Cerpen Muhammad Daffa: Rawa Rontek

10.38 Zian 0 Comments

Cerpen Muhammad Daffa: Rawa Rontek


Darah mengalir deras dari nganga luka di tangan Julawa. Mulanya ia merasa luka ini tidak cukup berarti buat keperkasaannya di Pasar Senen. Lagipula, orang tetap akan menganggap dirinya kebal pukul; bila sudah begini, maka bisa kita pastikan siapa Julawa sebenarnya.

Penduduk sekitaran Senen sudah tidak asing lagi dengan nama jawara-jawara kambuhan yang biasa berkeliaran di daerah itu, sebab kata mereka, Senen memang daerah rawan dan banyak pencoleng mahir dalam mengambil uang dan barang berharga. Haji Jum’at, salah seorang pedagang yang kebetulan sering berpapasan denganku ketika berangkat kerja menyongsong mimpi, sering pula menyebut nama Julawa dan beberapa gerombolan pencoleng lain. Aku sempat mencemooh ceritanya yang bilang kalau penjahat Senen bukan manusia biasa, alias manusia alam lain yang transmigrasi ke Jakarta sejak puluhan tahun lalu. Sebut saja Julawa, salah satu di antara centeng pasar yang terkenal kasar dan gemar melukai korbannya. Sudah cukup lama ia punya dendam kesumat tak berbalas dengan Haji Jum’at, yang digadang-gadang memiliki sebidang tanah maha luas; membuat kalap keshalehan palsu Julawa. Julawa tidak menagih masalah tanah, tapi yang ingin direbut paksa olehnya adalah kitab serat Damargundal milik Wak Koorman, guru Haji Jum’at di Kwitang. Wak Koorman sendiri telah lama mengunci kitab tua itu dengan bulu-bulu ayam jantan hitam pekat untuk mengurung pengaruh jahat dari dalam lembarannya. Tersebab inilah Julawa kalap; dengan kesantunan pura-pura, diyakininya suatu hari pasti bisa menjemput, membawa pulang kitab sakti berisi ilmu gaib sejibun itu. Rupanya Haji Jum’at dan Wak Koorman lebih memilih jawara lain sama hebatnya dengan Julawa, namun rendah hati dan terbilang agamanya mumpuni dibandingkan begundal pasar lainnya. Wajahnya cahaya, santun, dan tidak tampak hitam penuh debu di sana-sini. Ayah dulu sering bercerita, jika ada orang yang wajahnya hitam legam dan tak ada satu pun cahaya tanda sujud, maka ia bukan orang shaleh. Gelegak darah Julawa memanas hebat tatkala diketahuinya bahwa kitab Damargundal telah jatuh ke tangan preman yang salah. Preman yang salah menurut perkiraan begundal kambuhan sepertinya. Ia sendiri tidak begitu mengerti, kenapa harus Ganjar, yang membawa kitab ilmu-ilmu kuno itu, dan kenapa bukan dirinya notabene jawara senior di Senen? Benci pada Haji Jum’at semakin menjadi-jadi. Julawa ingat tempo hari, sewaktu Ganjar menanyakan seputar ilmu kebal di tubuh Wak Koorman setingkat jauh di atas preman-preman pasar, dan tentang cara untuk mengambil roh dari ilmu itu. Julawa hanya menganggukkan kepala tanda bahwa hal itu memang benar adanya.  Saat itu pulalah, Haji Jum’at bersama Wak Koorman datang. Sekonyong-konyong langsung memberi kitab serat Damargundal di hadapan begundal Senen kesohor ini. Julawa hanya bisa menahan amarah kecamuk hebat di dadanya membusung.

***

BAGAIMANA mungkin Wak Koorman bisa dengan mudah memberi Damargundal kepada orang yang menurut Julawa tidak tepat, lagipula apa untung bila serat bahari diberi kepadanya, hanya akan menambah masalah, pikirnya lagi. Ketepatan Wak tua itu dalam menaruh percaya amatlah tipis. Seperti asal-asalan dan sembarang kasih. Rajah arab gundul di sampul kekuningan kitab itu kerap menyinar biru bagi mata siapa saja yang memandang padanya, membuat kuduk yang tadinya rebah jadi berdiri. Membuat Julawa terkadang merasa sangat ingin memilikinya. Hari ini aku sengaja mengikut Julawa berburu ikan pindang di Senen untuk keperluan makan siang bersama di balai kampung. Sepertinya ia tahu ada maksud lain di balik keinginanku ikut padanya, kedua matanya berciprat merah, agaknya kurang rebah. Aku merasa ada yang aneh tersembunyi di sinar matanya kali ini.
“Kenapa kamu?” Ia bertanya mendelikkan mata dengan tajamnya ke arahku.
“Kenapa apa, Bang? Nggak ada apa-apa kok. Cuma risih saja. Mata bang Julawa merah betul. Pasti kurang tidur ya.”
“Semalam aku telah berhasil mencuri serat Damargundal dari tangan begundal Ganjar, ia yang membuatku iri teramat sangat. Aku tak tidur semalaman karena sibuk dengan huruf-huruf gundul tanpa tanda baca di dalamnya. Pusing kepalaku jadinya.” ujarnya serius menerangkan.
Sebelum aku sempat berkata lebih jauh, ia memotong lebih dulu dengan kalimat lain,
“Ada ilmu paling lawas yang pernah kudengar dari dongeng-dongeng lama, kau tahu?”
“Tidak, Bang. Aku kan masih bau kencur, Bang Julawa sendiri kan yang bilang aku kayak gitu?”
“Kamu harus tahu dan belajar juga dari kitab itu. Jun, kau tentu lebih paham isinya dibanding denganku. Kau harus membantu… Baca dan terjemahkan isinya, aku akan mempelajarinya. Dan kau juga akan dapat bagian yang sepadan, sebagai imbalannya.”
Mau tak mau memang harus kuakui, Julawa pandai merayu dengan sekali perbincangan. Biasanya ia sangat jarang menegur, atau sekadar menyapaku ketika berpapasan di jalan, atau ketika aku sedang berdagang di pasar membantu nenek. Ciprat merah di matanya yang tadi kulihat begitu mengerikan, perlahan memudar. Senyumnya mengembang, sinis. Aku tidak berani bertanya-tanya lagi ihwal apa yang akan terjadi andai serat Damargundal telah berhasil dikuasainya dengan baik. Mendadak, dongeng-dongeng tua di kampungku beredar di ruang kepala. Kisah-kisah manusia abadi, manusia berumur ratusan tahun yang terkubur di bawah balai desa sejak berabad lampau.

***

SENGAJA kuajak Julawa sekedar mampir di surau, saat sore belum terlalu kemas untuk pergi. Surau kami tidak cukup jauh dari Senen, jaraknya hanya berkisah lima menit bila ditempuh dari pasar. Mata Julawa menelisik tiap dinding-dinding bambu surau yang memang dibuat dari batang-batang bambu kuning di hutan Alas Sundel. Kukenalkan ia pada Kyai Sobari, guru ngajiku yang usianya baru menginjak 25 tahun. Kyai menyuruh Julawa untuk membasuh diri dengan wudhu, sesekali dipandangnya wajah dan mata Julawa yang terlihat kusut masai, seraya membimbingnya berwudhu di padhasan. Batin Julawa dag-dig-dug, tapi keinginannya masih tertanam kuat untuk memahami isi kitab Damargundal dari Kyai Sobari, yang kabarnya tahu dan paham isi ilmu gaib dalam kitab itu.
Seusai shalat, Julawa mendekati kyai dan bertanya seputar serat bahari kepunyaan Wak Koorman yang dicurinya tempo hari dari Ganjar. Sobari menggeleng-gelengkan kepala, berulang nama tuhan ia sebut, sebelum akhirnya sampai pada perkataan,
“Jadi Anda seorang begundal pasar yang dibilang-bilang tahan pukul itu? Pantaslah kiranya bila ingin belajar dari orang yang sama begundalnya.”
Aku tersenyum mendengar perkataan Kyai Sobari. Suaranya tetap teduh, tidak sedikit pun ada rasa takut untuk berhadapan dengan Julawa.
“Pak Kyai juga begundal? Kok bisa ya?”
Pertanyaan Julawa membuatku kaget, semoga kyai tidak marah, batinku cemas.
Beberapa detik kemudian, Kyai Sobari kembali berujar. Kali ini dengan nada lirih, sekaligus getir
“Dahulu telah kunodai tangan dengan darah ayam jantan demi melukai seorang manusia mumpuni berilmu kebal, Mas Julawa. Aku benar-benar menyesal telah melakukan hal itu, sebab hal itu dapat mengubur tubuhnya selama-lamanya di perut bumi, di bawah kampung kita sekarang.”
“Bagaimana bisa, Kyai? Bukankah tangan kosong tak bisa melukai orang, sesakti apa pun jawara itu?”
Kyai diam menahan kata-katanya. Tasbih di genggaman tangan masih terus dipetiknya, beriring dengan wirid yang tak putus.
“Yang saya maksudkan adalah sebilah golok perak dari gunung malaikat di pesisir selatan Laut Jawa. Golok perak itu kulumuri dengan darah ayam jantan yang baru mati sehari, dicampur dengan darah penjahat kelas kakap yang matinya belum 40 hari.”
Kini giliran Julawa yang terdiam. Betapa bodohnya aku, pikirnya sesaat kemudian.

***

DAMARGUNDAL terbuka lebar. Halaman-halaman dari kitab bertuah itu dibaca berulang oleh Kyai Sobari, sampai akhirnya Kyai tiba pada suatu jeda di lembar terakhir. Ia sangat yakin, halaman inilah penguak misteri ilmu gaib berjenis kekebalan tubuh di masa lalu. Pertarungan sengit di gunung malaikat itu kembali teringat di benaknya, bagaimana Arang Niskala tertikam golok perak yang dihujam Kyai Sobari tepat di jantungnya. Bukannya mati, sosok Arang Niskala masih hidup dengan golok tertanam di jantung, membuat Kyai heran tercengang-cengang. Sihir macam apa ini? Pikirnya. Sebelum ia memutuskan untuk mengambil jalan pintas. Diam-diam ia turun dari gunung setiap jawara bertubuh besar itu semedi memulihkan ilmunya. Dicelupnya golok perak ke dalam cawan putih berisi darah ayam jantan dan begundal kakap belum genap 40 hari. Dengan ayat-ayat suci, golok perak berlumur darah binatang dan manusia itu pun berhasil membelah tubuh Arang Niskala jadi dua bagian. Tubuh sebelah kiri Arang dilempar ke jurang sebelah timur. Sementara tubuh sebelah kanannya dibuang ke hutan sebelah utara. Ada air yang memisahkan kedua tubuh itu. Sebuah aliran sungai yang berhulu dari Ciliwung. Kyai Sobari menutup kembali halaman-halaman Damargundal. Catat-catat mantra itu membuat kepalanya lumayan pusing. Apa Julawa memang ingin belajar ilmu semacam ini, ilmu hitam dari masa lalu yang dulu membuat lawan-lawan Arang Niskala tak berkutik?

***

BEGUNDAL Ganjar terpaku di depan pintu rumah Wak Koorman. Keduanya merasa pasrah atas hilangnya kitab Damargundal yang dicuri diam-diam oleh Julawa. Hujan deras mulai turun di pekarangan Wak Koorman. Lagi-lagi keduanya hanya bisa saling diam, tak ada bicara barang sepatah kata. Suara mengguntur yang keras tiba-tiba membuat kaget suasana hening itu, derap-derap kaki dilangkahkan terdengar menapak tanah basah di pekarangan rumah. Ganjar menengok ke halaman, begitu pula dengan Wak Koorman. Mata pemilik derap kaki itu tajam mendelik ke arah si empunya rumah. Wak Koorman mencabut golok peraknya, lekas tubuhnya berlari dan menyambar tubuh Julawa diguyur basah hujan. Kepala Julawa terpenggal dari tubuh, cipratan darah tersembur keluar dari nganga luka di batang lehernya, kepala itu menggelinding di tanah. Namun cepat berpagut lagi dengan tubuh pemiliknya. Ganjar ikut turun tangan, dengan secawan darah ayam jantan dibasuhnya parang berkarat pemberian Haji Jum’at. Crass! Ujung parang berhasil menyabet dan merobek bagian dada Julawa. Namun upaya sia-sia. Sebab Julawa telah lebih dulu melempar batu gunung seukuran kepala kerbau ke arah kepala jawara saingannya itu. Melihat hal ini, Wak Koorman melentingkan kerikil-kerikil halus di dekat tempatnya bertahan menghadapi serangan buas Julawa yang dikuasai ilmu hitamnya. Tubuh Julawa tertutup kurungan kerikil-kerikil kecil yang mendera, membuatnya tak bisa bergerak. Ayat-ayat suci telah dibacakan oleh Wak Koorman dengan lirih. “Bismillah…,” ujarnya seraya menghunus golok perak bercampur darah ayam jantan dan darah Ganjar ke ubun-ubun Julawa. Mendadak, terdengar letusan cukup keras dari tubuh Julawa. Maut mulai merembes lewat darah yang mengalir di sela-sela raganya yang terbelah dua.[]

Banjarbaru, 20 November 2016


Sumber:
Radar Banjarmasin, 25 Desember 2016
https://lakonhidup.com/2016/12/25/rawa-rontek/

0 komentar: