Cerpen Ratih Ayuningrum: Manipulasi Peran
Kusapukan perlahan, warna pastel di atas mata. Warnanya sudah pas. Senada dengan baju dan sepatu yang sedianya akan kukenakan. Tinggal menyapukan bedak dan juga pemerah pipi. Setelahnya semua selesai. Kupatut kembali wajahku di cermin. Segalanya sempurna. Lipstik berwarna lembut dengan sapuan matte, maskara curly keluaran terbaru, bedak tipis yang menempel pas di kulit putihku.
Segera kuraih tas kulit yang tergantung di sudut ruangan. Ruangan ini adalah ruang khusus yang disediakan oleh kantor untuk merias diri. Sebuah ruangan kecil di sudut di belakang kantor utama. Dengan langkah gegas aku menuju mobil perusahaan yang sejak lima menit yang lalu sudah menunggu. Pak Rusli, sopir kantor menatapku heran. Mata tuanya tidak lepas menatapku.
"Jangan genit, Pak. Ayo kita jalan!" perintahku.
Tanpa banyak tanya, Pak Rusli membukakan pintu belakang. Aku segera naik. Di dalam mobil telah menunggu seorang rekanku dengan tampilan yang hampir serupa denganku. Dia tersenyum melihatku.
"Cantik sekali," ujarnya. "Sepertinya kamu memang pantas dengan dandanan seperti ini," lanjutnya sambil tergelak.
Aku mendelik.
"Pak Rusli saja sampai pangling melihatmu."
"Sama saja dengan dirimu. Penampilan seperti ini memang cocok untukmu. Aku jamin bahwa tidak akan seorang pun yang akan mengenalimu dengan dandanan seperti ini."
"Ini namanya totalitas."
"Semoga hari ini kita bisa mendapatkan keuntungan sesuai dengan yang sudah ditargetkan oleh pihak kantor."
Mobil terus melaju. Sesaat kemudian hanya hening yang menyergap. Wajah ibu seketika berkelebat di benakku. Aku membuang pandang ke arah jalanan. Berusaha untuk menepis lekat wajah ibu yang membayang. Berharap
di antara hiruk-pikuk jalanan, wajah ibu akan perlahan menghilang.
***
"Saya harus mendengar sesuatu yang fantastis. Ini adalah masalah untung dan rugi. Saya tidak akan merekrut orang-orang yang tidak memiliki ide cemerlang dan berdedikasi tinggi untuk perusahaan ini. Terlebih kalian adalah orang-orang yang sedianya akan saya terjunkan di lapangan. Berhadapan langsung dengan konsumen. Jika, kalian tidak memiliki inovasi untuk perusahaan ini, saya tidak yakin akan menerima kalian bekerja di sini."
Ruangan ber-AC yang cukup besar ini terasa semakin dingin. Lelaki bermata besar, berkulit putih, dengan tubuh tinggi sekitar 170 cm, dan wajah dipenuhi cambang itu menatapku tajam. Aku dan salah seorang yang juga berada di ruangan itu hanya bisa terdiam, membisu.
"Saya tidak ingin menerima para pekerja yang sia-sia. Hanya numpang cari makan, tetapi tidak memiliki ide cemerlang! Kembali tiga hari dari sekarang. Apabila kalian tidak mempunyai gebrakan yang spektakuler untuk penjualan dari perusahaan ini, kalian dipastikan tidak akan diterima bekerja di sini."
Dan kemudian kami akhirnya bekerja di sini. Di perusahaan ini, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang alat-alat rumahtangga. Bekerja di bagian yang berhubungan dengan pelanggan alias pemasaran yang langsung terjun berhadapan dengan pelanggan. Ya, aku dan satu orang rekanku diterima bekerja sebagai sales. Syarat yang diminta oleh pimpinan perusahaan ini bisa kami penuhi. Mata pimpinan kami berbinar ketika kami sampaikan ide tersebut.
"Brilian! Sungguh saya tidak pernah memikirkan hal tersebut. Kalian kreatif!" ujarnya.
Entah apakah kami harus bangga dengan pujian tersebut atau kemudian harus menelan ludah karena pasti demi ide gila itu, hidup kami otomatis harus berubah. Namun, saat ini kami tidak punya pilihan. Mencari pekerjaan di zaman sekarang sangatlah sulit. Walaupun berbekal ijazah sarjana dari sebuah universitas ternama, orang-orang tidak akan mudah percaya dengan keahlian yang kami miliki. Rata-rata mereka mensyaratkan bahwa untuk diterima bekerja, harus ada pengalaman di bidang yang sama. Bagaimana bisa memiliki pengalaman, diterima bekerja saja belum pernah.
Mencari pekerjaan sungguh rumit. Namun, untuk membuka bisnis dan mengelola pekerjaan sendiri, jelas aku tidak punya cukup modal. Sedari kecil aku sudah yatim. Ayahku meninggal dunia karena TBC. Sementara, sepeninggal ayah, susah payah ibu membesarkan dan membiayai sekolahku dengan menerima jahitan dari para tetangga. Saudara kami pun tidak ada yang tergolong mampu sehingga untuk meminjam modal rasanya mustahil. Terlebih kepada jasa keuangan atau lembaga pemerintah, jelas aku tidak berani meminjam modal.
Dan akhirnya aku pun mendapat pekerjaan dengan ide kreatif yang brilian. Setidaknya begitulah menurut pikiran pimpinan tempat perusahaanku bekerja sekarang.
"Dengan tampilan seperti itu, pertama kalian sudah menarik perhatian orang lain karena kalian adalah sales yang unik. Berbeda. Kedua, jarang yang berpenampilan seperti kalian berjalan-jalan memasarkan produk sehingga sekali lagi kalian pasti tidak hanya menarik perhatian tetapi akan mendapat perhatian yang penuh. Ketiga, saya yakin dengan tampilan kalian dan gaya promosi yang aduhai, banyak yang akan tertarik dengan produk perusahaan kita dan itu artinya keuntungan yang besar!"
Perkataan pimpinan perusahaan masih terngiang sesaat sebelum kami beranjak hari itu. Hari setelah kami dinyatakan diterima untuk bekerja di perusahaan tersebut. Aku menghela napas. Wajah tua ibu kembali membayang.
***
"Ibu-ibu mari silakan boleh dicoba, panci yang kami jual adalah kualitas yang terbaik. Memasak lebih cepat matang, selain bisa digunakan untuk menumis, memanggang, juga untuk menggoreng. Praktis! Hanya perlu satu alat saja maka ibu-ibu bisa melakukan banyak hal. Lebih hemat!"
Aku menjelaskan kegunaan salah satu produk yang perusahaan kami miliki. Ibu-ibu komplek yang kami tuju sesekali menatap wajah kami sambil cekikikan.
"Mbak, eh maaf! Panggil apa ya? Bulu matanya bagus sekali. Itu palsu apa asli?" celetuk seorang ibu.
"Eh ibu, ini asli lho. Sini biar saya kasih tahu caranya, ya. Sebelum pakai maskara, bulu matanya dipakein bedak tabur dulu biar alami tebalnya," sahutku sambil memeragakan mengolah bulu mata lebih tebal dengan gaya yang genit. Beberapa ibu tertawa melihat gayaku.
"Kalau kulitnya halus amat. Pakai apa ya?"
"Lho, kok malah konsultasi masalah kecantikan sih, Bu? Kita kan nawarin panci ke sini. Bukan sales kosmetik," sahut rekanku dengan gaya yang tidak kalah genit. Ibu-ibu kembali tertawa.
"Ya sekalian kan, Mbak! Eh Mbak, Ibu, tante atau apa nih manggilnya?" timpal seorang ibu.
"Terserah Ibu-lbu saja. Asal hati senang. Mari silakan Ibu-Ibu yang cantik jelita ayo pancinya dipesan. Boleh kredit, boleh tunai. Asal jangan minta gratisan aja ya. Nanti kami lagi yang dimarahin bos besar. Panci serbaguna lho ini. Tidak rugi, bisa juga dipakai untuk membela diri kalau ada yang mengganggu. Tinggal lemparin saja pancinya dijamin kepala yang mengganggu akan benjol. Tuh praktis dan serbaguna kan?"
"Hahaha, Mbak berdua ini bisa saja! Benar-benar serbaguna," ujar seorang ibu berlipstik merah membara.
"Nah, makanya silakan dibeli pancinya. Ayo diborong! Diborong."
Ibu-ibu pun sibuk mengerumuni kami. Masing-masing memilih model panci yang sedianya akan mereka beli.
"Mbak berdua ini memang pintar menarik hati kita. Aduh gayanya sok genit lagi, membuat kita jadi geregetan. Eh, mbak kan ya? Hehehe bikin bingung mau manggil apa."
Akhirnya hari tersebut sebanyak sepuluh panci berhasil kami jual pada hari tersebut. Aku dan rekanku pun tersenyum puas.
"Antarkan kami kembali ke kantor, Pak. Riasan ini harus segera dibersihkan," ujarku kepada pak Rusli.
"Melelahkan sebenarnya dengan kondisi yang seperti ini!" keluhku.
"Namun, kita mendapat banyak keuntungan hari ini. Kalau penjualan grafiknya seperti ini terus atau bahkan terus naik, aku yakin dalam sebulan kita pasti akan mendapat bonus yang besar dari perusahaan." timpal rekanku.
"Iya. Tapi, kondisi ini melelahkanku secara psikologis."
"Sudahlah, di zaman seperti sekarang mencari kerja itu sulit. Mengeluh juga tidak berguna. Lebih baik kita jalani saja dulu pekerjaan ini. Bukankah ide ini kemarin kita sendiri yang mengutarakannya. Artinya kita juga siap menjalaninya."
Aku mengembuskan napas, di antara deru roda mobil yang membawa kami, senja mulai turun berkabut.
***
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" sapa ibu ketika kakiku baru saja menjejak di teras depan. Senja sudah lama berlalu. Malam mulai merambat. Ibu tersenyum. Senyum ibu, senyum paling teduh yang pernah kutemui di dunia ini. Senyum paling menenangkan.
"Alhamdulillah lancar, Bu."
"Baik-baiklah bekerja. Cari kerjaan zaman sekarang susah. Bekerjalah sepenuh hati, sepenuh jiwa. Tidak usah banyak tingkah. Bekerja dengan sungguh-sungguh apapun posisi yang kamu miliki saat ini. Kamu itu harapan keluarga ini. Anak kebanggaan."
Aku hanya tersenyum kecut sambil menarik napas dan mengembuskannya kembali. Seandainya ibu tahu tentang apa yang kulakoni dalam pekerjaan ini? Apa reaksi yang akan diberikan. Apakah dia akan kecewa? Akh, entahlah. Memikirkannya rasanya ada segumpal perih yang menyelinap.
"Makanlah dulu. Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu."
Aku membuka tudung saji. Ada ikan goreng, sambal terasi dan semangkuk sayur lodeh yang masih hangat. Entah kenapa aku menjadi tidak berselera.
"Ibu sudah, makan?"
"Sudah. Ibu tadi sudah makan. Kamu cepat makan. Pasti sudah lapar. Pekerjaanmu pasti berat dan memerlukan tenaga yang tidak sedikit. Menawarkan barang dari satu tempat ke tempat lain bukanlah hal yang mudah. Makanlah dulu."
"Sebentar, Bu. Mandi dulu."
Aku segera beranjak menuju kamar mandi. Ada berbagai macam pikiran berkecamuk di kepalaku. Serupa mesin giling yang berputar tanpa henti.
***
"Pagi sekali kamu berangkat?"
Suara ibu mewarnai kesibukanku. Sekilas kulihat dia menuangkan air panas ke dalam gelas.
"Minumlah dulu. Setidaknya perutmu tidak kosong ketika berangkat ke kantor."
Segelas teh dan sepotong kue bolu disodorkan kepadaku. Aku beringsut. Kusambut tangan ibu dengan senyum. Akh, bahkan hingga sebesar ini ibu masih saja melayaniku. Sungguh aku malu karena seharusnya aku yang banyak melayaninya di usia yang semakin menua.
"Kenapa berangkat pagi sekali?" Ibu bertanya kembali.
"Harus dandan dulu, Bu!"
"Apa?"
"Maksud saya, di kantor sebelum kami promosi ke konsumen harus persiapan dulu karena sebagai sales penampilan harus maksimal. Jadi, mempersiapkan penampilan saja, Bu. Makanya harus berangkat lebih pagi."
"Ya, sudahlah. Hati-hati dan baik-baik bekerja. Kamu itu harapan keluarga ini. Bekerjalah semaksimal mungkin."
Kembali Ibu mengeluarkan nasihatnya. Aku tersenyum, kelu. Menyimpan segenggam keresahan. Manipulasi peran ini benar-benar membuatku harus pandai untuk menutupi segalanya, terutama dari Ibu. Aku tahu dan sangat mungkin bahwa aku tidak akan pernah siap untuk menerima reaksi ibu atas apa yang telah kulakukan. Aku adalah anak kebanggaannya dan betapa malunya kalau sampai hal tersebut diketahui olehnya.
Kuambil tas, segera kuraih punggung tangan ibu. Menciumnya, mengucapkan salam dan bergegas beranjak pergi.
***
"Lihat Ibu-ibu, saya jamin panci ini kualitas terbaik di dunia. Aman digunakan, lebih aman lagi kalau tidak digunakan. Bersih! Kinclong!" Ujarku dengan gaya yang sangat genit. Ibu-ibu di sebuah sekolah taman kanak-kanak yang tengah menunggu anaknya tertawa.
"Mbak ini bisa saja. Mbak atau tante atau?"
"Suka-suka saja, Bu. Asal jangan panggil kami om saja. Berasa gimana gitu? Hahaha."
"Mari diborong pancinya. Kualitas yahud, paling jempolan. Serbaguna. Kalau cermin di rumah pecah tidak bisa dipakai, maka pantat panci yang kinclong ini bisa dipakai buat bercermin lho ibu-ibu."
Terdengar tawa segerombolan ibu-ibu di depan taman kanak-kanak tersebut membahana.
"Kita bayar kredit ya, seumur hidup boleh?" sahut seorang ibu bertubuh tambun.
"Aduh, Bu. Seumur zaman juga boleh. Tapi, pancinya kami kasih gagangnya saja ya?"
"Waaah, mbak ini bisa saja! Mba atau tante, ya. Eh ngomong-ngomong lipstiknya bagus. Merk apa ya?" timpal seorang ibu dengan kerudung warna merah muda.
"Aduuuh ibu-ibu ini beli panci kami dulu sebanyak-banyaknya. Nanti lipstiknya kami kasih gratis ya."
"Eh beneran? Satu orang satu lipstik ya?"
"Lima puluh panci satu lipstik," ujar rekanku dengan nada suara yang genit.
"Waaah kirain satu panci bonus satu lipstik."
"Mumpung kami lagi baik hati memberi bonus mari diborong panci-pancinya. Dijamin kualitas produk kami luar biasa."
Ibu-ibu di depan taman kanak-kanak tersebut berkerumun ramai. Mereka memilih panci yang kami bawa. Aku dan rekanku saling menatap puas. Strategi pemasaran dengan manipulasi peran ini cukup sukses. Daya tarik yang kami tawarkan merupakan hal unik tersendiri yang membuat konsumen tertarik. Kami hanya mengandalkan penampilan, namun bukan penampilan yang biasa.
Aku tersenyum. Terbayang pundi-pundi bonus yang akan kami dapatkan dengan penjualan yang sudah melebihi target yang ditetapkan oleh perusahaan.
"Ridwan!"
Sebuah pekikan membuatku menoleh. Aku terkesiap. Wajah itu menatapku, nanar.
"Astagfirullah! Ridwan! Kamu? Ridwan! Ini kamu?"
Aku tercekat. Melongo. Antara terkejut, bingung, semua bercampur jadi satu.
"Ibu! Sedang apa Ibu di sini?"
"Ya Allah, Ridwan. Ini apa di wajah kamu? Kerja apa kamu? Kenapa wajahmu penuh warna seperti itu? Dan bajumu, model apa ini? Kamu kenapa harus seperti ini?"
"Ibu, Ridwan akan jelaskan."
"Kamu kebanggaan keluarga. Mengapa bekerja harus berdandan seperti ini. Rambutmu mengapa ditambah jadi panjang begini. Ya ampun! Bulu matamu bersambung. Kamu masih laki-laki kan? Masih anak kebanggaan ibu kan?"
"Ini strategi pasar, Bu. Strategi penjualan." "
Mengapa kamu harus berubah begini. Ya Allah! Sungguh Ibu tidak menyangka."
"Maafkan Ridwan, Bu. Ridwan sungguh-sungguh minta maaf. Tapi, semua demi pekerjaan ini."
"Apa kata tetangga kalau sampai tahu kamu bekerja dengan dandanan seperti ini. Malu, Ridwan. Malu!"
"Bu, Ridwan akan mendapat banyak keuntungan dari penjualan barang-barang ini. Tampilan seperti ini sangat membantu Ridwan mempromosikan barang."
Ibu menatapku tajam dan kemudian berbalik arah. Aku berusaha mengejarnya. Aku tahu, pasti ada anak sungai yang merembes dari matanya. Aku telah mengecewakannya. Sangat mengecewakannya. Aku telah tidak jujur dengan semua ini. Tak kupedulikan suara Misran, rekanku dan pak Rusli yang memanggil untuk segera masuk ke mobil perusahaan. Aku ingin mengejar ibu. Membasuh semua rasa kecewanya.
"Ridwan, kembali. Bagaimana dengan bonus kita! Bos pasti akan memberi kita bonus yang banyak!" teriak Misran.
Aku tertegun. Langkahku terhenti. Hujan tiba-tiba merambat. Menahanku di persimpangan.[]
Kotabaru, des 2016-feb 2017
Sumber:
Media Kalimantan, 5 Maret 2017
0 komentar: