sejauh ini aku merasa sangat kosong. Aku jauh merindukan mereka."
Kusesap teh yang masih mengepul. Minum teh bersama, ritual yang sering menyatukan kami dalam banyak hal, kali ini menjadi ritual yang tak dapat kami pahami.
"Aku merindukan...." Aku terdiam. Terasa ada sesuatu yang tercekat di tenggorokanku "Aku merindukan istriku. Sangat merindukannya."

***

Dia masih mencintai perempuan itu. Istrinya. Aku memang tidak pernah berhak atasnya pun ketika istrinya memilih menjauh. Aku hanya mencintainya dan yang paling aku pahami adalah bahwa aku memang terlalu mencintainya. Terlebih ketika Assila, anak perempuanku, gadis mungilku sangat mengidolakannya.
Kini, dia memilih menjauh. Meragukan rasa jatuh cinta yang pernah kami sepakati. Aku memang tidak pernah berhak untuk memaksakan karena memang ada seorang perempuan dan bukti cinta yang mereka miliki menjadi penguat atas segala komitmen. Aku hanya mencintainya, jatuh cinta berkali-kali pada setiap rasa nyaman yang menjalari hatiku.
Dan hujan pagi itu. Kami memilih untuk memandangnya di jendela. Tidak ikut menari-nari di dalamnya seperti yang sering kami lakukan. Kami, sepertinya aku perlu sebuah jeda untuk berbicara. Ruang yang hanya dipahami oleh kami berdua. Ruang yang seharusnya sejak lama harus kuciptakan. Akh, tapi entah. Aku tak jua kunjung bicara. Hujan kali ini hujan yang kelu, bagiku.

***

Kapal ini sebentar lagi berangkat. Malam semakin menjelang. Lalu lalang kelasi. Hilir mudik penumpang. Tumpah riuh suara tangis anak kecil bercampur dengan bau muntahan penumpang yang mulai terserap aroma mabuk laut. Aku mengamati segalanya. Kudekap rindu yang menggelegak.
Senja itu dibuat oleh rindu dan aku sangat merindukannya. Aku ingin menjemput senja yang penuh keteduhan. Rasa damai dalam jiwaku. Aku ingin menikmati senja itu bersama dengan segenap bagian jiwaku. Entah, walau mungkin tak semudah itu senja itu akan bisa kunikmati bersama kehangatan sebuah keluarga.
Suara peluit panjang pertanda kapal akan segera berangkat. Kudekap rinduku. Ingin kulabuhkan segenap rindu itu pada senja keemasan di pulau sembilan.[]

*Tokoh rekaan dalam "Sepotong Senja untuk Pacarku karya SGA

Untuk seorang sahabas di pulau 9

Sumber:
Media Kalimantan, 4 September 2016

0 komentar: