Cerpen Mia Ismed: Layung Rampan

09.10 Zian 0 Comments

Menjadi anak berkebutuhan kusus bagiku bukanlah petaka. Ya mungkin sebagaian orang memandang memiliki anak seperti aku adalah sebuah aib. Tapi tidak dengan ibuku. Ibu memperlakukanku istimewa. Aku sekolah di sekolah luar biasa di kota Batulicin.
Ayahku seorang pelaut. Setiap seminggu sekali atau kadang sebulan sekali kapalnya bersandar di pelabuhan Batang. Seperti anak kebanyakan aku rindu bermain dengan Ayah. Tapi tidak demikian yang kuterima. Ayah belum bisa menerima kehadiranku.
Setiap kali ia pulang aku berusaha mendekatinya, tersenyum padanya, menjabat tangannya. Ah, sudahlah. Yang kuterima sebaliknya, Ayah selalu menampiku menghindariku dengan kata-kata yang kasar.
"Minggir sana, aku capek." Ayah menatapku dengan pandangan tak suka.
Aku yang rindu sosok ayah, ingin sekadar bersenda guarau dan bercerita tentang banyak hal akhirnya harus pupus. Kukemasi semua sedihku, untuk sekadar menitikkan air matapun kutahan. Aku tak ingin ibu sedih dan ayah menghujaniku dengan segala sumpah serapahnya.
Ayahku tergolong temperamen. Sudah lima tahun terakhir Ayah selalu berpindah-pindah lokasi memasok minyak tanah melalui jalur laut. Itu membuat kekhawatiran Ayah terhadap cinta ibu yang pudar. Ayahku dilanda cemburu hebat. Ibu seorang pedagang warung makan di pinggir jalan kabupaten. Dagangannya laris manis. Ibu wanita ramah dan berparas cantik, kulitnya kuning langsat.
Badannya tinggi dengan rambut hitam lurus sebahu. Selain keistimewaan ibu secara fisik, soto ibu tergolong mempunyai citarasa yang khas ayam kampung dengan harga ekonomis. Tak heran jika warungnya setiap saat ramai dikunjungi pegawai pemerintah maupun perusahaan sekitar tempat tinggal kami.
Mungkin lantaran itu, Ayah sering cemburu. Hatinya selalu diracuni curiga dan prasangka yang tak baik terhadap ibu. Terlebih sejak kehamilan ibuku yang ketiga. Yang Sebelumnya melahirkan aku yang tidak sempurna. Ayah semakin tidak menghargai ibu seperti wanita kebanyakan. Setiap saat ibu menjadi korban kekerasan Ayah.
"Tuh kasi tahu anak perempuanmu, dan juga janin yang kau kandung itu. Kamu selingkuhkan! Jangan kasi dia sekolah lagi, kalau kulihat dia masih keluar-keluar rumah, kuhajar kamu. Kamu kasi sekolah dia buat apa!."
"Satu lagi mulai besok warung itu tak ada lagi. Bukankah setiap aku tak ada. Kau selingkuh dengan ustadz itu. Kamu tahu setiap aku pulang, aku selalu mengawasimu dibalik jendela. Kau layani ustadz itu sambil tertawa. Sedangkan kau tak tahu suamimu dibalik jendela sedang menangis. Istrinya sedang melayani laki-laki lain di depan matanya."
"Cukup Bang, aku ini penjual makanan. Bagaimana tidak kulayani para pembeliku. Ustadz Darwin itu tetangga kita. Dia orang baik, bagaimana Abang tega memfitnah berselingkuh dengan aku Bang. Tempo hari saat Abang lihat, dia  sedang menunggu jemputan bus karyawan di warung kita sambal makan siang.
Apakah cukup bukti kau tuduh istrimu itu selingkuh. Ingat Bang, Abang cemburu buta hingga semua yang melekat padaku itu selalu Abang anggap salah. Mana mungkin aku selingkuh Bang. Jika aku mau selingkuh tak perlu diwarung itu Bang. Aku bisa pergi keluar kota saat Abang tak ada. Tapi aku punya iman Bang."
"Diam kamu!. Sudah salah, masih ngelak jua kau ini. Semalam kutanyakan hubunganmu  pada Julak Ijay. Apa benar biniku ada hubungan dekat dengan ustadz gadungan itu? Julak bilang padaku. Kalian sering duduk berdua di warung itu. Berarti benar perasaanku selama ini, bahwa kau selingkuh!". Tangannya menjambak rambut ibu dengan kasar.
"Jangan mengelak kamu!."
"Sakit Bang. Istigfar Bang, Abang pergi ke dukun menanyakan perihal istri Abang? Dosa Bang jika percaya sama dukun. Abang masih meragukan istri Abang dengan penglihatan Abang yang cuman sebatas. Kenapa tak Abang datangi saja istri Abang kewarung. Abang tegur langsung jika aku salah." Ibu menangis sesegukan. Kusaksikan dari balik tirai kamar. Aku meringkuk, mataku membasahi tirai maroon itu.
"Mana ada orang selingkuh mengaku. Awas kamu keluar rumah, kuhajar nanti!. Layung masuk kamarmu!" tangan Ayah menyeret ibuku kedalam kamar. Terdengar suara pintu itu ditendang menggelegar. Ibu menangis. Dan aku hanya terdiam di sudut kamarku. Aku takut Ayah memukul ibuku lagi.
Kakakku Hanung yang seharusnya menjadi tameng ibu malah sebaliknya. Ia juga seperti halnya Ayah yang tak bisa menghargai perempuan termasuk kepada ibu. pernah suatu kali Ayah bertengkar hebat. Ibu dengan sekuat tenaga menghindari amukan Ayah hingga kepalanya terbentur, tangannya diseret masuk kedalam kamar.
Tak hanya itu kedua paha ibuku diinjak-injak Ayah supaya tak bisa lari kemana-mana. Aku yang bisu hanya menangis merangkul badan ibuku yang tak berdaya.  Mas Hanung dari kejauhan hanya menyaksikan kosong tanpa ada pembelaan terhadap ibuku yang sekarat.
"Ibu juga yang salah, kalau Ayah marah jangan dilawan. Jadinya beginikan. Badan ibu sakit." Mas Hanung sambil menggeloyoer pergi tanpa beban.
Ya allah ya tuhan yang maha pengasih, lindungilah ibuku. Entah sampai kapan perempuan tangguh itu harus merelakan tubuh dan hatinya remuk karena Ayahku. Ya allah dosakah aku membenci Ayah. Orang yang menaburkan benihnya di rahim ibuku yang malang itu. Pantaskah kusebut Ayah sedangkan kelakuannya tak bisa dikatakan sebagai manusia normal. Aku yang sunyi, aku yang dilahirkan tak sempurna membuat hatinya malu. Dan karena itulah ibuku selalu diperlakukan seperti manusia bodoh.
Pernah suatu hari ketika Ayah pergi melaut.  Aku berusaha meminta bantuan keluar rumah  mengadukan keadaan ibu kepada bibiku. Ibu kala itu disekap disebuah kamar rumahku. Aku berharap bisa memberikan angin segar untuk kebebasan ibu.  Tapi bibiku seakan menutup mata dengan kondisi kami.
"Sudahlah Layung, percuma kau datang kemari. Bibi tak bisa menolong ibumu. Kamu tahukan Ayahmu sejak dulu seperti itu. Kalau bibi menolong ibumu bisa-bisa bibi yang akan diancam, dibunuh Ayahmu barangkali. Biarkan saja ibumu. Ibumu itu wanita bodoh. Dia buta huruf. Dulu dia tak pernah sekolah. Kalau dia pintar, seharusnya dia lari tinggalkan bapakmu. Percuma Layung bibimu menolong kalau ibumu tetap mempertahankan lelaki itu. Seperti tak ada laki-laki lain saja!." Jawab bibi seakan hatinya mati.
Aku tertunduk lesu bukannya pertolongan yang kudapatkan. Lagi-lagi ibu yang selalu dipersalahkan. Tuhan pada siapakah aku harus mengadukan semuanya. Ya allah, sekiranya hamba kuat akan kulawan perlakuan Ayah dengan akalku. Rampan, bagaimana kabarmu di sana?
"Rampan semoga kau bisa mewakili hidupku yang sunyi. Akan kutunjukan kepada Ayah. Layung tak selemah yang semua orang kira. Layung ingin dicintai seorang lelaki istimewa dalam hidup Layung. Kutatap wajahku dicermin kamar itu, Layung itukah wajahku, tersirat wajah ayah di mata dan hidungku, rambut dan kulitku mewarisi kecantikan ibu. Tapi mengapa ayahku selalu menganggapku taka da? Apakah karena aku tak bias bicara? Ayah, suatu hari nanti, Layung ingin menjadi kebanggaan Ayah."
Kuusap Rampan tokoh utama sketsa karakter yang menjadi pemeran utama di komik berseri itu. 

***

"Layung sebentar lagi kakakmu akan menikah. Dan adikmu akan lahir ke dunia. Ibu berharap kamu menjadi kakak yang hebat." Ibu memelukku erat dari belakang kursi laptopku.
"Saat ini ibu hanya bisa di rumah, warung makan kebanggaan ibu kini sudah rata dengan tanah. Ntahlah Nak, apa yang ada dipikiran Ayahmu itu. Ibu selalu berusaha menjadi ibu yang baik. Istri yang setia. Apapun yang dimaui Ayahmu ibu turuti. Tapi ibu sangat sakit jika kamu dijadikan bahan cemoohan Ayahmu sendiri.
Layung maafkan ibumu, Nak. Ibu dengan sekuat tenaga supaya kamu tetap bisa sekolah, berpendidikan. Tidak seperti ibumu. Wanita bodoh dan tidak bisa berbuat banyak bahkan untuk tubuhnya sendiri." Aku mendekat. Kubahasakan tubuhku dengan tangan dan mimikku.
"Bu Layung tak pernah bersedih hati. Layung justru menghawatirkan ibu tak lagi menerima Layung sebagai anak manis. Layung bangga menjadi anak ibu. Ibu yang tak hanya sekadar cantik tapi ibu yang kuat. Percayalah ibu Layung akan menjadikan ibu istimewa. Layung berdoa Ayah menerima Layung dan menjadikan ibu sebagai bidadari."
Mata ibu berkaca-kaca. Sesekali tangannya memegangi perutnya yang buncit.
Dunia begitu sunyi tak banyak yang dapat kuperbuat. Hanya coretan pencil di kertas HVS putih itu kuukir kisahku. Bergelut dengan tokoh imajiner yang kubuat dalam komik berseri "Rampan" namanya. Seorang  anak lelaki tangguh berpetualang mencari Ayah ibunya.
Dia dilahirkan di panti asuhan di pinggir kota. Seperti anak kebanyakan Rampan berharap memiliki keluarga utuh. Ayah ibu, kakak, adik. Dia berharap kepada setiap pengunnjung panti adalah bapak atau ibu yang pernah meninggalkannya.
Rampan laki-laki yang penyayang. Baginya kasih sayang penghuni panti adalah ibu dan waktu adalah bapak dari segala pencariannya. Rampan terus mencari keluarganya. Rambutnya yang keriting dengan kulit hitam dan mata belok. Rampan sangat manis bagiku.
Beruntung aku kenal dengan om wartawan di warung ibu kala itu. Ia setia membaca semua kisah Rampan yang kurangkum dalam sebuah mini komik. Om wartawanlah yang selalu memberiku penguatan dan akhirnya mengirimkan coretanku ke sebuah majalah anak. Ntah bagaimana kabar om wartawan. Sejak warung ibuku tutup, tak pernah kulihat lagi dia singgah. Kemarin, kutemukan secarik kertas di bawah pintu rumahku.
"Layung anak manis, bagaimana kabarmu sayang. Om membawa kabar yang manis buat Layung. Naskah komikmu diterima penerbit. Dan kau diundang di meja redaksi untuk teken kontrak selama satu tahun. Untuk undangan, om lampirkan di bawah surat ini. Besok pukul 09.00 om jemput ya sayang. Dari om wartawan."
"Rampan, kau sudah sampai di rumah barumu?." Kubersujud sebagai tanda syukurku kepada Allah SWT.
"Terimakasih ya Allah atas anugerah yang diberikan untukku, ibuku. Layung berharap dengan anugrahmu ini Ayahku menerimaku sebagai putrinya yang manis."
"Rampan, lihatlah wajahmu. Kau lelaki hebat. Sekarang kau temukan Ayah dan ibumu. Kau tinggal di rumah yang indah menghiasi mimpi-mimpi anak-anak di negeri ini. Doakan aku ya Rampan, aku juga bisa menemukan Ayahku yang baik, Ayahku yang penyayang dan Ayahku yang mengasihi ibuku. Juga aku berharap menemukan kakak yang melindungiku bukan membiarkan aku dan ibuku sebagai makluk yang tak berharga."[]


Sumber:
https://www.kompasiana.com/mia-ismed/5d95ea540d8230705353b1b2/layung-rampan

0 komentar: