Cerpen Randu Alamsyah: Perahu Abah

07.42 Zian 0 Comments

Cerpen Randu Alamsyah: Perahu Abah


Perahu yang kau kirim padaku di hari itu, Abah, membawa banyak ingatan tentang kita.
Aku selalu  ingat,  hari saat aku berdiri di tepian sungai, gelisah. Berkali-kali menatap layar gawai untuk melihat melalui SMS yang kau kirim:  Tunggu, Nak! Di Handil, aku akan menjemputmu. Seperti biasa.
Aku selalu jengkel. Berkali-kali kukatakan sejak aku akhirnya berangkat kuliah ke Jakarta setahun lalu: Engkau tak perlu melakukan itu, Abah. Sewangi bukan pulau yang jauh. Bukan daerah terpencil. Ada kapal penyeberangan. Sekarang, bahkan sudah ada jembatan yang menghubungkan daratan dengan rumah kita di sana. Kau tak perlu menjemputku.

Lagi pula, kau adalah seorang pembuat perahu, sebagaimana para penduduk pulau lainnya. Kau akan kalah bersaing dengan tetangga-tetangga kita jika kau harus meninggalkan pulau. Di Jakarta, orang-orang yang menutup toko, meski hanya sesaat, akan menderita kerugian karena ditinggalkan pelanggan.
Tetapi, seperti biasa, kau selalu diam. Kadang-kadang tersenyum. Aku juga selalu jengkel jika kau tak menghiraukan apa yang kukatakan. Aku, anakmu, yang telah kau sekolahkan ke Jakarta, mendapatkan prinsip-prinsip ini untuk memperbaiki perekonomian kita. Untuk apa semua yang kupelajari jika kau tetap kukuh dengan apa yang kau yakini?
Lagi pula, Abah, apalah yang kau yakini itu. Apalah artinya dibandingkan pembangunan yang terus melaju di kota ini sekarang.
Sebagai pembuat perahu, kau pasti merasakan dampak dari kemajuan ini. Kemajuan yang pelan-pelan membunuh kampung kita. Di Banjarmasin, gedung-gedung dibangun, perkantoran negeri dan swasta tiba-tiba memenuhi setiap tanah rawa. Guntung, sungai-sungai kecil  ditimbun dan di atasnya, seperti dijatuhkan dari atas langit, ratusan bahkan mungkin ribuan ruko berdiri.
Siapa lagi yang memerlukan perahu jika sungainya telah hilang? Kehilangan sungai adalah hal terakhir yang dikhawatirkan orang-orang di sini, Abah. Entah berapa ratus sungai-sungai mati di kota kita, sebagai tumbal dari pembangunan. Lambat laun, yang tersisa akan segera mengalami nasib yang sama.
Abah tentu ingat, kepulanganku ke kampung di semester ketiga, beberapa tahun lalu. Kita menempuh hampir lima jam hanya demi melaju di antara eceng gondok dan sampah-sampah. Tanganmu yang liat mengayuh di antara gunungan kecil sampah yang mengambang, sementara aku di belakangmu menahan napas dan menutup hidungku dengan sapu tangan. Bahkan, dalam kondisi terlelahmu sore itu, kau tak mengatakan apa pun. Hanya pandanganmu nanar menatap barisan rumah-rumah lanting yang telah lapuk serta batang-batang di tepian, tempat orang-orang mandi dan buang hajat.
Aku berharap kau akan marah dengan kondisi yang ada. Karena aku juga marah. Aku marah dengan kondisi ini. Marah dengan pemerintah yang membiarkan saja sungai-sungai mati, marah dengan para penduduk yang tak memedulikan kelestarian sungai. Aku bahkan marah dengan Abah yang masih terus menggunakan perahu dan membuatnya, demi apa?
Demi orang-orang berjas yang seakan peduli sungai itu? Yang membuat seminar di sana-sini dengan kebanggaan semu bahwa mereka telah berbuat sesuatu untuk kelestarian sungai? Yang datang ke sungai, membawa poster dan spanduk dengan kalimat kekinian #SaveSungaiKita itu? Yang bahkan tak mau sedikit pun kakinya tersentuh air?

***

Kedatanganku yang keempat, Abah masih terus meminta aku menunggu di dermaga. Abah masih mengirimkan pesan-pesan dan kemudian datang lalu menyambutku dengan penuh kegembiraan, mengatakan bahwa aku akhirnya datang. Dan setelah bertukar kabar sejenak, seperti biasa aku akan meniti batang kayu berlumut untuk meloncat ke perahu, lalu kita sama-sama terdiam karena kita tahu bersama, bahwa pembicaraan akan membawa kita pada satu tema yang sama: sungai! Tetapi, begitu sulit untuk menghindarinya karena kita melaju di atas alirannya.
Aku akhirnya bertanya kepadamu suatu pertanyaan yang sejak dulu kupendam, mengapa kau masih terus menjemputku dengan perahu? Bukankah ada kapal feri dan jembatan sedang dibangun di sana?
Seperti biasa, kau membiarkan pertanyaan itu lindap oleh angin yang berkesiur di sekililing kita. Aku tak tahu ada diam yang demikian menggelisahkan. Diam yang membawa misteri yang panjang, tentang kau, aku, perahu, dan sungai-sungai ini. Sejak itu, aku tak lagi menanyakan padamu hal itu. Mungkin, seperti yang aku pahami dari hubungan ini: beberapa pertanyaan memang lebih baik tak terjawab.
Di kepulangan itu, aku melihat banyak sekali perubahan yang terjadi di kampung kita. Ada banyak sekali rumah-rumah, lebih banyak dari yang bisa kuingat sejak kepulanganku, setahun yang lalu. Pulau Sugara, pulau tetangga kami, tempat dulu aku biasa merenangi batas-batasnya, kini tertutupi permukiman yang padat.
“Semakin banyak orang di sana,” ucapku melempar pandangan ke Pulau Sugara.
Kau tertawa, terdengar seperti tersedak. “Begitu juga di kampung,” jawabmu.
Dan, seperti selalu, kau benar. Aku seperti pelancong di kampungku sendiri kala melihat perubahan yang terjadi. Permukiman di pulau kita bukan hanya dipadati rumah penduduk, tetapi juga bangunan-bangunan besar yang aneh karena hanya memiliki jendela kecil di atasnya.
Kepadaku, kau mengatakan itu adalah sarang walet. Usaha sarang walet menjamur di banyak tempat di kota dan di pulau ini. Banyak para teman-temanmu yang dulu membuat perahu kini telah memilih berhenti dan membangun sendiri usaha sarang walet. Mereka tinggal membuat sebuah bangunan dan beternak di dalamnya. Mereka tak perlu mencari kayu madi, kasak, atau kayu ulin lagi dan menghabiskan waktu berhari-hari membuat perahu. Kini, burung walet inilah yang akan bekerja dan mereka tinggal memutik uangnya.
Itu pilihan yang cerdas, pikirku. Sampai kapan orang-orang di Sewangi akan terus bertahan membuat perahu? Sepuluh atau dua puluh tahun lagi, mungkin tak ada lagi sungai di sini. Populasi yang bertambah akan membuat pengusaha terus berpikir keuntungan. Di tempat kuliahku di Jakarta, beberapa pulau buatan dibangun di lepas pantai. Ekosistem laut rusak, karang-karang hancur, dan ikan-ikan mulai langka.
Tapi, tentu saja, tak ada yang peduli soal itu. Seperti juga di kota kita, saat sungai-sungai menyusut dan menghilang, tak ada sesiapa yang benar-benar memikirkannya. Di Sewangi, kau mengatakan,  beberapa tetangga tak lagi membuat perahu, mereka membuat perahu kecil sebagai cendera mata atau gantungan kunci. Dijual lima ribu rupiah kepada para pelancong yang berkunjung. Lucu, Abah.

***

Kepulanganku yang kelima, aku mengajak seorang teman wanita. Kali ini, aku tak menghiraukanmu yang mengirimkan SMS. Diam-diam, aku membiarkan taksi yang mengantarkanku dari bandara terus menuju Pulau Sewangi. Jembatan penyeberangan sudah jadi dan taksi yang kami tumpangi merayap di jalanan yang kian sempit perkampungan di pulau.
Kau sedang memasang sebuah pasak ke lunas perahu saat akhirnya melihatku turun dari taksi. Kau terlihat bingung, Abah. Senyummu tertahan seakan ingin meminta penjelasan dariku tentang kedatanganku kali ini.
“Kenapa tidak menunggu?” tuntutmu.
“Aku lelah,” ucapku.
“Siapa?” katamu.
“Pacarku,” jawabku.
Kau mengangguk mengerti dan tidak mempermasalahkan lebih lanjut.

***

Kepulanganku yang keenam, aku kembali berdiri di tubir dermaga kecil. Sendiri. Aku telah memutuskan pacarku. Tapi, frustrasi bukan alasan sebenarnya. Kau telah mengirimkan pesan, Abah. Pesan yang dikirimkan tetangga kita. Pesan yang menggenangi dan mengisi ceruk-ceruk kenangan tentang kau, aku, dan perahu kita.
Aku masih berdiri di sini meski tahu kini tak ada lagi perahu yang setia menjemput. Aku melihat masa-masa yang telah kita lalui bersama, Abah. Masa-masa yang sepertinya sepele, tetapi begitu tak ternilai jika kukenang saat ini.
Sebuah perahu meluncur dari jauh ke arahku. Perahu yang sangat kukenal. Aku tersenyum saat dia menambatkan perahu dan mengangkat tangan.
“Cepatlah, kau telah ditunggu. Jasad ayahmu tak akan dimakamkan sebelum kau datang.”
“Ya,” ucapku lagi, itu memang pesannya.
Angin dingin bertiup menelusup, membawa aroma serbuk dan kelakai. Sementara di kaki langit yang dibatasi atap-atap rumah lanting, matahari telah mulai jatuh.[]

Sumber:
https://ceritamu.net/perahu-abah/

0 komentar: