Cerpen Muhammad Daffa: Kepala
BATUK kecil menyisa merah di tangan Dasima petang ini. Dan ini petang yang kesekian dari kesekian kali, dirinya menjadi seorang janda. Di detik ini pulalah senja menyambut tetes darah di ujung bibirnya, karena batuk terus menyiksanya dengan gatal dari dalam tenggorokan.Seluruh warga desa berkoar menyebut dirinya bukan manusia, melainkan anak iblis yang dibiarkan jatuh dari nirwana. Bahkan petang ini pun sudah banyak obor dihempas ke pekarangan gubuknya, api di sana-sini menjilat segala apa yang mereka lewati dengan cepat. Jerit Nyi Dasima dari arah dalam sudah tidak mampu lagi mengalahkan gemuruh dendam seluruh warga yang membenci janda itu sejak beberapa pekan terakhir ini. setelah kematian Karjo, warga desa jadi sangat membencinya.
Dasima dituduh seseorang bernama Muhab, adik Karjo, yang memberi tahu semua penduduk bahwa dalang di balik tewasnya Karjo adalah Nyi Dasima. Tuduhan keji itu berlanjut lagi dari mulut dukun kesohor desa bernama Aki Sampur, yang mengatakan jika Nyi Dasima harus segera dibunuh. Agar tidak terjadi hal serupa untuk kedua kalinya. Sekarang waktu itu tiba, ancaman Aki Sampur tidak bisa dianggap main-main. Api telah melahap habis seluruh gubuk Dasima.
Tubuh Nyi Dasima mengambang di permukaan tanah, sepasang mata teduhnya berubah semerah api yang sejak tadi menjilat pekarangan gubuk kecil miliknya. Amarahnya juga meluap, sehingga terdengar sebuah teriak yang lebih menyerupai hawa dendam.
Belum habis sampai di situ kecewanya pada seluruh penduduk. Nyi Dasima juga mengutuk ibu yang sedang mengandung, anak-anak mereka kelak akan meninggal saat lahir ke dunia, diambil Dasima sebagai kurban untuk segala setan di jagat raya. Dengan begitu generasi mereka tidak akan berlanjut, dan Dasima akan tetap hidup sampai ada seorang pembawa narasi wahyu yang diramalkan akan datang dari arah timur untuk membunuhnya.
Tawanya melengking ke udara ketika api berbalik menyerang penduduk desa yang masih bersikeras mengejek Dasima dari pekarangan. Puluhan orang tewas terlahap api. Sementara yang di dalam rumah masih mengambang di atas tanah. Gubuk itu perlahan utuh seperti sedia kala. Karena kepanikan terus berlanjut, warga yang selamat akhirnya memutuskan untuk lari, sebagian memang berlari ke rumahnya masing-masing. Tetapi tidak dengan sebagian lain. Mereka memilih untuk pergi ke rumah Aki Sampur di puncak gunung.
***
PAGI ini Muhab mendengar kabar baru tentang Nyi Dasima yang ternyata kebal api. Beberapa orang suruhan menyatakan bahwa dukun betina itu memiliki kekebalan bertingkat dewa di dalam tubuhnya. Sejak semalam Muhab telah menduga jika perempuan janda itu masih kukuh dengan gubuk pemberian Aki Sampur, guru Karjo, yang selalu berbaik hati mau memberi. Muhab sedikit agak cemas bila dukun pemula seperti Dasima masih bisa bernapas tenang di dalam gubuk yang sebenarnya hanya pemberian sementara. tak lain adalah siasat Sampur agar Karjo dapat merelakan Nyi Dasima menjadi istri dari gurunya yang membujang itu.
Jelas sudah jawabannya, Karjo menolak. Dengan alasan bahwa ia pun masih sangat mencintai Dasima meski ada keinginan tersembunyi ingin merebut seluruh karomah yang terdapat pada diri perempuan setengah malaikat seperti Nyi Dasima. Aki Sampur pun tahu hal ini, jauh sejak mereka belum mengikat janji sebagai seorang penempuh kanuragan.
Alasan Karjo sebenarnya sangat masuk akal untuk menolak keinginan Aki Sampur, sebab gurunya itu pastilah masih bisa mencari wanita lain yang kiranya layak disunting jadi pendamping seumur hidup.
Dari sini Karjo tahu niat Aki memilih dirinya sebagai murid utama, agar bisa menikahi Dasima. Dengan cara menjadikan Karjo murid tunggalnya yang sangat dibanggakan.
Sekelas Muhab pun tidak begitu dipandang Aki, karena pemuda itu setengah niat dalam mencapai tujuan menuntut ilmu. Muhab merasa iri dengan Karjo, sebab Aki Sampur terlihat lebih memilih Karjo sebagai pewaris seluruh kitab-kitab silat miliknya.
***
DENDAM membiarkan pijar kemarahan terus berlanjut dari diri Nyi Dasima. Segulung kain putih ia bentangkan di atas tanah, pekarangan mulai gelap karena maghrib baru saja beranjak. Dua atau lima obor menerangi sekitar area tempat Dasima menghampar kain. Dasima membaringkan tubuhnya ke arah kiri, menghadap arah utara. Kemudian segulung selendang merah ia bentangkan juga ke arah itu. Perempuan ini merasa jika inilah saat paling baik baginya untuk menyerang balik seluruh penduduk desa yang kemarin ingin membakar gubuknya.
Tubuh Nyi Dasima terbakar, tetapi ia masih bisa tertawa mengakak seperti hantu dalam berbagai cerita yang dibawakan orang-orang tua sebelum tidur. Kepala Dasima dengan rambutnya yang terurai melebihi pundak itu terlepas dan melayang di udara, ketika hawa malam pun berubah menjadi jahat dan kau akan menemuinya di jalan-jalan sekitar desa kami. Memangsa siapa saja yang memang pantas untuk dimangsa.
Muhab merasa ketakutan mendengar ada kepala terbang pemangsa manusia di ujung-ujung jalan desa. Ia tidak berani bila berhadapan langsung dengan kepala terbang, kecuali bila didampingi Aki Sampur. Ya, dukun sakti itu pasti bisa membantunya untuk mengusir makhluk gaib yang mengganggu kampung mereka. Setiap malamnya kepala Dasima selalu mengincar batang leher penduduk desa yang masih berani keluar di jam-jam dini hari.
***
AKI Sampur baru saja selesai dari urusannya di luar desa kami, ketika Muhab datang kepada Aki tepat tiga hari sesudah peristiwa gaib menyerang kampung. Lelaki tua ini menyarankan agar Muhab bersama seluruh penduduk untuk keliling desa setelah matahari terbenam. Biasanya di saat seperti itu tubuh dari pemilik kepala terbang masih bisa ditemukan, dan harus dibakar sampai musnah. Pemilik kepala biasanya menyembunyikan tubuhnya dengan ilmu gaib, namun baru bisa berguna apabila malam telah mendekati waktu dini hari, sehingga tidak seorang pun bisa menemukan tubuhnya.Penduduk sepakat, dan mereka memutuskan untuk memulai perburuan tubuh pemilik kepala, sebelum malam semakin larut.
***
DASIMA baru selesai menyatukan kembali kepala dengan tubuhnya di antara dua pokok pisang yang bercahaya merah mawar, konon dua pokok pisang ini melindungi tubuhnya yang disembunyikan agar tidak dijarah dan dibakar oleh warga desa. Darah masih menyisa merah di ujung bibirnya.
Dari arah kejauhan, sayup langkah kaki terdengar berderap menuju ke arah di mana sekarang Dasima duduk. Waktunya tidak lama lagi. tetapi takdir belum digariskan untuk datang kepadanya malam ini. hanya pembawa narasi wahyu yang dapat membunuh Dasima. Ia datang dari langit, bukan dari bumi, apalagi dari kampung.
Sepasang mata Dasima dapat menangkap langkah-langkah itu sudah berada di dekatnya, tapi Aki Sampur tetap tidak bisa menemukan tubuh Dasima. Begitu juga dengan Muhab. Keduanya pun memilih untuk kembali ke desa, diiringi beberapa warga yang memang sedang berjaga malam ini. Nyi Dasima senang, ia aman sekarang. Selama pembawa narasi wahyu itu belum lahir di surga sana, dirinya tidak bisa terbunuh. Takdirlah yang menentukan nasib Dasima.
***
PESAN yang ditulis di atas lontar itu tampak acak dan tidak terbaca jelas seluruhnya oleh Nyi Dasima. Nama pengirimnya tidak tertera di bagian bawah, hanya saja ada sebuah gaung dari arah yang entah, berhasil tertangkap telinga Dasima. Ajaibnya gaung itu menjelma kata-kata yang segera tertulis di atas lontar.
Sekarang waktu kematian telah datang, Dasima. Kabarkan dengan dirimu sendiri. kematian sudah di depan mata. Neraka menunggumu untuk tiba di dalam sana secepatnya. Sebilah pedang yang diasah dengan tetesan darah para pendosa telah turun dari langit, sebentar lagi ia akan menjemputmu. Maka bersiaplah.
Nyi Dasima tercekat mengetahui bahwa pembawa narasi wahyu ternyata bukan sosok manusia seperti para nabi. Ia juga bukan nabi, tetapi ia adalah pedang yang dipenuhi darah pendosa. Dan sedikit lagi ia mendekat ke arah Dasima duduk sekarang.
Aroma amis mulai tercium dan terasa semakin dekat hingga kepala perempuan setengah umur itu berhadapan dengan kilat sebilah pedang yang segera menebas batang lehernya. Kepala Dasima terjatuh ke tanah dan berguling ke sebuah semak. Menuntaskan tugasnya, pedang itu melesat dan lenyap ke udara. Takdir jugalah yang menentukan nasib Nyi Dasima, ketika perlahan namun pasti, kepala itu kembali melayang dan terbang menuju desa.[]
Banjarbaru, 9 Januari 2017
Muhammad Daffa, Lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Menulis puisi dan cerpen. karya-karyanya termuat di sejumlah media massa dan antologi bersama. Mahasiswa di prodi Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Surabaya.
Sumber:
https://www.harianmerapi.com/seni-hiburan/2018/01/12/5425/kepala-cerpen-muhammad-daffa
0 komentar: